TERHITUNG 1 April 2016, BPJS Kesehatan (BPJSKes) secara resmi akan menaikan iuran. Berdasarkan Peraturan Presiden nomor 19 tahun 2016, iuran per peserta BPJSKes dinaikkan menjadi Rp. 23.000 per bulan dari Rp. 19.225 per bulan. Sementara bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) swasta tidak mengalami perubahan; PPU yang terdiri dari PNS, Anggota TNI dan Polri, pejabat negara, pimpinan dan anggota DPRD, dan pegawai pemerintah non PNS mengalami kenaikan iuran menjadi 5 persen dari total upah dengan 3 persen akan dibayar pemberi kerja sedang pekerja akan membayar 2 persen. Adapun bagi peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PPBU) dan Peserta Bukan Pekerja untuk kelas III, per peserta akan dikenakan iuran Rp. 30.000 per bulan dari Rp. 25.500. Peserta kelas II harus membayar Rp. 51.000 per bulan dari Rp. 42.500. Terakhir bagi peserta kelas I, iuran sebesar Rp. 80.000 harus dibayarkan tiap bulan dari sebelumnya Rp. 59.500.
Alasan yang dikemukakan oleh pihak BPJSKes perihal kenaikan iuran ini terdengar sangat logis: bahwa langkah ini diperlukan untuk menjaga keberlangsungan pelayanan sistem jaminan kesehatan ‘universal’ ini. Pilihan ini seakan tidak terelakkan mengingat BPJSKes tidak mungkin untuk menurunkan jumlah manfaat atau meningkatkan proporsi anggaran mereka dalam APBN. Untuk memperkuat alasan kenaikan ini, BPJSKes lalu mengumbar janji untuk meningkatkan kualitas pelayanan terhadap seluruh peserta yang ada. Janji yang manis bukan?
Di balik buaian ini, kita harus ingat bahwa semenjak diresmikannya BPJSKes dengan programnya Jaminan Kesahatan Nasional (JKN), sudah dua kali kenaikan iuran pelayanan ini dilakukan. Yang pertama dilakukan pada tanggal 1 Juli 2015. Dengan kata lain, iuran yang ada selama ini dianggap tidak mencukupi untuk penyediaan pelayanan kesehatan. Sebagai sebuah institusi yang menyelenggarakan pelayanan jaminan kesehatan sebagai hak warga negara sebagaimana amanat UU-nya sendiri, hal ini tentu saja terdengar ironis mengingat tidak ada jaminan sama sekali dari negara untuk memastikan bahwa jaminan kesehatan ini dapat dibiayai secara cukup.
Apa yang terjadi memang bukan sesuatu yang mengejutkan. JKN beserta operatornya BPJSKes memang tidak diniatkan sebagai organisasi yang beroperasi dalam logika pelayanan kebutuhan sosial, seperti kesehatan publik. Sebagaimana telah dikemukakan oleh Zaki Hussein (2015), ada ambiguitas dalam tubuh BPJSKes karena lebih berorientasi sebagai institusi jasa keuangan yang bertujuan untuk mengumpulkan dana dari masyarakat dalam rangka mendukung keuangan negara. Tidak heran jika kemudian BPJS harus memaksimalisasi pendapatan sembari menekan seminimal mungkin pengeluaran. Hal ini dilakukan melalui penggunaan sistem tarif INA-CBG (Indonesia Case Based Group) yang membatasi pelayanan kesehatan melalui standar pengobatan yang sudah terpaketkan. Harus diakui bahwa metode ini menjadi indikasi kuat bagi BPJSKes dalam menekan pengeluaran. Dengan INA-CBG, BPJSKes sudah dapat mengestimasi pengeluaran yang dengannya memperkecil resiko pengeluaran pelayanan kesehatan yang berlebihan.
Masalahnya, skema operasional seperti ini justru berpotensi untuk membuat bangkrut kesehatan publik Indonesia secara keseluruhan. Kebangkrutan yang pertama terkait dengan pelayanan kesehatan berdasar paket pengobatan INA-CBG, upaya pengobatan justru memperdalam fragmentasi pelayanan. Efek obat terhadap individu yang sakit seringkali berbeda-beda. Paket pengobatan yang dianggap “terstandarisasi” justru berpotensi menyebabkan ketidaksesuaian proses pengelompokkan kasus penyakit yang dapat berimplikasi pada kesalahan diagnosa. Belum lagi muncul masalah dimana standarisasi biaya versi INA-CBG justru menciptakan disparitas ongkos pengobatan yang pada saat klaim manfaat, seringkali penyelesaianya justru menekan pihak penyedia pengobatan (RS, dokter, tenaga medis) untuk membayar selisih biaya pengobatan. Hal ini tentu saja membuat pelayanan kesehatan publik menjadi tidak merata dan berbeda-beda sehingga tidak ada jaminan universal terhadap kesehatan itu sendiri.
