Foto: Oby Kogoya, salah satu mahasiswa Papua di Yogyakarta yang diciduk pada 15 Juli lalu. Diambil dari www.benesia.com
UNTUK kesekian kalinya, kita kembali menyaksikan bagaimana rasisme berlangsung secara telanjang di ujung hidung kita. Kali ini, rasisme itu menimpa sekelompok mahasiswa asal Papua yang tinggal di Yogyakarta. Para mahasiswa itu, bukan saja dilarang untuk menyampaikan aspirasinya secara damai, tapi juga dihina dan dilecehkan dengan tindakan dan ungkapan-ungkapan yang bersifat rasis. Teriakan dan umpatan kata-kata rasis seperti babi, anjing, monyet terlontar bertalu-talu.
Teriakan-teriakan rasis itu mengingatkan saya pada umpatan kolonial Belanda terhadap orang Jawa yang dianggapnya sederajat dengan anjing. Pada masa kolonial itu, misalnya di Societeit Concordia di Bandoeng atau di De Simpangsche Societeit di Surabaya, selalu terpampang plang bertuliskan “Verboden voor honden en Inlander” (Di larang masuk bagi anjing dan pribumi). Para pejuang kemerdekaan kala itu tersinggung harga dirinya ketika disamakan dengan anjing oleh penjajah Belanda. Mereka marah dan kemudian bertekad untuk merdeka dengan resiko apapun. Dengan merdeka orang Indonesia bisa duduk setara dan berdiri sejajar dengan orang Belanda.
Kini aparat negara dan begundal-begundal sipilnya itu telah menempatkan rakyat Papua setara anjing. Mereka mendaur-ulang perilaku kolonial Belanda, tapi menyangkal keras jika mereka telah menjajah bangsa Papua. Sementara bagi rakyat Papua, sikap rasis aparat negara dan begundal-begundal sipilnya itu semakin mempertebal iman mereka untuk merdeka dari penjajahan Indonesia. Kini mereka menyerap dengan penuh keteguhan sikap politik yang ditunjukkan oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia dahulu: Papua harus merdeka, apapun taruhannya. Dengan merdeka orang Papua bisa duduk setara dan berdiri sejajar dengan orang Indonesia.
Rasisme memang bisa menjadi sumber mata air perlawanan bangsa terjajah melawan si penjajah. Tapi di saat yang sama rasisme juga bisa menutupi dan mengaburkan akar persoalan yang sesungguhnya terjadi antara si penjajah dan si terjajah. Ini karena rasisme bergerak di atas permukaan, sesuatu yang bisa dicerap oleh panca indera kita, yang bersifat fisikal. Itu karena rasisme mendasarkan legitimasinya pada perbedaan warna kulit, etnis, bahasa, status sosial, dan juga keyakinan beragama. Dalam kasus Papua, rasisme itu jelas terjadi karena hal-hal yang bersifat fisikal ini: karena warna kulit dan rambut yang berbeda, karena cara berpakaian yang berbeda, dan cara bertingkah-laku yang berbeda.
Karena rasisme itu bersifat permukaan dan fisikal maka identifikasi kawan dan lawan, penjajah dan terjajah menjadi lebih mudah. Di masa kolonial, penjajah itu dengan mudah ditandai: berkulit putih, tinggi besar, dan berbahasa Belanda. Sementara si terjajah berkulit sawo matang, bertubuh mungil, dan berbahasa Jawa atau melayu. Karena musuhnya jelas maka propaganda dan mobilisasi massa untuk melakukan perlawan lebih mudah dilakukan. Tetapi jika perlawanan terhadap penjajahan hanya bertolak atas dasar rasisme yang ditunjukkan oleh si penjajah, maka kita pasti gagal mengidentifikasi apa sebenarnya motif utama di balik penjajahan itu. Bahkan ketika kita telah merdeka, kita tidak pernah bisa benar-benar terbebas dari prasangka-prasangka dan praktik-praktik rasial seperti yang dilakukan oleh penjajah itu. Inilah yang kini terjadi terhadap rakyat Papua.
