Kredit ilustrasi: www.pinterest.com
AKSI Bela Islam Super Damai tanggal 2 Desember 2016 kemarin, atau yang lebih populer disebut dengan aksi 212, punya dimensi menarik bagi saya. Aksi yang menuntut proses hukum kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok untuk terus dilanjutkan dan diproses tanpa perlakuan khusus itu, bagi saya pribadi, telah mematahkan anggapan banyak orang bahwa umat Islam di Indonesia tidak dapat mengorganisir diri secara masif. Memang aksi tersebut tidak didukung oleh semua elemen umat Islam di Indonesia dan motif peserta aksi pun belum pasti semua sama, tetapi melihat jumlah peserta aksi dan jalannya aksi 212 kemarin, saya haqqul yaqin orang-orang yang selama ini beranggapan bahwa umat Islam di Indonesia tidak dapat diorganisir secara masif karena perbedaan pandangan di antara umat Islam sendiri pasti gigit jari.
Meski begitu, saya sendiri beranggapan bahwa pendapat-pendapat yang mengatakan umat Islam di Indonesia itu tidak dapat bersatu dan mengorganisir diri itu bukan tanpa alasan. Salah satu alasannya adalah fenomena takfiri. Takfiri (bahasa Arab: تكفيري takfīrī) adalah sebutan bagi seorang Muslim yang menuduh Muslim lain sebagai kafir dan murtad. Tuduhan itu sendiri disebut takfir, berasal dari kata kafir (kaum tidak beriman), dan disebutkan sebagai “orang yang mengaku seorang Muslim tetapi dinyatakan tidak murni Islamnya dan diragukan keimanannya”.
Uniknya fenomena “takfiri” itu bukan monopoli umat Islam saja. Kelompok yang selama ini sering mengatakan bahwa kelompok Islam sebagai fanatik-ekstrimis-fundamentalis-reaksioner yang tidak mungkin bersatu antar satu dan yang lainnya, serta hampir selalu mendaku sebagai kelompok paling progresif pun, ironisnya juga mengalami fenomena tersebut. Siapa mereka? Kelompok Kiri jawabannya.
Kami yang Paling Kiri
Kelompok kiri yang sering mengaku paling progresif tersebut ternyata juga mengalami fenomena takfiri. Kelompok kiri banyak macamnya dan antar mereka juga sering saling “mengkafirkan”, dan setiap kelompok selalu mengaku “Kami yang paling kiri”. Marxisme setidaknya terbagi dalam beberapa macam, misalnya Marxisme-Leninisme, Stalinisme, Trotskysme, Maoisme, Dengisme, Hoxhaisme, Titoisme, Eurocommunisme, Luxemburgisme, Neo Marxisme, Marxisme Mazhab Frankfurt, Post Marxisme, serta banyak varian lain yang belum bisa saya sebutkan dalam tulisan ini. Itu pun masih ditambah dengan berbagai perlakuan terhadap Marxisme. Ada yang menganggap Marxisme sebagai ilmu, teori, metode, ideologi, bahkan dogma.
Selanjuntya ada Anarkisme dengan berbagai variannya juga, seperti Anarko-Komunisme, Anarko-Sindikalisme, Anarko-Feminisme, Anarkisme individualisme, Anarkisme Hijau, Anarko-primitifisme, dan mungkin masih banyak varian anarkis lain yang saya tidak ketahui. Dan jangan lupakan juga kelompok Sosial Demokrat, yang percaya kapitalisme bisa dijinakkan dari dalam. Kelompok yang terakhir disebut ini adalah kelompok yang paling sering “dikafirkan” atau dianggap “murtad” karena pandangan mereka dianggap paling menyimpang di antara kelompok-kelompok kiri yang lain. Perlu diketahui juga kebiasaan saling “mengkafirkan” pun terjadi antar varian dalam paham Marxisme dan Anarkisme. Misalnya saja penganut Trotskysme menganggap “kafir” penganut Stalinisme, begitu juga antar varian penganut anarkisme.
