POTRET kemiskinan merupakan pandangan keseharian di Flores. Soalnya, bagaimana menjelaskannya? Beberapa pihak berpendapat bahwa kemiskinan di Flores disebabkan oleh faktor alam seperti kekeringan dan kemarau panjang, keterbatasan sumber daya alam, rendahnya sumber daya manusia, daya dukung prasarana dan sarana publik yang minim, penyelewengan terhadap dana bantuan penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesehatan, dan ketiadaan good goverance. Para peneliti LIPI merupakan salah satu pihak yang pernah berpendapat seperti ini dalam buku yang berjudul Pengembangan Wilayah Nusa Tenggara Timur dari Perspektif Sosial: Permasalahan dan Kebijakan. Dalam teori ilmu pembangunan, pendekatan yang digunakan oleh para peneliti LIPI ini, disebut pendekatan psikologis-kultural.
Kelemahan utama dari pendekatan psikologis-kultural adalah karakternya yang ahistoris. Artinya, pendekatan psikologis-kultural kurang melihat persoalan dalam konteks kesejarahan (Budiman 1990). Karena itu, pendekatan psikologis-kultural, ketika mendefinisikan persoalan kemiskinan, cenderung menghindari persoalan ekonomi-politik. Persoalan ekonomi-politik merupakan “persoalan menyangkut penguasaan alat-alat produksi, serta struktur hukum dan kekuasaan yang menopang berlangsungnya ketimpangan sistem” (Li 2012: 21). Lazimnya, persoalan ekonomi-politik ini terbentuk dan terlembaga setelah melewati proses sejarah yang panjang. Melawan asumsi dan argumentasi para peneliti LIPI ini, dengan pendekatan ekonomi politik, menurut penulis, kemiskinan di Flores disebabkan oleh akumulasi melalui perampasan, seperti dalam pengertian David Harvey (2003), khususnya dalam kaitan dengan kolonialisme asing dan perampasan tanah (land grabbing).[1]
Penjajahan Sebagai Akumulasi Melalui Perampasan
Akumulasi melalui perampasan sudah terjadi sejak lama di Flores melalui proses penjajahan yang panjang. Penduduk Flores sejak abad ke 14 sudah berada di bawah kekuasaan Majapahit (Metzener 1982). Waktu itu, Flores masih bernama Solot. Setelah kerajaan Majapahit runtuh, dua kerajaan kecil, yakni Goa dan Ternate, menjajah Flores. Pada abad 15 dan 16, Goa menguasai Flores di bagian Barat dan Tengah, dan Flores bagian Timur diduduki oleh kerajaan Ternate (Orinbao 1969). Tetapi, kekuasaan kedua kerajaan kecil ini tidak berlangsung lama karena kedatangan bangsa Eropa pada abad 16, yakni Portugis dan Belanda. Flores bagian Barat, yakni Manggarai, dengan bantuan Belanda, akhirnya jatuh dalam kekuasaan kesultanan Bima pada abad ke 18 (Gordon 1975). Namun, menurut laporan lain, seperti yang ditulis Erb (2010), Manggarai sudah jatuh ke tangan Bima sejak tahun 1667 akibat perjanjian Bongaya.
Dari semua penjajah, Belanda paling berpengaruh secara sosial, ekonomi dan politik di Flores. Secara formal, Flores baru benar-benar jatuh ke tangan Belanda di tahun 1859 berkat perjanjian Lisbon (Webb 1968). Namun, hingga awal abad 19, Belanda tidak memerintah Flores secara langsung. Menurut Bekkum (1946 [1974]), sampai awal abad 20, Belanda hanya memerintah Flores dari Bima. Tetapi, Belanda baru resmi menjajah Flores pada tahun 1917-1918, setelah para pemimpin lokal yang melakukan pemberontakan sejak tahun 1902 takluk kepada Belanda. Sebelum pasifikasi 1917-1918, Belanda menjalankan politik onthoudingspolitiek, yaitu politik pembiaran terhadap pribumi di wilayah-wilayah hinterland seperti Flores dipimpin oleh para pemimpin aristokrat tradisionalnya (Dhakidae 2013).
