Tanggapan untuk Kamil Alfi Arifin
BEBERAPA hari yang lalu, di suatu sore yang sendu, saya membaca tulisan Kamil Alfi Arifin berjudul Jalan Raya Yogyakarta: Potret Masyarakat Beresiko di IndoPROGRESS. Dalam paragraf yang kesekian, ia memberi sinyal bahwa tulisan tersebut akan mengurai fenomena di kota Jogja dengan menggunakan konsep masyarakat beresikonya Giddens dan Beck. Namun, setelah mentok di scroll down, menurut saya tulisan ini hanya memakai asumsi masyarakat beresiko yang ‘pernah’ di singgung Giddens untuk melihat kondisi jalanan di Jogja. Nampaknya Kamil memang sengaja tidak menyentuh konsep masyarakat beresiko ini secara utuh sesuai apa yang di gagas oleh Ulrich Beck.
Saya pun menunggu-nunggu ada tulisan berikutnya yang akan membalas (atau melanjutkan) apa yang telah dibangun oleh Kamil, namun tak kunjung menjumpainya. Maka, dengan segala kerendahan pengetahuan, tulisan ini ingin mencoba melanjutkan konsepsi risk society (bukan the risk of society) sebagaimana yang dimaksudkan oleh Ulrich Beck maupun Giddens.
Masyarakat Beresiko sebagai Konsekuensi Modernitas
Di tahun 1992, buku berjudul Risk Society: Toward a New Modernity diterbitkan oleh SAGE. Karya Ulrich Beck merupakan hasil dari perenungan atas realitas yang terjadi di Jerman, sebagai negara industri. Buah perenungan Ulrich Beck yang merupakan sebuah juxtaposition dengan gagasan Giddens, sekaligus menobatkan bahwa ia seorang pemuja modernitas. Sama halnya dengan Habermas, mereka adalah orang-orang yang memiliki optimisme pada proyek modernitas dan merasa harus menyelesaikan proyek ini ke bentuk ‘ideal’. Keduanya secara teguh menganggap masyarakat beresiko masih dalam episode modern, bukan posmodern.
Giddens (1991) memulai uraiannya dalam buku Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas dengan telaah modernitas yang diacunya kepada bentuk kehidupan sosial atau organisasi yang muncul di Eropa pada (kira-kira) abad ke-17, yang kemudian menancapkan pengaruh ke seluruh dunia. Selebihnya, ia mengidentifikasi diskontinuitas yang memisahkan institusi sosial modern dan tradisional dalam beberapa aspek. Antara lain, kecepatan pertumbuhan dalam konteks teknologi, cakupan perubahan wilayah yang semakin terinterkoneksi secara tidak langsung, sifat intrinsik institusi modern (dimana ada bentuk sosial modern yang tidak ditemukan pada masa pra-modern, misal: negara-bangsa), komodifikasi produk dan kerja upahan yang terjadi secara menyeluruh.
Giddens juga mengklasifikasikan konsekuensi yang ditimbulkan oleh gugus-gugus dalam institusi sosial, antara lain: kapitalisme menciptakan masyarakat kelas, industrialisme berdampak pada transformasi alam yang menciptakan lingkungan ‘baru’, pengawasan melahirkan poliarki dimana-dimana dan kekerasan militer membuahkan industrialisasi perang antar bangsa (sebagai konsekuensi atas logika negara-bangsa). Lebih lanjut dalam berbagai karyanya ia dedahkan bahwa kapitalisme dijiwai oleh semangat akumulasi profit yang kemudian menjalin hubungan mesra dengan industrialisme. Hasilnya? Adalah dunia yang kita pijak saat ini, yang kemudian dipenuhi oleh kontrol (tidak hanya melalui birokrasi).