Di Indonesia kebiasaan saling “mengkafirkan” dalam kelompok kiri tidak hanya dalam ranah ideologis saja tetapi bahkan sampai ke cara memimpin pergerakan. Dalam bukunya The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Herbert Feith mengkategorikan dua tipe kepemimpinan di Indonesia kala itu. Pertama, pemimpin yang bertipe solidarity-makers (penggalang solidaritas) yang berpusat pada figur Soekarno (Bung Karno). Yang kedua adalah pemimpin yang bertipe administrator yang berporos pada figur Mohamad Hatta (Bung Hatta).
Coen Husain Pontoh menyebut istilah kepemimpinan politik untuk tipe pertama dan kepemimpinan teknokratis untuk tipe kedua[1]. Pada tipe kepemimpinan politik, para pemimpin lebih menekankan pada ide, visi, dan semangat. Kemerdekaan Indonesia diraih bukan karena orang Indonesia kala itu telah banyak yang pintar, tapi karena orang Indonesia yang sebagian besar masih bodoh memiliki semangat yang besar untuk merdeka. Semangat untuk merdeka, harga diri yang terhina akibat penjajahan, semangat untuk maju dan sejajar dengan bangsa lain yang telah maju, merupakan senjata utama untuk merdeka dan mengisi kemerdekaan. Ini tercermin dari slogan Bung Karno, revolusi belum selesai.
Sebagai dampaknya, kepemimpinan jenis ini kurang peduli pada hal-hal yang bersifat detail dan konkrit, yang justru menjadi ciri utama kepemimpinan teknokratis. Bung Karno menyindir kepemimpinan tipe administrator ini sebagai Textbook Thinking. Padahal berpikir secara metodologis, ketat pada logika ilmiah, merupakan ciri utama kepemimpinan teknokratis. Ciri lain dari kepemimpinan teknokratis adalah bagaimana ide-ide besar itu bisa diterapkan dalam lapangan praktis. Revolusi sudah selesai, demikian tutur Bung Hatta, sekarang saatnya untuk mewujudkan cita-cita revolusi dalam bentuk yang konkret, yang riil. Misalnya, bagaimana membangun negeri yang baru merdeka itu dalam kondisi keuangan negara yang terbatas, bagaimana menanggulangi kelebihan personel dalam tubuh Angkatan Bersenjata, bagaimana menanggulangi inflasi, dst.
Konflik antar dua metode kepemimpinan itu ternyata, menurut Pontoh, tidak hanya terjadi di ranah negara tetapi juga terjadi di dalam gerakan-gerakan kiri. Mereka yang bertipe kepemimpinan politik, lebih dominan bergerak di lingkungan organisasi massa atau partai politik. Sementara mereka yang bertipe kepemimpinan teknokratis, umumnya bergerak di lingkungan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka yang di Ormas atau Parpol, selalu berbicara dalam tataran ideologi dan program kerja yang luas. Pertanyaan utama kelompok ini adalah, akan dibawa kemana gerakan ini, kepentingan apa yang berada di balik gerakan, dan bagaimana gerakan merealisasikan tujuan-tujuannya.
Sedangkan mereka yang berkecimpung di LSM, sangat menguasai detil persoalan, mereka tidak lagi berbicara dalam tataran makro, tapi sudah menukik pada hal-hal yang mikro. Argumentasinya, kadang-kadang gerakan menang dalam hal ide tetapi ketika ide-ide besar itu hendak direalisasikan dalam kenyataan konkret, gerakan justru menemui kegagalan yang menyakitkan. Penyebabnya, karena yang detail dan konkret itu justru sangat dikuasai oleh rezim kapitalis-neoliberal. Dan tentu saja antar dua kelompok ini hampir dapat dipastikan selalu ada fenomena “takfiri”.
Kiri Takfiri, Mengapa Terjadi? Adakah Solusi?
