Indonesia Yang Berjalan Ke Masa Silam

Print Friendly, PDF & Email

DI RUMAH, di kotak lemari tua yang dipenuhi sawang dan debu, saya menemukan buku bersampul kain biru tua berjudul Di Bawah Bendera Revolusi (DBR) jilid pertama yang sebagian ujungnya keroak dimakan rayap. Ketika saya membukanya, beberapa ekor kutu sekecil ujung kuku keluar dari sela-sela halaman buku. Entah sudah berapa lama kutu itu tinggal dan berumah di situ. Terakhir kali saya bertemu buku tersebut mungkin SD, atau SMP, saya tak ingat pasti. Yang jelas begitu pertama kali melihatnya, buku itu sudah dalam kondisi yang kurang baik. Lem perekatnya lepas dari sampul, begitu juga dengan jahitan kertas di beberapa bagian yang juga ikut lepas. Tetapi halamannya masih lengkap dan beruntung seluruhnya masih dapat terbaca dengan jelas. Saat itu saya belum begitu paham buku itu bercerita tentang apa. Untuk seumuran itu, buku setebal bantal tersebut paling berisi cerita-cerita sejarah yang membosankan. Ketimbang membaca buku ‘aneh’ itu, saya lebih tertarik membaca dua novel Ghostbumps yang baru dibelikan bapak ketika suatu kali mampir ke toko buku Gramedia di Malang. Terasa lebih menyenangkan saja, bisa merasakan bertemu dengan hantu-hantu karangan.

Saya jadi ingat sekitar satu tahun lalu, ketika berjalan-jalan santai (JJS) bersama pacar ke luar-masuk toko buku-buku bekas di Yogyakarta, saya melihat dua jilid lengkap DBR terbitan lama berada dalam sebuah kotak kardus, terpajang di salah satu sudut rak bersanding dengan buku-buku lain. Isinya sama persis seperti buku yang sedang saya bersihkan, namun dengan kondisi yang jauh lebih baik untuk ukuran buku jadul, tampak dirawat dengan baik oleh pemilik sebelumnya. Penjualnya saat itu membandrol buku tersebut seharga Rp. 2,5 juta untuk dua jilid lengkap. Mahal nian, pikir saya waktu itu. Sambil menunggu kutu-kutu buku itu pada pergi, saya iseng melihat-lihat kembali harga buku itu di internet. Dan alangkah terkejutnya saya saat mengetahui bahwa ternyata ada yang menjual buku itu dengan harga Rp. 10 juta, bahkan sampai Rp. 100 juta! Lain waktu ketika kembali ke toko buku bekas itu lagi, DBR sudah tak ada di tempat.

Selesai membersihkan buku DBR dengan sapu dan kain lap untuk mengusir kutu dan membersihkan debu yang melekat di sampulnya, saya membuka halaman kertas terbitan tahun 1964 itu. Mata saya terpaku pada judul tulisan “Swadeshi dan Massa-Aksi di Indonesia”. Ditulis dengan keterangan “Suluh Indonesia Muda” bertahun 1932, enam tahun setelah pemberontakan besar-besaran yang membikin beberapa elit bumiputera ‘didigulkan’ oleh rezim pemerintah kolonial.

Tulisan itu terbilang cukup panjang bila dibandingkan dengan tulisan-tulisan lainnya, sampai tiga puluh halaman lebih. Ditujukan kepada studen di Djakarta – begitu Soekarno memaksudkannya – dan ditulis lengkap dengan keterangan catatan kaki di sana-sini yang mengingatkan mahasiswa kalau sedang giat menggarap skripsi. Di bagian awal tulisan itu, Soekarno yang baru memasuki usia kepala tiga menekankan perlunya para kandidat pemimpin organisasi memahami “theoretische basis” bagi setiap gerakan rakyat. Ia melakukan penjernihan wacana dengan mengambil contoh konsep yang sedang banyak dibicarakan, yakni Swadeshi (istilah yang diperkenalkan oleh Mahatma Gandhi, yang sederhananya berarti ‘negara mandiri’ – dalam konteks masa itu, berarti semangat untuk merdeka atau lepas dari cengkeraman kolonial).

