“Cina Baik-baik” vs “Cina Sok Jago”: Pancingan Rasisme Sang Jenderal

Print Friendly, PDF & Email

HAJATAN pilkada DKI Jakarta belum lagi dimulai, tetapi kampanye hitam, provokasi, dan fitnah sudah mulai gencar ditebarkan. Misalnya sebuah berita dari PosMetro[1], yang dengan cepat tersebar ke mana-mana. Berita yang dimuat PosMetro itu sebenarnya hanyalah tentang status Facebook seseorang yang bernama Suryo Prabowo. Atau lengkapnya Letjen TNI (Pur.) Johannes Suryo Prabowo, mantan wakil kepala staf angkatan darat (Wakasad) dan mantan kepala staf umum (Kasum) TNI.

Dalam status Facebooknya, Suryo Prabowo menulis demikian, “Man-teman … Terutama #TemanAhok … Kalau sayang dgn teman2 atau sahabat dari etnis Tionghoa, tolong diingatkan agar jangan ada etnis Tionghoa yg “sok jago” ketika berkuasa atau dekat dengan penguasa. Kesian kan Tionghoa lainnya yg baik2 dan/atau yg miskin, kalo ada yg mau mbantai atau menjarah, mereka kan gak bisa kabur ke luar negeri ? Tolong jaga Bhinneka Tunggal Ika dan sama-sama membangun HARMONI DALAM KEBERAGAMAN. ? JSP #SaveNKRI”[2]

Status Surya Praboow ini sungguh mengganggu saya. Ia mengesankan dirinya bersikap netral, padahal sejatinya ia sedang melakukan insinuasi. Saya memutuskan untuk meletakkan status Facebook milik Suryo Prabowo ini ke dalam satu perspektif. Ini mengingat bahwa penulisnya adalah seseorang yang punya kehidupan publik sebagai mantan petinggi militer dan seorang politisi. Dia adalah lulusan Akabri terbaik angkatan 1976.

Dalam status tersebut ada juga gambar yang lumayan menyeramkan. Ada mayat terbakar. Ada toko yang dibakar. Di sana kemudian ia memajang tulisan seperti ini.

“Siapa bilang sejarah kekejaman thd etnis Cina tidak berulang?
Sepanjang penyebabnya berulang
Sejarah kelam pasti berulang
Sepanjang ada China sok jago, pasti …
China yang baik-baik jadi korban

Thn 1740-1743: 10.000 etnis China dibantai
Thn 1959 ribuan etnis China exodus ke RRC
Thn 1966 ribuan etnis China kembali ke RRC
Thn 1998 ribuan etnis China kabur ke LN”
Status ini bertanggal 15 Maret, 2016.

Keesokan harinya, 16 Maret 2016, Suryo Prabowo kembali ke luar dengan status yang sama. Dia mengingatkan Ahok dan Teman Ahok, sembari menegaskan dirinya pencinta NKRI dan sahabat semua suku, termasuk Tionghoa (sekarang dia pakai istilah ini).[3]

Pada status ini dia mengakui bahwa peran orang etnis Cina adalah sebagai saudagar. Dia bahkan mengatakan, jumlah orang pribumi yang menjadi karyawan perusahan-perusahan milik orang Tionghoa lebih besar daripada jumlah PNS. “Jadi menurutku wajar bila saya tidak mau kalau warga TIONGHOA yg baik-baik jadi korban kelakuan orang-orang yg tidak bertanggung-jawab yg memprovokasi terjadi amuk massa.”

Selanjutnya Jenderal ini mengatakan, “Oleh sebab itu beberapa saat lalu saya mengingatkan (BUKAN MEMPROVOKASI) kepada … entah itu ‪#‎TemanAhok ‪#‎KawanAhok atau siapapun PENCINTA ‪#‎Ahok supaya menghentikan kampanye yg berbau SARA, dan menghentikan kampanye yg dgn arogan MENANTANG sistem POLITIK dgn mengadu anggota partai vs kelompok independen pendukung #Ahok. Kampanye kalian seperti itu justru MEMPROVOKASI terjadinya KONFLIK HORISONTAL antar kedua pihak yg pro dan kontra #Ahok.”