Setelah Flores ditaklukkan oleh Belanda, misionaris Gereja Katolik ke Flores pada tahun 1917 dan “menstabilkan” birokrasi Gereja Katolik di Flores (Metzner 1982, Dhakidae 2013). Sebelum Belanda, sejatinya, Gereja Katolik sudah datang ke Flores di bawah kekuasaan Portugis di abad ke 16. Para pegawai pemerintahan Belanda sudah datang lebih dulu pada tahun 1908 untuk membangun kantor pemerintahannya di Ruteng (Metzner 1982). Bersama Gereja Katolik, Belanda mulai melakukan penjajahan yang lebih sistematis dan terorganisir di Flores. Gereja Katolik mulai mengembangkan ajaran iman Katolik, membangun infrastruktur publik dan membuka berbagai insitutusi pendidikan di bawah payung politik etis yang dikeluarkan oleh Belanda pada awal abad 20 (Metzner 1982, Nama 2012, Satu 2012).
Namun, kedekatan antara Gereja Katolik dan Belanda ketika itu bukan hal yang biasa. Sebab, sebelumnya, misi Gereja Katolik di Hindia Belanda memang sengaja dirintangi oleh pemerintah kolonial. Belanda tidak suka dengan karya misi Gereja Katolik yang terlibat dalam pendidikan. Sikap ini merupakan bagian dari gelagat politik Belanda di Hindia Belanda yang tercermin dalam pernyataan Gubernur Jenderal Baud pada tahun 1836. Pernyataan gubernur Baud, seperti ditulis Booelaars (2005 [1991]: 90), adalah sebagai berikut: “[s]emakin maju propaganda agama Kristen di kawasan-kawasan ini, semakin kuatlah kemandirian rakyat pribumi. …[D]emi perkara kepentingan Belanda, misi sedapat mungkin dirintangi.” Berkaitan dengan pernyataan Gubernur Jenderal Baud ini, Erb (2010: 282) berpendapat bahwa sikap Belanda yang ramah terhadap Gereja Katolik di Flores merupakan implikasi perjanjian dengan Portugis yang menyerahkan semua klaim atas Flores dan Timor Barat ke Belanda. Belanda pun tetap mengijinkan pengiriman misionaris Gereja Katolik, tetapi hanya ke Flores saja. Dari tahun 1913 hingga kini, konggregrasi religius Gereja Katolik Societas Verdi Divini (SVD) yang melanjutkan misi Serikat Jesuit di Flores, bersama Belanda, membangun Flores dalam bidang pembangunan infrastruktur, kesehatan dan pendidikan (Webb 1968, Boelaars 2005).
Ketika Belanda dan Gereja Katolik datang ke Flores pada awal abad 20, sistem pemerintahan di Flores pada umumnya masih terorganisir dalam unit politik kecil yang independen yang beranggotakan 100-200 penduduk. Unit politik ini disebut Nua (kampung). Kala itu di Flores terdapat banyak Nua, yang secara politik independen satu terhadap yang lain (Metzner 1982, Forth 2001, Tule 2004). Pada awal pemerintahan Belanda di Flores, menurut Bekkum (1946 [1974]), di Manggarai terdapat 38 dalu dan sekitar 150 penjaga tanah (tua teno). Fakta seperti ini menyulitkan agenda penjajahan, sehingga mendorong Belanda membentuk sistem kerajaan dengan cara memilih seorang pemimpin lokal yang kuat dan memiliki tanah yang luas. Dari tahun 1909-1929, menurut Tule (2004), Belanda membentuk delapan oderafdeeling yang dipimpin oleh seorag raja, yakni Manggarai, Ngada, Riung, Nagekeo, Ende, Lio, Sikka and Larantuka.
Ketika usai menetapkan raja terpilih, Belanda mulai mengubah struktur agraria sesuai dengan kepentingan akumulasi melalui perampasan. Bagaimana tanah harus diolah dan apa yang harus ditanam merupakan bagian dari kebijakan pemerintah kolonial. Sistem pertanian tradisional diganti dengan sistem pertanian modern. Sistem pertanian tradisional lodok di Manggarai, misalnya, diganti dengan terrace system oleh Belanda. Akibatnya, kedatangan Belanda, seperti yang ditulis oleh Gordon (1975: 15, 131), menandai “dimulainya peningkatan pertanian dan produktivitas pangan” dan massa rakyat mulai mengadaptasikan pertaniannya dengan tanaman komoditi. Semua daerah pertanian yang dibuka oleh Belanda, seperti persawahan, “tidak lagi membutuhkan keputusan komunal tentang kapan saat penanaman atau tentang sistem pembagian kerjanya.”