“…saja mengupas soal swadeshi itu ialah oleh karena soal itu sekarang paling ramai dibitjarakan orang, dilihat dari kanan dan kiri, ditjium-tjium, dikutuki, dimaki-maki, dikeramatkan, dipersjaitankan, – tetapi sepandjang pengetahuan saja sampai sekarang belum adalah satu analisa atau pengupasan soal itu jang agak dalam dan mengenai pokok, sehingga banjak sekali orang bangsa Indonesia jang hanja membeokan sadja utjapan-utjapan pemimpin-pemimpin dinegeri lain”

Selain latar belakang penulisan tersebut, hal lain yang menarik perhatian saya adalah uraian pada halaman selanjutnya, ketika Soekarno membahas imperialisme dengan meramu pikiran Parvus “Kolonialpolitik und Zusammenbruch” dan Kautsky “Sozialismus und Kolonialpolitik” (btw, baru kali ini saya dengar dua nama itu – maklum, newbie).

“Apakah imperialisme itu? Imperialisme adalah suatu nafsu, suatu politik, suatu stelsel menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain, suatu stelsel overheersen atau beheersen ekonomi atau negeri bangsa lain … Soal modern-imperialisme sudah banjak sekali jang menjelidiki. Baik kaum imperialisme sendiri, maupun kaum jang memusuhi imperialisme itu; baik kaum ekonomi-liberal, maupun kaum ekonomi-Marxis, – semuanja sudah banjak jang memberi ‘urunan’ kepada wetenschap jang menganalisa soal modern-imperialisme itu, semuanja sudah mengemukakan teorinja masing-masing. Terutama kaum Marxis-lah jang banjak urunannja. Mereka sudahlah mengodal-adil teori kaum “liberale-economie” jang menggambarkan imperialisme itu sebagai usahanja kaum kulit putih untuk menggali kekajaan-kekajaan jang belum tergali, bagi keperluannja seluruh dunia-manusia (Parvus); mereka mengodal-adil pula teori kaum itu…”

Membaca tulisan Soekarno tersebut, entah mengapa saya jadi teringat IndoPROGRESS, sebuah laman di internet yang tampak konsisten membangun tradisi argumentasi kritis, terutama dalam wacana berhaluan marxis. Saya menyukai beberapa ulasan teoritik yang disajikannya. Bahkan pernah suatu kali ketika sedang melakukan penelitian di lapangan yang jauh dari buku dan teman diskusi, saya tertolong oleh penjelasan Coen Husain Pontoh tentang teori nilai. Ulasan tersebut membantu saya dalam memecah kebuntuan dan mensistematisasikan cara berpikir saya saat mengamati kompleksitas proses produksi para penambang minyak tradisional. Tetapi mari kita kembali pada penjelasan Soekarno di atas. Melalui penjelasan singkat tersebut, boleh diduga bahwa perdebatan teori-teori kritis yang mengemuka sejak paska-reformasi itulah yang sebetulnya juga dipikirkan, didialektikakan, dituliskan dan diselundupkan ke dalam alam berpikir studen sejak tahun 1932. Bahkan jauh sebelum itu, ketika saya membandingkan dengan beberapa ulasan lain yang lebih tua, saat Soekarno masih berusia 16 tahun, di surat kabar bernama Sinar Djawa tertanggal 16 Maret 1917, Semaoen (salah satu aktor pergerakan yang jejaknya seperti tenggelam begitu saja di masa kepemimpinan Soekarno) sudah membicarakan hal yang lebih konkret dan provokatif. Ia bicara soal pergerakan.

“..di mana ada pergerakan, di sitoelah ketentreman tentoe aken hilang, sebab adanja pergerakan itoe karena hilangnja ketentreman. “Bergerak” dan “tentrem” adalah doea perkara jang berlawanan. Kalau pemerintah biasa tidak koeat merasakan pergerakan, itoelah menoendjoeken kelembekan … Kalau kita dipeksa tentrem, tentoe kita dialang-alangi dalem kemadjoean kita. Di dalem kita poenja pergerakan, bergerak, bertereak dan bersoeara, tidak oesahlah kita mengeloearkan darah, tapi dalam kemadjoean kita, kita haroes mengadjak dan memberi tahoe pada sebagian jang besar dari pendoedoek, soepaja koeatlah kemadjoean kita.”

