MENGIKUTI perkembangan wacana pembangunan partai politik alternatif, ‘anak muda’ mulai diperbincangkan sebagai elemen yang perlu terlibat di dalamnya. Tulisan Kawan Danang Pamungkas dan Rio Apinino dapat dibaca mengarah pada satu tesis bahwa anak muda perlu membangun partai politik dengan perspektif persatuan antar kelompok gerakan. Keduanya juga menempatkan negara sebagai arena politik yang harus direbut dari kekuatan sosial yang selama ini mendominasi.
Poin menarik dari diskusi yang berkembang sejauh ini adalah dorongan untuk menggunakan perspektif kelas dalam gerakan anak muda. Secara singkat, misalnya, Rio menyinggung bahwa “generasi muda Indonesia, dalam kapitalisme ini jelas-jelas tak punya masa depan apapun, atau minimal madesu alias masa depan suram.” Atas dasar pembacaan ini, maka menurut Rio gerakan anak muda harus berpihak pada kelas yang termarjinalkan, yaitu kelas pekerja atau proletariat.
Tulisan ini berupaya mengembangkan argumentasi pentingnya analisa kelas sebagai proyek reorientasi gerakan anak muda untuk keluar dari konstruksi agent of change, gerakan moral atau penyambung lidah rakyat. Analisa kelas digunakan sebagai pendekatan karena mempunyai kekuatan analisis yang dapat membongkar struktur dasar permasalahan yang saat ini dihadapi oleh anak muda dalam konteks kapitalisme. Kelas itu sendiri merupakan unsur elementer yang membentuk suatu formasi sosial atau masyarakat.[1] Dengan demikian, hanya melalui perjuangan kelas maka perubahan atas struktur yang menindas dapat diubah.
Melalui pendekatan kelas, kita dapat menemukan landasan gerak anak muda dalam menempatkan dirinya. Berbeda dengan pembacaan Rio bahwa “gerakan anak muda harus berpihak pada kelas yang termarjinalkan”, tulisan ini menawarkan posisi bahwa anak muda adalah kelas yang termarjinalkan itu sendiri. Dengan kata lain, anak muda adalah kelas pekerja atau proletariat. Dengan analisis demikian, maka upaya anak muda untuk terlibat dalam pembangunan partai politik akan semakin menemukan urgensinya.
Menemukan Posisi Anak Muda Dengan Analisa Kelas
Seperti apa persisnya keterkaitan antara kapitalisme dengan generasi muda seperti yang disinggung Rio dalam tulisannya? Kepentingan apa yang sedang dipertaruhkan oleh generasi muda dalam rezim kapitalisme saat ini? Jawaban atas pertanyaan ini dapat mengantarkan kita untuk menemukan posisi anak muda dalam analisa kelas.
Kenyataan yang dapat dirasakan langsung oleh generasi muda saat ini adalah kondisi hidup yang serba rentan (precarious). Titik berangkat pengamatan atas kerentanan ini dapat dilakukan dengan membedah struktur ketenagakerjaan di Indonesia saat ini dengan perspektif kelas. Dari 120,8 juta jumlah orang yang bekerja,[2] jumlah pekerja-upahan[3] mencapai 76 juta atau sekitar 63 persen angkatan kerja (BPS, 2015). Jumlah ini akan menjadi lebih besar jika memasukkan 21,6 juta angkatan kerja dengan kategori berusaha sendiri atau pekerja mandiri.[4] Dengan demikian, jumlah pemberi kerja, pemodal atau majikan[5] hanya mencapai 23 juta atau sekitar 19 persen dari angkatan kerja.
Tabel 1
Struktur Kelas di Indonesia[6]
Sumber: BPS (2015). Diolah
Di mana posisi anak muda di tengah belantara struktur kelas di atas? Data lebih lanjut dari BPS menunjukkan lebih dari 46 juta orang dari total 120,8 juta orang yang bekerja adalah generasi muda (golongan umur 15-34 tahun). Meskipun data BPS tidak memberikan gambaran secara akurat berapa jumlah pekerja dalam 46 juta orang yang bekerja tersebut—karena data yang ada masih menggabungkan antara pekerja dengan majikan, namun berdasarkan pemetaan struktur kelas pada tabel di atas dapat diargumentasikan bahwa sebagian besar anak muda berada pada posisi sebagai pekerja.
