Ben Anderson saat acara peluncuran buku ‘Indonesia Dalem Api dan Bara’ karya Tjamboek Berdoeri alias Kwee Thiam Tjing. Foto: Edward Manik
DIHADIRI oleh keluarga, kawan dan para muridnya, abu jenazah Ben Anderson yang meninggal pada 13 Deember 2015 di Batu, Malang, Jawa Timur, akhirnya sudah di larung di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya pada 20 Desember. Tak diragukan, kita kehilangan seorang figur besar dalam ilmu-ilmu sosial kontemporer. Sebagai seorang ilmuwan politik, pengaruhnya tidak hanya dirasakan di bidangnya. Karya-karyanya dibaca oleh mereka yang belajar antropologi, sejarah, kritik sastra, sosiologi, dan kajian kebudayaan. Dia belajar, dan kemudian menjadi ahli, dari sebuah kawasan yang paling beragam di dunia, yakni Asia Tenggara. Hampir sebagian besar hidup Ben Anderson diabdikan untuk mempelajari kawasan ini.
Asia Tenggara adalah sebuah kawasan yang paling ‘majemuk’ (plural) di muka bumi ini. Kawasan ini tidak saja memiliki aneka macam rezim pemerintahan (monarki vs. republik; otoriter vs. demokratis; kapitalis vs. komunis), namun juga dihuni penduduk yang memeluk beragam agama (Budha, Islam, Katolik/Kristen, dan belum lagi yang setengah beragama atau tidak beragama sama sekali), dan kondisi geografis (daratan dan kepulauan).
Kemajemukan tersebut menawarkan kesempatan yang kaya untuk membangun terobosan dalam ilmu-ilmu sosial. Beberapa karya ilmu sosial terkemuka dibangun dari kawasan ini. Yang pertama-tama adalah karya J.C. Furnivall tentang konsep masyarakat majemuk (the plural society). Karya monumental Furnivall dibangun dengan berdasarkan perbandingan antara Birma dan Hindia Belanda pada masa kolonial. Kemudian, Clifford Geertz membangun pemahaman tentang Islam dan ideologi politik yang berkembang jauh dari kebudayaan Arab. James C. Scott membangun teorinya tentang moral ekonomi petani lewat studinya di pedesaan Malaysia. Pada akhirnya, Ben Anderson membangun teorinya tentang nasionalisme karena tergelitik oleh Indonesia, sebuah negara dengan penduduk yang sangat majemuk namun bisa membangun sebuah bangsa.
Posisi Ben agak unik dalam kajian Asia Tenggara. Dia tidak berangkat hanya dari satu negara.
Ben menjelajah dan mempelajari secara mendalam tiga negara sekaligus: Indonesia, Thailand, dan Filipina. Dia tidak saja mampu mengakses tulisan-tulisan tentang ketiga negara ini namun dia juga mampu berkomunikasi dengan penduduk lokal. Ben adalah seorang polyglot, seseorang yang memiliki kemampuan berbicara dalam banyak bahasa. Dia bisa membaca teks dalam bahasa Belanda, Jerman, Spanyol, Perancis dan Russia, serta bisa membaca dan berbicara dalam bahasa Indonesia dan Thai. Dia paham bahasa Jawa dan Tagalog.
Kemampuan berbahasa ini menjadi modalnya untuk memahami tidak saja teks namun juga, yang lebih penting, berdialog dengan orang kebanyakan di luar lapisan elit yang menguasai dunia teks. Akses terhadap dunia orang kebanyakan itulah yang memungkinkannya untuk menangkap nuansa yang jauh lebih kompleks, sekaligus jauh lebih menarik ketimbang yang direpresentasikan lewat teks.
