APA jadinya sebuah negara tanpa Ilmu Sosial dan Humaniora? Kematian rasa kemanusian jawabannya. Dan yang mengejutkan, ada negara di dunia ini yang menuju ke arah sana. Seperti dilansir oleh www.timeshighereducation.com, pemerintah Jepang dibawah Perdana Menteri Shinzo Abe memerintahkan untuk menutup fakultas-fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora di 60 universitas nasional di negara tersebut. 26 universitas nasional diantaranya telah mengonfirmasi akan menutup atau menimbang ulang kebijakan perdana menteri asal Partai Liberal Demokrat (LDP) tersebut. Alasan yang dipakai Abe dan pemerintahannya adalah Ilmu Sosial dan Humaniora tidak ada manfaat praktisnya sehingga sudah seharusnya ditutup dan diganti dengan pendidikan keilmuan lain yang lebih jelas manfaat praktisnya.
Manusia Serba Ingin Praktis
Bagaimana dengan negara kita? logika yang dipakai oleh Abe pun sebenarnya sering kita temui di lingkungan kita. Sudah sejak dari dulu jurusan-jurusan Ilmu Sosial dan Humaniora di Indonesia dianggap sebagai jurusan kelas dua. Bahkan di tingkat sekolah menengah atas, siswa-siswi yang masuk jurusan ilmu sosial dan bahasa dianggap sebagai siswa-siswi ‘buangan’. Lalu darimanakah cara berpikir seperti ini sebenarnya berasal? Kalau dirunut dari sejarah peradaban manusia, titik awal ‘kematian’ ilmu sosial dan humaniora tonggaknya dimulai sejak revolusi industri dan naik daunnya paham kapitalisme di Inggris pada abad ke-18. Mulai waktu itu lah pola pikir bahwa setiap bidang ilmu harus memiliki kegunaan praktis untuk kebutuhan industri bermula.
Masuknya kapitalisme dalam dunia pendidikan kita yang dimulai sejak zaman Orde Baru (Orba), juga menjadi pupuk yang menyuburkan pola pikir seperti itu. Pemerintah Orba yang pada saat itu sedang giat-giatnya membangun, merancang sedemikian rupa sistem pendidikan di negara ini agar sesuai dengan kebutuhan industri dan pembangunan yang memang lebih membutuhkan lulusan Ilmu Alam dan Teknik tinimbang lulusan Ilmu Sosial dan Humaniora. Ilmu Sosial dan Humaniora pada zaman Orba juga sengaja dikerdilkan untuk mengurangi daya kritis masyarakat pada masa itu. Peter McLaren, seorang professor pedagogi asal Amerika Serikat, sebenarnya telah mewanti-wanti akan bahaya masuknya kapitalisme di dalam pendidikan. Menurutnya, persilangan antara kultur positivis dengan kapitalisme akan mematikan aspek kritis-subjektif dalam pendidikan. Sebagai hasilnya, ilmu yang diberikan kepada peserta didik hanyalah ilmu yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri, bukan ilmu yang mengembangkan kemampuan memandang fenomena hidup secara kritis.
Menurut McLaren, sebagaimana dikutip Agus Nuryanto dalam Mazhab Pendidikan Kritis, terdapat tiga dampak yang dapat muncul dari kapitalisasi pendidikan: (1) adanya praktik sekolah yang mendukung kontrol ekonomi oleh kelas-kelas elit; (2) berkembangnya ilmu pengetahuan yang hanya bertujuan mendapatkan profit material, dibanding untuk menciptakan kehidupan global yang lebih baik; (3) terciptanya fondasi bagi ilmu pengetahuan yang menekankan nilai-nilai korporasi dengan mengorbankan nilai-nilai keadilan sosial dan martabat manusia.
Jika kita meminjam perspektif Teori Labeling yang diperkenalkan Sosiolog Mazhab Chichago pada Tahun 1960-1970-an yaitu George Herbert Mead, dalam bukunya yang berjudul, Labeling theory: Social constructionism, Social stigma, Deinstitutionalisation dijelaskan bahwa sebuah perilaku dan identitas diri individu ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur masyarakat dimana individu tersebut berada. Penyimpangan perilaku individu belum tentu inheren dalam diri individu tersebut melainkan didefinisikan atau diberi label secara sosial oleh masyarakatnya. Dengan meminjam pendekatan Labeling di atas, maka munculnya anggapan bahwa Ilmu Alam dan Teknik merepresentasikan anak yang cerdas dan Ilmu Sosial dan Humaniora merepresentasikan anak yang tidak cerdas bersumber dari pemberian labeling, baik oleh para pendidik maupun para orang tua murid pada zamannya yang kemudian diterima begitu saja oleh anak didik pada zaman tersebut. Penerimaan itu lalu mengendap dalam pikiran mereka sampai mencapai dewasa dan menjadi orang tua lalu mewariskan stigma itu pada putra-putrinya tercinta. Artinya, pola pikir seperti ini terus-terusan direproduksi selama puluhan tahun.