Tidak lupa pula dia memosisikan Indonesia sebagai negara yang terancam. Inilah yang dia bayangkan akan terjadi:

“Bila ditahun 2017 nanti Ahok terpilih jadi Gubernur DKI Jakarta. Sangat mungkin pendukungnya eforia, dan bisa jadi Ahok makin “sok jago”. Bagaimana tidak ? Lha wong baru jadi gubernur karena dapat “muntahan” dari pak Jokowi yang jadi presiden saja, dia sudah sok jago seperti sekarang.

Situasi seperti itu bisa membuat “pribumi” dan kelompok muslim marah. Lalu terjadi akumulasi kemarahan akibat invasi buruh dari Negara China, dan keberpihakan pemerintah terhadap “modal” dari Negara China yang akan memicu terjadinya AMUK MASSA terhadap etnis Tionghoa di Jakarta, dan kota-kota besar lainnya. Sehingga menimbulkan kerugian dan korban jiwa yg masif tidak hanya dari etnis Tionghoa saja.

Ujung-ujungnya nanti yang disalahkan dan dituduh melakukan PELANGGARAN HAM adalah TNI/Polri karena dinilai melakukan PEMBIARAN.

Kondisi seperti itu tentu bisa dijadikan alasan bagi ” dunia”, terutama AS cs dan negara China, untuk melakukan operasi militer di wilayah NKRI dengan judul “Humanitarian Intervention”.

Telunjuk Suryo Prabowo dengan sangat telanjang menuding Ahok dan relawan pendukungnya. Tapi sesungguhnya dia juga tahu persis bahwa empat jari lainnya menunjuk pada dirinya. Dia mengklaim dirinya sebagai sahabat semua suku, termasuk Tionghoa (yang dia tulis dengan huruf kapital), namun dia tahu persis bahwa dia sedang mengaduk perasaan kebencian terhadap etnis Cina.

Suryo Prabowo dengan jelas membuat pembilahan tentang dua Cina (dia menambahkan huruf ‘h’). Yang satu adalah, yang menurutnya, ‘Cina baik-baik’ dan miskin yang akan menjadi korban kerusuhan karena tidak bisa lari ke mana-mana kalau diserang. Yang lain adalah ‘Cina yang tidak baik’, yaitu Ahok dan relawannya yang arogan dan sok jago.

Pembilahan ala Suryo Prabowo ini mau tidak mau mengingatkan saya pada kategori yang sama yang ditangkap oleh intelektual Afrika keturunan India, Mahmood Mamdani, ketika menelisik masalah terorisme pasca serangan 11 September 2001. Mamdani melihat usaha untuk membingkai konflik ini bukan dengan memisahkan antara ‘teroris’ dengan ‘masyarakat sipil’, namun dengan membikin penggolongan antara ‘Good Muslims’ dan ‘Bad Muslims.’ Jika pemilahan yang diambil adalah antara ‘teroris’ dengan ‘masyarakat sipil’ maka akan jelas tampak bahwa masyarakat sipil lah yang menjadi korban terorisme, tidak peduli apa agamanya, etnisnya, warna kulitnya, dan lain sebagainya.

Sedangkan pembilahan antara ‘good Muslims’ dan ‘bad Muslims’ itu mengharuskan suatu penyelesaian dengan ‘perang saudara’ antara keduanya. Negara-negara Barat mengharuskan dirinya untuk membantu pihak ‘good Muslims.’ Tentu saja, pembilahan ‘good and bad Muslims’ ini didefinisikan menurut kekuasaan tafsir negara-negara Barat itu sendiri.

