APAKAH Anda pernah menonton acara memasak yang dibintangi oleh Chef Farah Quinn atau Chef Marinka? Jika ya, coba perhatikan ketika para chef itu secara cekatan memotong bahan masakan dengan pisau. Rasa-rasanya sungguh membuat kita seketika menelan air liur, karena lapar tentunya. Lalu apa hubungannya memasak dengan tulisan ini? Tulisan ini saya niatkan sebagai tanggapan atas tulisan Fathul Purnomo yang, menurut saya, cukup menarik dan penting untuk didiskusikan lebih lanjut.
Alangkah baiknya langsung kita mulai saja. Beberapa dari Anda mungkin memiliki laptop dan smartphone, minimal handphone. Sempat terpikirkah dari mana dan apa yang memungkinkan handphone ada bersama dengan Anda sekarang di toilet? Meski tidak terlalu penting, barangkali sambil, melamun cobalah sekali-sekali Anda renungkan, karena hal ini yang akan saya bahas dalam tulisan ini.
Manusia dan Teknologi
Sebagian dari kita tentu sulit untuk membuat juice buah naga tanpa menggunakan mesin blender. Dari ilustrasi ini sekilas kita dapat memahami maksud dan tujuan dari teknologi, yakni sebagai perpanjangan tangan manusia. Namun tak dapat dipungkiri bahwa kehadiran teknologi memiliki suatu dampak tersendiri, di satu sisi dampaknya memudahkan kehidupan manusia dan di sisi lain pun menyusahkan. Memudahkan contohnya, ketika kita tak memiliki kendaraan untuk berpergian, kita dapat langsung memesan jasa transportasi menggunakan aplikasi online di smartphone kita. Di sisi lain menyusahkan ketika aparat harus meredakan bentrokan antara sopir taxi dengan pengendara motor dan pemerintah pun harus menyusun ulang peraturan-peraturannya hanya karena sebuah aplikasi smartphone. Tapi, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan teknologi itu?
Menurut begawan antropolog Indonesia, Koentjaraningrat, teknologi merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yang mana dikelompokan menjadi sistem peralatan hidup dan teknologi. Layaknya kebudayaan, teknologi merupakan hasil dari gagasan manusia yang timbul dari proses pemenuhan kebutuhan. Karena keterbatasan fisik yang dimiliki manusia, maka teknologi dibutuhkan untuk melangsungkan hidupnya. Oleh karena itu teknologi ini merupakan hal yang khas dari masyarakat manusia. Dalam The German Ideology (2010: 31) Marx dan Engels menjelaskan bahwa manusia dapat dibedakan dari hewan ketika ia mulai menciptakan sarana-sarana kehidupannya. Mereka menambahkan bahwa hal tersebut terjadi karena kondisi fisik manusia yang memungkinkannya untuk memproduksi alam di sekitarnya untuk dijadikan sarana kehidupan. Engels dalam The Part Played by Labour in The Transition from Ape to Man (2010: 453-455) menceritakan kisah historis tersebut bahwa bipedalisme dari leluhur manusialah yang memungkinkan manusia memproduksi sarana kehidupannya. Karena tangan merupakan bagian dari tubuh maka perubahan di tangan pun berpengaruh ke semua organ yang ada, salah satunya yaitu kemampuan berpikir dari otak yang juga ikut berkembang. Oleh karena itu hari ini kita berpakaian dan mampu membaca tulis, sedangkan kerabat dekat kita, Simpanse dan Gorilla, tidak.
Hal tersebut terjadi ketika leluhur kita yang terdepak dari hutan hujan tropis di Afrika karena kalah saing dengan leluhur Gorilla dan harus menghadapi bentang alam terbuka di sisi timur Lembah Retakan Besar (Mulyanto 2014: 172). Keluar dari tempat lama berarti keluar juga dari kebiasaan lama, di antaranya yaitu soal cara hidup dan soal makan. Dengan keluar dari sana, leluhur manusia mencapai suatu pencapaian yang agak berbeda dari leluhur Gorilla atau Simpanse, yaitu bipedalisme. Selain itu mereka yang sebelumnya memakan buah-buahan, akhirnya harus berusaha memakan apa saja yang ada di lingkungan yang baru. Mulai dari umbi-umbian, buah-buahan berkulit keras, serangga, hingga memakan bangkai hewan besar. Maka mereka pun membutuhkan alat-alat yang mampu membantu mereka dalam mengkonsumsi daging-daging. Kita dapat menyaksikannya dari Australopithecus garhi yang menghancurkan tulang antelop dengan menggunakan alat batu sederhana hingga Homo erectus kemudian yang mengembangkan teknologi perkakas Oldowan serta Acheulean yang lebih maju (Shick & Toth 2013: 287). Keduanya bukan hanya mengembangkan teknologi tersebut karena kognisi atau otak yang berkembang saja, melainkan banyak dikondisikan pula oleh penyesuaian diri serta interaksi dengan lingkungan yang ada di masanya.