Di balik data statistik di atas terdapat kerentanan yang dihadapi oleh anak muda. Dalam rezim kapitalisme-neoliberal saat ini, berlaku apa yang dinamakan sebagai fleksibilitas pasar tenaga kerja (labor market flexibility). Fleksibilitas ini menciptakan kondisi di mana seorang pekerja dapat dengan mudah direkrut dan dipecat dalam kurun waktu yang singkat.
Gambaran fleksibilitas ini didapatkan dari penuturan anak muda dalam artikel yang ditulis Pradipa P. Rasidi. Anak muda bekerja dalam kondisi tidak adanya jaminan atas pekerjaan itu sendiri dan atas penghidupannya. Tidak adanya perlindungan sosial menempatkan anak muda pada kondisi kerja dengan beban yang tinggi tanpa upah layak.
Kerentanan ini perlu ditempatkan dalam konteks bagaimana pelipatgandaan atau akumulasi kapital berjalan. Muhtar Habibi dalam artikelnya “Reforma Agraria, Industrialisasi dan Surplus Populasi Relatif” menjelaskan bahwa proses akumulasi kapital mengantarkan pada penciptaan surplus populasi relatif, yaitu sejumlah besar populasi yang tidak tertampung dalam pekerjaan formal. Proses akumulasi kapital itu sendiri berjalan secara historis dan penuh dengan kekerasan.
Secara historis, proses pertama yang dikenal sebagai akumulasi primitif mengantarkan jutaan populasi terpisah dari sarana produksi lewat perampasan atau penggusuran lahan petani. Proses ini merupakan prasyarat berjalannya cara produksi kapitalis, yaitu dengan penciptaan “pasokan proletariat merdeka sekaligus tanpa hak yang tercerabut dari lahan-lahan mereka,” (Marx, 1990: 885 dalam Mulyanto, 2012: 46). Penciptaan pasokan proletariat ini disebut sebagai proletarianisasi yang memaksa seseorang menjual tenaga kerjanya kepada mereka yang menguasai sarana produksi untuk dapat bertahan hidup.
Dalam penelusuran data BPS lebih lanjut, tampak bahwa pertanian merupakan sektor pekerjaan yang terbesar. Sekitar 40 juta dari 120,8 juta bekerja di sektor pertanian (BPS, 2015). Lebih jauh, 80% di antaranya atau sekitar 30,6 juta orang adalah buruh tani dan petani miskin—pekerja bebas pertanian dalam kategori BPS atau proletariat desa dalam perspektif kelas. Terbatasnya lapangan pekerjaan dan kondisi yang memiskinkan di desa ini memaksa jutaan populasi untuk mencari ruang penghidupan baru: bermigrasi ke kota menjadi pekerja industri.
Sementara itu, menurut Habibi, proses akumulasi setelahnya turut berkontribusi memperbesar jumlah surplus populasi. Adopsi teknologi untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan memperbanyak surplus kapital membuat tidak banyak lagi buruh dapat diserap oleh sektor produktif kapital. Singkatnya, semakin banyak pekerja tidak terserap dalam industri.
“Di mana-mana proletariat berkembang sejalan dengan berkembangnya borjuasi. Sebagaimana borjuasi tumbuh dalam kekayaan, proletariat tumbuh dalam jumlah. Sebab, karena kaum proletar bisa dipekerjakan hanya oleh kapital, dan karena kapital meluas hanya dengan mempekerjakan buruh, maka pertumbuhan proletariat berlangsung dalam kecepatan yang sama dengan pertumbuhan kapital.” Frederick Engels, Prinsip-Prinsip Komunisme, 1847.
Abstraksi ini mewujud secara empiris ketika melihat kenyataan mayoritas pekerja yang terlibat dalam pekerjaan informal. Sebagian pekerjaan ini, seperti penjual bakso, tukang jamu, tukang becak, dan pekerjaan kasual lainnya berada dalam kategori ‘berusaha sendiri’ pada BPS. Sebagian lagi ada pada kategori pekerja lepas di pertanian dan non-pertanian yang berupah rendah dan bekerja di bawah kondisi memprihatinkan, seperti tidak ada jaminan kesehatan atau keselamatan.
Surplus populasi relatif ini pada gilirannya berguna bagi kapitalis sebagai ‘tentara cadangan pekerja industri’ (reserved army labor). Tentara cadangan ini berfungsi sebagai alat untuk melemahkan posisi tawar pekerja yang pada gilirannya menekan upah pekerja. Mengutip Habibi, “mereka dapat diciptakan dan direkrut melalui proletarianisasi ketika kapital membutuhkan lebih banyak pekerja dan pada saat krisis mereka dapat dikembalikan ke kantong-kantong pekerjaan tidak produktif.”