Persis inilah yang dilakukan Suryo Prabowo. Dan saya kira banyak orang yang sepaham dengan dia baik dalam dinas militer maupun sipil. Pemikiran ini pulalah yang menjadi arus utama (mainstream) pada jaman Orde Baru. Ideal Suryo Prabowo ini adalah sama persis seperti idealnya Soeharto. Tidak terlalu mengherankan juga karena orang seperti Suryo Prabowo ini dididik oleh rezimnya Soeharto.

“Cina yang baik” adalah Cina yang hanya berdagang, yang punya toko, yang membikin perusahan, yang menjadi distribusi barang dan jasa. Orang akan menjadi Cina yang baik sepanjang dia tetap berada pada koridor itu. Dan dia akan menjadi Cina yang teramat baik kalau dia menjadi ‘kroni.’ Kosa kata ini seperti lenyap ditelan bumi. Walaupun sebenarnya masih ada dan tetap subur. Kroni artinya adalah Cina yang berdagang dengan perlindungan kekuasaan dari orang kuat (biasanya militer dan pribumi) yang menjadi konco-nya.

Sedangkan ‘Cina yang buruk’ adalah Cina yang masuk ke dalam dunia politik. Sebenarnya tidak saja politik, tetapi juga dunia yang menyentuh kehidupan publik. Yap Thiam Hien adalah Cina yang buruk karena menjadi pembela lawan-lawan politik militer Orde Baru. Demikian pula dengan Arief Budiman atau adiknya Soe Hok Gie. Sebaliknya, Liem Bian Kie, sekalipun masuk ke dunia politik bisa menjadi Cina yang baik karena bisa diajak cincai-cincai membangun Golkar. Akhirnya dia pun menjadi Yusuf Wanandi. Demikian pula dengan Harry Tjan Silalahi (Tjan Tjoen Hok). Namun toh, diakhir kekuasaan Soeharto, mereka berdua ini menjadi ‘Cina yang buruk’ lagi karena berani menentang kekuasaan Soeharto yang pernah dibantunya.

Dalam kerangka inilah Ahok diletakkan. Ahok tidak saja Cina yang buruk. Dilihat dari kacamata Suryo Prabowo, dia adalah Cina yang amat buruk karena dia ‘sok jago.’ Ini adalah kata lain dari ‘mentang-mentang’ karena mendapat kekuasaan.

Cara berpikir seperti ini sesungguhnya sangat rasialis. Orang Cina tidak boleh memiliki kekuasaan politik. Karena mereka itu ‘pendatang’ (sekalipun sudah hidup di bumi Nusantara ini selama sekian puluh atau bahkan ratusan tahun), mereka itu ‘minoritas’ (sekalipun pengaruhnya dalam bidang pemikiran terbentang luas dan sangat mayoritas), dan mereka itu ‘orang lain.’ Orang Cina harusnya tetap berdagang saja. Dan, tentu saja, akan lebih baik kalau menjadi kroni.

Namun harus diingat bahwa pola berpikir seperti ini tidak hanya milik kaum seperti Suryo Prabowo saja. Banyak juga orang Cina punya pikiran yang sama. Mereka kuatir kalau ada orang Cina yang berpolitik maka konsekuensinya akan menimpa orang Cina yang lain, yang tidak tahu apa-apa. Jaya Suprana, misalnya, pernah menulis surat tentang kekhawatirannya pada Ahok. Menurut Suprana, ucapan dan tingkah Ahok yang kontroversial akan membahayakan kepentingan orang Cina pada umumnya.

Jangan ditanya landasan sosiologis atau historis dari cara berpikir seperti ini. Rasisme tidak memiliki landasan apapun kecuali prasangka dan kebencian. Diatasnya adalah adalah nafsu untuk berkuasa. Rasisme adalah kehendak berkuasa – atau menunjukkan kekuasaan – atas dasar prasangka dan kebencian.

