Para pembicara dan moderator diskusi. Kredit foto: Albanick Maizar
POLITIK Indonesia masih didominasi oleh kepentingan-kepentingan oligarkis. Fenomena ini semakin mengemuka terutama di tengah ekspansi neoliberalisme yang begitu massif di negeri ini. Akibatnya, kepentingan rakyat semakin termarginalkan. Berbagai permasalahan yang menyangkut hajat hidup rakyat mulai dari upah murah, perampasan tanah, kerusakan ekologis, berkurangnya ruang publik di perkotaan, diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas dan masyarakat adat, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), hingga represivitas aparat negara terus merebak hingga sekarang.
Di ranah politik sendiri, kancah politik elektoral masih didominasi oleh partai-partai perwakilan borjuasi yang sebagian besar aktornya adalah elit-elit politik lama. Partai-partai borjuis ini, alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, justru semakin menancapkan pengaruh dan memajukan kepentingan mereka dalam saluran-saluran politik yang ada. Terutama dengan membuat sistem kepartaian Indonesia semakin terkartelisasi, memperkecil ruang bagi gerakan-gerakan sosial untuk memperjuangkan kepentingannya via pemilihan umum (pemilu).
Berbagai strategi telah dilakukan oleh elemen-elemen dan eksponen-eksponen gerakan sosial, mulai dari perjuangan melalui organisasi-organisasi gerakan sosial masyarakat sipil, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serikat-serikat rakyat (buruh, tani, kaum miskin kota, perempuan, mahasiswa, dan nelayan misalnya), strategi diaspora aktivis ke lembaga-lembaga negara, dukungan kritis terhadap calon pejabat publik yang dianggap dapat memajukan agenda gerakan rakyat, hingga bergabung dengan partai-partai borjuis. Tetapi, setelah hampir dua puluh tahun, belum ada perubahan yang berarti dalam politik Indonesia dalam hal representasi rakyat pekerja dan pemajuan agenda-agenda politik gerakan rakyat.
Menghadapi konstelasi politik seperti itu, Komite Kota Jakarta Partai Rakyat Pekerja (PRP) mengadakan Diskusi Publik yang bertajuk “Menggagas Partai Politik Alternatif” pada hari Jumat, 4 November 2016, di Kedai KaPe RI, Mampang Prapatan IV, Jakarta Selatan. Tiga unsur pimpinan dari organisasi rakyat yang sedang menjajaki kemungkinan kerjasama untuk intervensi elektoral di Pemilu 2019 diundang sebagai narasumber, yaitu Anwar “Sastro” Ma’ruf, Sekretaris Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), Ilhamsyah “Boing”, Sekretaris Jenderal Rumah Rakyat Indonesia (RRI), dan John Muhammad, Sekretaris Jenderal Partai Hijau Indonesia (PHI). Diskusi ini dimulai sekitar pukul lima sore, dimoderatori oleh Fathimah Fildzah Izzati dari IndoPROGRESS. Diskusi tersebut dihadiri sekitar 30 peserta yang berasal dari berbagai elemen gerakan sosial.
Pemaparan
Diskusi dimulai oleh Sastro yang membahas mengenai sejumlah tantangan membangun partai alternatif. Menurut Sastro, kebutuhan akan partai alternatif semakin mendesak sebagai upaya untuk meneruskan perjuangan gerakan sosial di ranah politik. Ia menegaskan bahwa inilah saatnya bagi gerakan sosial untuk bertransformasi menjadi gerakan politik untuk merebut kekuasaan negara.
Sastro melihat bahwa politik Indonesia sesungguhnya merupakan arena perang kelas antara kelas borjuis seperti pengusaha, pemilik modal, dengan kelas pekerja seperti buruh, petani, nelayan, masyarakat adat, miskin kota, pengangguran, dan segenap rakyat pekerja lainnya – yang merupakan mayoritas dari jumlah penduduk Indonesia. Dengan demikian, tujuan dari gerakan rakyat adalah mewujudkan tatanan masyarakat sosialis, di mana masyarakat bisa setara dalam hal ekonomi, politik, sosial, dan budaya dan bebas dari eksploitasi yang berasal dari penguasaan alat produksi yang bersifat eksploitatif. Sesungguhnya, menurut Sastro, cita-cita masyarakat sosialis ini sudah termaktub dalam Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Untuk mencapainya, tegas Sastro, kita membutuhkan partai politik. Hanya melalui partai politiklah kekuasaan negara bisa direbut dan digunakan secara demokratis untuk kepentingan rakyat.