Seiring dengan semakin kuatnya kekuasaan Belanda, raja pilihan Belanda di Flores, dalam banyak hal, cenderung bertindak sewenang-wenang mengubah sistem agraria setempat untuk memperlancar akumulasi kapital pihak penjajah dan diri sendiri. Pada tahun 1930, seperti yang ditulis oleh Metzner (1982: 225), raja Sikka, misalnya, mendeklarasikan dirinya sebagai pemilik semua tanah yang tidak ditempati dan digarap di Sikka, lalu menjualnya kepada orang-orang Bugis. Konsekwensinya, pada saat itu, “sistem kepemilikan tanah komunal hampir hilang total di Sikka bagian Tengah”. Intervensi penjajah Belanda dalam sektor politik dan agraria ini menyebabkan beralihnya kepemilikan tanah dari komunal ke kepemilikan individual. Kepemilikan individual ini kemudian menyebabkan naiknya tingkat kesuburan dan nilai nominal tanah itu sendiri. Sejak kedatangan Belanda, kepemilikan privat atas tanah dan transaksi tanah mulai dilegalkan. Kepemilikan privat dan transaksi legal penjualan tanah ini semakin hari semakin memperparah dan memperdalam ketimpangan agraria di Flores hingga hari ini.
Land Grabbing Sebagai Akumulasi Melalui Perampasan
Setelah kolonialisme asing berakhir di Flores, tanah-tanah di Flores mulai jatuh satu-satu –entah melalui proses jual beli, kontrak dan konsesi legal– pada kelas berkuasa seperti para pengusaha, birokrat, politisi, Gereja Katolik, dan golongan aristokrat tradisional (Tolo 2012). Proses ini, dalam literatur agraria belakangan ini, kerap disebut sebagai land grabbing. Dalam kapitalisme, land grabbing tidak selalu terjadi melalui tindakan represif-koersif, tetapi juga melalui tindakan yang halus, wajar dan masuk akal menurut pendapat umum yang hegemonik. Perampasan ini dilakukan sebagai upaya untuk mengakumulasi modal, baik dengan cara-cara “ekonomi” maupun “ektra-ekonomi” (‘economic’ and ‘extra-economic’ forms of accumulation). Cara-cara ekonomi terjadi melalui mekanisme pasar, yakni proses jual beli yang kerap terjadi secara sukarela. Cara-cara ektra-ekonomi terjadi melalui pembuatan peraturan dan kebijakan politik yang terkadang melibatkan kekerasan (Hall 2013). Land grabbing dalam pengertian seperti ini, menurut saya, sudah terjadi sejak kolonialisme asing menginjakkan kakinya di Flores, dan proses perampasan itu terus berlangsung setelah kolonialisme asing pergi, dan kian melanggeng hingga hari ini.
Setelah terlepas dari kungkungan penjajahan, ketimpangan struktur relasi sosial produksi di sektor agraria di Flores terus berlanjut. Ketimpangan ini, dulu dan kini, terjadi melalui proses perampasan seperti yang Harvey sebut sebagai “accumulation by disspossession” (Harvey 2003), baik secara konsensus maupun koersif oleh elit kampung, negara, kaum bermodal dan Gereja Katolik (Tolo 2014). Perampasan tanah melalui konsensus di Flores kini biasanya terjadi pada level kampung oleh golongan aristokrat tradisional (mosalaki) dengan hegemonisasi (Gramsci 1971) melalui mitos, cerita rakyat dan terminologi adat. Gereja Katolik juga melakukan perampasan tanah melalui konsensus dalam bentuk jual beli dengan masyarakat,[2] juga dengan Belanda (Prior 2013), hibah dari institusi adat,[3] dan kontrak dengan pemerintah dalam bentuk tanah Hak Guna Usaha (HGU).[4] Pada awal abad ke 21, muncul beberapa kasus perampasan tanah secara koersif yang melibatkan kekuatan represif aparatus negara, seperti pada kasus konservasi alam (Prior 2004), tambang (Regus 2011, Hasiman 2013) dan investasi pariwisata (Dale 2013) di Flores.