Dalam konteks melimpahnya jumlah surplus populasi relatif inilah kerentanan anak muda dalam fleksibilitas tenaga kerja ditempatkan. Dengan terbatasnya pekerjaan formal, anak muda dipaksa untuk saling bersaing mendapatkan pekerjaan. Dilihat dari angka pengangguran misalnya, hampir 6 juta dari dari total 7,4 juta penganggur didominasi oleh generasi muda (BPS, 2015). Sementara itu, meskipun jumlah pekerja formal mencapai 46 juta penduduk, namun data kuantitatif tersebut perlu ditelusuri dengan melihat kualitas penghidupannya mengingat fleksibilitas tenaga kerja berlaku pada konteks saat ini.
Kerentanan ini dirasakan secara nyata oleh generasi muda. Tidak adanya jaminan atas pekerjaan yang layak berkontribusi pada insecurity dalam hidup anak muda. Untuk menikah saja, misalnya, biaya yang harus dikeluarkan pasangan muda berkisar antara Rp35 juta – Rp750 juta. Selain biaya untuk menikah, generasi muda saat ini juga cenderung menahan diri untuk berkeluarga karena takut akan biaya rumah tangga yang tinggi. Kerentanan yang dihadapi ini cukup untuk mengantarkan anak muda sebagai generasi precariat (precarious proletariat), yaitu generasi yang hidup di bawah kondisi kerja tidak pasti dan tanpa perlindungan.
Dengan demikian, keterkaitan antara kapitalisme dengan generasi muda adalah kerentanan yang dihadapi sebagai hasil dari proses akumulasi kapital. Generasi muda dihadapkan pada kondisi hidup yang serba tidak pasti dan semakin menurunkan kualitas hidup. Dengan kata lain, upaya untuk mengatasi kerentanan inilah yang menjadi kepentingan mendasar generasi muda sebagai kelas pekerja.
Menghadapi Kerentanan, Anak Muda Mau Apa dan Bagaimana?
Paparan di atas menunjukkan bahwa kerja keras saja tidak akan pernah cukup. Sebabsekeras dan sekreatif apapun kita bekerja, kondisi struktural yang mewujud dalam rezim kapitalisme akan selalu merintangi upaya pekerja memperoleh kehidupan yang layak. Upah akan selalu berkisar di batas minimal untuk ‘sekedar hidup’, pekerjaan akan selalu tidak pasti, dan beban hidup akan senantiasa meningkat. Gelar sarjana saja tidak menjamin penghidupan yang layak, melihat sejumlah besar pengangguran bergelar sarjana atau upah yang diterima dokter misalnya.
Pada konteks ini, tesis bahwa anak muda perlu terlibat dalam pembangunan partai politik alternatif mendapatkan urgensinya. Partai politik alternatif menjadi penting sebagai instrumen untuk mengakses sumber daya yang dikendalikan oleh negara—yang saat ini dikuasai oleh oligarki-borjuis. Sebagaimana telah disinggung, baik oleh Rio atau Danang, negara merupakan arena pertarungan kekuasaan dalam mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya.
Orientasi ini menjadi penting dan sangat mendasar jika melihat logika bagaimana negara beroperasi dan bagaimana kelas yang berkuasa mempertahankan kekuasaannya. Dalam Manifesto Komunis, Marx dan Engels telah menjelaskan bahwa negara adalah alat untuk melayani kepentingan kelas borjuasi. Arianto Sangaji dalam tulisannya “Membaca Manifesto Komunis Secara Dialektik” yang mengulas Manifesto Komunis, menjelaskan bahwa dalam produksi kapitalisme, peranan politik negara sangat sentral dalam mempertahankan cara produksi kapitalisme itu sendiri.
Abstraksi tentang negara kapitalis di atas dapat kita amati wujud empirisnya. Wujud yang dapat dengan mudah diamati adalah melihat kebijakan negara yang bias kepentingan pemodal, seperti UU Penanaman Modal Asing, UU Pengampunan Pajak, pengerahan tentara untuk melindungi pabrik atau proyek-proyek infrastruktur yang mendukung kepentingan industri kapitalis. Selain itu, kenyataan lain yang dapat diamati adalah melihat latar belakang anggota DPR. Berdasarkan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW, 2015), sebanyak 293 anggota DPR 2014-2019 atau 52,3% berlatarbelakang sebagai pengusaha.