Bukankah semua kerusuhan anti-Cina itu terjadi sebagai pelampiasan kebencian akan status ekonomi orang Cina? Disinilah sebenarnya inti dari insinuasi rasial Suryo Prabowo terhadap Ahok dan kaum relawannya TemanAhok itu. ‘Cina yang baik’ itu harus terus menerus berada dalam ghetto ekonomi karena dengan demikian Cina mudah dikontrol. Sepanjang orang Cina hanya mengurusi dagangnya, menumpuk harta dan menjadi kaya raya, maka kerusuhan rasial yang bertindihan dengan kesenjangan ekonomi itu dengan mudah disulut. Persoalannya adalah siapakah yang menyulut? Sementara banyak kerusuhan sosial ini pelakunya adalah gerombolan massa, maka penyulut itu biasanya adalah apa yang disebut oleh para ahli kerusuhan sosial sebagai ‘riots entrepreneurs.’ Siapakah yang punya kemampuan itu? Jelas, mereka yang punya kontrol terhadap kekuasaan politik.

Orang yang berpikir dalam aras ini tidak akan bisa mengerti bahwa jalan terbaik untuk mencegah terjadinya kerusuhan anti-Cina adalah dengan memberikan hak-hak kewarganegaraan yang sama kepada orang Cina. Termasuk didalamnya untuk berpolitik dan mengabdikan hidup untuk kepentingan publik. Ketika orang Cina diberi hak kewarganegaraan yang sama maka ketika itu juga dia menjadi bagian dari masyarakat sipil. Dia tidak lagi terisolasi dalam ghetto ekonominya.

Dan lebih sulit lagi legitimasi untuk menyulut kerusuhan rasial. Bukankah ketika Orde Baru yang rasis itu jatuh dan orang Cina mendapat kesempatan untuk memangku jabatan publik (Ahok salah satunya!), hampir tidak ada lagi kerusuhan rasial terhadap etnis Cina? Itu terjadi karena sudah sangat berkurang proses ‘pencina-cinaan’ orang Cina, sebuah proses yang menjadikan Cina hanya sebagai simbol keserakahan ekonomi.

Dengan menjadi politisi, orang Cina mengemban tanggung jawab tidak lagi sebagai orang Cina yang serakah, tetapi juga sebagai bupati, walikota, gubernur, menteri, anggota parlemen, dan lain sebagainya. Dia akan diminta pertanggungjawaban sesuai dengan jabatan publik yang diembannya. Perlakuan yang diterima pun sama seperti warga negara lainnya. Walikota etnis Cina yang korupsi, misalnya, akan diperlakukan sebagai walikota yang korup. Dia adalah koruptor. Titik. Bukan karena dia berasal dari etnis Cina.

Apa yang dilakukan Suryo Prabowo ini adalah apa yang umum dikenal sebagai ‘race baiting.’ Dia dengan sadar menuduh pihak lain, dalam hal ini Ahok dan TemanAhok, sebagai pihak yang memakai isu SARA dalam kampanye. Sementara, Suryo Prabowo sendiri berusaha tampak netral, seolah-olah bersahabat dengan siapa saja, mengagungkan Bhineka Tunggal Ika, tidak bias. Namun persis pada saat bersamaan dia juga mengingatkan khalayak bahwa orang atau golongan yang dia sasar adalah etnis Cina. Dia melakuan ‘pencinaan’ terhadap Ahok dan TemanAhok. Suryo Prabowo bahkan maju lebih jauh dengan mengklaim bahwa mereka ini bukan dari jenis ‘Cina yang baik’

Race baiting adalah rasisme. Pengucapnya adalah rasis. Sesederhana itu. ***

 

————

[1] http://www.posmetro.info/2016/03/ingatkan-ahok-suryo-prabowo-kalau.html

[2]https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10207471977815845&set=a.10206870547300458.1073741826.1180308793&type=3&theater

[3]https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10207482099748887&set=a.10206870547300458.1073741826.1180308793&type=3&theater

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.