Peran golongan aristokrat tradisional (mosalaki) dan institusi adat kini masih kuat meski telah direpresi oleh penjajah, pemerintah, dan Gereja Katolik di Flores (Erb 2010). Pasca kemerdekaan, para golongan aristokrat tradisional di Flores mulai mengklaim diri sebagai tuan tanah (land lord) yang berhak memiliki kekuasaan tanah yang luas. Padahal, menurut Tule (2006, 2013) sebagai bagian dari bangsa Astronesia, di Flores tidak dikenal konsep tuan tanah, melainkan penjaga tanah (land guardian). Meskipun secara keliru menyamakan arti tuan tanah dan penjaga tanah dalam konteks Flores kala itu, Dhakidae (2013: 119-121) sama sekali tidak meleset ketika menulis bahwa “Flores […] yang tidak terkena hukum “hak pribadi atas tanah” pada dasarnya dikuasai oleh para tuan tanah yang tidak lain adalah “raja-raja” lokal.” Namun, dewasa ini, di Flores, kecuali di Manggarai, banyak kalangan aristokrat tradisional mendaku sebagai tuan tanah, seperti dalam konsep land lord yang dipahami oleh penduduk Eropa. Untuk melakukan perampasan tanah secara konsensus ini, para mosalaki di Flores (Worowatu, Nagekeo) menggunakan cerita rakyat tentang Tuku Naru untuk mendaku diri sebagai Ine Tana Ame Watu (Ibu Tanah Bapak Batu), yang berhak memiliki tanah yang luas, otoritas politik dan religius (Tule 2006),[5] persis seperti fungsi legitimatif gelar kebangsawanan yang disematkan pada para raja Mataram seperti Paku Buwana (Paku Alam Semesta), Hemengku Buwana (Pelindung Alam Semesta) dan Paku Alam (Paku Dunia) (Anderson 1991).
Selain mosalaki, Gereja Katolik hari ini juga terlibat dalam perampasan tanah secara konsensus di Flores (Prior 2013).[6] Selain memberikan pemberdayaan secara intensif kepada masyarakat di Flores sejak awal abad 20, Gereja Katolik juga memainkan peran bagi melonjaknya ketimpangan agraria di Flores, dimana ribuan hektar tanah masyarakat secara perlahan jatuh ke tangan Gereja Katolik (Prior 2013). Dengan terlalu terbukanya pucuk pimpinan Gereja Katolik di Flores, pada awal abad 21, sekitar 20-30 serikat religius Gereja Katolik yang oportunistik[7] dengan kekuatan modal finansial yang besar mampu membeli tanah-tanah yang strategis di Flores (Tolo 2013).
Beberapa dekade terakhir, program sertifikasi tanah individual, juga turut berperan dalam meningkatkan perampasan tanah secara konsensus dan ketimpangan agraria di Flores hari ini. Sekitar 60% penduduk Flores menyetujui jika lahan produktif mereka disertifikasi, bukan untuk tujuan komodifikasi (4%), tetapi untuk menghindari konflik tenurial (95%) (Tolo 2013). Namun, faktanya, tanah bersertifikat[8] justru dengan mudah berpindah ke tangan pemilik modal, terlebih dalam institusi adat yang sangat lemah melawan komodifikasi tanah seperti di Manggarai (Tolo 2013). Sejak tahun 1970an, para birokrat dan orang kaya baru “di Manggarai yang mampu membeli tanah. Mereka dapat membeli jip, membangun rumah, dan membeli tanah. Biasanya mereka melakukan ketiganya. Tetapi pembelian tanah sering menjadi pilihan pertama mereka (Gordon 1975: 145-146).”