Menjumpai kenyataan sejarah semacam itu, belum lagi jika dibandingkan dengan pikiran sezaman pada tahun-tahun berikutnya, seperti tulisan Marco yang mengkritisi kapitalisme kolonial di Sinar Djawa dengan judul menonjok: “Apakah Pabrik Goela Itoe Ratjoen Boeat Bangsa Kita?” – di mana dewasa ini, kata “pabrik gula” dalam judul tersebut dapat diganti dengan istilah apa saja; seperti “industri ekstraktif” misalnya, “kelas menengah”, atau “partai politik”, atau bahkan “demokrasi” – apapunlah, sejauh relevan dengan kondisi kekinian – membuat saya bertanya-tanya.

Merefleksikan peristiwa yang terjadi seabad lalu, seperti aksi mogok yang dilakukan oleh buruh pada tahun 1919 di pabrik gula Panggungrejo, Jatiroto dan Sempalwadak, yang melibatkan 400 orang, disusul dengan aksi bergantian di Pasuruan pada tahun-tahun berikutnya, dan bahkan juga disertai dengan aksi pembakaran dan perusakan ladang tebu – sebagaimana tercantum di Koloniaal Verslag yang disalin Suhartono W.Pranoto (2010), dalam rentang waktu antara tahun 1925-1926, tercatat 371 kali aksi pembakaran. Statistik konflik ini seketika membawa pikiran saya melayang pada apa yang akhir-akhir ini terjadi di berbagai tempat: demonstrasi sopir taksi di Jakarta bulan Maret 2016, amuk massa karyawan pabrik minyak Exxon Mobile di Bojonegoro bulan Agustus 2015, aksi demonstrasi dan solidaritas masyarakat Kendeng menolak rencana pembangunan pabrik semen, demonstrasi petani Kulon Progo menolak rencana pembangunan bandara dan pabrik tambang pasir besi yang berujung penangkapan, demonstrasi para petani di Karawang beberapa tahun lalu, penggusuran perkampungan Kalijodo Jakarta, penolakan kegiatan ekonomi penambangan pasir yang berujung pada pembunuhan keji di Lumajang, dan masih banyak lagi lainnya jika dicantumkan di sini.

Dari sini, apakah boleh dikata bahwa bila dilihat dari data-data sederhana dan kesaksian Semaoen, Marco dan Soekarno, maka berbagai persoalan yang dihadapi oleh bumiputera akhir-akhir ini sebetulnya sekaligus hendak memberitahukan kepada kita bahwa Indonesia dari zaman Hindia Belanda sampai sekarang sebetulnya tidak melangkah kemana-mana? Ataukah diam-diam kita sekarang memang sedang dalam perjalanan menuju ke masa silam? Apakah ini ada hubungannya dengan terjemahan dari kata ajaib bernama “pembangunan” yang dijadikan mantra politik setiap kali menjelang pemilu? Bagaimana menanggapi siklus tragis semacam ini? Kita bersama yang harus menjawabnya.***

 

Penulis adalah alumni Pascasarjana Antropologi Budaya UGM

 

Kepustakaan:

Mas Marco Kartodikromo. “Apakah Pabrik Goela Itoe Ratjoen Boeat Bangsa Kita?”, Sinar Djawa, 26 Maret 1918, dihimpun oleh Edie Cahyono, 2003, dalam Jaman Bergerak di Hindia Belanda: Mosaik Bacaan Kaoem Pergerakan Tempoe Doeloe. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah. Pp.65-67.

Semaoen. “Hidoep”, Sinar Djawa, 16 Maret 1917, dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Takashi Shiraishi, 1997. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Pp.137.

Soekarno. “Swadeshi dan Massa-Aksi di Indonesia”, dalam “Suluh Indonesia Muda” (1932) dihimpun dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid Pertama. Pp. 121-157.

W.Pranoto, Suhartono. 2010. Jawa: Bandit-bandit Pedesaan: Studi Historis 1850-1942. Yogyakarta: Graha Ilmu. Pp.164-167.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.