***
“Persoalannya dengan Ben Anderson adalah karena dia selalu berpihak pada yang under-dog (yang lebih lemah dan kalah),” demikian kata seorang kolega saya. Dia agak merasa terganggu karena Ben selalu punya ‘bias’ dalam memandang kaum elit dan mereka yang punya kekuasaan. Pengamatan ini tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Ben juga bergaul dengan mereka yang berkuasa. Tetapi para penguasa ini tidak menarik perhatiannya. Dia tertarik pada kekuasaan untuk menelanjanginya, bukan untuk berada didalamnya. Sikap inilah yang kemudian menjadikannya mendapat celaka ketika berhadapan dengan rezim Orde Baru dan yang membuatnya dilarang masuk ke Indonesia selama 27 tahun. Di samping itu, Ben adalah seorang yang dengan sadar memilih jalan Kiri sebagai sikap politik.
Yang jelas dia punya lebih banyak kawan baik dari kalangan aktivis, intelektual, maupun dari kalangan orang biasa-biasa saja. Di Indonesia, misalnya, dia berkawan karib dengan almarhum Ongokham. Dia juga bersahabat dengan baik Soe Hok Gie, mahasiswa pemberontak tahun 1966 itu. Sekalipun baru bertemu muka dengan sastrawan terkemuka Indonesia, Pramodeya Ananta Toer, setelah tumbangnya Orde Baru, dia menjalin persahabatan lewat korespondensi. Hampir di semua negara dia juga punya sahabat dari kalangan orang biasa, yang menjadi temannya untuk jalan-jalan ke pelosok-pelosok.
Apakah yang membentuk sikap politik, yang kemudian sedikit banyak mempengaruhi karya akademisnya? Mungkin latar belakangnya bisa sedikit memberi gambaran.
Benedict Richard O’Gorman Anderson lahir di Propinsi Kunming, Cina, pada 26 Agustus 1936. Ayahnya bekerja di sana sebagai petugas pajak Kerajaan Inggris dan Cina. Ben Anderson menghabiskan masa kecilnya dengan berpindah-pindah. Tahun 1941, keluarganya pindah ke California. Pada 1945, keluarga ini pindah lagi ke Irlandia sebelum kemudian pindah ke Inggris. Dan dari sejak kecil, Ben dibesarkan dengan beraneka ragam dialek dan bahasa. Dia pernah bercerita bahwa kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata dari bahasa Vietnam. Itu karena amah yang mengasuhnya adalah seorang gadis dari Vietnam. Ayahnya sendiri, yang berdinas selama 30 tahun di Cina, adalah seorang yang fasih berbahasa Cina. Demikianlah, Ben dibesarkan sesudah berkenalan dengan kebudayaan yang sama sekali lain dari kebudayaan Inggris dan Irlandia dari keluarga besarnya.
Dia mulai bersekolah di Denver sebelum pindah ke Irlandia. Sesudah ayahnya meninggal, Ben pindah ke London. Dia diterima di sekolah elit Inggris, Eton College. Kemudian dia belajar sastra klasik di Universitas Cambrigde. Tahun 1957, Ben meneruskan kuliah paska-sarjananya di Universitas Cornell, Ithaca, New York. Di sana dia belajar dari salah seorang sarjana yang menjadi pionir dalam mempelajari Indonesia, yakni George McT. Kahin.
Kesadaran politiknya dimulai tidak sengaja. Suatu sore pada bulan November 1956, saat masih bersekolah di Cambridge, dia secara tidak sengaja berhampiran dengan sekelompok mahasiswa yang tampaknya seperti berasal dari Pakistan atau India. Para mahasiswa ini sedang mengelilingi seseorang yang berpidato menentang intervensi Inggris di Terusan Suez. Persis ketika itu datanglah kelompok lain yang lebih besar, yang menurutnya adalah ‘para kolonial’ dari lapisan kelas atas Inggris, yang dengan segera menyerang kelompok kecil pemrotes ini. Melihat itu, dia berusaha mencegahnya. Namun apa daya, mereka menyerangnya hingga kacamatanya terpental dari mukanya. Itulah pengalaman pertamanya berhadapan dengan politik.