Giddens melihat musibah atas dimensi modernitas seperti perang nuklir, perubahan pembagian kerja yang tidak menentu, resiko yang dihasilkan atas alam yang disosialkan, lingkungan resiko yang dilembagakan, kesadaran resiko akan resiko (kesenjangan pengetahuan, tidak adanya kepastian), kesadaran atas keterbatasan keahlian. Sejalan dengan Beck yang memandang modernitas adalah dunia yang memperkenalkan parameter resiko global dimana generasi sebelumnya tidak mengalaminya. Hal ini terjadi lantaran kegagalan institusi sosial modern dalam mengontrol resiko-resiko yang mereka ciptakan, seperti krisis ekologi, resiko kemudian memantul sebesar usaha pertahanan untuk menghindari masalah dan bahaya baru.[1]
Beck mengeluarkan tesis tentang logika resiko produksi. Ia menganalisa secara sistematis adanya produksi kekayaan akan diiringi dengan produksi resiko dan karena itu, masalah dan konflik terkait distribusi kelangkaan akan saling meliputi dengan masalah dari produksi. Menurutnya perubahan dari logika distribusi kekayaan yang tidak merata dalam masyarakat ke logika distribusi resiko dalam late modernity, berhubungan secara historis setidaknya pada dua kondisi. Pertama, dimana bahan dasar secara objek bisa dikurangi dan secara sosial diisolasi melalui perkembangan manusia dan produktivitas teknologi; yang kedua, perubahan kategori ini tergantung pada fakta bahwa di dalam alat produksi yang tumbuh secara eksponen dalam proses modernisasi, bahaya (hazard) dan potensi ancaman tidak terpisahkan dimana sebelumnya tidak pernah diketahui.[2]
Resiko harus dibedakan dengan bahaya (hazard atau danger). Hazard hanya terjadi di masa pra modern, dimana masyarakat meyakini itu adalah suatu yang niscaya, sarat akan nilai spiritualitas dan kaitannya dengan supranatural. Contohnya gempa bumi, badai, tanah longsor, gunung meletus, semuanya terlepas dari konsekuensi yang dibuat oleh industri. Memasuki masa late modern (dan menyongosng modern baru) segala hal katastropik merupakan akumulasi dari resiko-resiko yang diciptakan masyarakat industri. Setidaknya, terdapat tiga kategori resiko dari apa yang diuarikan Beck, yakni resiko institusi sosial, resiko relasi sosial dan resiko ketidaktahuan dan dependensi.
Industrialisasi adalah keniscayaan dalam modernitas, sayangnya Marx dan Weber baru berputar pada isu kesenjangan sosial tetapi tidak melihat akan efek samping dari pembangunan yang berlebih (overdevelopment) atau over industrialization yang mengandung bahaya bagi “seluruh” kelas masyarakat. Begitulah kira-kira yang ada dalam benak para suporter modernitas ini. Meskipun dampak dari resiko lebih banyak melanda kelas bawah, namun pada akhirnya resiko juga akan mengajak para borjuis merasakan dampak. Jadi, konsep dari resiko ini secara langsung terikat pada modernitas reflektif.
Menurutnya, masyarakat modern diasosiasiakan dengan industri lalu kemunculan modernitas yang baru diasosiasikan dengan masyarakat resiko. Modernitas yang baru inilah yang dilabeli Beck sebagai modernitas reflektif, sebuah proses individualiasi yang terdapat di Barat (Ritzer, 2003). Yang dimaksudkan oleh Beck bahwa terdapat kebebasan agen dalam menentukan relasi-relasi sosialnya, setiap orang dipaksa untuk menjadi lebih reflektif. Jadi, ketika modernitas memproduksi resiko-resiko, masyarakat juga memproduksi refleksifitas, dimana masyarakat akhirnya merenungkan setiap konsekuensi dari modernitas dan memulai untuk mengurusinya karena kehilangan kepercayaan terhadap ilmuwan yang malah memelihara masyarakat resiko.
Domain politik tradisional pun nyaris kehilangan otoritasnya sejak resiko-resiko ini muncul. Ini karena dalam masyarakat reflektif, tumbuh yang disebut sub-politik, mereka adalah sub-politik di luar lingkaran parlementer namun memiliki wewenang. Variasi dari sub-politik bisa sub-kelompok ataupun individu. Mereka inilah yang malah lebih kritis dan jeli daripada pemerintah. Sub-politik memiliki peran besar dalam menyongsong modernitas baru yang nantinya dikatakan Beck membentuk budaya politik baru.
