SERANGAN itu mengejutkan semua kalangan. Jalanan yang biasanya macet kini disibukkan oleh adegan laga. Beberapa orang memegang senjata dan polisi tampak kewalahan menghadapi. Foto seputar kejadian itu beredar dengan cepat. Hestag kalau Jakarta tak takut melawan teroris terbang kesana kemari. Seakan semua pihak percaya kalau menghadapi teroris harus tegas, berani dan tanpa rasa gentar. Suasana hari itu kian ditambah dengan banyaknya peryataan yang berhamburan: polisi, pengamat hingga orang awam. Teroris menyita perhatian publik menggantikan semua soal penting lainya. Kita dihadapkan pada kenyataan pahit: penanganan selama ini tak mempan untuk menumpas potensi bahkan aksi terorisme. Padahal dana, perhatian dan lembaga yang terlibat di dalamnya sangat besar dan kian banyak. Kita dijerumuskan dalam kubang bernama ketidak-pastian atas keamanan. Yang kita hadapi bukan doktrin tapi lapisan anak muda yang melihat kenyataan sosial mirip medan perang.
Seperti biasa muncul analisis mengenai penyebab itu semua. Lontaran ormas keagamaan tentang konspirasi mengulang peryataan sebelumnya. Seakan perbuatan teroris ini memang dikerjakan oleh boneka yang gampang digerakkan, diarahkan bahkan dimanipulasi kesadaranya. Ini analisis tak saja menghina otak para pelaku tapi juga mengabaikan kenyataan yang terjadi. Sebab para pelaku itu memang punya rencana dan beroperasi dengan kesadaran sepenuhnya. Tangkai teori konspirasi itu selalu menggantungkan pada apa yang terjadi pada masa puluhan tahun lalu. Ketika Orba dengan mahir memanfaatkan kekuatan politik Islam untuk memenuhi kepentinganya. Kini keadaan berubah dan teori ini bermanfaat saat kita malas untuk memahami apa yang terjadi dan menangani apa yang jadi soal sesungguhnya. Bareng dengan teori ini adalah ucapan umum para petinggi agama yang mengutuk dan memproklamirkan bahwa Islam tak seperti itu. Seolah mereka mau meletakkan pelaku itu dalam kategori bukan seorang pemeluk agama yang sebenarnya. Statemen yang berusaha untuk berkelit dari tanggung jawab dan malas untuk terlibat dalam memecahkan soal secara serius.
Kini peryataan itu seperti ditampar oleh adegan di MH Thamrin. Pria muda bersenjata dengan mudah menebar peluru dan meledakkan bom. Seorang pelaku bahkan mendekat ke aparat polisi menusukkan pistol ke perutnya dan memuntahkan peluru. Luas areal penyerangan di tengah kota dan memporak-porandakan massa dengan dentuman bom dan lemparan granat. Semuanya itu yang fantastis terjadi di tengah kesaksian warga dan himpunan juru foto yang biasa nongkrong di sekitar tempat kejadian. Pilihan favorit yang tepat jika memang tujanya adalah memperluas publikasi. Terorisme memang punya unsur sensasi yang bisa memberi daya kejut dan kekuatan berita. Drama ini berakhir dengan keterangan Polisi yang menyebut lima terduga teroris tewas. Keterangan lanjutanya adalah ISIS yang bertanggung jawab. Keterangan tambahan bahwa serangan itu dipersiapkan. Bantahan lalu muncul bahwa aparat tak kecolongan. Semua sebenarnya sudah tahu tapi mereka pastinya tak tahu bagaimana mengatasinya. Lorong kejadian ini buntu karena kita tak bisa mengerti pintu masuknya dan kita juga sulit memahami lorong itu menuju kemana.
Lorong terorisme itu seperti berkabut. Sejak puluhan bahkan ratusan orang ditangkap kita seperti buta memahami gejala ini. Kita bisa menangkap pelaku tapi tak bisa memahami dengan benar: kenapa mereka melakukanya, mengapa dilakukan di sini dan bagaimana mereka menjangkau banyak pengikut. Riset yang ditaburkan selalu berunsur hal yang diulang-ulang: terorisme karena keyakinan, terorisme karena kesulitan ekonomi, terorisme tumbuh karena absenya negara dan terorisme meledak karena ketidak-adilan. Tesis ini sebagian mungkin benar tapi juga separo yang lain menyimpan cacat. Cacat pendekatan ini adalah kehilangan pijakan realitas. Kalau dilandaskan pada ekonomi mengapa juga kebanyakan pelaku tergolong kelas menengah yang mampu secara ekonomi. Jika didasarkan pada doktrin banyak pelaku tergolong lapisan terdidik yang tidak awam soal agama. Sedang jika didasarkan ketidak-adilan mengapa isu yang diangkat selalu meyentuh pertentangan antara apa yang diyakini dan apa yang dianggap bukan keyakinan. Tembok untuk memahami itu disekat oleh keyakinan sederhana kita bahwa sejarah sosial terorisme itu tak bermula dari masa lalu tapi datang dari konflik global saat itu.
