Semakin dekat seseorang pada kursi kekuasaan, semakin jauhlah ia dari Tuhan: semakin banyak jumlah pengikut yang dimilikinya, semakin jahatlah ia; semakin banyak kekayaan yang dipunyainya, semakin ketat pulalah perhitungannya’ (Rasullah SAW)
Kekasihku Rasulullah SAW, mewariskan aku untuk mencintai orang miskin dan bergaul akrab dengan mereka (Abu Dzar-sahabat)
Assalamu’alaikum Wr Wb
KUTULIS surat ini setelah risau dengan pandangan serta sikapmu. Mudah untuk mengutuk, gampang untuk berprasangka, dan tak sederhana dalam hidup. Di tayangan kulihat ceramahmu yang indah, tapi kadang kulihat peranmu dalam iklan. Bingung aku mana yang harus dipatuhi: nasehatmu atau produk yang kamu iklankan. Juga aku tulis surat ini setelah membaca banyak biografi ulama yang pendapatnya kadang jadi sandaran sikapmu. Mereka yang hidup dengan berkalang kesederhanaan dan tak gampang bersekutu dengan penguasa. Hidup mereka seperti sebuah tauladan yang mustinya kalian tiru. Sebab bukan sekedar pandangan mereka atas berbagai hal tapi sikap hidup mereka layak jadi contoh. Siapa tahu kalian lupa dari mana pengetahuan yang didapat dan kutipan pandangan siapa yang sebenarnya sering kalian rujuk. Ini bukan sindiran maupun kritik tapi siraman ruhani yang layak untuk kalian dengar.
Karena selama ini kami yang harus mendengar pandangan kalian. Saat kalian kutip ayat, kami tak mudah untuk membantah. Sewaktu kalian terangkan hadis, juga tak gampang kami debat. Meski tak jauh amat ilmu yang kami miliki dengan apa yang kalian ketahui tapi di atas sebuah organisasi yang kokoh kami berada pada posisi yang tak seberapa. Terutama jika kalian duduk sebagai pimpinan ormas agama kami tentu tak mudah untuk menyanggah. Tiap sanggahan bukan hanya mempertanyakan kalian melainkan juga bisa dianggap menghina organisasi agama yang kalian pimpin. Sudah banyak contoh nasib mereka yang jadi korban karena perbedaan pandangan. Mulai dari pemukulan hingga fatwa mati bisa dialamatkan di hadapan kami. Maka kami kadang harus duduk berdiam diri untuk menunggu kapan saat yang tepat bisa memberitahu kalian. Maka saatnya bagi kami untuk ganti memberi pandangan. Satu pandangan yang bermula dari bacaan kami atas biografi para ulama dan tokoh agama.
Bisa kalian dengar tapi juga bisa kalian bantah. Tak mengapa karena hidup dalam payung demokrasi membuat tiap orang bisa punya pandangan berbeda. Tapi kalau itu bersangkut paut dengan tauladan hidup, rasanya kita tak bisa berbantah-bantahan. Mana pula kita akan membantah kalau Rasulullah SAW itu menyukai kehidupan yang miskin dan selalu berusaha hidup seperti mereka. Soal kalian hidup berlimpah dengan tanah dan mobil di mana-mana biarlah itu nanti jadi urusan di pengadilan akhir. Begitu pula susah kita bantah kalau Nabi Muhammad itu sabar dan tak mudah emosi meski ditanggapi dakwahnya dengan hinaan. Jika kalian mudah marah, emosi bahkan kesal dengan lapisan yang dianggap kafir atau sesat, biarlah itu jadi urusan kalian dengan Allah. Singkatnya tiap riwayat hidup nabi yang indah itu: kita selalu percaya dan soal itu diamalkan atau tidak sepenuhnya tergantung pada kebebasan pribadi. Walau kadang aku sering bertanya meniru dari mana sikapmu yang selalu meremehkan orang lain, mengutuk yang berbeda dan bahkan menghina mereka yang tak sama.
