“Tanah diberikan begitu saja atau dijual dengan harga yang konyol atau dikuasai sebagai lahan swasta melalui penyerobotan langsung. Kerjasama para penguasa politik dengan elite-elite borjuis telah memungkinkan kaum elite menganugrahi diri mereka lahan- lahan garapan penduduk menjadi milik pribadi [mereka] (Marx, 1990: 884).
BARANGKALI cita-cita dibangunnya jembatan Suramadu—sebagai pintu gerbang untuk membuat Madura tidak terisolir dan membuat tanah garam sebagai kawasan industri baru—kini mulai menuai hasil. Madura, Sumenep khususnya, pelan-pelan kini mulai memasuki fase industrialisasi. Para investor dari luar mulai berdatangan untuk mengkapling tanah pesisir Sumenep yang potensial. Bak gayung bersambut, pemerintah daerah (pemda) setempat pun senantiasa memfasilitasi niat investor dengan memudahkan ijin beroperasi. Peristiwa penjualan tanah besar-besaran kini kian marak kepada investor. Menurut data yang ada saat ini, sudah sekitar 500 hektare tanah beralih kepemilikan yang meliputi Ambunten, Dasuk, Dapenda, Lombang, Lapa Daya, Andulang, Talango dan Kombang. Pembelian tanah ini rencananya masih akan tetap berlanjut hingga mencapai 1000 hektare[1].
Kebanyakan para investor akan menggunakan tanah tersebut sebagai industri tambak udang. Untuk memuluskan rencananya mereka mencoba memberi penawaran terhadap tanah yang diincar di atas harga rata-rata dan dengan melalui pihak ketiga. Pihak ketiga di sini adalah mereka para birokrat desa. Biasanya, mereka aktif melakukan pertemuan dengan investor di rumah kepala desa guna memuluskan rencana mereka mengkapling tanah rakyat. Setelah sepakat, para aparat desa, tak jarang bersama babinsa, ini blusukan ke masyarakat untuk merayu agar tanahnya dijual. Yang disasar terutama masyarakat yang tidak mempunyai bukti resmi bahwa mereka memang memiliki tanah tersebut. Alhasil, masyarakat pun berhasil dirayu lantaran tidak mau mengambil resiko. Masyarakat lebih memilih menjual tanahnya ketimbang dirampas ‘paksa’ melalui jalur hukum.
Sampai di titik ini, ada kecenderungan bagi investor dan pemda setempat untuk memisahkan masyarakat pesisir Sumenep dari tanah sebagai alat produksinya. Marx menyebutnya ursprünglische akkumulation atau akumulasi primitif/asali. Akumulasi primitif merupakan titik landas kapitalis sebelum melakukan aktifitas selanjutnya, yakni Akumulasi Kapital. Dijelaskan Marx bahwa tujuan dari akumulasi primitif tak lain adalah memisahkan para produsen independen, utamanya para petani, dari alat produksi mereka (tanah) melalui perampasan dan mengingkari hak-hak petani (termasuk hak-hak adat) atas tanah, sehingga kapitalis dapat memonopoli alat produksi. Dengan merampas alat produksi para petani, nelayan atau produsen berskala kecil, maka tenaga kerja mereka menjadi terbuka untuk dijual kepada kelas kapitalis dalam proses akumulasi kapital. Mereka kemungkinan segera terintegrasi ke dalam proses akumulasi kapital sebagai tenaga kerja murah, setelah kehilangan alat produksinya. Akumulasi primitif, dengan demikian adalah sebuah proses historis pembentukan kelas proletariat[2].
