UNTUK adanya sama sekali kapital sebagai nilai yang dapat memperbanyak dirinya, kapitalis haruslah menceburkan nilai yang dipegangnya ke dalam kawah candradimuka proses produksi. Untuk itu, pertama-tama, kapitalis harus mencairkan nilai yang dipunyai dan mengubahnya ke dalam bentuk uang. Hanya dengan uang inilah mereka bisa memasuki pasar dan membeli bahan baku, menyewa lahan dan bangunan, membeli mesin-mesin dan segala tetek bengek peralatan produksi, serta mengupah pekerja. Ringkasnya, untuk bisa menciptakan nilai baru, nilai gandaan dari nilai semula, ada proses panjang yang harus dilalui kapitalis. Proses panjang ini bukanlah jalan lurus beraspal mulus selalu. Kadang kala kapitalis harus naik-turun dan mual mabuk perjalanan mengikuti topografi finansial global yang naik turun, kadang mereka terpaksa melambatkan kendaraan karena jalanan rusak oleh korupsi, atau malah harus berhenti sama sekali di tengah jalan sebelum pahala laba diraihnya karena mesin produksinya rusak atau dirampok. Menjadi kapitalis tak semudah membalikkan badan saat senam pagi. Selain medan kapitalisme yang berlendirkan persaingan dan mereka yang tak kokoh berpijak akan terpeleset dan jatuh ke jurang kebangkrutan, mereka harus juga menanggung tuduhan moral hina di mata orang kebanyakan. Mereka harus siap pula dituduh serakah, loba, tamak, dan tak pernah puas diri sehingga mustahil menjadi budha. Padahal, mereka sekadar hamba sahaya yang hidup-matinya ditentukan seberapa patuhnya mereka kepada perintah kapital. Semakin ngeyel dan mencoba berbisnis dengan hati nurani, semakin besar pula benturan kontradiksi yang harus dihadapi. Kapital akan melibas mereka. Kapital itu buta. Kapital bergerak karena hanya itu yang menjadi roh dalam modus keberadaannya di dunia. Ibarat tsunami, kapital akan menelan semua ke bawah kakinya dan menggilas menjadi puing-puing siapa saja yang tak berlari berselancar di atasnya. Intinya, menjadi kapitalis, menjadi hamba kapital yang senantiasa memaksa memperbanyak diri karena kodratnya itu, adalah perjuangan berat yang tak semua orang bisa melakukannya.
Secara formal, Marx merumuskan kapital sebagai proses yang berujung pada realisasi nilai beserta nilai gandaannya (U++). Semua kapitalis harus bisa mencapai puncak berkilau cahaya laba ini. Apabila gagal mencapainya, maka ia akan dihukum oleh pasar sebagai kapitalis tolol. Untuk sampai ke sana, kata Marx, pangkalnya dari nilai yang telah cair dari sudut pandang pasar, yakni uang (U). Dari situ nilai cair dibekukan kembali ke dalam bentuk komoditi-komoditi (K1). Artinya, untuk menghidupkan kapital, kapitalis harus mematikannya dulu dengan mengubahnya menjadi sarana produksi (SP) dan tenaga kerja (TK). Proses membekukan kembali ini bukanlah perkara mudah. Kadang kala sarana produksi sulit didapat, bahan baku mahal karena infrastruktur belum memadai atau karena tempat-tempat yang menjadi sumbernya dimonopoli. Kadang kala tenaga kerja mahal harganya. Pekerja meminta kenaikan upah terus-menerus. Untuk memurahkan harga tenaga kerja bukanlah perkara gampang. Mereka harus berserikat dan menghadapi serikat itu mereka harus juga punya kampiun-kampiun lobi dan juara-juara suap supaya orang-orang di lembaga legislatif dan pemerintahan melapangkan masuknya kepentingan mereka ke dalam legislasi.
Dengan dua jenis komoditi tersebut di tangan, barulah proses produksi komoditi bisa berjalan. Itupun tak semudah kedengarannya. Ada banyak kendala yang harus dihadapi dan dibereskan hingga komoditi-komoditi baru tercipta (K2). Di penghujung proses produksi, perjuangan kapitalis belum selesai. Amanat kapital kepada mereka bukanlah untuk menciptakan barang-barang yang berguna dan maslahat bagi banyak orang lalu mendapatkan pahala dari kegiatan itu. Amanat kapital ialah bahwa mereka harus berbisnis, dan dalam bisnis yang utama adalah laba. Untuk itu mereka harus mengubah nilai yang terkandung di dalam komoditi-komoditi kembali menjadi nilai. Bukan sekadar nilai seperti sedia kala, tapi sejumlah nilai cair seperti yang sebelumnya ditanamkan beserta gandaannya (U++). Untuk itu mereka harus bisa menjual komoditi-komoditi itu. Dalam proses inipun mereka harus putar otak bekerja keras bagaimana caranya merayu banyak orang menukarkan nilai cair atau uang mereka dengan komoditi; bagaimana caranya membuat banyak orang merasa barang-barang dagangan mereka memang dibutuhkan (padahal mungkin tidak).