Karena tak ada ajaran agama yang menyuruh kita untuk bersikap keras lagi benci. Terlebih di bulan suci, hampir-hampir kita dilarang untuk mengutuk. Rasulullah sendiri bersabda: ‘Jika kalian sedang berpuasa, jangan berbuat kotor dan membentak. Jika dimaki atau diajak berkelahi, katakanlah: ‘Aku sedang puasa’. Maka Islam betul-betul memperingatkan ummatnya untuk tidak berbuat kasar, tercela apalagi menghina orang lain. Akhlak sosial ini didahulukan karena itu cermin ajaran: diamalkan agama ini ketika berhubungan dengan orang lain dan saat hadapi sikap orang yang berbeda. Maka timbangan paling berat di hari akhir kelak amat ditentukan oleh akhlak yang baik: Mukmin yang paling sempurna imanya adalah yang paling baik akhlaknya, begitu sabda Nabi. Jika kini muncul ulama yang kerjanya prasangka melulu kita patut curiga. Seenaknya menuduh kafir hanya karena beda pandangan atau mengatakan komunis hanya karena sikap kritis tentu bukan wujud akhlak mulia.
Sebab tak ada ulama yang bersikap seperti itu. Mari kuajak dirimu mengenal seorang yang mulia. Namanya agung hingga hari ini: Imam Abu Hanifah. Ahli hukum yang terkemuka yang mata pencarianya berdagang. Dikisahkan satu saat sang Imam diintimidasi oleh preman upahan penguasa. Tugas preman itu mengejek sang Imam. Diejek kemanapun Imam itu berada: di kelas, di jalanan hingga dimanapun Imam tinggal. Tentu muridnya marah dan akan memukuli si preman. Tapi Imam Abu Hanifah melarangnya. Hingga ketika Imam Abu Hanifah diejek sampai tangga rumah maka dirinya berkata pada si preman yang terus mengekornya: ‘Saudara, saya akan masuk rumah saya. Engkau tidak ikut masuk ke dalam. Karena itu, silahkan hina saya sepuas hatimu, sebelum saya melangkah masuk’. Sikap Imam Abu Hanifah ini bukan sekedar menunjukkan toleransi tapi keunggulan manusia yang dinamai ulama. Tak mudah emosi dan tak membalas kejelekan dengan hal yang sepadan. Hingga hari ini tak ada ulama yang tak merujuk pandanganya dan tak satupun yang tak hormat padanya.
Suatu hari Imam Abu Hanifah punya tetangga pemabuk. Tiap hari kerjaanya hanya mabuk dan teriak. Tetangganya sudah bosan dengan perangainya yang kotor itu. Dilaporkan ke Polisi lalu ditangkaplah sang pemabuk itu. Kala itu Imam Abu Hanifah tak tahu adanya penangkapan. Dirinya diberitahu setelah bertanya ke tetangganya kemana orang yang suka teriak itu. Diberitahulah sang Imam kalau si pemabuk masuk penjara. Hebatnya sang Imam datang ke kantor Polisi minta agar si pemabuk dibebaskan. Polisi heran, bingung dan mau tak mau harus memenuhi. Terutama setelah sang Imam menjamin dirinya sendiri. Lebih heran lagi si pemabuk yang bertanya: ngapain belain aku habis-habisan? Sang Imam tersenyum sambil menjawab: ‘Saudaraku aku tak ingin kehilangan engkau dengan cara apa pun dan apa saja’. Imam Abu Hanifah mau menunjukkan pada preman kalau agama itu melindungi dan membela. Melindungi ummatnya yang lemah dan membela ummatnya yang khilaf. Imam Abu Hanifah memberi tauladan sikap seorang ulama: menyentuh, membimbing dan menjadi perisai.
