Suatu pengantar untuk panggung aksi MOP
DARI TAHUN ke tahun, momentum hari kemerdekaan indonesia selalu dirayakan begitu-begitu saja. Ya, ‘’kemerdekaan’’ tak lagi dimaknai dengan semestinya. Alih-alih melanjutkan agenda revolusi yang belum selesai, kita terlena dengan hal yang bersifat seremonial. Wacana tentang hari kemerdekaan yang berkembang di masyarakat pun tak jauh dari upacara bendera disertai perayaan yang sifatnya seremonial berupa lomba-lomba agustusan belaka. So, tak heran jika rakyat sering mengasosiasikan hari kemerdekaan tidak lebih dari semarak perlombaan agustusan. Mereka dibuat lupa bahwa tanah airnya sedang dijajah dengan cara lain. Mereka lupa bahwa bangsanya belum mencapai “Merdeka 100%”. Mereka alpa bahwa seringkali kemerdekaannya untuk bersuara sering diberangus. Mereka hanya tahu bahwa taktala mendekati tanggal 17 Agustus—yang harus mereka persiapkan ialah perlombaan serta meramaikan kampung dengan lagu-lagu nasional. Tidak lebih.
Di tataran nasional, rakyat disuguhi sirkus-sirkus oleh penguasa. Melalui tayangan televisi, rakyat diajak untuk melihat atraksi dari aparat berbaju loreng, melihat para praja baris berbaris demi sang saka, artis yang tiba-tiba menjadi patriotis sejati lantaran menyanyikan lagu nasional bertajuk konser kemerdekaan. Tidak ada yang mengajak rakyat untuk merenungi nasib bangsa—memaknai kemerdekaan di zaman edan ini, tidak ada pula yang mengajak rakyat untuk berefleksi seperti apa cara yang tepat untuk mengisi kemerdekaan yang sejatinya belum kita rengkuh 100 persen ini.
Saya tidak tahu sejak kapan momentum agustusan diidentikan dengan sirkus-sirkus semacam ini. Yang pasti memang ada perbedaan antara perayaan HUT RI dahulu dan sekarang. Saya pernah diceritakan oleh seorang veteran tua yang saya temui di warkop pinggiran kota Sumenep. Dengan nada yang sedikit terbata-bata, ia mencoba mengajak saya bernostalgia dengan perayaan hari kemerdekaan kala Sukarno masih menjabat presiden. ‘’Pas 17 Agustus, orang-orang berduyun-duyun berkumpul di Alun-alun, mereka sama-sama ingin mendengar pidato Bung Karno yang menggelegar itu walau cuma lewat radio. Pidatonya yang tegas berapi-api membuat saya bersemangat untuk membangun bangsa. Ndak ada itu dulu lomba-lombaan karung atau apa panjat pinang, ada lomba-lombaan itu pas baru pertama punya cucu’’, ungkapnya.
Tak dapat dipungkiri memang, waktu itu—Sang Pemimpin Besar Revolusi aktif menyerukan pentingnya rakyat Indonesia meneruskan cita-cita revolusi sebagai bangsa yang mandiri secara politik, berdikari secara ekonomi dan anti imperilaisme kapitalisme. Kotbah-kotbah politik semacam inilah yang sering digelorakan oleh bung Karno, lantaran ia sadar bahwa agenda revolusi kemerdekaan belum selesai, karenanya rakyat harus diajak untuk turut serta dalam agenda tersebut.
Kita tentunya bisa bersepakat bahwa ada agenda depolitisasi rakyat besar-besaran terjadi setelah berakhirnya orde lama. Barangkali hal itulah yang membuat rakyat memaknai kemerdekaan sekarang sebatas lomba-lombaan saja. Tesis sejarah yang menyatakan peradaban akan selalu bergerak progresif barangkali tak berlaku di Indonesia. Alih-alih progresif—dalam artian mampu berpikir lebih bijak dalam menyambut hari kemerdekaan Indonesia, yang ada bangsa ini semakin terninabobokkan dengan wacana yang berkembang bahwa tiada hari kemerdekaan tanpa perlombaan.