Pandangan serba ingin praktis ini pun juga diwarisi oleh pemerintahan Indonesia sekarang. Beberapa waktu lalu Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi yang dipimpin Mohammad Nasir, berencana mengubah pola riset yang sebelumnya dari hulu ke hilir menjadi ke hilir ke hulu. Itu berarti, riset yang dilakukan disesuaikan dengan kebutuhan pasar atau industri. Selama ini, menurutnya, banyak hasil riset yang dikerjakan tidak berdasarkan keinginan industri. Ironis memang jika kita mengingat bahwa Pak Nasir ini adalah Ilmuwan dari bidang Ilmu Sosial dan Humaniora. Beliau seakan lupa bahwa Ilmu Sosial dan Humaniora membawa semangat emansipatoris yang manfaatnya bukan sekadar untuk kebutuhan industri dan pesanan para kapitalis penguasa pasar saja tapi untuk kemanusiaan sepanjang peradaban.
Sosial Humaniora dan Kemanusiaan Kita
Saya berpendapat kreativitas, ketelitian, serta kepedulian yang diajarkan oleh Ilmu Sosial dan Humaniora akan membantu kita melihat masalah dengan lebih jelas. Perubahan yang dihasilkan Ilmu Sosial dan Humaniora pun akan lebih awet karena sifatnya yang intangible. John Maynard Keynes mungkin tidak membantu banyak orang yang kehilangan pekerjaan saat Depresi Besar melanda Amerika Serikat dan sebagain besar dunia pada tahun 1930-an secara langsung, tetapi gagasannya membantu mengeluarkan dunia dari kondisi itu. Jamaludin Al Afghani mungkin tidak memerdekakan satu bangsa pun, tetapi ia menggerakkan bangsa-bangsa terjajah untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka lewat paham Pan Islamisme-nya. Karl Marx mungkin tidak pernah membebaskan satu buruh tertindas pun namun gagasannyalah yang menggerakan kaum buruh sedunia untuk selalu menuntut hak-nya. Max Weber mungkin tidak pernah memberikan pelayanan publik kepada banyak orang, namun gagasannya tentang birokrasi-lah yang sekarang membuat pelayanan publik dapat berjalan teratur. Anthony Giddens mungkin tidak pernah menjadi seorang politisi yang mengerakan perubahan di negaranya, tapi gagasannya tentang ideologi jalan ketiga atau The Third Way lah yang menginspirasi mantan Perdana Menteri Inggris dari Partai Buruh Tony Blair untuk melakukan perubahan di negeri Ratu Elizabeth II tersebut. Abraham Harold Maslow mungkin tidak pernah menjadi motivator ulung seperti Mario Teguh, tapi berkat gagasannya kita jadi tahu bahwa motivasi manusia itu bertingkat dan harus dipenuhi secara berurutan sesuai tingkatannya. Paulo Freire mungkin tidak pernah menyusun kurikulum pendidikan di satu negara pun, tapi berkat gagasannya kita jadi tahu bahwa ada yang salah di sistem pendidikan kita.
Coba kita bayangkan apa yang terjadi pada peradaban manusia jika Ilmu Sosial dan Humaniora tidak ada? Soekarno tanpa Ilmu Sosial dan Humaniora tidak akan pernah menjadi pemimpin besar bangsa kita, beliau mungkin hanya akan jadi insinyur suruhan Belanda saja. Romo Mangun tanpa Ilmu Sosial dan Humaniora alih-alih menjadi pastor humanis dan membangun pemukiman penduduk Kali Code, beliau mungkin hanya akan menjadi arsitek yang pekerjaanya menunggu proyek saja. Tan Malaka tanpa Ilmu Sosial dan Humaniora tak akan pernah menjadi tokoh revolusioner, beliau mungkin hanya akan jadi guru di Kweekschool Hindia Belanda saja. Mahatma Gandhi tanpa Ilmu Sosial dan Humaniora tidak akan menjadi manusia penuh welas asih yang berhasil membebaskan India tanpa pertempuran, beliau mungkin hanya akan menjadi pengacara yang menikmati penghasilan dari penjajah Inggris. Nelson Mandela tanpa Ilmu Sosial dan Humaniora tak akan pernah menjadi pemaaf berjiwa besar yang bisa memaafkan sipir yang pernah mengencinginya, beliau mungkin sekeluar dari penjara akan menghukum mati sipir tersebut.
Sampai di sini, saya teringat Terry Eagleton dalam tulisannya The Slow Death of University, yang mengatakan ‘kematian’ Ilmu Sosial dan Humaniora sama dengan ‘kematian’ universitas itu sendiri karena landasan filosofis berdirinya universitas pertama kali di dunia berasal dari Ilmu Sosial dan Humaniora. Pandangan Eagleton ini menurut saya tidaklah berlebihan, sebaliknya ia menjadi peringatan bagi kita bahwa matinya Ilmu Sosial dan Humaniora bukan sekadar tanda kematian bagi universitas-universitas kita namun juga tanda matinya rasa kemanusiaan kita.***
Penulis adalah mahasiswa Departmen Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIP, UGM