Baginya seorang alim adalah mereka yang mengamalkan agama dengan cinta dan melayani. Mencintai manusia siapapun itu. Dan melayani manusia apapun kedudukannya. Maka tak habis pikir aku jika ada ulama yang kegiatannya hanya mengutuk, menghakimi dan merasa benar sendiri. Seolah pandangannya saja yang benar dan jika dikritik dengan gampang murka. Padahal Rasulullah sendiri memberitahu: seorang mukmin ialah orang yang mendatangkan rasa aman kepada orang lain dalam hartanya dan dalam (kehormatan dan kehidupan) dirinya’. Ingat Nabi terang-terangan berkata “mendatangkan rasa aman”. Bukan hanya itu Nabi malah bertanya, ‘tahukah kalian apa yang disebut muslim? Seorang Islam ialah orang yang seluruh manusia tidak pernah diganggu lidah dan tangannya. Sudah jelas bukan: menjadi Islam itu bukan dengan mengancam tapi menahan diri dari tindakan yang merugikan orang lain. Ini pasti nasehat yang sudah kalian hapal tapi sulit untuk diamalkan.
Meski itu bukan berarti Islam agama yang berdiam diri pada situasi. Para ulama memberi tauladan tentang keberanian. Melawan segala bentuk kekuasaan yang kotor, mewah dan menindas. Tak ingatkah kalian dengan sikap Abu Dzar yang mengkritik kekayaan Ustman, sahabat dan menantu Rasulullah sendiri. Di tangan sahabat radikal ini Islam tampil dalam wajah yang progresif: mengutuk tiap bentuk kekayaan yang dihasilkan dari pemerasan maupun dari cara yang halal. Pemerasan akan membuat kekayaan itu bagai sebuah perampokan dan perolehan yang halal membuat kekayaan itu jadi tampak berlebih-lebihan. Maka hampir semua ulama hidup berkalang dengan kesederhanaan dan karenanya mereka menolak semua bentuk penyuapan. Imam Malik salah satunya: dicambuk berulang kali karena mengkritik Gubernur Madina ketika itu. Bahkan tradisi penguasa saat itu jika ditemui dicium tanganya oleh Imam Malik ditentang keras. Meski hidupnya miskin tapi dirinya tak mau dikasihani: Khalifah pernah kirimkan uang perjalanan tapi ditolaknya mentah-mentah.
Menolak jabatan hampir jadi tradisi para ulama. Meski itu berarti dirinya menanggung hukuman. Imam Abu Hanifah menolak saat ditawari menjabat hakim agung. Penguasa marah lalu dengan teriak berkata: ‘Engkau pembohong!” Imam membalas: ‘Tuan telah menyokong pendirianku: seorang pembohong tidaklah cocok untuk jabatan seorang hakim’ Penguasa malu dan bersumpah kalau Imam Abu Hanifah harus terima jabatan jadi hakim. Imam membalas dengan sumpah serupa untuk tidak akan menerimanya. Seorang pembesar istana dengan cerdik berkata: ‘Abu Hanifah, Anda sudah bersumpah setia pada Amirul Mu’minin’. Imam menjawab dengan lugas: ‘Lebih mudah lagi bagi Khalifah untuk mengubah sumpahnya.[1]’ Dialog keras, tajam dan berakhir dengan pemenjaraan itu menunjukkan wajah ulama seungguhnya: tegas berhadapan dengan penguasa dan tak mudah dibujuk untuk menduduki jabatan.
Kukutip kisah ini tidak untuk meneguhkan pendapatku tapi mengingatkan posisimu. Bahwa sebutan ustadz itu bukan hanya berarti orang yang berilmu dan mahir ceramah saja. Tapi sosok yang bisa menempatkan diri di tengah kondisi. Sikapnya dialiri oleh pemahaman atas agama yang melindungi, mencintai sekaligus melayani sesama. Itu sebabnya hatinya tak mudah murka berhadapan dengan rakyat jelata. Bagi mereka rakyat adalah himpunan manusia awam yang butuh dibela posisinya, dilindungi jika dianiaya dan dihormati pandanganya. Tapi pada penguasa dan orang kaya sikapnya terang: mengingatkan jika keliru, mengkritik kalau ada yang salah dan tak mau menghormatinya secara berlebihan. Inilah kehormatan yang sebaiknya ada di dalam diri kalian. Sebab jika sikap itu tak ditunaikan maka agama ini akan kehilangan martabat dan kehormatanya. Situasi yang dulu pernah terjadi ketika Halagu, utusan Mongol, mengobrak-abrik kekuasaan Islam di mana-mana. Penguasa yang berhasil menusuk jantung kekuasaan Islam di awal abad ke-13: saat mana penguasa Islam hidup berkalang dengan kerakusan, saling benci dan bersikap tamak.