Dari kisah di atas kita dapat menyaksikan bahwa meski realitas alam mengondisikan mahluk hidup, namun bukan berarti mahkluk hidup pasif begitu saja menerima perubahan-perubahan dari alam. Dalam kasus ini, manusia mampu kembali merespon alam yang telah mengondisikannya tersebut. Sehingga ada hubungan dialektik antara manusia dengan alam. Ambil contoh dari masa neolitikum hingga masa revolusi industri. Manusia mulai mengelabui alamnya dengan menciptakan sistem pertanian, pembagian kerja, alat tenun bukan mesin, hingga pertukaran dan mata uang. Perkembangan tersebut, menurut antropolog Marvin Harris, merupakan respon dari semakin menipisnya sumber makanan karena intensifikasi cara hidup berburu dan mengumpul (Harris 1978: 39-40). Ia juga menambahkan bahwa proses domestifikasi hewan dan pertanian muncul bersamaan di Dunia Lama (Timur Tengah & Asia), sedangkan di Dunia Baru (Amerika) domestifikasi hewan tidak dimungkinkan karena ketidaktersediaan hewan tersebut. Karena bercocok tanamlah manusia akhirnya menetap dan memungkinkan pembagian kerja yang spesifik terjadi. Perkembangan teknologi pun hadir melengkapi kehidupan manusia. Demikian juga di masa revolusi industri, manusia semakin mengembangkan teknologinya mulai dari pertanian hingga transportasi. Lalu semata untuk apakah perkembangan teknologi tersebut?
Secara sederhana, jawabnya yaitu untuk pemenuhan kebutuhan. Dengan kata lain mempertahankan hidup. Dalam kerangka berpikir materialisme historis (MH), masyarakat manusia ditopang oleh relasi sosial produksi yang mana terletak sebagai basis yang tersusun atas sarana dan kekuatan produksi. Basis ini merupakan bagian yang bersentuhan langsung dengan alam. Sedangkan di atasnya berdiri tatanan suprastruktur yang mana hukum, ideologi, religi, kesenian dan lain-lain mampu berdiri. Dalam MH, dua bangunan ini dapat mengondisikan satu dengan lainnya.
Sebagai contoh dari basis mengondisikan suprastruktur yaitu cara produksi masyarakat Babilonia yang bertani berbeda dengan cara produksi orang Bushmen yang berburu. Cara produksi bertani memungkinkan pembagian kerja yang beragam dan kelas-kelas sosial, sehingga memungkinkan pula bagi orang Babilonia untuk membangun taman bergantung dan patung raksasa. Sedangkan cara produksi berburu meramu seperti orang Bushmen, hanya memungkinkan relasi-relasi kekerabatan atau junior-senior saja sehingga sangat kecil kemungkinan bagi mereka untuk membangun piramida atau patung Colossus. Oleh karena basis mengondisikan suprastruktur, bukan berarti suprastruktur tak dapat memberikan timbal baliknya, suprastruktur pun mampu mengondisikan basis. Contohnya, dari sistem pertanian beserta irigasinya yang diciptakan manusia pada masa Neolitikum atau membuat aturan atau undang-undang dalam pengelolaan kepemilikan tanah yang diciptakan manusia untuk melanggengkan bentuk masyarakat feodal. Di sini kita bisa lihat bahwa perkembangan corak produksi masyarakat memungkinkan berkembangnya teknologi.
Perkembangan Teknologi
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, teknologi dikondisikan oleh basis atau cara manusia memenuhi kebutuhannya. Pada sisi sebaliknya, teknologi pun dalam perkembangannya ikut mengondisikan cara manusia mengisi perutnya. Meski manusialah yang menjadi syarat adanya teknologi, namun terkadang kehidupan manusia juga sering terkondisikan oleh teknologi yang ia ciptakan sendiri. Manusia menjadi tergantung pada teknologi, persis seperti yang disampaikan Fathul Purnomo dalam artikel sebelumnya. Namun apakah benar bahwa kita sepenuhnya dikendalikan oleh teknologi yang kita ciptakan sendiri, seperti yang diungkapkan Fathul Purnomo?