Dengan semakin meningkatnya promosi tentang program konservasi alam, pembangunan pariwisata dan investasi tambang akhir-akhir ini, tanah-tanah di Flores, termasuk tanah adat dan hutan lindung (Regus 2011, Hasiman 2014), khususnya di Manggarai, dengan mudah dikomodifikasi untuk kepentingan akumulasi kapital (Erb 2010). Institusi adat, seperti di Manggarai, tidak menentang komodifikasi tanah. Akibatnya, kepemilikan tanah para petani miskin dengan mudah berpindah ke tangan para rentenir (Guntur 2014, Kurniasanti 2014), elit politik dan birokrasi (Gordon 2014), pengusaha lokal dan Tionghoa (Gordon 1975), investor tambang (Regus 2011, Dale 2013) dan pengusaha pariwisata (Dale 2013) yang telah beraliansi dengan elit politik dan birokrasi setempat. Pemerintah daerah di Flores cenderung melihat penyelesaain terhadap persoalan pengangguran dan sumber daya manusia yang rendah –karena sekitar 60% (Tolo 2013) dari total penduduk drop out dan tamatan Sekolah Dasar– adalah dengan mendatangkan investor (Erb 2010).
Kini peran yang berkaitan dengan persoalan tenurial dari institusi adat secara perlahan mulai diganti oleh institusi pemerintah, seperti lembaga pengadilan dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kedua lembaga ini telah berkontribusi meningkatkan ketimpangan agraria dan konflik agraria berdarah di beberapa daerah di Flores (Erb 2010). Dari tahun 2001-2003 saja terdapat 123 konflik agraria yang menyebabkan 26 korban jiwa di lima kabupaten di Flores, yakni Ende, Flores Timur, Manggarai, Ngada, dan Sikka. Konflik paling tinggi, dua kali lipat melampaui kabupaten yang lain, sebanyak 44 kasus, terjadi di kabupaten Manggarai yang institusi adatnya paling lemah mencegah komodifikasi tanah (Clark 2004). Penyelesaian konflik agraria melalui hukum positif di lembaga peradilan negara –yang mudah disuap– (Erb 2010) selalu menghasilkan kubu ‘yang menang’ dan ‘yang kalah’, bukan mencari jalan damai, seperti yang biasa diselesaikan dalam hukum adat, telah menimbulkan konflik agraria yang semakin runyam di Flores. Selain konflik agraria, marjinalisasi institusi adat juga telah menyebabkan banyak tanah yang bersertifikat dengan mudah dijual, tanpa pertimbangan dan persetujuan dari anggota suku dan institusi tradisional setempat di Flores (Erb 2010).
Proses perampasan tanah baik secara konsensus maupun koersif di atas telah menimbulkan ketimpangan agraria di Flores. Pada tahun 2013, rata-rata kepemilikan tanah per keluarga di Flores adalah sekitar 2,6 hektar, dengan tingkat produktivitas tahunan hanya sekitar 13,6 juta per hektar. Walaupun rata-rata kepemilikan tanah per keluarga cukup tinggi, tetapi sebagian besar tanah terkonsentrasi pada keluarga petani kaya, sebab 34 keluarga petani kaya di Flores menguasai 476 hektar tanah, sementara 78 keluarga petani gurem di Flores hanya menguasai 27 hektar. Artinya, petani kaya menguasai 17 kali luas rata-rata petani gurem di Flores. Petani kaya yang menguasai lahan yang luas kerap membiarkan tanah produkifnya tak digarap (under-ulitized) yang mencapai sekitar 72% dari total tanah yang dimilikinya (Tolo 2013).
Ketimpangan relasi struktur sosial produksi di sektor agraria di Flores hari ini telah menyebabkan dua hal utama. Pertama, ketimpangan ini telah membuka peluang lebih besar bagi kalangan aristokrat tradisional untuk melakukan mobilitas kelas sosial. Karena dewasa ini tanah tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ekonomi dan politik seperti di masa lalu, maka para golongan aristokrat tradisional yang berkuasa di Flores hari ini melihat institusi politik dan birokrasi, bahkan institusi Gereja Katolik, sebagai “sumber ekonomi dan politik baru” agar bisa terus mereproduksi kekuasaannya. Korupsi di Flores sering terjadi baik di kalangan birokrasi, politik maupun Gereja Katolik (Erb 2006). Berdasarkan survei Indonesian Corruption Watch tahun 2015, propinsi NTT merupakan propinsi terkorup kedua di Indonesia setelah Sumatra Utara. Pada tahun 2007, Maumere pernah menjadi kota terkorup di Indonesia (Hardum 2016). Penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi merupakan hal lazim di NTT (Pos Kupang, 2/1/2016). Dengan watak birokrasi yang koruptif ini, sekitar 97% dana APBD di Flores yang digelontorkan oleh pemerintah pusat menjadi sumber daya ekonomi yang “diperebutkan” oleh para birokrat dan politisi (Obon 2007). Fakta paling mutakhir persekongkolan antara pemimpin birokrasi menyata dalam penyelenggaraan balap sepeda internasional Tour de Flores 2016. Untuk membiayai kegiatan ini, pemerintah daerah di Flores menyediakan dana Rp 9,5 miliar yang dipotong dari dana APBD yang sejatinya tidak memiliki item pengeluaran untuk Tour de Flores (Tolo 2016a).
