MENJELANG akhir tahun 2015, tepatnya 31 Desember 2015, dunia pendidikan kita disuguhkan dengan berita pelantikan Dirjen Kebudayaan yang baru, DR. Hilmar Farid. Pelantikan Hilmar Farid itu, menurut saya, memberi harapan baru bagi penyajian narasi sejarah di sekolah, terutama di tingkat SMA sederajat. Sebagai guru sejarah SMA, saya merasakan ini merupakan titik awal dari pelurusan sejarah Indonesia yang selama ini banyak dimanipulasi serta terus diperpanjang, sehingga penulisan narasi sejarah kita menemukan jalan buntu. Akibatnya, kita kehilangan hakekat peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi, bahkan cenderung mempertahankan narasi sejarah usang dan manipulatif yang selama ini mencekoki generasi muda.
Kehadiran Hilmar Farid di institusi yang membawahi kebudayaan Indonesia, terasa menjadi lebih mengena dikarenakan sosoknya yang berasal dari kalangan intelektual muda. Apalagi setelah saya telusuri profil beliau yang dikenal sebagai aktivis dan sejarawan.
Sejujurnya, nama Hilmar Farid bagi saya sedikit asing, terkecuali bila ada yang menyebutkan bahwa beliau seorang aktivis, sejarawan serta budayawan. Saat seorang teman memposting berita pelantikan Hilmar Farid, saya coba menelusuri catatan tentang dirinya. Satu hal yang saya suka adalah tulisan beliau yang saya ambil dari link; Hilmarfarid.com/wp/, dimana salah satu tulisannya bersinggungan langsung dengan peristiwa pembantaian 1965 dengan judul “Warisan Kunci Politik Orde Baru adalah Kemiskinan Imajinasi Politik, Sosial, dan Kultural”. Lebih menarik lagi, tulisan beliau yang tidak alergi dalam memperbincangkan tentang tokoh-tokoh Kiri Indonesia, seperti Aidit ataupun Pramoedya Ananta Toer.
Tulisan-tulisan Hilmar Farid semakin membuat saya memberanikan diri untuk membicarakan kembali tentang kesulitan seorang guru sejarah seperti saya, ketika berada pada momen materi peristiwa 1965. Di kalangan akademisi dan aktivis HAM, membicarakan peristiwa tersebut bukanlah hal yang tabu lagi. Apalagi perdebatan seputar peristiwa tersebut masih terus berlangsung. Tetapi tidak demikian untuk lingkungan sekolah. Setiap saya mengikuti Workshop Kesejarahan dan Budaya, yang setiap tahunnya diselenggarakan oleh Direktorat Kebudayaan, seringkali muncul pemberontakan batin di diri saya. Biasanya, setiap Workshop kesejarahan akan membahas narasi sejarah yang mulai disusun ulang hasil dari penelitian sejarawan terkini. Namun ketika masuk pada peristiwa yang terjadi pada tahun 1965, sejarawan penyaji pastinya mulai berkelit apabila kita mencoba mengatakan bahwa peristiwa tersebut sudah memasuki kategori genosida versi Indonesia. Sejarawan penyaji langsung berubah diam dan selanjutnya mulai menyajikan imajinasi ala Orde Baru.
Bayangkan, arsitek buku sejarah tingkat SMA membungkam guru dan siswa dengan tetap berpijak pada buku babon Orba karangan Noegroho Notosoesanto. Apalah artinya saya yang hanya segelintir dari ribuan guru sejarah Indonesia dalam meluruskan sejarah pembataian 1965 tanpa dukungan dari pihak-pihak lain? Setiap tahun, dari tingkatan ke tingkatan kelas, saya terus melakukan sesuatu yang masih ditakuti oleh guru sejarah lainnya. Saat saya mencoba “memprovokasi” teman guru sejarah lainnya untuk bicara apa adanya tentang Peristiwa 1965, reaksi yang muncul adalah bantahan dan sanggahan bahwa peristiwa itu tidak harus disajikan pada siswa. Jelas sekali ketakutan atau juga ketidakperdulian guru sejarah SMA atas peristiwa yang sebenarnya. Tujuan saya melakukan semuanya bukan ingin mencari popularitas, tetapi menjadikan narasi sejarah 1965 lebih berkata apa adanya sehingga mampu memberikan pemahaman baru tentang kronologi peristiwa tersebut.
Memang benar pendapat orang di luar sana, bila kita bicara apa adanya yang berkaitan dengan Peristiwa 1965 kita dianggap pro-komunis. Bahkan lebih sadis lagi, mereka mengeneralisasikan kita sebagai kelompok komunis yang ingin membangkitkan kembali ideologi terlarang itu. Tidak cukup di situ saja, setelah difitnah menyusul kemudian adalah intimidasi. Pengalaman saya sendiri tidak lepas dari intimidasi itu. Intimidasi yang paling membingungkan berasal dari kalangan teman sejawat yang langsung melihat saya sebelah mata. Cibiran serta gosip miring menjadi makanan sehari-hari. Misalnya, ketika saya memutarkan beberapa film dokumenter yang berkaitan dengan pelurusan peristiwa 1965, maka biasanya langsung diikuti aksi tandingan dari teman sejawat yang memutarkan film made in Orba.