Widji Tukul pernah menulis sajak singkat tentang kemerdekaan. Bagi Thukul, ‘Kemerdekaan adalah nasi. Dimakan jadi tai’. Thukul melihat kemerdekaan hanyalah omong kosong. Lebih-lebih ungkapan kemerdekaan itu terlontar dari seorang penguasa—yang nyatanya telah merampas kemerdekaan rakyatnya sendiri. Dengan kata lain, kemerdekaan yang penguasa gelorakan di acara HUT RI tak lebih dari simbol pemanis belaka. Ia memang mengenyangkan tapi tak lama setelah itu menjadi sesuatu yang menjijikkan seperti tai. Apa yang dituliskan Thukul barangkali masih relevan dengan kondisi sekarang. Histeria kemerdekaan cukup berlangsung pada tanggal 17 Agustus saja. Setelah itu rakyat jangan diberikan banyak ruang untuk merdeka—layaknya tai yang harus segera disiram agar baunya tidak mengganggu penciuman penguasa. Tapi bagaimanapun saya percaya kelak tai-tai yang disiram itu akan kembali nongol di permukaan kakus, meskipun ia tidak seutuh kala baru keluar dari dubur.
Mari beranjak dari perihal diskusi tentang tai, karena saya sadar alih-alih Anda melanjutkan membaca tulisan ini, yang ada Anda akan jijik dan tidak bernafsu makan jika saya melanjutkan tulisan ini dengan ikhwal tai-taian. Sampai di sini, kita tentunya bersepakat bahwa ‘’kemerdekaan’’ telah tereduksi dari makna sucinya. Apalagi ditambah dengan kenyataan empirik bahwa di sekeliling kita hidup makhluk yang bernama aparat serta ormas reaksioner yang siap ‘memukul’ jika kemerdekaan berekspresi kita dirasa mengganggu stabilitas mereka—seolah kemerdekaan hanya dimonopoli mereka yang punya kuasa. Ketika kita dihadapkan dengan kondisi serupa, maka tak ada jalan lain kecuali merebutnya. Tak salah jika ada yang memandang bahwa kemerdekaan itu bukan barang murahan, ada yang sampai berlumuran darah dan mengorbankan nyawa hanya untuk merebutnya. Kemerdekaan itu harus dijaga dan terus diperjuangkan.
Oleh karena itu, guna mengisi hari kemerdekaan nanti, Departemen Manajemen Opini Publik (MOP) Dema Fisipol UGM mencoba menawarkan kegiatan yang tak biasa—yang jauh dari kesan lomba-lombaan yang umumnya digelar untuk menyambut tujuhbelasan. Kami akan menggelar panggung aksi yang bertajuk ‘’Manusia Merdeka?’’ Di situ MOP akan mengajak kawan-kawan semua untuk aktif memaknai ulang kemerdekaan indonesia. Jika kata ‘’kemerdekaan’’ merupakan penanda kosong, kami mengharap kawan-kawan senantiasa saling mengisi satu sama lain kekosongan tersebut. Saya tidak memungkiri kalau tentunya tiap individu punya pandangan yang beragam dalam memaknai ‘’kemerdekaan’’ itu sendiri. Akan jadi menarik taktala tiap individu memaknai kemerdekaan dengan bermacam ekspresi. Maka jangan ragu untuk datang ke Taman Sansiro Fisipol pada hari rabu 23 Agustus 2016 pukul 15.00 WIB. Di sana Anda boleh berefleksi apakah kita telah mencapai merdeka 100 persen atau belum. Di sana Anda bebas berpolemik bagaimana seharusnya kita mengisi agenda kemerdekaan yang belum usai ini. Datanglah, bawa seluruh ekspresimu tentang kemerdekaan. Sampaikan pada dunia. Tak usah khawatir kau dibungkam. Karena ini kampus bukan penjara.
Penulis adalah Pimpinan Bidang Advokasi dan Opini Publik Dewan Mahasiswa Fisipol, UGM