Salah satu di antara varian sub-politik yakni civil society, dimana mereka memiliki hak konstitusi. Varian ini akan berdemonstrasi di atas panggung aktivisme masyarakat, dari grup inisiatif ke apa yang disebut “Gerakan Sosial Baru”, ke bentuk alternatif praktisi profesional kritis.[3] Mengenai Gerakan Sosial Baru (GSB), digambarkan oleh Rajendra Singh sebagai gerakan yang terlepas dari determinisme kelas, isunya terkait seputar persoalan sehari-hari masyarakat sipil. Bagi Laclau dan Mouffe, GSB lebih dinilai sebagai upaya penyelamatan perjuangan revolusioner yang akan tenggelam jika bentuknya usang, yakni sekedar mengandalkan aksi massa simbolik (Laclau & Mouffe, 1999).
Gambar diambil dari otomotifnet.com
Masyarakat Yogyakarta, Masyarakat Reflektif
Jika menyimak Yogyakarta, artinya kita akan memetakan persoalan di lima kabupaten yang tersebar di DIY, Kota Yogyakarta, Sleman, Bantul, Kulonprogo, Gunung Kidul.
Kita mulai dari Sleman. Jika melewati ring road barat, tengoklah pemandangan mall baru di sisi jalan yang akan memikat birahi, yang sudah beroperasi meski konstruksinya belum jadi. Lalu, di JAKAL (Jalan Kali Urang) terdapat sebuah proyek apartemen 18 lantai di apit oleh pemukiman warga. Di pinggiran Bantul, sebuah proyek perluasan bangunan pabrik Garmen yang melahap area bermain anak-anak kampung pun sedang berlangsung. Konon, industri garmen ini adalah penyumbang pajak kedua setelah pabrik gula, untuk pemerintah setempat mendukung pembangunannya, ujar salah satu warga di sana.
Lanjut menuju arah pantai selatan, kita akan menjumpai penggusuran lahan warga dan tambak udang milik warga di daerah Parangkusumo, demi rencana pembangunan area wisata berpotret Bali. Kita pun akan menemui dusun-dusun warga yang disulap bersih demi megaproyek bandara internasional, juga eksploitasi bahan galian tambang berupa pasir di pesisir sungai, ketika bersinggah di Kulonprogo. Sebuah daerah yang sesungguhnya masih menyimpan udara segar dari klorofil hasil fotosintesa dedaunannya. Lebih jauh lagi, yang dianggap kebanyakan orang adalah wilayah tertinggal, Gunung Kidul, kini sedang mengalami pembangunan menuju area resort, tepatnya di Watu Kodok. Semuanya sah atas nama Sultan Ground.
Di pusat kota, kita akan melihat fenomena kemacetan seperti yang diungkap oleh tulisan Kamil. Persoalan lainnya adalah tumbuhnya hotel dan mall yang semakin menyesaki tepian dan sudut kota. Sebagian bahkan menjarah sumber air warga dengan mengalihkannya demi kepentingan bisnis perhotelan. Parkir liar beredar di sepanjang jalan. Sementara Yang Maha Raja memilih membangun balok-balok di persimpangan yang banyak orang biasa berlalu lalang, beranggarkan 40 milyar! Di atas 40 milyar itulah kelak akan sering dipenuhi aksi massa, 0 KM.
Disiplinisasi konsep pembangunan di negara Dunia Ketiga yang bercorak agraris seperti ini membuat warga asli Yogyakarta perlahan menjadi asing di tanah sendiri, lantaran termarjinalisasi oleh pendatang dan pemodal. Struktur geografi selalu mempengaruhi struktur sosial masyarakat. Ketika lahan padi berganti beton, mereka pun menjadi buruh kebersihan, tukang parkir, buruh garmen, sekrup-sekrup dari mesin kapital yang dimiliki segelintir orang. Corak sosial gemeinschaft pun luntur. Di kalangan masyarakat menengah sendiri, ketidaktahuan mengakibatkan konsumsi yang berlebih, mereka tak paham bahwa hari ini, membeli atau tidak membeli sesuatu bisa menjadi bagian dari pilihan politis.