Kita sudah mengetahui bahwa teknologi merupakan sebuah konsekuensi dari berkembangnya corak produksi masyarakat manusia, begitu juga dengan perkembangan pesatnya. Ross Abbinnett dalam Marxism After Modernity (2007) menjelaskan bahwa untuk memahami hubungan antara kapitalisme dan teknologi kita mesti membedah apa yang dinamakan oleh Marx dengan General Formula of Capital atau rumus umum kapital yang dapat ditemukan di dalam Das Kapital Jilid Pertama (Abbinnett 2007: 63). Barangkali sudah kita semua ketahui bahwa yang unik dalam kapitalisme yaitu bahwa komoditi diproduksi bukan untuk memenuhi kebutuhan mendesak manusia, namun untuk dijual ke pasar guna kepentingan akumulasi kapital sebanyak-banyaknya tanpa terinterupsi. Seorang yang memiliki uang akan membeli atau memproduksi barang lalu menjualnya kembali untuk mendapatkan uang yang lebih banyak, gejala tersebut dibakukan menjadi rumus M-C-M’. M merupakan uang, sedangkan C merupakan komoditi yang dibeli atau diproduksi, lalu M’ merupakan uang lebih banyak yang dihasilkan ketika komoditi terjual. Keadaan tersebut hanya dimungkinkan ketika uang sudah menjadi penyetara universal dan bentuk masyarakat yang ada merupakan masyarakat kapitalisme yang mana kepemilikan pribadi atas sarana-sarana produksi dimungkinkan. Dalam memproduksi C atau komoditi, terdapat proses pengolahan bahan mentah (C1) menjadi komoditi jadi (C2). Di antara proses C1 ke C2 inilah yang memungkinkan hadirnya M’, yaitu tenaga kerja (LP) dan sarana produksi (MP). Karena kebutuhan akan memutar kembali keuntungan menjadi modal produksi pada kumparan rumus umum kapital tadi, maka lakunya komoditi di pasar sangatlah dibutuhkan. Oleh karena itu perkembangan teknologi atau sarana produksi sangatlah digencarkan untuk mempercepat serta memproduksi komoditi dalam jumlah besar dengan harga murah yang laku di pasar. Keadaan seperti inilah yang mewarnai revolusi industri, sekaligus mendorongnya terus berkembang sehingga mengalahkan corak produksi feodal.
Sekali lagi kita dihadapkan kepada realita bahwa manusia harus menggunakan teknologi untuk mempertahankan hidupnya. Teknologi diciptakan agar manusia dapat hidup seefisien mungkin. Layaknya mesin-mesin dan teknologi dalam memproduksi komoditi yang dikembangkan sedemikian rupa agar akumulasi kapital terus berjalan seefisien mungkin. Kita mesti realistis bahwa kemampuan manusia sangatlah terbatas, namun karena kemampuan kognisi yang unggul maka melalui teknologilah kita menjadi seperti ini. Namun kita juga harus ingat bahwa manusialah yang membuat teknologi itu. Kembali lagi kita diajak untuk berpikir secara dialektis dan historis
Dari penjelasan di atas tampak bahwa kita tidak dapat melepaskan begitu saja kaitan antara teknologi, corak produksi dan perjuangan kelas, yang dalam hal ini yaitu politik. Karena layaknya sebuah pisau, teknologi ini dapat digunakan oleh siapapun untuk kepentingan apapun. Karena seperti pisau bermata dua, maka kehadiran teknologi ini janganlah kita sia-siakan. Jaringan internet, wifi, smartphone, facebook hingga google earth memang produk dari kapitalisme, namun yang lebih penting bagi kita ialah mampu melihat peluang penggunaan tersebut untuk perjuangan kelas, ketimbang bersikap anti terhadap kemajuan tersebut dan memilih jalan tradisional. Oleh karena itu dengan melihat teknologi dan relasinya kita di ajak berpikir kembali bahwa ada prasyarat dari berkembangnya teknologi itu sendiri, dimana syarat dari teknologi itulah yang mestinya diubah, bukan teknologinya. Karena teknologi itu sudah terlanjur hadir dalam kehidupan sehari-hari kita dan ia hadir karena ditopang bentuk masyarakat kapitalisme. Sehingga percuma saja kita melawan modernisme, yang dalam hal ini kemajuan perkembangan teknologi hari ini, jika kita tidak melawan kapitalisme. Selain buang-buang waktu dan energi, apakah Anda ingin kembali berburu meramu dan hidup di gua-gua sambil melukis hewan buruan Anda? Tak ada yang salah dengan perkembangan teknologi. Sistem masyarakat kapitalisme beserta para aktornyalah yang bermasalah. Alih-alih kebingungan menghadapi kemajuan teknologi di abad ke-21 yang pesat ini, alangkah lebih baik bila kita tetap tenang, memanfaatkannya dan mempelajari dari akarnya yaitu permasalahan ekonomi-politik.
