BERITA tentang adanya produk kuliner “Bikini” (Bihun Kekinian) dengan tagline “Remas Aku”, mendapat perlawanan dari publik. Produk jajanan olahan dari Bandung ini menghebohkan narasi publik karena penggunaan nama dan tagline-nya terkesan porno. Beberapa daerah di Indonesia, melalui institusi formal, menarik produk ini dari peredaran pasar. Mencermati kasus ini, saya tidak akan melihatnya dalam kerangka normatifitas, melihat sesuatu sebagai baik/tidak baik, namun akan lebih cenderung melihat pada bagaimana korporasi bisnis saat ini rupa-rupanya menginternalisasi wacana seks dan seksualitas dalam manajemen marketing.
Pertama, kita mulai pada persoalan marketing. Istilah marketing secara terminologi berawal pada kata “market” yang berarti pasar. Aktivitas marketing mengandaikan persoalan komunikasi antara subjek, yakni para pemiliki korporasi bisnis (kapitalis) dan objek, yakni mereka yang berada pada lingkaran pasar (konsumen). Proses marketing mengandaikan suatu pola komunikasi yang komunikatif. Komunikasi yang komunikatif berawal dari strategi marketing yang ditempuh.
Ia (kapitalis) melalui proses marketing berupaya untuk meningkatkan nilai guna dan nilai jual sekaligus ke-diterima-an di hadapan publik. Ia memengaruhi sekaligus (bisa jadi) mengubah perilaku.
Dalam proses marketing, para pemilik korporasi bisnis memberikan suatu segmentasi (pemilahan) terhadap target pasar: pada siapakah produk ini akan ditawarkan. Hal ini mengisyaratkan proses seleksi terhadap konsumen melalui beberapa pertimbangan rasional. Kedua tentang pada kelas pasar, pada siapakah “jualannya” ini akan dituju. Tidak akan menjadi mungkin jika (misalnya) para pelaku bisnis menjajakan berlian mewah di hadapan kalangan masyarakat yang tidak memiliki uang berlimpah.
Berikutnya, dalam persoalan strategi marketing, para pelaku bisnis juga harus melihat faktor faktor yang memengaruhi, diantaranya: faktor regulasi, ekonomi, politik, situasi kompetitif, sosial dan teknologi.
Para kapitalis dituntut untuk melihat secara jeli struktur dan dinamika kelompok, termasuk tingkah laku (behavior), kepercayaan (believe), psikologi massa hingga gaya hidup (lifestyle). Melalui strategi marketing, kembali lagi pada tujuan awal, bagaimana proses penciptaan identitas produk oleh para kapitalis ini diterima dengan baik dan cepat oleh konsumen. Tidak hanya melalui pertimbangan rasional, tapi juga pada pertimbangan psikologis. Proses branding sebuah barang harus memberikan sebuah impact secara psikologis terhadap publik. Usaha untuk memberikan suatu proses kediterimaan di hadapan publik membuat para kapitalis berlomba-lomba dalam menciptakan kampanye produk semenarik mungkin.
Ada apa dengan Bikini?
Kehebohan publik dalam narasi seksualitas kapitalisme industrial tercermin dalam produk “Bikini”. Kehebohannya muncul di dunia maya setidaknya beberapa hari yang lalu. Produk jajanan olahan asal Bandung ini tengah dikejar oleh institusi formal. Jelas, karena pengunaan label “Bikini” ini dinilai bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat yang mengedepankan etika sebagi poin penilaian utama. Bikini dianggap sebagai pornografi. Tampilan kemasan wanita yang hanya menggunakan bikini sekaligus tagline “Remas Aku” di bawahnya semakin memperkuat identitasnya sebagai produk yang berbau pornografi. Selain itu, ia juga dianggap cacat prosedur. Label halal yang dicantumkan bukanlah label yang berasal dari BPOM maupun institusi terkait lainnya.
Sebenarnya penggunaan nama Bikini ini merupakan singkatan dari Bihun Kekinian. Ia adalah jajanan ringan yang terbuat dari mie dan tersedia berbagai varian rasa: jagung bakar, pedas, balado steak dan pizza. Produk ini hanya diperjualbelikan secara online. Namun sepertinya pihak marketing melihat bahwa dengan penggunaan label “Bikini” sebagai nama adalah bagian dari strategi marketing yang akan mempercepat pengenalan publik. Meskipun banyak kalangan yang menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang asusila, namun secara psikologis ia masuk secara dalam di hadapan rasio. Dengan kemasan yang bergambar wanita ber-bikini, nama “Bikini” dan tagline Remas Aku, sepertinya pihak manajemen berusaha untuk merangkul semua elemen pasar. Mengapa? Karena menurut penulis, di zaman teknologi informasi dimana semua orang bebas berselancar di dunia maya, sepertinya narasi tentang seksualitas bukan lagi sesuatu yang bersifat privat. Ia dapat diakses dan dikonsumsi oleh siapapun!
