HARI-hari sekarang ini, tak mudah buat orang macam Dicky Ermandara coba mewartakan hikmah yang bisa dipetik dari pemikiran seperti Hume dan para pembangun dasar-dasar ilmu modern lainnya bagi perjuangan membebaskan manusia dari penindasan. Banyak orang sudah kadung mengangguk-angguk setuju bahwa ilmu dan objektivisme itu biang kerok semua kekejian yang ada di dunia ini. Industrialisasi, kerusakan lingkungan, seksisme, rasisme, kemelaratan, perang, termasuk penindasan konon bertimbul dari cara berpikir kita yang mengobjekkan manusia dan alam. Dan salah satu sumber cara pikir objektivistik itu ialah ilmu. Alih-alih memeluk teguh ilmu dan kuman objektivismenya, akan lebih terhormat kalau dalam perjuangan melawan penindasan kita mengangkat yang subjektif karena ilmu dan objektivisme itu sendiri bagian dari sistem besar penindasan. Ilmu mendorong upaya penemuan jawaban terbaik dari semua kemungkinan jawaban atas persoalan. Karenanya ilmu anti-kemajemukan. Ilmu mengusahakan perian yang tegas terukur, jelas batas, ringkas, dan hemat asumsi dalam menjelaskan realitas. Karenanya ilmu meringkus kehidupan (subjektif-imajinatif) manusia yang tak dapat diukur, tak tegas batas, senantiasa dinamis, dan panjang lebar bentangannya ke dalam kerangkeng ketertentuan. Ilmu membuat kehidupan yang sublim menjadi dangkal. Pokoknya ilmu itu anti-kemanusiaan; sistem pengetahuan penindas harkat martabat manusia yang adiluhung.
Ilmu memang tidak bisa menyelesaikan semua persoalan karena ilmu tidak bisa mengetahui semuanya juga. Ada ranah-ranah pengalaman manusia yang tak dapat dijangkau penyelidikan bermatra metode ilmiah. Pengalaman mistik seorang yogi, visi penghisap heroin, halusinasi penderita skizofrenis, pengalaman estetis penyair, atau pengalaman stigmata seorang santa, misalnya, tidak terjangkau oleh metode penyelidikan ilmu. Pengetahuan-pengetahuan yang non-ilmiah atau di luar yang ilmiah itu sah-sah saja adanya. Ilmu juga tak turut campur soal itu selama mereka ada di luar wilayah cakupannya itu. Persoalannya, sejak paro kedua abad lalu, ada upaya heroik dari orang-orang sekolahan untuk menampik keabsahan dan menyulih pengetahuan-pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan-pengetahuan non-ilmiah itu. Kata mereka, ilmu tidak lebih dekat ke kebenaran ketimbang cara-cara mendapatkan pengetahuan lainnya. Ilmu tak punya hak istimewa untuk sampai ke kebenaran. Semua bentuk pengetahuan lain juga berhak. Inilah posisi anti-ilmu, anti-ilmiah sebagaimana diwartakan dengan heroik oleh para posmo. Buat para posmo, pengetahuan yang didapat melalui sarana non-ilmiah (ilham, wangsit, wahyu, bisik-bisik gaib) tak cuma diakui keabsahan keberadaannya, tapi juga dipakai sebagai gada untuk menghancurkan semua pengetahuan ilmiah yang diperoleh dari penyelidikan di wilayah-wilayah yang memang menjadi objek ilmu. Kenapa begitu? Karena, buat posmo, di abad modern beserta kolonialisme, imperialisme, industrialisasi, mesinisasi produksi, dan penghancuran alamnya itu, semua bentuk pengetahuan selain ilmu adalah Yang Liyan yang harus diemansipasi sebagai bagian dari emansipasi manusia dari ketertindasan. Yang non-ilmiah harus dirayakan tak cuma sebagai tandingan ilmu dan teknologi modern yang ialah tai kucing modernisme, tapi untuk menghapuskannya dari muka bumi.
Ajaran lain para posmo ialah bahwa kehidupan sosial itu tak lebih dari teks. Teks dan bahasa adalah fenomena fundamental eksistensi manusia sehingga analisis susastra harus diterapkan pada semua fenomena. Posmo-posmo radikal juga mempersoalkan realitas dan mewartakan ketidakcakapan bahasa menggambarkan realitas. Tak ada kebenaran objektif karena kebenaran itu senditi hanyalah fiksi yang meyakinkan dan yang objektif tak lebih dari ilusi latar belakang yang mustahil terbahasakan.
Karena bagian dari kehidupan sosial, ilmu tak lebih dari teks. Tak cuma itu. Karena ilmu dengan segala tetek bengek narasinya soal objektivitas, determinasi, dan kausalitas ialah bagian dari pandangan dunia dominan, maka ilmu tiada lain produk ideologi yang tertanam di dalam konteks kultural tertentu, wabil khusus tatanan sosial borjuis. sebelum kita membebaskan manusia dari cengkraman totaliter kapitalisme, kita mesti membebaskan manusia dari ilmu yang menopang sistem totaliter itu.