Senada dengan Marx, Tan Malaka menyebut tanah mempunyai peran untuk menyediakan berdijfzekerheid atau ‘kepastian bekerja’ bagi kaum kapital. Kapitalis butuh pabrik untuk beroperasi. Maka dari itu ia memerlukan tanah untuk mendirikan pabrik sebagai alat produksinya. Artinya, tanpa ada tanah, kapitalisme tidak akan dapat bekerja. Singkatnya, tanah merupakan prasyarat untuk melakukan akumulasi kapital[3]. Fenomena tersebut memang lazim dilakukan oleh investor dengan tujuan untuk melakukan eskpansi kapital. Peristiwa perampasan tanah yang dilakukan oleh kapitalis memang bukan hal yang baru. Karenanya dapat dikatakan bahwa adanya akumulasi primitif merupakan transisi awal dari proses produksi pra-kapitalis menjadi kelahiran produksi kapitalisme.
Pelan-pelan masyarakat pesisir Sumenep yang berada di dekat lokasi tambak udang investor mulai teralienasi dengan lingkungannya. Alat-alat berat yang mereka tak pernah jumpai, kini merangsek ke pesisir. Akses mereka untuk melaut pun dipersulit. Pasalnya, di pesisir kini mulai dibangun beton-beton sebagai pembatas tambak dengan yang lain, alhasil untuk melaut warga harus berjalan lebih jauh guna mencapai bibir pantai. Warga juga diliputi keresahan dengan adanya limbah tambak udang yang dibuang ke laut. Mereka khawatir limbah tersebut mengganggu ekosistem laut sehingga berdampak pada menurunnya hasil tangkapan. Di tempat lain, di desa Dasuk tepatnya, ulah investor lebih nakal lagi, yakni mereka mulai bersiap untuk menggusur lahan pekuburan warga guna dijadikan lahan pertambakan udang.
Dengan maraknya alihkepemilikan tanah kepada kaum kapitalis tersebut membuat resah kalangan masyarakat yang peduli akan pentingnya mempunyai kedaulatan tanah. Sebagai realisasinya, masyarakat Sumenep kemudian membuat aliansi bernama BATAN (Badan Ajaga Tanah Ajaga Na’potoh). Organisasi ini merupakan gabungan yang terdiri dari FNKSDA (Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam), Laskar Hijau, LPBHNU (Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum NU), LPPNU (Lembaga Pengembangan Pertanian NU), LPBINU (Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim NU), PC Ansor, Banser, KEN (Komunitas Eman Nak Poto), Kompolan Tera’ Bulan dan Perwakilan Warga dari beberapa kecamatan di kabupaten Sumenep. Adapun tujuan didirikan organisasi ini adalah untuk menggalang gerakan dan advokasi kepada masyarakat agar masyarakat tidak gampang begitu saja melepas tanahnya dengan iming-iming harga tinggi. Dengan menggunakan slogan ‘’Ajaga Tana Ajaga Na’poto’’, yang dalam bahasa indonesia berarti menjaga tanah berarti menjaga keturunan, FKNSDA aktif melakukan penyadaran kepada masyarakat betapa pentingnya mempertahankan tanah untuk kelangsungan keturunannya kelak. Sebab jika ditinjai dari segi budaya—bagi masyarakat asli Madura—khususnya Sumenep, tanah bukan sekedar alat produksi mereka untuk bermatapencaharian, lebih dari itu tanah mempunyai arti penting. Lantas seperti apa makna tanah bagi masyarakat Sumenep?