Kedua, ketimpangan di sektor agraria juga telah mendesak para petani yang bertanah kecil dan tuna kisma bekerja sebagai penggarap (Kompas 2011) dalam sistem bagi hasil dengan para pemilik tanah luas dalam sistem tradisional yang disebut fedho, yang mewajibkan penggarap membayar sejumlah hewan besar seperti kerbau, sapi dan kuda dalam kurun waktu lima tahun atau lebih, atau meluangkan tenaga dan waktunya bekerja tanpa upah untuk para tuan tanah kapan saja dibutuhkan.[9] Fedho di masyarakat Flores dewasa ini pada umumnya mengikuti skema 6:4 atau 5:5 (Kompas 2010), yang artinya 40% atau 50% dari penghasilan diserahkan kepada tuan tanah.[10] Tidak sedikit pula dari mereka yang terpaksa mencari penghidupan di luar pulau Flores, bahkan hingga menjadi buruh migran di luar negeri seperti di beberapa negara Asia Tenggara, yang merupakan ‘hotspot’ bagi human trafficking (Ford et.al 2011). Pada tahun 2013, jumlah TKI asal NTT –yang mayoritaas berasal dari Flores– di Malaysia sebanyak 32.000 bersatus legal dan 75.000 bersatus ilegal (Timor Express 2013), yang kerap menjadi korban human trafficking (Guntur 2014). Begitu pula ribuan para muda mudi dari keluarga miskin –karena kondisi ekonomi keluarga– terpaksa masuk 20-30 tarekat religius Gereja Katolik oportunistik yang sedang menyerbu pulau Flores yang miskin sebagai ‘lumbung’ calon misionaris –rohaniwan dan rohaniwati– Gereja Katolik di awal abad 21. Ribuan calon misionaris muda ini juga rentan menjadi korban human tafficking berwajah agama kelak.***
Penulis adalah Peneliti di Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Kepustakaan:
Anderson, B. 1991. Language and Power – Exploring Political Culture in Indonesia. New York: Cornell University Press.
Bekkum WV. 1946. M. Agus (Penerj., 1974). Sejarah Manggarai (Warloka-Todo-Pongkor). Unpublished manuscript.
Boelaars, HJWM. 1991. Hardawiryana, R (penerj., 2005). Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Budiman, A. 1990. Sistem Perekonomian Pancasila dan Ideologi Ilmu Sosial. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka.
Hall, D. 2013. Primitive Accumulation, Accumulation by Disspossession and Global Land Grab, Third World Quarterly 34: 9: 1582-1604.
Clark, Samuel. ed. 2004. More than Just Ownership: Ten Land and Natural Resource Conflict Case Studies from East Java and Flores. Jakarta: World Bank Report.
Dale, CJP. 2013. Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sistemik. Labuan Bajo: Sunspirit Books.
Dhakidae, D. 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia.
Dolu, H.G. 2016. “Persoalan Tanah Ulayat, Masyarakat Adat Maumere Menanti Keadilan dari Gereja dan Negara.” Diakses 22 Agustus 2016 (http://indonesiasatu.co/detail/persoalan-tanah-ulayat–masyarakat-adat-maumere-menanti-keadilan-dari-gereja-dan-negara).
Erb, M. 2010. “Kebangkitan Adat di Flores Barat: Budaya, Agama dan Tanah.” Hlm. 269-299 dalam Adat dalam Politik Indonesia. Disunting oleh James S. Davidson et al. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Ford, M. et.al (eds.). 2011. Labour Migration and Humman Trafficking in Southeast Asia: Critical Perspective. New York: Routledge, 2011.
Forth, G. 2001. “Dualism and Hierarchy: Processes of Binary Combination in Keo Society.” Oxford Studies in Social and Cultural Anthropology. Inggris: Oxford University Press.