Sebetulnya Marx juga sampai ke kesimpulan serupa. Ilmu memang tertanam secara sosial dan terkonstruksi secara kultural. Ilmu memang dilahirkan dari rahim revolusi-revolusi borjuis dan dengan demikian boleh dibilang ideologi borjuis. Ilmu memang bukan bidang pengetahuan yang bebas dari paparan bias kepentingan kelas atau golongan sosial. Tapi, alih-alih memalingkan muka ke bidang pengetahuan pra- atau non-ilmiah, Marx mengkritik untuk memajukan metode ilmu. Metode dan piranti pengetahuan ilmiah harus terus-menerus diperbahaui, temuannya harus dikritik melalui pengujian dan pengujian ulang dengan teknik dan piranti pengamatan yang semakin lama harus semakin dapat menjauhkannya dari paparan bias subjektif. Alih-alih menghakimi ekonomi-politik klasiknya Adam Smith dan David Ricardo sebagai ilmu borjuis lalu merangkul astrologi sebagai sarana penjelas eksploitasi kapitalistik, Marx memperbaharuinya melalui kritik ekonomi-politik. Itulah bedanya Marx dan kaum posmo. Posmo menyerang keseluruhan usaha ilmiah, termasuk pondasi empiris, logis, dan moralnya. Posmo menyulih yang empiris dengan waham, menggantikan akalbudi dengan emosi, rasa, introspeksi, dan intuisi, menggeser paparan tegas, jelas, ringkas nan hemat asumsi dengan prosa neobarok yang hanya bisa dimengerti oleh diri mereka sendiri. Bagi mereka kebenaran ilmiah bukan hanya fiksi, tapi juga relatif, lokal, majemuk, tak tentu, dan tafsiriah.
Meski kritis terhadap pondasi empiris, logis, dan moral ilmu, Marx tidak lantas meninggalkan ilmu. Baginya kehidupan sosial manusia mesti diselidiki dengan metode-metode ilmiah. Mengapa Marx bersikukuh pada pengilmiahan pengetahuan ihwal kehidupan sosial manusia? Kita bisa terka jawabannya dengan menengok dunia tempat kita sendiri tinggali. Setiap hari di dunia ini, perang-perang terjadi, kemiskinan makin hari makin tak terentaskan, dan udara serta air menjadi makin beracun. Setiap hari nyaris 100.000 anak-anak mati karena penyakit yang sebetulnya tak sulit dicegah. Setiap hari populasi penjara mencapai rekor baru. Meskipun perang dingin global berkahir dengan runtuhnya Uni Soviet, tapi sejak 1990an perang-perang panas di banyak wilayah tak kunjung beres. Koran dan media sosial tidak membabarkan keseluruhan cerita, tapi mereka mengabarkan cukup bahwa kaum miskin dan nir-kuasa yang menjadi “Yang Liyan” bagi para posmo terlalu sering kurang gizi, digusur, dipenjara, disiksa, ditembak, dan cukup umum jatuh ke kolam batas keniscayaan hidup. Masalah dunia adalah soal fakta, bukan fiksi. Dunia macam ini adalah realitas bagi miliaran orang, bukan sekadar diskursus. Bagi siapa saja yang berharap melakukan sesuatu atasnya, persoalan sebab-musabab dan relasi determinasi yang kata kaum posmo ialah narasi totaliternya ilmu tak berperi kemanusiaan, tak bisa dihindari. Kenapa? Karena untuk mengubah hal-hal di dunia nyata ini kita harus membuat semacam perkiran tentang bagaimana hal-ihwal itu berlaku dan bagaimana mereka bisa berubah. Asas-asas dan metodologi ilmu menyediakan sarana untuk meninjau pilihan-pilihan.
Sejak semula Marx istiqomah berpandangan bahwa alasan yang memaksanya mengembangkan studi kemasyarakatan sebagai ilmu, bukannya analisis teks, ialah menyediakan panduan bertindak yang diarahkan pada masalah-masalah sosial fundamental, dan menemukan jalan lain efektif terhadap konsekuensi brutal dan penurunan derajat manusia dari sistem eksploitatif yang dibiarkan berjalan apa adanya. Minat berkelanjutan pada teori-teori yang disokong metodologi ilmu merupakan kunci pembebasan a la Marxisme. Kritik atas ilmu memang perlu. Kalau ilmu kemasyarakatan masih dianggap mentah itulah alasan terkuat kita untuk mencoba lebih keras lagi, bukannya memalingkan muka pada tafakur, wangsit dan ilham seperti yang diwartakan para pertapa posmo dari kafe-kafe dan kampus-kampus nan beradab mereka.
27-02-2017