Ben memulai risetnya di Indonesia pada tahun 1961. Dia mengatakan bahwa itulah saat-saat yang paling menyenangkannya. Indonesia memang sedang dalam keadaan darurat dengan pemberontakan yang masih berkobar di Sumatera dan Sulawesi. Namun, toh dia terkesan dengan betapa egaliternya masyarakat Indonesia ketika itu dibandingkan dengan masyarakat di Inggris, Irlandia, atau Amerika. Dia juga terkesan dengan Sukarno, presiden Indonesia saat itu, yang sangat mudah ditemui di istana negara. Dia bisa menikmati pertunjukan wayang kulit semalam suntuk di istana dimana presiden, menteri dan para pejabat pemerintahan serta rakyat jelata semua ikut menonton.
Namun keadaan berubah sesudah tahun 1965. Percobaan kudeta oleh beberapa perwira muda TNI-Angkatan Darat yang tergabung dalam Gerakan 30 September (G30S), yang berakibat terbunuhnya enam jenderal dan satu perwira TNI-AD, mengubah segala-galanya. TNI-AD dibawah pimpinan Mayjen Soeharto dengan segera menuduh bahwa G30S didalangi oleh PKI. Tiga minggu sesudahnya, mulailah pembantaian massal yang berlangsung hingga bulan Januari 1966.
Lebih dari setengah juta rakyat dibantai oleh milisi-milisi yang diciptakan oleh militer. Tentu tidak mudah membasmi sedemikian banyak orang hanya dalam waktu beberapa bulan saja. Tentara dengan cerdik memanfaatkan antagonisme dalam masyarakat untuk melakukan pembunuhan itu. Organisasi pemuda, kesatuan-kesatuan aksi, mahasiswa, dan bahkan siswa SMA dimanfaatkan sebagai bagian dari mesin pembantaian ini.
Ben Anderson sudah kembali ke Cornell ketika pembantaian itu terjadi. Namun, bersama dengan dua orang teman lainnya (Ruth McVey dan Frederick Bunnel), dia tidak tinggal diam. Mereka melakukan studi untuk mendalami apa yang sesungguhnya terjadi. Berbekal informasi dari yang tersedia, mereka mengkaji Gerakan 30 September ini. Mereka menemukan bahwa para perwira yang terlibat dalam Gerakan ini sebagian besar berasal dari Kodam Diponegoro, dimana Mayjen Soeharto pernah menjadi panglimanya. Beberapa perwira bahkan dikenal dekat dengan Soeharto. Studi ini berkesimpulan bahwa percobaan kudeta ini terjadi karena persoalan ketidakpuasan di kalangan perwira muda Angkatan Darat terhadap jenderal-jenderal mereka.
Studi yang diberi judul ‘Preliminary Analysis of The October 1, 1965 Coup in Indonesia’ pada awalnya memang dimaksudkan hanya sebagai kajian sementara karena keterbatasan informasi yang mereka peroleh. Mereka membagikannya kepada beberapa kolega untuk mendapatkan komentar dengan catatan hanya dipakai untuk kepentingan sendiri dan tidak disebarluaskan. Mereka mengkhawatirkan keselamatan banyak kawan di Indonesia, yang sekalipun tidak tahu akan adanya dokumen ini, namun bisa jadi akan dikaitkan oleh pemerintahan militer Soeharto.
Namun, entah mengapa, analisis ini bocor keluar dan beredar dari tangan ke tangan. Prof. Kahin memberikan analisis ini kepada William Bundy, seorang asisten untuk Urusan Timur Jauh di Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Diduga, dari sanalah dokumen ini menyebar kemana-mana dan akhirnya sampai juga ke tangan penguasa militer Orde Baru. Jurnalis konservatif Arnold Brackman menuduh bahwa analisis ini disusupi kepentingan ideologis pengarangnya. Nama-nama pengarang dari dokumen yang kemudian terkenal dengan nama ‘Cornell Paper’ itu memang tidak disebutkan. Akan tetapi, semua orang tahu siapa yang ada dibaliknya.