Kala itu Halagu mengirim surat yang penuh sindiran. Surat itu terasa relevan karena memuat kritik yang tepat dan jelas: ‘Hai orang muslim, semua doa yang menantang kami tidak lagi akan didengar, karena kalian telah memakan makanan terlarang dan tutur kata kalian sangatlah kotor. Kalian telah mengkhianati sumpah dan janji. Pelanggaran dan kecengengan merajalela di antara kalian. Ketahuilah kalian akan menanggung malu dan dihinakan. Kalian akan kami perangi dan kalian akan menanggung penderitaan yang sangat mengerikan. Kalian harus meninggalkan tanah kalian’.[2]
Halagu tahu ketika agama telah dikhianati oleh penguasa dan ulamanya maka ajarannya mudah disalah-gunakan. Dimanfaatkan untuk kepentingan nista: mengharumkan nama ustadznya tanpa mampu membuktikan kekuatan ajaranya. Masak kita tak mampu menghadirkan keadilan padahal itu inti sebuah ajaran? Sama halnya kita mendiamkan kesenjangan padahal itu dikutuk oleh Tuhan. Tidakkah kalian malu punya tanah dan kekayaan di mana-mana sementara ada banyak orang miskin di sana-sini? Bisakah kalian berdiam diri pada kenyataan masa lalu dimana bangsa ini pernah membunuh, membuang dan mengasingkan jutaan orang yang tak bersalah? Tegakah kalian bersekutu dengan orang-orang yang tanganya dulu pernah bersimbah darah karena membunuh sesama kita dan tak punya jasa sama sekali dalam mengharumkan agama? Tak pernahkah kalian malu di hadapan Tuhan melihat nilai agama disalah-gunakan untuk membenci, memukul dan menganiaya yang berbeda? Sungguh jika boleh aku bertanya, perintah Tuhan mana yang kalian ingin amalkan? Membela yang miskin, melindungi yang tertindas atau memihak yang lemah?
Halagu mengingatkan kita hari ini: kedudukan agama yang populer tapi tak populis. Semangat agama yang memuja kesucian ketimbang membela yang ditindas. Maka wajar jika ada yang bertanya: apa yang kalian perbuat ketika menyaksikan penggusuran, dimana rakyat disita tanahnya dan diratakan rumahnya? Mana seruan kalian ketika rakyat penolak tambang dibunuh oleh preman utusan pejabat? Tidakkah kalian tergerak untuk protes ketika harga kebutuhan pokok melejit, saat biaya sekolah selangit atau saat diskusi wujud kegiatan pengetahuan dibubarkan dengan suara takbir? Jika kalian berdiam diri atas itu semua, bahkan bersekongkol dengan para pejabat yang dalam sejarahnya telah melakukan kejahatan kemanusiaan: aku kuatir apa yang dicemaskan oleh Rasulullah SAW sudah terjadi: ‘Akan datang suatu zaman atas manusia. Perut-perut mereka menjadi Tuhan-Tuhan mereka…kehormatan mereka terletak pada kekayaan mereka. Tak tersisa Iman sedikitpun kecuali namanya saja…masjid mereka makmur dan damai tapi hati mereka kosong. Ulama-ulama mereka menjadi makhluk paling buruk di permukaan bumi. Kalau terjadi zaman seperti itu, Allah akan menyiksa dan menimpakan bencana: kekeringan masa dan kekejaman para pejabat serta pengambil keputusan (Rasulullah SAW)[3]
Semoga surat ini bisa membuka hatiku dan hatimu di bulan suci ini. Moga saja surat ini bisa mengingatkan aku dan mengingatkanmu juga. Semoga Allah menuntunku dan menuntunmu.
Wassalam.***
Penulis adalah pegiat di Social Movement Institute
————–
[1] Lih Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka Firdaus, 1996
[2] Lih Akbar S Ahmed, Nunding Ram dan Ramli Yakub: Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, Penerbit Airlangga, 1992
[3] Lih Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi, Rosdakarya, 1991