Ujungnya bisa diawali dari ambruknya Afganistan dari cengkraman Rusia karena serbuan pasukan yang didukung Amerika. Rusia kala itu mengusai Afganistan dan tak mempan jika ditaklukkan oleh pasukan Amerika. Cara ampuh yang bisa dikerjakan adalah mengajak, melibatkan dan mendukung pasukan Mujahidin. Pasukan itu bukan rombongan penduduk Afgan tapi anak-anak muda yang diantarkan oleh firman dan ditasbihkan keyakinanya akan arti pentingnya perang. Mereka, diantaranya, berasal dari Indonesia yang saat itu memang memusuhi apapun yang berbau komunis. Doktrin anti komunis yang ditebar oleh Orde Baru mendapatkan benih pada mereka yang mau memeranginya. Maka keputusan untuk berangkat perang itu bukan hanya sebuah keputusan suci tapi juga difasilitasi oleh ruang politik yang memberinya kemudahan. Perang-saat itu- telah jadi metode untuk meningkatkan Iman dan derajat ketakwaan. Hari itu perang memiliki tempat dalam teologi setelah dikubur lama dalam tragedi Kartosoewirjo. Perang yang berdimensi global: bertarung melawan pasukan Rusia dengan senjata yang dibekali oleh Amerika serta sekutunya.
Tentu perang itu membawa banyak dampak. Kepulangan para veteran itu, kita tahu, menciptakan suasana keagamaan baru. Kisah perang itu jadi sebuah cerita agung dengan tambahan sana-sini. Para panglima itu kini kembali membawa Islam dalam bentuk yang konfrontatif. Iman yang bersanding dengan situasi politik baru: menegoisasikan kedudukan melalui kekuatan massa. Tapi pada saat itulah kita merumuskan ulang apa itu arti beriman. Beriman bukan sekedar percaya tapi juga melawan. Bukan melawan hawa nafsu tapi juga nafsu-nafsu yang selama ini membusuk dalam tubuh sistem sosial. Sistem itu meluap dalam bentuknya yang paling nyata: ketidak-adilan dan kemiskinan. Sialnya ormas-ormas keagamaan seakan lumpuh dalam menghadapi sistem ini, bahkan ikut terlibat mendesain sistem ini. Maka muncul banyak inisiatif untuk merumuskan sistem dengan mencoba mengungkit ide mengenai shariah. Jalannya sebenarnya terbuka ketika sistem kekuasaan kian demokratis. Tapi jalan itu dibajak oleh para durjana yang bersembunyi di balik topeng partai. Rasa kecewa meluap dan menemukan momentum ketika para veteran itu merasa perlu merumuskan ulang perlawanan. Kini sasaranya bukan kekuasaan yang ada di Afgan, tapi cengkeraman negara negara besar yang turut mengendalikan negeri ini. Bom meledak saat itu hampir di seluruh jajaran kantor asing dan warga asing. Mereka melihat soalnya bukan pada orangnya tapi sistem yang bekerja mengendalikan itu semua. Terlebih kemudian aparat keamanan menangkap para pelaku, menjatuhkan vonis mati hingga memasukkan ke dalam penjara. Aroma bahwa proses penegakan hukum ini dikendalikan oleh kepentingan luar muncul saat itu.
Tapi penjara memang bukan pemecahan. Para sipir kini harus berhadapan dengan napi yang punya keyakinan dan kemahiran dalam memasarkan ideologi. Jangkauan pengaruh mereka memang dibatasi tapi keyakinan mereka tak mudah luntur. Beberapa orang memang disebut telah dideradikalisasi, tetapi lebih banyak lagi orang yang tak tergoda proyek itu. Keteguhan seseorang yang punya keyakinan diuji ketika di penjara. Keteguhan itu tak lapuk karena represi dan intimidasi. Keyakinan itu terpupuk dengan tekanan, sanksi dan hukuman. Diam-diam telah muncul banyak pengikut yang memercayai jalan itu. Para pengikut ini anak-anak muda yang tumbuh dalam lingkungan serupa: konflik Ambon, Palu hingga konflik kepemilikan. Mereka seakan jadi saksi hidup bagaimana hidup tak bisa berbekal dengan pikiran dan kemahiran tapi juga keberanian untuk berperang. Deretan anak-anak muda ini juga hidup dalam suasana global yang perih: negara raksasa menginjak-injak kedaulatan di banyak negeri muslim. Mereka melihat tayangan, mendengarkan kisah peperangan dan bertemu dengan veteran. Hidup dan cita-cita mereka tak sekedar mau bekerja tapi ingin jadi pahlawan Tuhan. Misi yang mulai disuburkan oleh pendidikan keagamaan yang tumbuh di mana-mana dengan berita umum mengenai surga. Pada saat itulah negara memang abai kalau sedang tumbuh sebuah lapisan yang melihat soal berdasar posisi kalah dan menang.