KPRI mencoba melakukan intervensi politik tersebut dengan mengonsolidasikan segenap kekuatan serikat-serikat rakyat yang tersebar di banyak sektor. Tentu saja hal ini tidaklah mudah. Sebagai Sekretaris DPN KPRI, Sastro menjelaskan sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh KPRI dan gerakan secara lebih luas dalam hal pembangunan partai politik alternatif, antara lain sudah sejauh mana konsolidasi gerakan berlangsung? Apakan masih dalam tahap gagasan semata atau sudah merambah ke bentuk organisasi yang cocok bagi partai alternatif dan visi kebijakan politik dan ekonomi yang komprehensif? Kemudian, sejauh apakah kesiapan gerakan untuk melawan hadangan kebijakan kepemiluan, seperti paket Undang-Undang (UU) Politik, Ormas, Demokrasi, HAM, dan lain sebagainya? Yang juga tak kalah penting, bagaimana kualitas kader gerakan dan kadar kemajuan organisasi-organisasi rakyat sejauh ini? Apakah sudah cukup terorganisir dan memiliki pemahaman dan kesadaran yang maju?
Sebagai penutup dari pemaparannya, Sastro mengajukan satu gagasan untuk menyinergikan berbagai platform gerakan, yaitu platform bertumpu kepada reforma agraria dan industrialisasi nasional, keadilan ekologis, penghormatan HAM, serta kesetaraan gender. Ini adalah bagian dari upaya untuk menerjemahkan sosialisme Indonesia secara konstitusional dan kontekstual dan menjadikan perjuangan politik, ekonomi, dan sosial sebagai satu kesatuan.
Selanjutnya Ilhamsyah dari RRI memaparkan bahwa warisan rezim otoritarian Orde Baru dalam politik Indonesia menjadi penyebab melemahnya solidaritas antar sesama kelompok-kelompok yang tertindas dan mengikis tradisi politik rakyat yang terorganisir dan independen. Di dalam konteks pasca reformasi, menurutnya adalah penting bagi gerakan rakyat untuk melakukan eksperimen politik elektoral, bukan hanya untuk sekadar memanfaatkan ruang keterbukaan politik yang ada, namun juga untuk memajukan agenda-agenda gerakan rakyat secara lebih jauh dan mendalam.
Tentu ini bukanlah tugas yang mudah. Berdasarkan pengalamannya yang panjang dalam serikat buruh, terutama dalam kapasitasnya sebagai pimpinan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Boing mengakui bahwa terkadang ada semacam sikap antipati atau bahkan alergi dengan partai politik di serikat-serikat buruh. Ini merupakan suatu dilema bagi gerakan rakyat yang ingin berpartisipasi dalam kancah politik elektoral. Di satu sisi ada kebutuhan untuk mengintervensi ranah politik, tapi di sisi lain ada keterbatasan kemampuan gerakan rakyat dalam hal intervensi tersebut.
Menghadapi tantangan ini, menurut Ilhamsyah, kuncinya adalah pembangunan basis rakyat. Terlepas dari seperti apakah bentuk partai politik alternatif yang akan dibangun, apakah itu partai kader atau partai massa, yang pasti basis rakyat tetaplah perlu dibangun. Oleh karena itu, menurutnya segenap organisasi-organisasi rakyat, elemen-elemen gerakan sosial yang lebih luas, dan inisiatif-inisiatif politik alternatif perlu bekerja secara menyeluruh dan tidak parsial. Hal ini dimungkinkan karena secara prinsipil sebenarnya banyak kesamaan pandangan antara berbagai pihak tersebut.
Menurut pria yang akrab dipanggil Boing ini, agak telat memulai inisiatif politik ini. Ada sejumlah strategi yang sempat dikemukakan oleh RRI, yaitu pembentukan blok politik, akuisisi partai, atau tetap menjadi organisasi masyarakat (ormas). Sejauh ini RRI sudah membahas kemungkinan akuisisi partai dengan Partai Buruh bentukan Muchtar Pakpahan, meskipun ada usulan dari elemen non-buruh dalam RRI seperti SPI, untuk mengubah nama Partai Buruh dengan nama yang lebih inklusif.
Terakhir, Boing menggarisbawahi rawannya kemungkinan fragmentasi gerakan dan ini sering terjadi dalam eksperimen politik seperti ini. Untuk itulah diperlukan dialog dan kerja bersama yang lebih lanjut di antara para pelaku gerakan.