Karena itu, untuk melawan rasisme kita mesti mengetahui apa akar sebab dari ideologi rasis itu. Dengan mengetahui akar sebabnya, maka kita bisa mengerti mengapa ideologi dan praktik rasisme ini harus dilawan “sekuat-sekuatnya dan sehormat-hormatnya.”
Sejarah kolonisasi bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa non-Eropa (Amerika, Asia, Australia, dan Afrika), tidak pertama-tama didasarkan oleh motif rasial. Kala itu, pengetahuan orang Eropa terhadap penduduk non-Eropa masih sangat minim. Motif pertama dan utama penjajahan dan kolonilasi adalah untuk mencari sumber-sumber kekayaan ekonomi dan kemudian mengakumulasinya. Untuk menjaga agar proses akumulasi itu berjalan tanpa gangguan maka dibangunlah kekuatan politik dan militer di daerah-daerah jajahan. Melalui supremasi politik dan militer ini rakyat jajahan ditaklukkan dan diperbudak dengan cara-cara kekerasan. Di sisi koin yang sama, penguasa kolonial juga memproduksi bahan-bahan bacaan dan produk-produk kultural lainnya untuk menunjukkan bahwa mereka secara kodrati memang lebih superior dari rakyat jajahannya. Sementara kepada rakyat jajahannya ditanamkan sikap inferioritas atau minder: kalian terbelakang karena bodoh, penyakitan, pemalas, cepat puas dengan kondisi yang sudah ada, tergantung pada apa maunya pemimpin, suka bertengkar dengan sesamanya, dsb, dsb. Bahkan mereka berteori bahwa secara genetika orang Eropa yang berkulit putih itu memang lebih unggul dari ras lainnya di muka bumi ini. Melalui dua modus operandi ini, kolonisasi dilakukan dengan secara sistematis.
Kita lihat, penindasan politik-militer dan rasisme adalah produk ikutan dari kepentingan untuk akumulasi kekayaan ekonomi. Dengan kata lain, penindasan politik-militer dan rasisme sekadar baju pelindung dari penindasan ekonomi. Semakin kuat sang penjajah melakukan penindasan politik-militer dan rasisme, semakin tampak bahwa ada kepentingan ekonomi di belakangnya. Tentara Indonesia tidak akan pergi bertarung nyawa demi “NKRI Harga Mati” di Papua jika daerah itu kering kerontang dan miskin sumberdaya alam. Karena itu, tidak heran jika perlawanan kaum terjajah terhadap sang penjajah pertama-tama mengambil bentuk perlawanan politik-militer dan anti rasisme. Untuk merdeka, baju ini harus dirobek-robek terlebih dahulu. Dengan merdeka, kita menjadi bangsa yang bebas, yang berdaulat untuk menentukan nasib kita sendiri.
Tetapi, baju yang kita sobek itu hanyalah sebuah proklamasi, hanyalah sebuah penyataan. Ia adalah titik awal, bukan titik akhir. Jika kita menempatkannya sebagai titik akhir, maka proklamasi itu hanya berhenti sebagai simbol, sebagai perayaan tahunan yang kosong makna, hanya sekadar ganti baju. Seperti yang dilakukan aparat negara kita dan begundal-begundal sipilnya saat ini.
Itulah sebabnya, perlawanan kita terhadap rasisme atas bangsa Papua secara khusus dan kelompok-kelompok minoritas lainnya secara umum, sebagai sebuah wujud solidaritas, harus dilakukan seteguh-teguhnya dan semilitan-militannya. Hanya dengan melawan praktik-praktik rasisme ini maka kita bisa membuka selubung utama penindasan ekonomi dan kemudian membebaskan diri dari penindasan itu.***