Kebangkrutan yang kedua terkait dengan skema pembiayaan BPJSKes itu sendiri. Skema pembiayaan mandiri melalui iuran anggota sebenarnya didasarkan pada pembayaran atas standar paket obat INA-CBG. Selama ongkos obat yang dipaketkan dalam INA-CBG tidak mengalami kenaikan maka bisa dipastikan bahwa iuran tidak akan mengalami kenaikan. Namun yang jarang diungkap dari INA-CBG adalah penetapan tarif obat yang dipaketkan, sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme pasar yang ada. Dalam arti harga dari obat-obat yang dipaketkan bukan sesuatu yang dapat dikendalikan oleh otoritas kesehatan Indonesia. Proses ini seiring dengan kepentingan agar JKN ikut mendorong perkembangan industri farmasi Indonesia (Info BPJS Kesehatan, 2014). Ketika permintaan atas paket obat meningkat, maka ada tekanan sistemik yang mengerek tingkat harga obat yang dengannya mengubah ongkos paket obat INA-CBG. Konsekuensi logisnya, akan selalu muncul kebutuhan akan kenaikan tingkat iuran peserta. Di sini dapat diargumentasikan bahwa BPJSKes sudah secara inheren mengidap kebangkrutan finansial karena relasinya dengan mekanisme pasar obat-obatan yang tidak dikendalikan negara.
Apa yang terjadi dengan BPJSKes bukan lah sesuatu yang unik Indonesia. Ketika pelayanan kesehatan publik diserahkan pada entitas yang memiliki orientasi keuntungan, biaya penyediaan pelayanan publik justru menjadi mahal dan menggerogoti kualitas pelayanan kesehatan itu sendiri. Himmelstein et al (2014) menunjukkan bahwa dari enam negara yang telah menyelenggarakan jaminan kesehatan (AS, Belanda, Inggris, Wales, Kanada dan Skotlandia), AS merupakan negara yang tingkat biaya adminsitrasi rumah sakitnya paling tinggi dibandingkan negara yang lain. Sementara negara seperti Kanada dan Skotlandia, justru memiliki biaya adminsitrasi rumah sakit yang sangat rendah. Himmelstein et al berpendapat bahwa kondisi mahalnya biaya administrasi lebih banyak disebabkan oleh sistem kesehatan yang sangat terprivatisasi, yang pelayanan kesehatannya berada di luar kendali negara. Kanada dan Skotlandia memiliki biaya administrasi yang rendah karena sistem jaminan kesehatan publik sangat tersosialisasi; sementara AS justru sebaliknya, dimana aktor asuransi swasta memegang peranan sangat besar dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Bahkan pada tahun 2010, administrasi rumah sakit berkontribusi 1.43 persen terhadap Produk Domestik Bruto AS (Gaffney 2016).
Yang terjadi dengan kebangkrutan BPJSKes sebagai suatu pelayanan kesehatan publik adalah hilangnya kendali negara dalam mengelola penyelenggaraan pelayanan kesehatan publik. Retorika hukum-normatif yang melatarbelakangi kemunculan BPJSKes mengenai kesehatan sebagai hak warga negara harus perlu direalisasikan. Hal ini menjadi penting mengingat yang berlaku secara konkrit justru adalah pelayanan kesehatan publik sebagai komoditas jual-beli. Tidak heran jika kemudian perhitungan yang kaku mengenai biaya serta ongkos atas nama mempertahankan keuntungan menjadi begitu penting dalam kerja BPJSKes. Oleh karenanya, realisasi atas posisi kesehatan sebagai hak warga negara ini tentu saja mensyaratkan perombakan mendasar dari keberadaan BPJSKes dengan menempatkan negara sebagai penyedia sekaligus pengendali pelayanan kesehatan publik.
Di sini, perjuangan kelas atas kekuasaan negara menjadi tak terelakkan. Watak akumulasi di balik pelayanan kesehatan publik adalah konsekuensi hilangnya kekuasaan kelas pekerja untuk menentukan skema pelayanan kesehatan yang menguntungkan rakyat itu sendiri. Masalah kenaikan iuran BPJSKes dapat menjadi pintu masuk bagi seluruh elemen gerakan kiri dan progresif dalam membicarakan agenda politik kelas pekerja terhadap pelayanan kesehatan publik. Suatu hal yang pada dasarnya merupakan karakter dasar bagi gerakan kiri itu sendiri: agenda politik untuk memanusiakan manusia!***
Penulis adalah Sekretaris Wilayah KPRI Jakarta, Anggota PRP
Kepustakaan:
Gaffney, A. (2016). What Obamacare Can’t Do? Jacobin Magazine. Diambil dari https://www.jacobinmag.com/2016/02/gaffney-single-payer-sanders-healthcare-obamacare-aca-clinton/
Info BPJS Kesehatan. (2014). “Formularium Obat Nasional: Kendalikan Mutu dan Biaya Pengobatan”. Buletin Internal Resmi BPJS Kesehatan: Edisi VIII. Diambil dari http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/2b67b6556b028d910d2ee8df4245e886.pdf
Zaki Hussein, M. (2015). BPJS Kesehatan: Perlindungan Kesehatan atau Jasa Keuangan Negara? Diambil dari http://www.prp-indonesia.org/2015/bpjs-kesehatan-perlindungan-kesehatan-atau-jasa-keuangan-negara