Andai Suharto Jadi Pahlawan Nasional

Print Friendly, PDF & Email

“MENGINSTRUKSIKAN kepada ketua umum DPP Golkar terpilih untuk memperjuangkan Jenderal Besar Purnawirawan Suharto sebagai pahlawan nasional,” ujar Nurdin Halid selaku Ketua Sidang Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) partai beringin tersebut.

Sebagaimana dikutip dan terkonfirmasi dari berbagai situs berita online, pernyataan tersebut dilontarkan sebagai salah satu dari serangkaian keputusan sidang paripurna musyawarah nasional luar biasa (munaslub) Partai Golkar‎ di Bali Nusa Dua Convention Center, Senin 16 Mei 2016 lalu.

Suharto, dalam benak saya semasa kecil, adalah seorang Presiden Republik Indonesia. Berkuasa penuh atas negeri ini. Yang saya juga ingat ada wajah senyumnya di gambar uang kertas pecahan lima puluh ribuan bergelar “Bapak Pembangunan Indonesia”. Ya, bapak pembangunan bangsa yang banyak mengubah wajah Indonesia, terhitung sejak ia menggantikan Presiden Soekarno pada 1967 hingga dilengserkan pada 1998 lalu. Dalam rentang itulah, 32 tahun, segala pembangunan yang dimaksud dalam gelarnya di uang kertas rupiah pecahan lima puluh ribu itu.

Wacana pemberian gelar pahlawan kepada Suharto tahun ini, memang bukan yang pertama kali diusulkan. Bahkan hampir tiap tahun suara-suara pengusulan gelar kepahlawanan bagi Suharto terasa tak pernah padam. Tentu mereka punya alasan bahwa Suharto, dengan masa kepemimpinan diktator selama 32 tahun itu, telah banyak mengubah wajah dan kontur ekonomi politik dan sosial budaya Indonesia ke arah yang lebih baik.

Melihat syarat-syarat seseorang mendapat gelar kepahlawanan, harus memenuhi syarat umum dan syarat khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 25 dan Pasal 26 UU No. 20/2009. Dalam pasal-pasal itu, baik yang termuat dalam pasal umum dan khusus, hampir tidak ada butir-butir yang menyebabkan gagalnya seorang Suharto menyandang gelar kepahlawanan nasional. Lalu apakah berarti memang sudah seharusnya Suharto layak menjadi pahlawan dan menuduh pihak-pihak yang berkeberatan atau menolak itu sebagai orang yang tidak suka?

Tentu tidak berimbang melihat sosok Suharto hanya dari sudut positif terkait alasannya layak mendapat gelar pahlawan. Hal yang lebih besar dan patut menjadi pertimbangan seluruh rakyat Indonesia adalah kemurahan tangannya dalam menyiksa dan menghabisi rakyatnya sendiri. Mulai dari jalan darah menuju jabatan Presiden Republik Indonesia, hingga selama ia menjadi seorang diktator selama 32 tahun lamanya.

Berbagai kasus pelanggaran HAM semasa ia berkuasa baiknya menjadi alasan kuat mengapa ada pihak yang berkeberatan. Tragedi 65 yang menewaskan ratusan ribu hingga jutaan rakyat sendiri menjadi pembuka jalan darah menuju rezim kekuasaannya. Ada lagi tragedi Tanjung Priok, Talangsari, Marsinah, Perang melawan Timor Leste, sampai ke Tragedi 1998, yang notabene sedang menurunkan dirinya dari kekuasaan selama 32 tahun itu. Parahnya, semua kasus ini belum tuntas secara hukum.

Belum lagi soal arah dan kualitas ‘pembangunan’ yang dibangga-banggakan oleh para pengikutnya itu. Sebagai penyandang “Bapak Pembangunan Indonesia” perlu dipertanyakan dan dievaluasi pembangunan ke arah yang bagaimanakah sebenarnya yang dicanangkan Suharto selama 32 tahun? Bagaimana dengan kehadiran Freeport di tanah Papua yang perjanjian kontraknya dimulai semasa rezim Orde Baru Suharto berkuasa? Belum lagi kerugian penderitaan dan kehilangan banyak nyawa bagi bangsa Papua karena militerisme meningkat tajam seiring dengan adanya Freeport.