Sekalipun analisisnya menuai kontroversi, Ben Anderson masih bisa pergi ke Indonesia walaupun kecurigaan terhadap dirinya mulai tumbuh. Sebuah dokumen dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta pada tahun 1967 mengatakan bahwa dia adalah ‘seorang Komunis atau paling tidak simpatisannya.’ Saat itu Ben masih bisa bebas melakukan perjalanan. Dia juga hadir dalam pengadilan Sudisman, seorang dari lima ketua Komite Sentral PKI yang tersisa. Empat ketua lainnya sudah dibunuh oleh tentara tanpa diadili. Sikap Sudisman yang tenang dan bermartabat di pengadilan, meninggalkan kesan yang mendalam untuk Ben. Dia akhirnya menerjemahkan pidato pembelaan Sudisman yang berjudul ‘Uraian Tanggung-Djawab’[1] ke dalam bahasa Inggris.
Pada tahun 1971, ‘Cornell Paper’ resmi terbit. Pada April 1972, Ben kembali mengunjungi Indonesia. Saat itu dia tidak bisa pergi ke mana-mana. Paspornya ditahan. Dia hanya melancong-lancong seputaran Jakarta. Usaha untuk kembali ke Indonesia diulang lagi pada tahun 1980. Kedutaan Besar Indonesia di Bangkok mengeluarkan visa untuknya. Namun malang, sesampainya di Bandara, dia langsung diusir keluar dengan pesawat pertama.
Sejak saat itu, Ben hanya bisa memandang Indonesia dari kejauhan. Pengalaman ini, membuat dia merasa kehilangan Indonesia yang pernah dikenalnya. Rasa kehilangan ini bertambah dalam karena menyaksikan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh militer yang memerintah pada Orde Baru. Banyak di antara mereka yang terbunuh atau hilang adalah kawan-kawan yang dikenalnya secara pribadi. Tentang hal ini, Ben mengatakan, “… rasanya seperti tiba-tiba mendapati bahwa orang yang Anda cintai adalah seorang pembunuh.”
Namun bagaimana pun juga Ben telah memperlihatkan sikapnya. Dia menjadi pengritik terkemuka Orde Baru. Dia beberapa kali memberi kesaksian di dalam dengar pendapat (hearing) di Congress (DPR dan Senat) di Amerika.
Tanpa tedeng aling-aling dia memperlihatkan simpati dan pembelaannya terhadap Timor Leste, yang diinvasi oleh Indonesia pada tahun 1975 dan dijajah oleh Indonesia selama kurang lebih 24 tahun. Timor Leste, katanya, adalah ‘negeri kecil yang pemberani.’ Negeri yang penduduknya kira-kira 0.5 persen dari penduduk Indonesia ini melawan tentara pendudukan Indonesia yang kuat dan bersenjata lengkap dengan gagah berani. Sekali lagi, Ben Anderson memperlihatkan pemihakan dan pembelaannya kepada yang under-dog.
***
Banyak orang memberi julukan Ben Anderson adalah seorang ‘Indonesianis.’ Dia pun tidak pernah menolak itu. Indonesia, khususnya Jawa, adalah negeri pertama yang dipelajarinya. Dalam banyak hal, Indonesia mempengaruhi caranya memandang sesuatu. Setelah dilarang masuk ke Indonesia, yang disebutnya sebagai ‘pengasingan,’ Ben memang mengalihkan perhatiannya ke Thailand. Itu rupanya terjadi pada saat yang tepat. Pada Oktober 1973, demonstrasi besar telah menjatuhkan rezim diktator militer Thanom-Phrapat. Thailand menjadi sedikit terbuka karena buruh kembali diijinkan berserikat, liga-liga petani dibentuk, pers menjadi lebih bebas, dan kalangan mahasiswa serta kaum intelektual lantang menyerukan reformasi dalam bidang kesejahteraan.
Banyak di antara mereka yang mengorganisasi keruntuhan kediktatoran militer tersebut adalah kawan-kawannya Ben dan sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa dan intelektual yang berhaluan Kiri. Dia mulai belajar bahasa, sejarah, kebudayaan, dan politik Thailand. Namun hantu pembantaian besar-besaran pun rupanya tidak mau pergi dari Ben.