Fuh! Dari rumus umum kapitalnya Marx, betapa melelahkannya menjadi kapitalis. Di dalam rumusan kapital seperti tertuang di dalam jilid pertama Das Kapital, Marx agak meremehkan proses kapitalis memperoleh nilai cair (U). Marx memulai rumusnya dari keberadaan U. Seolah-olah U ada begitu saja seperti buah khuldi yang tinggal petik. Dia mengesampingkan betapa berat beban derita kapitalis dalam memperoleh U dan memulai proses pelipatgandaan nilai. Mereka harus merendah-rendahkan diri di hadapan bankir-bankir, jungkir balik di depan meja para wali-wali dana parkiran di luar negeri, bahkan memohon-mohon kepada sekutu sekaligus pihak yang paling ingin mereka depak dari serambi bisnis (selain pekerja), yakni pemerintah, agar melonggarkan ikatan pajak dan tetek bengek yang merepotkan perolehan dana cair, investasi, dan repatriasinya. Tapi sebagai hamba, kapitalis harus patuh sepatuh-patuhnya kepada logika kapital. Apapun harus dilakukan apabila itu satu-satunya jalan ke puncak bertabur cahaya laba. Karena hanya labalah yang bisa melepaskan dahaga kapital akan dirinya sendiri. Setidaknya untuk sementara waktu karena dahaga itu melekat pada keberadaannya. Nah, dari erangan kritik para kapitalis soal peremehan atas proses mereka memperoleh dana segar di dalam rumus umum kapitalnya, Marx membuat rumus khusus kapital seperti digambarkan di dalam jilid ketiga Das Kapital. Marx menarik secara retrospektif apa yang terjadi sebelum U siap dioperasikan. Dalam rumus khusus itu Marx memasukkan variabel asal-usul dana cair dan evolusi apa yang disebutnya sebagai kapitalis finansial atau kapitalis yang posisinya sekadar membiayai proses produksi. Tentu beserta serba kontradiksi yang dimunculkan pembagian kerja baru di tubuh kapitalisme itu. Seperti yang sudah dialami dan masih dialami semua kapitalis di dunia, pemanjangan rumus umum kapital lebih ke awal menguak derita kapitalis ternyata jauh lebih berat dari yang dikira Marx sebelumnya.
Tapi hari ini para kapitalis bisa menghela nafas lega. Meski tak semuanya, setidaknya satu beban, yang selama ini diabaikan Marx dalam rumus umum kapitalnya, kini benar-benar bisa diabaikan. Tak hanya secara logis-formal, tapi empiris-aktual. Kini mereka tak harus merendahkan diri lagi. Cara baru mendapatkan dana cair telah ditemukan. Bahkan jauh lebih efektif dan efisien daripada yang selama ini ada. Untuk mendapatkan dana cair atau U dalam memulai atau mereproduksi proses produksi komoditi dan penciptaan nilai baru, cara baru dari luar pasar, jauh dari bayang-bayang bankir kikir, telah tercipta. Taat Pribadi dari Padepokan Dimas Kanjeng kini bisa menciptakan uang dan emas dari ketiadaan! Uang-uang dari balik jubahnya bisa ada tanpa PERURI dan restu Bank Indonesia!! Emas-emas batangan di peti-petinya bisa ada tanpa secuilpun turut campurnya PT. Freeport Indonesia!!!
Ibarat pepatah, panas setahun punah oleh hujan sehari. Derita puluhan tahun begelut dengan peroleh dana cair kini sembuh dengan tiba-tiba. Langkah optimis menjelang masa depan cerah kapitalisme kini kian terbuka lebar. Jin-jin kini bisa diintegrasikan ke dalam proses. Sudah saatnya bubarkan lobi-lobi perbankan. Sudah masanya kita pensiunkan para pialang forex karena Taat Pribadi tak hanya dapat menciptakan mata uang rupiah dalam sekejap mata, tapi juga mata-mata uang asing yang penting dalam pertukaran global.***