Gordon, JL. 1975. “The Manggarai: Economic and Social Transformation in an Eastern Indonesia Society.” Disertasi.Cambridge, Massachusetts: Harvard University.
Guntur, A. 2014. Kisah dari Seberang: Kumpulan Cerita dari dan Tentang Para Migran Asal Manggarai, Kronik Edisi 1 (Ruteng: Biara Scalabrinian Ruteng, 2014)
Gramsci, A. 1971. Selection from the Prison Notebooks. New York: International Publisher.
Hardum, SE. 2016. “NTT Jadi Fokus Perhatian Kementrian Desa.” Diakses 23Agustus 23 (http://www.beritasatu.com/ekonomi/358133-ntt-jadi-fokus-perhatian-kementerian-desa.html).
Harvey, D. 2003. The New Imperialism. New York: Oxford University Press.
Hasiman, F. 2014. Monster Tambang. Jakarta: JICP OFM.
Jebadu, A. et al., ed. 2009. Pertambangan di Flores-Lembata: Berkah atau Kutuk?. Maumere: Penerbit Ledalero.
Kompas. 2011. Ekspedisi Jejak Peradaban NTT: Laporan Jurnalistik Kompas. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Kurniasanti, I.P.S. 2014. “Perempuan dan Perdagangan Manusia: Sebua Refleksi Menjalankan Ministri Anti-Perdagangan Manusia”, (Makalah diajukan untuk seminar tentang “Ajaran Sosial Gereja & Relevansinya Dalam Keterlibatan Berpolitik di Tengah Beberapa Masalah Aktual: Buruh & Migrasi, Korupsi, Pengungsi, Human Trafficking” di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 25 November).
Li, T.M. 2012. Santoso, Hery and Semedi, Pujo (Penerj.). The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Marjin Kiri.
Metzner, JK . 1982. “Agriculture and Population Pressure in Sikka, Isle of Flores: A contribution to the study of the stability of agricultural systems in the wet and dry tropics.”Development Studies Centre Monograph No. 28. Australian National University.
Nama, S. 2012. “Kerasulan Sosial Ekonomi: Bagian Integral Pewartaan Injil, dalam Chen Martin dan Suwendi.” Hlm. 53-80 dalam Budaya & Pergumulan sosial: Refleksi Yubeleum 100 Tahun Gereja Katolik Manggarai. Disunting oleh Martin Chen and Charles Suwendi. Jakarta: Obor.
Obon, F. 2007. “Mencari Rakyat dalam APBD.” Laporan Jurnalistik “Diskusi Tematik Fakultas Ekonomi Universitas Flores: Fenomena Pengelolaan APBD Yang Berpihak Pada Rakyat”, Ende, 22 Februari. Diakses 13 Mei2016.
Orinbao, S. (1969). Nusa Nipa, Nama Pribumi Nusa Flores. Ende: Nusa Indah.
(http://fransobon.blogspot.co.id/2007/07/mencari-rakyat-dalam-apbd.html).
Osborne, David and Gaebler, Te. 1996. Mewirausahakan Birokrasi. Pustaka Binaman Pressindo: Jakarta.
Prior, JM. 2013. “Land Disputes and the Church: Sobering Thoughs from Flores.” Hlm. 215-242 dalam Land For the People: The State and Agrarian Conflict in Indonesia. Disunting oleh Anton Lucas dan Carol Warren. United States of America: Center for International Studies.
—–. 2004. “Land, Church, and State.” Inside Indonesia. Diakses 23 Januari 2016 (http://www.insideindonesia.org/land-church-and-state).
Regus, M. 2011. “Tambang dan Perlawanan Rakyat: Studi Kasus Tambang di Manggarai, NTT.”Masyarakat: Jurnal Sosiologi 16 (1):1-28.
Satu, A. 2012. “Karya Pastoral SVD di Manggarai: 1914-Sekarang dan Masa Mendatang.” Hlm. 38-52 dalam Budaya & Pergumulan sosial: Refleksi Yubeleum 100 Tahun Gereja Katolik Manggarai.Disunting oleh Martin Chen dan Charles Suwendi. Jakarta: Penerbit Obor.