Pembicara terakhir, John dari PHI, membuka pemaparannya dengan sebuah prolog mengenai pentingnya gerakan sosial untuk memiliki partai politiknya sendiri, satu hal yang ia sadari rupanya absen dalam politik Indonesia setelah berbincang dengan seorang Ibu aktivis HAM Plaza de Mayo dari Argentina. Ia mencoba melihat perkembangan partai alternatif secara lebih optimistis. Berdasarkan perkembangan PHI sejauh ini, apa yang disebut sebagai “fragmentasi gerakan” sesungguhnya semu, karena apabila komunikasi dibangun baik secara personal maupun organisasional, akan terlihat bahwa ada pertemuan pandangan, aspirasi, dan kepentingan dari berbagai elemen gerakan sosial.
John melihat potensi konsolidasi gerakan di PHI, yang disebutnya sebagai “lengan politik masyarakat sipil” (political arm of civil society). PHI sendiri berasal dari konsolidasi elemen-elemen gerakan lingkungan yang berakar dari Walhi dan kemudian berhimpun dalam Sarekat Hijau Indonesia (SHI). Mengingat basisnya yang berasal dari gerakan lingkungan, pertanyaan yang seringkali diajukan ke PHI adalah siapakah basis massa PHI? John menjawab bahwa basis massa PHI adalah masyarakat sipil dan siapapun “yang tidak punya kanal” – mulai dari buruh, tani, masyarakat adat, korban pelanggaran HAM, dan lain sebagainya. PHI sendiri mulai aktif bekerja di sekitar 2013-2014. Satu strategi utama pembangunan basis partai PHI adalah dengan pengumpulan KTP, dan sejauh ini PHI sudah memiliki anggota di 31 dari 34 provinsi di seluruh Indonesia – minus Kepulauan Riau, Kalimantan Utara, dan Maluku Utara.
Satu inovasi yang dilakukan oleh PHI adalah membangun struktur yang egalitarian berdasarkan prinsip demokrasi partisipatoris, bukan bagi-bagi patronase. Prinsip Politik Hijau (Green Politics) ini bisa dikatakan cukup baru di Indonesia. Struktur PHI bertumpu kepada kelompok-kelompok kerja (pokja) yang fokus kepada isu dan konstituen tertentu, misalnya masyarakat adat dan kelompok difabel. Pokja-pokja ini mengadakan rapat yang dikoordinir oleh Konvener. Untuk mewakili Pokja, maka ditunjuklah satu atau lebih Juru Bicara (Jubir) yang merupakan representasi publik dari PHI di wilayah kerjanya. Mekanisme deliberasi seperti ini, meskipun memakan waktu lebih lama, merupakan proses pembelajaran yang berharga dalam membangun partai politik yang betul-betul berkarakter gerakan.
Sebagai penutup dan tambahan atas sejumlah usulan mengenai model intervensi elektoral partai alternatif yang sudah diungkapkan oleh Sastro dan Boing, John mengajukan satu kemungkinan model intervensi lain, yaitu dengan merebut kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Posisi DPD sekarang menjadi penting karena badan tersebut memiliki andil dalam pembahasan legislasi mengenai Sumber Daya Alam (SDA), satu ranah kebijakan yang sangat penting bagi dan perlu diintervensi oleh para penggerak gerakan sosial.
Peserta diskusi. Kredit foto: Albanick Maizar
Diskusi
Sejumlah pertanyaan pemantik diskusi yang diajukan oleh audiens cukup menarik dan mendorong diskusi yang lebih mendalam. Sebagian besar pertanyaan dan argumen yang diajukan berkaitan dengan pengalaman intervensi politik sebelumnya dan sejumlah tantangan dan strategi menghadapi pemilu 2019.
Yohannes Wasi Gede Puraka (Gede), dari Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) menyebutkan, bahwa gerakan-gerakan sosial di Indonesia perlu belajar dari perpecahan gerakan-gerakan kiri dan progresif, yang salah satu penyebab utamanya berakar dari perpecahan antara Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok. Ia juga menekankan bahwa gerakan perlu berpikir serius mengenai jenis manusia seperti apakah yang mau dibentuk setelah transformasi sosial terjadi dan bagaimana mengidentifikasi isu yang dapat memiliki titik ungkit atau leverage yang tinggi – misalnya soal privatisasi dan kualitas pendidikan tinggi atau perlindungan sosial.