Seksualitas: Sebuah Kerangka Sejarah
Narasi seks dan seksualitas pernah diungkapkan oleh Michel Foucault melalui tiga jilid bukunya “History of Sexuality”. Seks dalam pengertian Foucault dimaknai sebagai praktik pelepasan hasrat atau birahi seksual (Kali, 2013). Sedangkan seksualitas dipahami sebagai hubungan-hubungan kekuasaan yang mencoba mengatur seksual (Kali, 2013). Dalam triloginya ini, Foucault hendak menelisik sejarah seksualitas sekaligus pada hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan. Foucault memulai sejarah ini pada zaman Romawi Kuno dan mengakhirinya pada era posmodern.
Pada zaman Romawi Kuno, karena etika menempati nilai tertinggi dalam benak masyarakat saat itu, maka kekuasaan terhadap narasi seksualitas ada pada diri pribadi. Tercermin pada istilah yang ada pada saat itu, Epimeleia Heautou yang berarti kewaspadaan seseorang akan penjagaan diri sendiri. Dalam artian ini, subjek mampu memproduksi kebenaran akan sebuah wacana seksualitas. Berikutnya, pada Zaman Pertengahan, karena kontrol institusi gereja sangat represif, maka kekuasaan terhadap narasi seksualitas ada pada gereja. Tidak ada kebenaran seksualitas secara individual. Artinya, individu tidak memiliki kuasa atas wacana. Runtuhnya Abad Pertengahan yang digantikan dengan rasionalitas dan sains yang menandakan munculnya zaman modern mengakibatkan transisi kekuasaan atas wacana seksualitas. Wacana seksualitas masih bukan lagi milik otonomi pribadi, namun ia berpindah subjek; dari yang sebelumnya ada pada institusi teologis, kini berpindah pada institusi medis. Hanya para dokter, psikiatri, rumah sakit dan sebagainya lah yang memiliki kuasa atas wacana seksualitas.
Kegagalan peradaban seperti yang dijanjikan oleh modernisme yang berlandaskan pada rasionalitas dan sains, membuat sebagian ahli menganggap saat ini sebagai era postmodernisme/posfordisme. Kondisi postmodernisme ditandai dengan semaraknya penjajaan tubuh dan komersialisasi seks dalam sistem kapitalisme dan media massa (Kali, 2013). Kalau tadinya logika kapitalisme adalah berpijak pada produksi kebutuhan sebanyak-banyaknya dengan biaya produksi serendah mungkin, kini logika itu telah bergeser menjadi “menciptakan kebutuhan melalui penciptaan citra” oleh biro-biro iklan (Kali, 2013). Sensualitas tubuh perempuan diinternalisir ke dalam tanda-tanda (signifier). Tubuh perempuan yang ditelanjangi melalui ribuan variasi sikap, gaya penampilan dan kepribadian membangun dan menaturalisasikan tubuhnya secara sosial dan kultural sebagai objek fetish, yaitu objek yang dipuja sekaligus dilecehkan karena dianggap memiliki kekuatan pesona (rangsangan, hasrat, citra) tertentu (Kali, 2013). Singkat kata, media massa saat ini berfungsi sebagai kaki tangan baru kapitalisme; termasuk menginternalisir seksualitas dalam media massa.
Penutup
Melalui kasus jajanan Bikini ini terlihat jelas suatu potret bahwa kapitalisme terus menerus menyesuaikan diri dengan kondisi sosialnya. Ia senantiasa berproduksi dan mereproduksi kebutuhan publik melalui penyesuaian terhadap strategi marketing. Namun sayangnya, strategi marketing yang dijalankan oleh manajemen Bikini ini dinilai bertentangan dengan standar nilai dan norma yang berlaku di masyarakat (Indonesia). Pertanyaanya kemudian: jika melalui internalisasi seksualitas ke dalam strategi marketing Bikini gagal mendapatkan penerimaan dalam masyarakat (Indonesia), melalui jalan apalagi ia (kapitalisme) kemudian menyesuaikan diri?***
Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Sosiologi sekaligus Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Universitas Jember. Untuk kritik dan saran dapat menghubungi via email: agushendrosetiawan69@yahoo.com.