Timor Express. 2013. “TKI Ilegal Terbanyak dari Flores Timur.” Diakses 10 September 2013 (http://www.tifafoundation.org/tki-illegal-terbanyak-dari-flores-timur-2/).
Tolo, EYS. 2012. “Flores Kaya, Tapi Miskin.” Flores Pos, 28April.
——. 2013. Laporan Penelitian Lapangan ”Tradisi, Hak atas Tanah, dan Penciptaan Kesejahteraan Masyarakat Lokal”. Penelitian ini dilakukan sejak tanggal 8-23 Oktober 2013 di Flores oleh Universitas Gadjah Mada dan University of Agder, Norwegia.
——. 2014. Land Grabbing dan Reforma Agraria Indonesia.Majalah Basis. No.01-02, Tahun 63, Yogyakarta.
——. 2016a. “Tour de Flores dan Reproduksi Kemiskinan.” Islam Bergerak, Mei 21. Diakses 20 Agustus 2016 (http://islambergerak.com/2016/05/1819/)
——. (2016b). Akumulasi Melalui Perampasan dan Kemiskinan di Flores, Jurnal Sosiologi Masyarakat Universitas Indonesia 21 (2): 174-204.
Tule, P. 2004. Longing for the House of God, Dwelling in the House of Ancestors: Local Belief, Christianity, and Islam among the Keo of Central Flores. Freiberg, Swis: Studia Instituti Anthropos 50. Academic Press.
——. 2006. “We are Children of the Land: A Keo Perspective, dalam Reuter”, Hlm. 211-236 dalam Sharing the Earth, Dividing the Land: Land and Territory in the Austronesian World, disunting oleh Thomas Reuter. Australia: Australian National University Press.
——. (2013). “Comunal Land Tenure in Flores”,makalahdipresentasikan kepada mahasiswa University of Agder Norwegia di Maumere, Ledalero, Januari 2013.
Webb, RAFP. 1986. “Adat and Christianity in Nusa Tenggara Timur: Reaction and Counteraction.” Philippine Quarterly of Culture and Society 14: 339-365
Wuryandari, G., ed. 2014. Pengembangan Wilayah Nusa Tenggara Timur dari Perspektif Sosial: Permasalah dan Kebijakan. Jakarta: LIPI Press.
—————
[1]Dalam tulisan saya di tempat lain, saya juga menjelaskan kemiskinan di Flores disebabkan oleh akumulasi melalui perampasan dalam tiga hal pokok, yakni penjajahan yang panjang, ketimpangan agrarian dan depolitisasi massa rakyat (Tolo 2016b). Dalam tulisan ini, saya hanya fokus pada dua sebab utama, yakni berkaitan dengan kolonialisme asing dan ketimpangan agraria yang disebabkan oleh land grabbing.
[2]Wawancara dengan Bapak Lorens Pone, Mbay, 27 Oktober 2013.
[3]Wawancara Kepala Desa Seso, Soa, 14 November 2013; Wawancara dengan Bapak Elias Nuwa, Wolosambi, 14 November 2013.
[4]Wawancara dengan Pater Philipus Tule dan Pater Lukas Jua, Ende, 11 Oktober 2013.
[5] Wawancara dengan Pater Philipus Tule dan Pater Lukas Jua, Ende, 11 Oktober 2013.
[6]Wawancara dengan Pater Philipus Tule SVD dan Pater Lukas Jua SVD, Ende, 11 Oktober 2013.
[7]Kongregasi Gereja Katolik oportunistik adalah kongregasi yang hanya merekrut calon dari Flores tanpa membangun karya misi yang nyata bagi masyarakat Flores seperti yang telah dilakukan oleh kongregasi SVD sejak awal abad 20.
[8]Kepemilikan tanah bersertifikat di Indonesia memang berkontribusi meningkatkan transaksi penjualan dan pembelian tanah. Menurut BPN, di tahun 2011-2013 saja terdapat sekitar 2,3 juta transaksi penjualan dan pembelian tanah bersertifikat di Indonesia.
[9]Wawancara dengan Bapak Elias Nuwa, Wolosambi, 14 November 2013.
[10]Wawancara Kepala Desa Seso, Soa, 14 November 2013; Wawancara Kepala Desa Compang Dalo, Cancar, 20 November, 2014; Wawancara seorang petani penggarap, Wolosambi, 5 November 2012.