Penutup
Di awal tulisan ini saya bercerita soal Chef Farah Quinn dan Chef Marinka yang sedang memotong bahan masakan. Di sinilah letak hikmah dari masak memasak yang saya ceritakan tersebut. Bahwa pisau dapat digunakan oleh Farah Quinn atau Marinka atau bahkan oleh Danjen Kopassus. Layaknya sebuah pisau yang merupakan alat untuk memotong apa saja kecuali upah pekerja, begitu pula teknologi. Ia dapat digunakan oleh siapa pun dan untuk kepentingan apa pun. Karena teknologi hanyalah alat perpanjangan tangan manusia, meski tak dapat dipungkiri teknologi turut memengaruhi sejarah kehidupan sejak masa Pleistosen.
Terdapat pertanyaan menarik dari Fathul Purnomo di akhir tulisannya yaitu “Haruskah saya menafsirkan ulang secara kekinian Das Kapital, ataukah menikmati sistem kapitalisme?” Jawabnya tentu tak di ujung langit dan kita ke sana dengan seorang anak yang tangkas juga pemberani. Jawabannya ada di kehidupan praktis. Saya tidak ingin memilih salah satu tapi keduanya. Seperti kata Marx dalam Theses On Feuerbach yang kedelapan bahwa seluruh kehidupan sosial pada dasarnya praktis, semua misteri yang mengarahkan teori kepada mistisisme mendapatkan jawaban rasionalnya di dalam kehidupan praktis manusia dan pemahamannya dari yang praktis ini (Marx Engels 2010: 8). Menjalani hidup sambil berusaha menafsirkan ulang secara kekinian Das Kapital, bagi saya suatu tantangan tersendiri. Lagipula sambil menjalani hidup kita sehari-hari, kita akan menemukan apa yang sesungguhnya Marx maksudkan dalam karya-karyanya. Dengan menyaksikan dunia kapitalisme hari ini secara empiris, niscaya kita lebih mampu mencerap hikmah serta meng-update Marxisme. Selain itu kita pun menjadi mampu mengambil sikap yang konkrit melalui cara berpikir yang dilandasi pertimbangan Materialisme Dialektis dan Historis. Inilah yang dimaksud korelasi antara praktis dan teoritis yang seimbang. Tidak ada alasan untuk tidak mempelajari kembali Das Kapital, sebab buku tebal tersebut menyimpan rahasia cara bekerjanya dunia hari ini.***
Tenabang, 4 April 2016
Penulis adalah anggota Perhimpunan Muda dan redaktur Rumah Kiri
Kepustakaan:
Abbinnett, Ross. Marxism After Modernity. New York: Palgrave Macmillan, 2007.
Engels, Friedrich. “The Part Played by Labour in the Transition from Ape to Man.” In Marx & Engels Collected Works Volume 25, by Jack Cohen (ed.), Maurice Cornforth (ed.) and Maurice Dobb (ed.), 452. London: Lawrence & Wishart, 2010.
Harris, Marvin. Cannibals and Kings: The Origins of Cultures. Glasgow: William Collins Sons & Co Ltd, 1978.
Marx, Karl. Capital: Volume One. London: Lawrence & Wishart, 1977.
Marx, Karl. “Theses on Feuerbach.” In Marx & Engels Collected Works Volume 5, by Jack Cohen (ed.), Maurice Cornforth (ed.) and Maurice Dobb (ed.), 6. London: Lawrence & Wishart, 2010.
Marx, Karl, and Friedrich Engels. The Communist Manifesto. London: Pluto Press, 2008.
Marx, Karl, and Friedrich Engels. “The German Ideology.” In Marx & Engels Collected Works, by Jack Cohen (ed.), Maurice Cornforth (ed.) and Maurice Dobb, (ed.) 27-35. London: Lawrence & Wishart, 2010.
Mulyanto, Dede. “Prakondisi Anatomis Kerja.” In Di Balik Marx: Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels, 157-182. Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2015.
Schick, Kathy, and Nicholas Toth. “The Origins and Evolution of Technology.” In A Companion to Paleoanthropology, by David R.(ed.) Begun, 265-289. West Sussex: Wile- Blackwel, 2013.