Dua pertanyaan lain yang tidak kalah penting diajukan oleh Dirga Ardiansa, dosen Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) dan Surya Anta (Gusur) dari Partai Pembebasan Rakyat (PPR). Menurut Dirga, langkah mendesak yang perlu segera dilakukan kalangan gerakan dan ketiga organisasi yang berniat melakukan intervensi elektoral sekarang ini adalah memahami konteks ruang elektoral. Konteks legislasi yang ada sekarang ini, seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu, sesungguhnya merupakan instrumen oligarki untuk memperkecil ruang gerak dan manuver bagi gerakan sosial. Menghadapi realitas politik ini, ada dua tugas yang perlu dilakukan: pertama, melakukan penolakan atas RUU Pemilu dan mengajukan draft revisi. Kedua, mendorong tradisi partai politik sebagai wadah agregasi kepentingan yang berasal dari akar rumput melalui proses-proses yang deliberatif alih-alih elitis dan berbasis patronase.
Kemudian, Gusur menceritakan pengalamannya dalam hal mengurus pembangunan partai alternatif, mulai dari masa Partai Rakyat Demokratik (PRD) hingga Partai Pembebasan Rakyat (PPR). Menurutnya, terkadang ada dilema antara pembangunan ideologis kader dan massa partai dengan pembangunan struktur organisasi partai yang mensyaratkan banyak kerja administratif. Ini merupakan satu hal yang perlu menjadi catatan bagi pembangunan partai alternatif ke depan.
Pertanyaan terakhir namun tidak kalah penting adalah dari Mohammad Zaki Hussein dari Partai Rakyat Pekerja (PRP), yang menanyakan adakah kemungkinan akuisisi partai secara bersama oleh ketiga partai gerakan yang ada saat ini – KPRI, RRI, dan PHI.
Menanggapi sejumlah pertanyaan tersebut, ketiga narasumber pertama-tama menyatakan kesetujuannya terhadap poin-poin penting yang diajukan oleh audiens. Sastro setuju bahwa pembangunan struktur organisasi penting, tetapi jangan sampai kemudian kita meninggalkan tradisi aksi massa. Dalam hal intervensi, Ia juga menegaskan bahwa intervensi di tiap level atau sistem penting, termasuk di ranah-ranak mikro dan identifikasi isu mana yang memiliki leverage yang tinggi. Ini semua mensyaratkan kemampuan teknis – yang terkadang luput dari pembahasan dan kerja-kerja organisasi selama ini.
Boing juga menekankan poin-poin yang kurang lebih sama dengan Sastro, terutama dalam hal pembangunan basis partai alternatif di tingkat lokal. Kemudian, John juga berbagi pengalamannya mengenai menghadapi dilema antara logika deliberasi yang merupakan prinsip Politik Hijau dengan kebutuhan untuk mengambil tindakan secara cepat dan tegas dalam konteks-konteks tertentu. Dalam derajat tertentu, pernyataan tersebut juga merefleksikan dilema yang dihadapi oleh gerakan sosial Indonesia saat ini, antara konsolidasi internal dan kebutuhan untuk merespon momen Pemilu 2019 secara cepat dan tangkas. Terakhir, ketiganya juga mengiyakan kemungkinan akuisisi partai yang ada secara bersama, meskipun bagaimana detailnya masih perlu didiskusikan lebih lanjut.
Meskipun sebagian argumen dan pertanyaan yang diajukan dan dibahas dalam forum kali ini sudah sering diperbincangkan di kalangan gerakan sosial dan organisasi-organisasi itu sendiri, mulai dari tingkatan basis massa hingga para penggerak dan aktivisnya, forum kali ini mungkin merupakan satu dari sedikit kesempatan di mana perdebatan soal partai politik alternatif yang berbasis gerakan sosial dapat dihadirkan di ranah publik. Setelah kemandegan politik gerakan sosial makin terasa, maka gagasan partai politik alternatif bukan hanya terdengar menarik tetapi juga aktual dan perlu.
Dengan demikian, menjadi sangat penting bagi kalangan gerakan untuk mengarusutamakan kembali gagasan ini, terutama di tengah-tengah publik dan barisan massa rakyat yang terorganisir semakin apatis menghadapi realitas politik yang ada pasca Pemilu 2014. Pertanyaannya, dari manakah kita harus memulai dan apa yang harus kita kerjakan? Ini merupakan pertanyaan bagi kita semua. Forum diskusi publik kali ini setidaknya dapat menjadi wadah untuk memikirkan pertanyaan tersebut secara mendalam dan mulai memikirkan berbagai jawaban atasnya, baik di tataran gagasan maupun teknis dan mengonsolidasikan upaya bersama berbagai elemen gerakan hingga saat ini. ***