Kredit gambar: http://tech-fear.deviantart.com
PANDANGAN bahwa teknologi membawa pada keselamatan (technology as salvation) sangat umum seiring dengan kemajuan peradaban modern. Inilah alasan filsafat eksistensialisme, pada paruh pertama abad dua puluh, mendapat tantangan karena mempertanyakan keutamaannya. Kini tampaknya kita mesti lebih menyadari wacana yang pernah diajukan oleh para filsuf eksistensialis. Dari limbah industri sampai internet, merupakan persoalan-persoalan yang relevan untuk ditelaah secara filosofis.
Wacana etis yang diusulkan eksistensialisme telah menghasilkan ide tentang non-netralitas teknologi. Ia merupakan entitas yang dapat menghasilkan persoalan dan menentukan perilaku manusia. Pertanyaannya kemudian bagaimana istilah generik dari objek-objek teknis ini menjadi non-netral? Saya akan menjelaskan kerangka filosofis untuk mempertimbangkan nilai-nilai etis dari perspektif eksistensialisme dan teori mediasi. Kedua pendekatan ini menyatakan, membahas etika sekarang tidak terbatas pada manusia, per se, tetapi juga mencakup teknologi.
Respon eksistensialisme terhadap perkembangan teknologi adalah ketika ia diketahui mendistorsi eksistensi. Meski berpengaruh terhadap tubuh dan terutama lingkungan, namun mereka lebih melihat pada dampak eksistensialnya. Martin Heidegger, pelopor filsafat teknologi, percaya secara ontologis teknologi telah mengubah secara esensial cara manusia berada di dunia. Jadi, bukan nilai fungsionalnya yang membuatnya memiliki pengaruh secara etis, tapi esensinya yang diistilahkan olehnya dengan enframing (Heidegger, 1977). Melalui makna esensial ini, alam mengungkap rahasia teknologisnya dan menjadi bagian dari adanya manusia di dunia.
Fenomena penembakan massal menjelaskan bahwa eksistensi senjata dapat membawa orang untuk menggunakannya tanpa pertimbangan moral. Dalam pemikiran Heidegger, efek negatif dari senjata secara potensial disebabkan oleh nilai ontologisnya, sehingga kita tidak bisa berbuat banyak berkenaan dengannya. Ia menjadi berbahaya, menurut Heidegger, karena peruntukkannya (destining) yang tidak dapat diubah.
Gabriel Marcel, filsuf eksistensialis Prancis, memiliki disposisi yang sama. Teknologi telah mereduksi nilai-nilai ideal dalam diri manusia. Ia menggarisbawahi pentingnya integritas, kebersamaan dan spiritualitas dalam menghadapi kemajuan peradaban modern. Dunia teknis, menurutnya, telah mengarahkan manusia untuk semata-mata hidup secara teknis, yang akhirnya mengasingkan manusia dari misteri keberadaan dirinya. Dalam filsafat Marcel, ia memiliki karakter yang perlu direfleksikan.
Teknik degradasi adalah konsep yang digunakan olehnya untuk menggambarkan efek negatif terhadap masyarakat (Marcel, 1962). Teknik ini melihat manusia bukan sebagai individu tetapi massa tak berwajah atau benda-benda dan berdampak secara massal. Teknologi informasi dan komunikasi seperti internet apabila digunakan untuk mendegradasi nilai kemanusiaan bisa dikategorikan ke dalam jenis teknik ini. Filsafatnya telah mengubah citra teknologi semata-mata sebagai objek yang selalu memberi keselamatan.
Dalam pemikiran Heidegger dan Marcel, non-netralitas pertama-tama harus dipahami tidak dari dampak materialnya. Kita dapat telusuri kritik mereka dari kredo anti-materialis eksistensialisme: manusia tidak hanya tubuhnya (esensi), tetapi yang paling mendasar subjektivitasnya (eksistensi). Materialisme, yang dipopularkan oleh Karl Marx, melihat pentingnya artefak teknologis, dimana diteorikan selalu berada dalam relasi dengan kekuatan modal dan bergerak seiring dengan laju sejarah perjuangan kelas. Dari perspektif Marxian ini, ia berkembang sebagai konsekuensi logis dari ideologi materialisme.
Kendati demikian, eksistensialisme tidak lantas menidak terhadap keutamaannya. Mereka telah membuka wacana non-netralitas. Ia memiliki efek baik itu terhadap esensi dan terutama eksistensi. Tetapi efek ini tidak semata-mata negatif yang membawa pada kecenderungan anti-teknologi. Banyak pembaca memiliki kesan salah berkenaan dengan respon esensialis mereka. Harus digarisbawahi mereka mencoba menjadikannya entitas yang tidak bebas nilai.
Wacana terbaru membahas etika teknologi melalui teori mediasi. Teori ini menjelaskan peran artefak dalam memediasi tindakan manusia. Fungsionalitas memediasi relasi manusia dengan dunia yang kemudian mencipta dunia teknologis. Mediasi ini menghasilkan efek-efek yang bersifat multidimensional, tidak hanya bersifat etis tetapi juga estetis dan psikologis. Artefak dapat dilihat simetris dengan manusia dalam konteks intensi-intensi moral.
