BANYAK kerancuan timbul dari pemahaman atas konsep Jacques Derrida tentang “pemaafan” (forgiveness). Itu tercermin, misalnya, dari “Maaf”, Catatan Pinggir Goenawan Mohamad (GM) yang baru-baru ini terbit. Tulisan itu mendemonstrasikan kerancuan penulisnya dalam memahami, dan mendudukkan secara “dekonstruktif”, konsep Derridean tentang “maaf”.
Esai Derrida tentang pemaafan yang kerap dikutip adalah “On Forgiveness” (1997), meski terdapat banyak teks lain yang ditulisnya menyinggung problematik itu, dalam satu dan lain cara—salah satunya, “Force of Law: The ‘Mystical Foundation of Authority’” (1990). Dengan membaca teks yang terakhir ini, kita bisa mengetahui mengapa Derrida ingin mengatasi Hukum dan mengejar ketakbersyaratan (unconditionality). Tanpa membaca, setidaknya, dua teks ini secara bersamaan, cara baca kita berisiko myopia, seperti Paktua Goen yang kian pikun.
Pertama, problematik pemaafan, dalam Derrida, tidak lepas dari problematik keadilan. GM melepas maaf dari pertanyaan tentang keadilan. Argumennya membebaskan Negara dari tuntutan keadilan dan permintaan maaf yang dialamatkan oleh para korban 1965, dan mendorong korban agar memaafkan secara tak bersyarat atas kejahatan Negara. Inilah konsekuensi dari melihat maaf secara terisolir dari problem keadilan. Pandangan ini sangat simplistik, dibandingkan dengan Derrida. Derrida melihat maaf dan keadilan sekaligus sebagai sesuatu yang paradoksal dan kontradiktif, namun harus sama-sama dihitung. Inilah logika “aporia”. Logika ini berlaku baik bagi pelaku maupun korban.
Bagi pelaku: mungkinkah dia meminta maaf, tanpa mengorbankan keadilan yang harus dipenuhinya kepada korban? Bagaimana memenuhi keadilan itu, di hadapan korban yang kehidupannya tak tergantikan dan kebebasannya telah ia renggut? Kritik Derrida, dalam “On Forgiveness”, menyoroti permintaan maaf dari pelaku yang selama ini bersifat seremonial dan basa-basi belaka. Pelaku meminta maaf—dan terkadang memaksa korban untuk memaafkan—namun ia tidak mampu memenuhi tuntutan keadilan. Inilah model permintaan maaf “transaksional”, yang sering dipraktikkan oleh negara-negara untuk mendukung impunitas. Jawab Derrida: tidak mungkin dia meminta maaf; dan kalaupun ia meminta maaf, permintaan maaf itu tak pernah cukup untuk mengganti kerugian yang diderita oleh korban. Inilah ketidakbersyaratan, dari sisi pelaku. Permintaan maaf harus didorong sampai pada batasnya yang mustahil dan “tak bersyarat”, karena, di hadapan korban, pelaku bukan subjek yang berdaulat. Ia harus tunduk pada imperatif korban, yang tak terbatas, yang tak bersyarat.
Bagi korban: mungkinkah dia memberi maaf, tanpa menjadikan keadilan sebagai manifestasi pembalasan dendam? Bagaimana ia memberi maaf, tanpa menjadikan maaf suatu kontrak yang mensyaratkan hubungan timbal-balik yang ekonomis? Problem dari pemberian maaf oleh korban, yang dilihat Derrida, kerap berputar pada penyamaan antara keadilan dengan konsesi, kontrak politik, bahkan pembalasan—yang tetap akan mengawetkan kekerasan, karena pemaafan menjadi bersyarat dan tak murni. Taruhlah misal: korban mengatakan, “aku memaafkanmu”, asalkan “engkau dihukum seberat-beratnya”, atau asalkan “anak cucumu juga menderita sepertiku”. Pemberian maaf yang dijalankan dengan tuntutan keadilan yang bersyarat seperti itu bukan maaf yang “sejati”, yang “tak bersyarat”. Pemberian maaf seperti itu tidak akan memberi keadilan yang sesungguhnya, dan akan terjebak dalam logika penghukuman (punishment) yang merisikokan korban berubah menjadi “pelaku” di kemudian hari. Dengan kata lain, Derrida menolak pemberian maaf dengan “karma”.
Dalam tulisannya, GM memberi kesan yang menuduh para korban ‘65 sedang menebar dendam, atau menuntut “keadilan” yang dilatari oleh pembalasan. Ia memojokkan Pramoedya Ananta Toer, lalu mengadunya dengan Oey Hay Djoen dan Gus Dur. Ia memancing di air keruh dari perbedaan pandangan para korban dalam menyikapi rekonsiliasi yang diulurkan oleh Gus Dur. Benarkah sejauh itu tuntutan keadilan yang dilayangkan oleh korban—untuk membalas dendam kembali, mengawetkan kekerasan di masa depan, atas nama “karma”? Rasanya tuduhan itu sungguh mengada-ada. Argumen Derrida, dengan kata lain, hanya dimanfaatkan GM sedemikian rupa justru untuk tujuan yang anti-Derridean: mengawetkan lagi luka, memojokkan korban kesekian kalinya, membungkam korban agar pemaafan tak pernah terjadi. Juga agar keadilan tak pernah ditegakkan untuk korban.
Kedua, di halaman 39 “On Forgiveness”, Derrida menyebut maaf (meminta maaf dan memberikan maaf, dalam konteks pelaku dan korban) sebagai suatu “kegilaan”, suatu “kegilaan dari yang mustahil”. Bukan karena maaf itu tidak mungkin terjadi. Tapi justru karena begitu ia terjadi, akan muncul suatu perubahan besar dalam kehidupan politis, “seperti revolusi, yang mengejutkan jalannya sejarah, politik, dan hukum, yang lazim”. Permaafan, bagi Derrida, adalah revolusioner. Ia dapat mengubah sejarah suatu bangsa, bahkan dunia. Tentu maaf yang tak sekadar basa-basi, tetapi yang didasarkan pada imperatif terjauh dari keadilan. GM tak ingin maaf seperti itu terjadi. Baginya, revolusi tak ada lagi. Bagi Derrida, revolusi mungkin, dan akan lebih mungkin lagi di masa depan, di mana kejahatan kemanusiaan dan barbarisme semakin tidak terkendali.
Perbedaan dua posisi ini sudah cukup menunjukkan bahwa GM hari ini pada dasarnya anti-Derridean, meski 1000x mengutip Derrida bagaikan ayat suci yang diulang-ulang.***
Penulis adalah editor Islam Bergerak