Pemutaran film G30S tahun 1965 menyebabkan siswa-siswa saya bingung dan seperti berperang pikiran, mana yang harus dipercaya? Alhasil hal yang bisa saya lakukan adalah terus memutarkan film-film dokumenter yang lebih mengarah pada kejadian sebenarnya. Ditambah dengan memberikan pemahaman kepada siswa dengan mengajak mereka membaca beberapa judul buku dari penelitian terbaru, membangkitkan semangat siswa untuk menganalisa latar belakang peristiwa yang bukan hanya karena anggapan bila PKI ingin mengubah ideologi, tapi juga karena adanya campur tangan kapitalis atas kekayaan bangsa dan menjadikan Komunis sebagai kambing hitam propaganda kapitalis Barat. Walau belum berhasil secara menyeluruh, setidaknya semua yang saya lakukan bisa membuat siswa berpikir lebih kritis menanggapi peristiwa 1965.
Butuh beberapa generasi guna meluruskan peristiwa pembantaian di tahun 1965 agar kita bisa bicara apa adanya. Oleh karenanya, seorang Hilmar Farid mungkin saja menjadi perpanjangan tangan perjuangan saya sebagai guru sejarah yang tak ingin membodohi siswa dengan narasi sejarah yang selama Orba sengaja dibengkokkan, mengangkat nasib kelompok Kiri yang dihancurkan kemerdekaannya, sengaja dibuang, serta dilenyapkan. Hadirnya Hilmar Farid, buat saya, mampu menjembatani penulisan narasi sejarah yang lebih bijak, tidak lagi takut bicara benar. Harapan akan penulisan sejarah ulang, khususnya Peristiwa 1965, tidak lagi menjadi angan-angan belaka. Perlu diketahui oleh beliau sendiri bila dalam buku-buku sejarah tingkat SMA, PKI masih disebut sebagai dalang utama peristiwa itu tanpa mencoba mengaitkan pihak lain yang berperan mendalanginya atau tidak pernah sedikitpun menguraikan peran negara-negara besar yang haus kekayaan dan telah lama ingin ‘merampok’ kekayaan bangsa Indonesia. Buku-buku sejarah tingkat SMA masih tetap menyajikan kekejaman PKI yang berusaha melakukan kudeta terhadap pemerintahan Soekarno, mengagungkan aksi Mayjen Soeharto yang sigap bertindak menghancurkan gerakan kudeta PKI berdarah.
Melalui tulisan saya ini, saya menitipkan harapan pada beliau untuk mengulas satu modul sejarah tingkat SMA yang pernah diterbitkan oleh Dirjen Kebudayaan tahun 2015. Harapan saya tidak muluk-muluk, cukup mengulas modul tersebut yang selama ini dijadikan pegangan guru sejarah selama pemakaian Kurikulum 2013. Meski terdapat perubahan signifikan dari uraian peristiwa tersebut, namun tetap saja sudut pandang Orba melengkapi uraian materi dalam modul, menjadikan Soeharto sebagai tokoh penyelamat bangsa dari kudeta berdarah, memosisikan pasukan RPKAD di bawah Komando Sarwo Edhi Wibowo selaku pejuang pemberantas pemberontakan, menuduh BTI, Lekra, Gerwani, Pemuda Rakyat dan organisasi underbow PKI lainnya berlaku kejam kepada para jenderal yang terbunuh.
Di akhir surat ini, harapan terbesar saya kepada Pak Dirjen Kebudayaan yang baru saja dilantik bisa memberikan tolak ukur penulisan sejarah ulang. Titik awal yang mencerahkan generasi baru Indonesia dengan tetap berpikir kritis, tidak sekedar berimajinasi atas sebuah peristiwa, dan mencari causal principle sejarah peristiwa 1965, atau menolak lupa terhadap peristiwa sebenarnya. Kalau perlu, ada catatan kaki tentang pembantaian yang selama ini tidak pernah tertera dalam buku-buku sejarah SMA. Imajinasi Orba di Peristiwa 1965 perlu diubah karena kita bukan lagi bangsa yang malu berkata jujur. Dan yang paling penting di sini, bila satu peristiwa sejarah masih kontroversial, seyogyanya tidak disajikan hanya dari satu sumber saja melainkan mengajak siswa untuk belajar membaca sumber lainnya guna menjadikan peristiwa itu berkata apa adanya. ***
Penulis adalah Guru Sejarah SMA N.4 Batam