Peter-Paul Verbeek, filsuf teknologi kontemporer asal Belanda, mengembangkan teori ini berdasarkan pendekatan pascafenomenologis, yaitu filsafat praksis dan metodologis, yang melihat keutamaan materialitas pengetahuan termasuk moralitas melalui mediasi. Ia memiliki proyek untuk mensosialisasikan apa yang disebut dengan ethics of things. Verbeek berpendapat etika tidak terbatas pada manusia sebagai agen moral, tetapi juga benda-benda (baca: teknologi) yang kita rancang. Proyeknya tentang dimensi material moralitas menunjukkan wacana yang pernah diajukan eksistensialis muncul kembali dalam perspektif berbeda. Jika eksistensialis melihat dari esensinya, Verbeek menyelidikinya secara analitis-empiris.
Di negara-negara Uni Eropa, wacana non-netralitas sekarang dikenal dengan Responsible Innovation. Program interdisiplin ini mempelajari etika dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dan pentingnya inovasi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan global, seperti perubahan iklim dan masalah kesehatan. Dalam responsible innovation, teknologi mesti dipertanggungjawabkan baik oleh individu atau kelompok inovator dalam perusahaan dan universitas. Inovator memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan, tidak hanya risiko yang ada pada inovasi mereka, tapi bagaimana mereka memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang ada pada masyarakat. Dalam pandangan ini, tanggung jawab dan intensi moral menjadi signifikan sebelum ia mengarahkan tindakan manusia dan berdampak terhadap lingkungan.
Teknokrat dan teknolog, khususnya di Indonesia, tentu relevan jika membuat kebijakan sesuai dengan pandangan non-netralitas. Proyek kereta cepat dengan Tiongkok, misalnya, harus dipelajari lebih dari makna pragmatisnya. Teknologi ditransfer ke kondisi sosial-budaya yang baru tidak bisa dilihat sebagai netral. Netralitas merupakan istilah bahwa teknologi selalu baik tanpa mempertimbangkan nilai sosial budaya dan dampaknya terhadap masyarakat.
Kita bisa mengambil solusi metodologis dari Andrew Feenberg mengenai non-netralitas teknologi (Feenberg, 2009). Feenberg adalah filsuf dari tradisi teori kritis yang percaya teknologi bisa didemokratisasikan melalui apa yang ia sebut teori instrumentalisasi. Dengan teori ini, fungsi harus didekonstekstualisasikan dari realitas untuk mendapatkan makna ontologisnya. Kemudian baru kita terapkan dengan mengontekstualisasikannya ke tengah masyarakat berdasarkan pertimbangan etis dan estetis.
Jika mendekonstekstualisasikan kereta cepat, kita temukan dimensi teknologisnya melalui ukuran, suku cadang, infrastruktur dan rancangannya. Kemudian, fungsinya yang bisa bergerak lebih cepat dari “commuter line”. Setelah itu, kita menerapkannya secara instrumental sesuai dengan nilai-nilai yang bisa membawa manfaat termasuk kemungkinan-kemungkinan teknis geografis.
Dalam menerapkan teori Feenberg, kita harus menyintesakannya dengan teori mediasi. Fungsionalitas artefak selalu mengandaikan peran pengguna. Sulit untuk memahami nilai-nilai etis jika melihatnya sebagai objek terpisah. Proses apropriasi ke tengah masyarakat harus mempertimbangkan aktor (atau penggunanya) dalam ranah relasi-relasi manusia-teknologi.
Sebagai tambahan, persoalan etika rancangan dan transfer teknologi mesti merujuk pada idealitas nilai-nilai Pancasila seperti keadilan, kemanusiaan dan juga tentunya keragaman budaya. Teknologi akan mendapat corak yang khas berdasarkan ‘landasan etis’ ini. Fungsionalitas, misalnya, tidak bisa dilihat secara universal melainkan perlu mengacu pada keragaman nilai-nilai budaya yang ada di Indonesia.
Kita sekarang hidup di era inovasi teknologi yang pada umumnya didorong oleh tujuan-tujuan ekonomis. Saya pikir adalah relevan mengajukan suatu kerangka filosofis untuk mempertimbangkan nilai-nilai etis teknologi.***
Penulis adalah Peneliti untuk The Society for Philosophy and Technology
Kepustakaan:
Feenberg, Andrew (2009). “Critical Theory of Technology”. In A Companion to the Philosophy of Technology. Edited by J. K. B. Olsen, S. A. Pedersen and V. F. Hendricks © 2009 Blackwell Publishing Ltd.
Gendreau, Bernard (1998). The Cautionary Ontological Approach to Technology of Gabriel Marcel. Papers for Twentieth World Congress of Philosophy. Published in Paideia Archive.
Heidegger, M. (1977). The Question Concerning Technology and Other Essays. Penerjemah: W. Lovitt. Harper and Row. New York.
Hartanto, Budi (2013). “Dunia Pasca-manusia: Menjelajahi Tema-tema Kontemporer Filsafat Teknologi”. Kepik, Depok.
Ihde, Don (2009). Postphenomenology and Technoscience: Peking University Lecture. (SUNY Series of the Philosophy of the Social Sciences). State University of New York Press.
Marcel, Gabriel (1962). Man Against Mass Society. Chicago, Regnery.
Verbeek, Peter-Paul (2006). “Materialiazing Morality: Design Ethics and Technological Mediation”. In Science, Technology and Human Values. P. 361-380. Vol.31 No. 3, 2006. Sage Publication.
—————– (2009). “Ambient Intelligence and Persuasive Technology: The Blurring Boundaries Between Human and Technology”. In Nanoethics 3: 231-242. Published with open access at Springerlink.com.