Masalah korupsi, ini juga menjadi salah satu yang diusung para aktivis dalam melengserkan Suharto. Coba saja sekarang Anda cari siapa pemimpin terkorup? Pastilah nama Suharto selalu tertera dengan jumlah kekorupannya yang amat fantastis. Ditambah praktik Kolusi dan Nepotisme yang menggerogoti sendi-sendi instansi pemerintahan dari yang tertinggi sampai terendah. Bahkan trio Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) seperti inilah yang sangat membudaya dan merajalela sampai di kalangan masyarakat saat ini, sekalipun Suharto sudah lengser dan bahkan meninggal dunia sekalipun.

Bagaimana kaitan Suharto dengan demokrasi? Tentu ia sedang memberangusnya dan menjadi jawaban mengapa sampai bisa bertahan selama 32 tahun. Kebebasan berserikat dan berkumpul adalah hal yang terlarang. Melawannya akan berhadapan langsung dengan militer dan polisi. Hampir semua lini pemerintahan dipegang oleh militer, dari tingkat Walikota, Gubernur, Menteri sampai Presiden.

Tentang sejarah bangsa, ia konsisten berusaha munutupi sampai meniadakan unsur-unsur kelompok lain yang dipandang musuh politikny, terutama dari golongan kiri, termasuk para Soekarnois. Gelar pahlawan pun juga dimainkan sesuai kepentingannya. Sama saja. Arah pembangunan dan penataan bangsa yang sudah dipersiapkan Soekarno yang fokus kepada nasionalisasi berbalik 180 derajat menjadi berdekatan dengan pihak-pihak luar. Bangsa yang masih terlalu muda untuk diserahkan paksa kepada pihak luar.

Andai Suharto pahlawan, apakah akan melanggengkan kepahlawanan seorang pemimpin yang tangannya begitu  berlumuran darah rakyat sebangsa? Yang mengeruk Sumber Daya Alam secara rakus melebihi kolonial Belanda, serta meninggalkan warisan hutang luar negeri yang sulit terbayarkan hingga anak cucu kita. Yang mewariskan praktik korupsi beserta tradisi KKN yang kesemuanya itu belum tuntas hingga sekarang. Yang menjadikan aparat militer dan polisi kebal hukum hingga melanggengkan militerisme di kalangan masyarakat. Dan lebih dikhawatirkan lagi, bukan tidak mungkin akan muncul calon pemimpin seperti ini lagi, karena menganggap rezim Suharto bisa dijadikan model pemerintahan yang baik.

Menganggap pentingnya gelar pahlawan kepada Suharto daripada mempertegas penyelesaian kasus-kasus kejahatan HAM dan praktik KKN yang yang massif selama ia berkuasa, kemungkinan besar karena mereka ikut menikmati makmurnya menjadi orang-orang dekat semasa Suharto. Atau yang kedua, mereka yang tak benar-benar mengerti betapa sebenarnya rezim Orde Baru adalah “dunia lain” yang dibangun dari praktik kekerasan dan politik pembodohan massal di hampir semua sendi-sendi kehidupan berbangsa.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyatakan bahwa pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Suharto akan diberikan pada November 2016, setelah seminar diskusi tingkat provinsi dan nasional selesai dilaksanakan. Dan akan diteruskan ke Tim Dewan Gelar dan terakhir diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.

Kepada menteri Khofifah kita patut mengajukan gugatan: Andai Suharto mendapat gelar pahlawan nasional, bukankah gerakan mahasiswa dan rakyat pada 1998 lalu tidak lebih sebagai gerombolan amuk massa? Lalu, kepada mereka yang mati dan hilang pada masa penjatuhan Suharto pada Mei 1998 itu harus kita sebut apa? Pecundang? Pengkhianat bangsa?***

 

Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya, Malang. Beredar di twitterland dengan id @tonyfrmn

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.