Melihat kenyataan politik hari ini dan bagaimana struktur yang mendasari keterhimpitan hidup yang dihadapi anak muda saat ini, pertanyaannya adalah apakah cukup upaya dengan sebatas menjadi ‘pemilih muda’ (young voters)? Jika sudah memilih, lalu mau apa dan bagaimana caranya?
Dengan melihat anak muda dari perspektif kelas, maka wacana bahwa anak muda perlu terlibat dalam aktivisme politik adalah bukan lagi dengan hanya menjadi pemilih. Melainkan, anak muda di sini perlu menjadi penentu kebijakan itu sendiri seperti yang dilakukan oleh Sukarno, Aidit, atau Njoto ketika masih muda. Sebab, sudah jelas tidak mungkin kita dapat berharap pada pemimpin sekarang yang membawa kepentingan pemodal yang nyatanya menciptakan kondisi yang semakin menghimpit hidup kita. Apa yang perlu dilakukan anak muda saat ini adalah terlibat dalam pembangunan partai politik alternatif.
Prasyarat bagi anak muda untuk sampai pada posisi di atas adalah dengan melepaskan atribut agent of change yang dilekatkan padanya. Konstruksi anak muda yang selama ini seringkali dengan penuh over-glorifikasi dan romantisme perlu dibongkar dengan melihat bahwa pada nyatanya, anak muda adalah bagian dari kelas yang dimarjinalkan itu sendiri. Dengan demikian, alih-alih memposisikan diri sebagai moral force, anak muda perlu memposisikan dirinya sebagai political force. Inilah yang menjadi raison d’etre reorientasi gerakan anak muda.***
Penulis adalah Sekretaris Kota PRP Jakarta Raya
—————-
[1] Karena keterbatasan ruang dalam tulisan ini, pembahasan lebih elaboratif tentang analisa kelas sebagai sebuah pendekatan akan dibahas dalam kesempatan lain.
[2] Dalam definisi BPS, konsep bekerja diartikan sebagai kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pola kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi. Merujuk pada definisi ‘bekerja’ menurut BPS, maka kategori tersebut masih mencampuradukkan antara kelas pekerja dengan kelas majikan.
[3] Pekerja-upahan (wage labourer) dalam terminologi Marxisme merujuk pada kelas proletar, yaitu orang yang menjual tenaga-kerjanya pada pemilik alat produksi untuk mendapatkan upah sebagai imbalannya. Mengacu pada kategori BPS, pekerja-upahan merupakan buruh/karyawan/pegawai, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di non-pertanian, dan pekerja keluarga/tak dibayar.
[4] Pekerja mandiri (self-employed) dalam terminologi Marxisme merujuk pada kelas borjuis-kecil, yaitu kelas yang mempunyai alat produksi dalam skala kecil. Kelas ini dapat mencukupi kebutuhan hidupnya (subsisten) dengan mengandalkan alat produksi tersebut. Pekerja mandiri ini dimaknai sebagai ‘berusaha sendiri’ dalam kategori BPS yang mencakup pekerjaan sopir taksi lepas, tukang becak, tukang bakso dan pekerjaan informal lainnya.
[5] Pemberi kerja, pemodal atau majikan dalam terminologi Marxisme merujuk pada kelas borjuis, yaitu kelas yang menguasai alat produksi sehingga mayoritas populasi bergantung padanya untuk dapat bertahan hidup. Merujuk pada kategori BPS, maka kelas borjuis terdiri dari kategori berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar, seperti petani juragan pemilik lahan, pengusaha warung/toko, dan kategori berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar, seperti pemilik toko dan pengusaha pabrik.
[6] Kategorisasi yang digunakan pada tabel struktur kelas ini belum sepenuhnya tepat. Sebagai contoh, dalam kategori “Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/Buruh Tidak Dibayar” dan “Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh Dibayar”, terdapat posisi kelas borjuis kecil. Kedua kategori itu dalam beberapa kegiatan ekonomi tertentu, seperti warung kelontong, menggunakan pekerja dari keluarganya. Dalam skala modal, kegiatan ekonomi tersebut relatif menggunakan modal yang kecil dan rentan terlempar dari arena persaingan dengan modal yang lebih besar. Dengan kata lain, dalam derajat tertentu, kategori kelas ini mudah terlempar ke dalam barisan proletariat.