Muhammad Al Fayyadl dalam tulisannya yang berjudul Memimpikan Bersatunya Pemikiran Kiri[2] berargumen bahwa persoalan dari banyak lingkaran kiri adalah mencampuradukkan antara keduanya: kritik atas pemikiran kiri yang lain, yang diaksentuasi (diberi tekanan) dengan kritik atas pemikir kiri yang bersangkutan, yang mengakibatkan terjadinya perpecahan mendarah-daging di antara kubu-kubu pemikiran kiri. Saya sepakat dengan pendapat Gus Fayyadl, tetapi saya sendiri juga punya pendapat soal penyebab terjadinya fenomena “kiri takfiri” ini, meski harus saya akui bahwa pendapat saya ini bisa dibilang prematur dan hanya bisa diterapkan di lingkup kampus saja.
Setelah melakukan sedikit pengamatan pada beberapa orang yang mengaku dirinya adalah orang “kiri”, saya menarik kesimpulan bahwa mereka menjadi “kiri” bukan karena mereka sungguh-sungguh ingin memperjuangkan keadilan sosial yang sering dianggap sebagai nilai utama gerakan kiri namun karena aktualisasi diri. Iya benar aktualisasi diri, mereka menjadi “kiri” karena di kampus-kampus menjadi “kiri” itu dianggap sesuatu yang keren. Kalau Anda mengutip Marx maka Anda dianggap pintar, kalau Anda membaca Bakunin maka Anda dianggap aktivis, kalau Anda memakai kaos Che Guevara maka Anda dianggap revolusioner. Intinya, mereka menjadi kiri untuk memuaskan diri mereka sendiri.
Lantas adakah solusi untuk mengatasi fenomena “kiri takfiri” ini? Saya adalah orang yang percaya bahwa selalu ada solusi untuk setiap permasalahan. Yang pertama harus dilakukan oleh kelompok kiri adalah menganggap fenomena “kiri takfiri” ini adalah sebuah masalah. Kalau mereka menganggap ini bukan masalah ya tidak usah dicari solusinya, lha wong tidak dianggap masalah kok kenapa susah-susah mencari solusinya. Setelah itu baru dipikirkan solusinya dengan sungguh-sungguh. Yang paling mungkin dilakukan saat ini, menurut saya adalah dialog antar kelompok kiri.
Dalam dialog tersebut harus ada upaya untuk menciptakan semacam pendekatan “fikih” antar mazhab/kelompok kiri tersebut (bahasa arabnya mungkin kira-kira at-taqrib bayn al-madzahib al-yassariyah, kata yassar dalam bahasa arab artinya “kiri”). Selanjutnya dalam dialog tersebut disepakati mana saja perkara yang ushul (pokok), artinya inti dari nilai-nilai ke”kiri”an yang kalau tidak ada dalam suatu kelompok maka tidak bisa disebut sebagai “kiri”. Seperti berkomitmen terhadap pembebasan, perubahan, keadilan, dan kesetaraan, perjuangan kelas, materialisme historis, materialisme dialektika, dan lain-lain. Lalu disepakati juga mana saja perkara yang sifatnya furu (cabang) alias tidak pokok dan adalah hal yang lumrah bila terjadi perbedaan dalam perkara-perkara tersebut, seperti kepemimpinan politik atau teknokratik.
Saya sendiri bukan orang kiri dan sampai saat masih belum berniat menjadi orang kiri. Lha wong saya juga belum paham arti menjadi “kiri” itu apa. Saya cuma mau mengingatkan, jangan-jangan yang selama ini Anda anggap kiri itu fana, dan ternyata egoisme dan narsisme Anda yang ingin dianggap paling kiri agar terlihat keren dan ngaktivis itu yang sebenarnya abadi.***
Penulis adalah mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM angkatan 2014
————–
[1] https://indoprogress.com/2006/01/kutuk-herbert-feith/
[2] https://indoprogress.com/2012/06/memimpikan-bersatunya-pemikiran-kiri/