Tanah bagi masyarakat Sumenep
Makin maraknya alihfungsi kepemilikan tanah di pesisir Sumenep, mengindikasikan bahwa barangkali masyarakat sudah melupakan makna filosofis tanah yang selama ini menjadi pegangan bagi masyarakat tradisional Madura. Bagi manusia Madura, tanah adalah kekayaan yang sebenarnya, karena dengan tanahlah mereka bisa bertahan dan mengembangkan kualitas hidupnya. Ini bukanlah sekadar peristiwa ekonomi, namun juga meliputi sosial religius[4]. Tanah tidak hanya membuat seseorang bertahan hidup secara fisik, namun juga spiritual (Bambang, 2003; Wiyata, 2013)[5]. Sebagai sebuah kekayaan, tanah tidak sekadar benda mati yang diolah. Tanah adalah sebuah peristiwa hidup yang menyambungkan manusia Madura dengan asalnya. Merawat tanah tidak hanya bermakna ekologis, namun lebih dari itu tanah memiliki makna sebagai ruang (sphere) yang saling mempertautkan kehidupan saat ini dengan para leluhurnya yang telah wafat. Masyarakat lazim menyebut tanah tersebut sebagai ‘’tanah sangkolan’’ atau tanah warisan. Dalam keyakinan masyarakat, ada semacam hukum tidak tertulis yang menyebutkan bahwa tidak ada alasan untuk menjual tanah pada orang luar, karena hal itu adalah aib. Menjual tanah sangkol sama dengan menjual rumah. Oleh karenanya, ketika tanah sangkolan dialihfungsikan bahkan dijual tanpa adanya alasan yang jelas, bahkan terkesan untuk menguatkan nafsu birahi gaya hidupnya, akan mengakibatkan ’laknat’ dari sudut nilai-nilai kearifan kebudayaan Madura. Jikapun itu terpaksa dijual, maka itu harus dijual kepada sanak familinya sendiri. Suatu saat jika mampu, tanah itu akan dibeli kembali oleh pemiliknya.
Sebuah realitas masa lampau yang kini sudah dilucuti sakralitasnya, tanah sangkolan kini sepenuhnya dianggap benda yang bisa dipertukarmilikkan. Padahal dalam struktrur masyarakat tradisional, tanah bukanlah sebuah produk atau barang yang bisa semudah itu diperjualbelikan. Menurut Polanyi (1944), kekayaan alam, termasuk tanah, terikat sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial. Memperlakukan tanah sebagai sebuah barang yang diperjualbelikan akan bertentangan dengan hakekat tanah itu sendiri karena ia dipisahkan dengan ikatan sosial yang melekat padanya. Hal ini akan memicu timbulnya konfik dan guncangan yang mampu menghancurkan keberlanjutan hidup masyarakat tersebut[6].
Terancamnya relasi sosial dan keberlanjutan hidup pada akhirnya melahirkan gerakan-gerakan perlawanan dari rakyat yang secara langsung dirugikan. Fenomena tersebut barangkali sudah terbaca oleh BATAN. Melalui pengajian-pengajian kultural, mereka aktif membangun gerakan dan mengampanyekan bagaimana pentingnya merawat filosofi dan sakralitas dari ‘tanah sangkolan’. Mereka juga aktif melakukan pencerdasan ke desa-desa yang berpotensi menjadi sasaran kapling kaum kapitalis agar tidak semudah itu memperjualbelikan tanah mereka. Sedikit demi sedikit usaha mereka menemui hasil. Dengan dukungan dari Ulama setempat, pelan-pelan masyarakat mulai sadar arti penting mempertahankan tanahnya.
Akhirul Kalam, penulis mengajak masyarakat Sumenep agar turut berdoa dan berjuang bersama agar kedaulatan tanah tetap berada di tangan kita. Jangan biarkan kita menjadi budak di tanah sendiri. Jangan sampai tanah Sumenep dijajah dan dikuasai oleh kaum kapitalis.***
Penulis adalah Pimpinan Bidang Advokasi dan Opini Publik Dewan Mahasiswa Fisipol UGM, Mahasiswa Fisipol UGM, asal Sumenep
————-
[1] http://www.maduraexpose.com/ini-kata-batan-soal-ambil-alih-fungsi-tanah/
[2] Karl Marx (1990). Capital Volume I. London: Penguin Books. Narasi dari https://indoprogress.com/2011/09/penembakan-tiaka-dan-akumulasi-primitif/
[3] https://indoprogress.com/2015/11/pemikiran-agraria-tan-malaka-beberapa-catatan-awal/
[4] http://nusantaranews.co/tanah-makam-dan-manusia-madura-catatan-kebudayaan-kolomnis-khairul-umam/
[5] Abdul Latief Wiyata (2013). Mencari Madura. Jakarta. Bidik Phroonesing Book
[6] Clough, S. B., & Polanyi, K. (1944). Review of The Great Transformation. The Journal of Modern History, 16, December, 2014.