Maka muncul anak-anak muda yang tak takut menyambut kematian. Perasaan yang kini memiliki jalur sambungan baru bernama ISIS. Di sana ada banyak kabar, kisah dan berita tentang kehidupan yang sesuai mimpi mereka. Dipimpin oleh penguasa yang beriman, silsilah keturunanya mencapai Nabi dan berhasil menaklukkan banyak wilayah. Maka Dawlah seperti tesis aktual karena menjawab kebutuhan yang selama ini tak banyak jawabannya: tinggal di negeri yang berbalut aturan dari Tuhan, mempertahankan negeri itu dari serangan para durjana dan melakukan terus penyerangan agar makin banyak orang tunduk pada kekuasaan negeri itu. Sebuah harapan yang mengulang kembali bagaimana mula-mula agama itu lahir, tumbuh dan meraih pengikut. Pesan ini tak banyak yang mampu membantah dan jika ada yang menolak itu kian menunjukkan kebenaran keyakinan itu. Kebenaranya tidak dikandung pada argumen yang ada dalam keyakinan tapi bagaimana penolakan sengit yang muncul. Kian tinggi penolakan atas keyakinan maka kandungan kebenaranya terus bertambah. Dosis itu makin hidup ketika keyakinan itu tumbuh lewat pertarungan. Pertarungan yang kini telah jadi bagian dari ajaran bahkan anjuran yang terus didengungkan.
Bara permusuhan pada aparat jadi buah keyakinan itu hari ini. Peluru itu dihamburkan untuk membunuh Polisi dan meledakkan pos polisi. Aparat berseragam itu seperti ingin disudahi karena mewakili apa yang dianggap musuh. Tanpa takut, kuatir dan cemas mereka memperlihatkan diri untuk menyatakan ikrar permusuhan. Di jalanan pada siang hari dan tanpa topeng apapun. Medan peperangan itu tak bisa dihadapi dengan cara serupa: tanpa takut, tanpa pertimbangan dan terus menyerang. Kini yang kita hadapi adalah martir yang tujuanya adalah kematian. Yang kita sedang lawan adalah anak-anak muda yang besar karena sistem. Sistem ini diam-diam jadi tanah yang subur bagi lahirnya benih-benih teror. Maka memahaminya tak sekedar dengan menangkapnya, menghukumnya apalagi membunuhnya, tapi mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sandaran tugas itu memang bukan di Polisi tapi kebijakan pemerintah dalam percaturan global. Sejauh mana sikap politik independen pemerintah dalam konflik International hingga tak ada kesan pemerintah hanya berperan sebagai kaki tangan. Pelajaran masa lalu memberi petunjuk, dukungan kita atas kampanye global telah menanam benih-benih petarung yang siap berlaga.
Kini saatnya untuk tak lagi melihat soal ini dari sisi klasik: keyakinan, doktrin hingga teori konspirasi. Terorisme meluas tidak karena aspek itu saja, melainkan peran pemerintah dalam politik global. Di sana konflik Suriah, Irak hingga Sunni-Syiah jadi bahan bakar yang bisa disulut. Selama pemerintah mengambil posisi lugas, jelas dan tidak mengekor kita akan mampu ‘meredakan’ pasukan muda ini. Tapi jika pemerintah bersikeras untuk melawan melalui cara-cara seperti yang dilakukan di banyak negara, maka kita sebenarnya hanya menyiram benih yang akarnya sudah meluas kemana-mana. Tak pernah dalam sejarah brutalitas bisa mampus dilawan dengan kekerasan. Brutalitas harus dipahami, dimengerti dan dicari akar penyebabnya. Itu sebabnya melibatkan kalangan gerakan jadi penting jika kita percaya bahwa ini bukan organisasi kriminil tapi gerakan yang terus meluaskan pengaruh dan nyata punya potensi mengancam. Tak mungkin kita menangani dengan meniru apa yang selama ini gagal dilakukan: melawan melalui wacana pemahaman agama yang penuh pesan damai, meningkatkan modal ekonomi buat yang membutuhkan apalagi menembak para pelaku setiap saat.
Menggulung gerakan itu tak mudah walau aparat mampu melakukanya. Sebab gerakan ini tidak didasarkan pada doktrin saja tapi juga hubungan yang menyebar dan meluas di antara kelompok sosial. Rajutan hubungan ini bahkan terkait dengan mereka yang ada di Suriah, Irak hingga Arab. Jaringan global itu tumbuh dan didukung dengan banyaknya relawan yang terjun di setiap wilayah konflik. Pasukan ini tak lagi bertempur dalam satu pasukan tapi bisa saling bertempur satu dengan yang lain. Suriah adalah medan tempur yang tak bisa dipecahkan dengan mudah, tapi bisa menyeret semua negara untuk berada di dalamnya. Setidaknya, kita sekarang telah menyeret banyak anak muda untuk berada di sana sambil memberi komando yang ada di sini. Sungguh pertanyaan yang perlu dihadapkan pada pemerintah bukan mampu tidaknya menangkap pelaku, tapi bisakah mereka memahami bahwa soalnya tak hanya di sini tapi juga ‘sikap pemerintah’ terhadap masalah yang di sana?***
Penulis adalah aktivis Social Movement Institute, Jogjakarta