Maka, gerakan-gerakan perlawanan di Jogja menghimpun kekuatannya. Di Sleman, warga bernaung dalam Paguyuban Warga Karangwuni Tolak Apartemen Utara (PWKTAU). Di Parangkusumo, Bantul, terdapat Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP), sementara di Singosaren, Bantul, pemuda karangtarunanya menghimpun perlawanan. Di Kulonprogo, media pun sudah jamak menuliskan tentang aksi-aksi kelompok masyarakat Wahana Tri Tunggal (WTT), Forum Rembug Warga Transparansi (FRWT), Masyarakat Peduli Kulonprogo (MPK) dan Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulonprogo (PPLP KP). Di Watu Kodok, Gunung Kidul, rakyat menghimpun diri dalam Aliansi Tolak Investor Watu Kodok.[4]
Di pusat Kota Yogyakarta, berbagai gerakan mahasiswa yang galau menentukan perjuangan pun membentuk aliansi-aliansi di samping gerakan sosial dengan lingkaran akademisi dan berbagai kalangan sosial, semisal Gerakan Literasi Indonesia (GLI). Jamak juga dijumpai komunitas-komunitas kreatif semisal Taring Padi, Anti-Tank, Ketjil Bergerak. Sejauh yang saya tahu, grup-grup musik Indie Jogja juga menjadi saluran kritik sosial, seperti FSTVLST dan Sisir Tanah. Event-event yang diselenggarakan oleh anak muda pun banyak yang mengusung tema-tema kritik terhadap pembangunan, seperti Jogja Biennale yang baru saja usai di adakan.
Kembali pada uraian Beck, masyarakat Yogyakarta barangkali adalah sebuah penampakan masyarakat reflektif. Sama-sama merasakan bahwa pembangunan akan bermuara pada krisis lingkungan bahkan pangan, maka meleburlah mereka dalam kelompok-kelompok yang dibangun berdasarkan minat (dan kelasnya mungkin). Saluran yang diberdayakan pun tak lagi hanya aksi masa simbolik. Dari yang menye-menye semacam event hura-hura khas kelas abege hingga advokasi serius di ranah litigasi.
Tapi jika disimak lebih lanjut, akan terlihat bahwa gerakan rakyat yang rata-rata dari kelas buruh, petani, pedagang dan orang-orang desa yang justru memiliki daya tahan aktivisme tinggi. Gerakan-gerakan rakyat inilah yang malah mempelajari sistem perundang-undangan, UU Agraria, AMDAL, RTRW, Perda (jika ada) dimana ujungnya mereka akan melakukan gugatan via hukum formal, dengan resiko monopoli hukum oleh yang memiliki kuasa. Jika Beck yakin semua masyarakat kelas menyadari memiliki resiko yang sama, sudahkah masyarakat kelas menengah dan elit perkotaan Yogyakarta terlibat dalam aksi-aksi politik perlawanan?
Disinilah muncul kebimbangan untuk memakai kerangka Ulrich Beck pada masyarakat Yogyakarta. Apakah kontekstual dengan permasalahan dan corak sosial masyarakat Yogyakarta? Tentu saja Beck tidak bisa menggenaralisir persoalan menjadi isu besar ”krisis lingkungan” akibat dari over industrialization semata. Diam-diam Beck hendak menaruh paham kosmopolit dengan bertindak demikian. Dan cosmopolitanism adalah sesuatu yang berbahaya. Namun, bukan berati pula menolak mentah-mentah imajinasi Beck soal menuju modernitas baru yang ideal, juga menyepakati sambutan Beck “Welcome to the real life travesity of hazard technocracy!”***
Penulis adalah mahasiswi tingkat akhir di Hubungan Internasional, UMY, aktif di Pimpinan Cabang IMM AR Fakhruddin kota Yogyakarta
——–
[1] Anthony Elliot: Beck’s Sociology of Risk. SAGE Publications, Vol.26(2), 2002. Page:295
[2] Beck, Ulrich. 1992. Risk Society: Toward a New Modernity, London: SAGE. page:19
[3] Ibid, page: 195
[4] Disarikan dari http://selamatkanbumi.com/himpunan-masalah-agraria-atruktural-di-diy/