Selama kurang lebih dua setengah tahun, para mahasiswa dan intelektual mengalami kebebasan. Sampailah pada bulan Oktober 1976, para mahasiswa berkumpul di Thammasat University untuk berdemonstrasi menentang kepulangan bekas diktator militer Thanom Kittikachorn dari Singapura. Unjuk rasa ini berujung pada pembantaian para demonstran. Sehari sebelum pembantaian tersebut, pers Thailand memberitakan adanya sebuah drama yang dimainkan oleh para pendemo yang menggambarkan penggantungan patung putra mahkota kerajaan, Pangeran Vajiralongkorn. Drama tersebut memancing kemarahan dan dengan segera tentara, polisi, serta milisi-milisi pro militer mengepung Kampus. Pada 6 Oktober pagi, gabungan kekuatan ini menyerbu kampus. Angka resmi menyebutkan 46 orang meninggal dan ratusan luka-luka. Angka tidak resmi menyebutkan jumlah korban meninggal lebih dari seratusan.
Ben menganalisis semua kejadian itu dalam sebuah esei yang diterbitkan oleh Bulletin of Concerned Asian Scholars. Esai yang berjudul ‘Withdrawl Symptoms’ itu menjadi satu sumbangan penting untuk studi tentang Siam. Esai ini mengupas basis kekuatan sosial yang menumbangkan kediktatoran militer tahun 1973. Pertanyaan yang diajukannya sangat menarik: Mengapa kelas menengah dan para borjuis kecil Thailand mendukung para mahasiswa dalam menumbangkan pemerintahan militer namun tidak mau mendukung dan mempertahankan demokrasi? Ben menjawab persoalan ini dengan melihat perubahan-perubahan struktural dan ideologis yang terjadi di Thailand pada masa itu. Kelas menengah dan para borjuis kecil ini dilahirkan oleh modernisasi Amerika dan Jepang sejak tahun 1960an, terutama di bidang pendidikan. Namun pada tahun 1970an, mereka mulai merasakan bahwa mereka justru tidak bisa masuk ke dalam politik yang secara ketat berada dalam kekuasaan ‘bureaucratic polity’, yakni birokrat dan militer. Itulah sebabnya mereka mendukung para mahasiswa meruntuhkan kediktatoran militer.
Runtuhnya kediktatoran ini diganti dengan ‘demokrasi kacau balau.’ Kelas menengah dan borjuis kecil yang terbiasa dengan stabilitas dan ketenangan ini pun tidak tahan akan demokrasi sehingga mereka tidak membela ketika pada tahun 1976 militer kembali berkuasa. Ben menyebut ini sebagai ‘gejala-gejala penarikan diri’ (withdrawal symptoms) dari kelas menengah dan borjuis kecil Thailand pada masa itu.
Di Thailand, Ben Anderson juga menerbitkan sebuah antologi cerita pendek, “In The Mirror.” Ini adalah kumpulan cerita pendek politik pada era Amerika. Era ini ditandai dengan kediktatoran militer dan modernisasi seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Filipina adalah negara berikutnya yang menjadi sasaran Ben Anderson. Pada awal tahun 1980an ketika dia mulai melakukan studi, Filipina juga dikuasai oleh diktator Ferdinand Marcos. Sama seperti kediktatoran militer di Thailand, kediktatoran Filipina menarik untuk dibandingkan dengan Indonesia. Namun, dengan segara perhatian Ben teralih kepada sastra Filipina. Dia dengan cepat mendapati karya-karya Jose Rizal, bapak bangsa Filipina.
Satu tulisan penting yang dikeluarkan oleh Ben Anderson tentang Filipina adalah tentang demokrasi ‘cacique’ di negeri ini. Dia berargumen bahwa demokrasi di negeri ini dikuasai oleh para ‘cacique’ atau ‘bos-bos politik’ yang berkuasa di propinsi-propinsi dan dari cengkeramannya di provinsi ini menguasai Manila. Ben pun mengurutkan sejarah terjadinya cacique ini. Mulai dari merosotnya kekuasaan imperium Spanyol, pembukaan ekonomi Filipina yang mendorong migrasi orang-orang Cina ke sana. Ketika Amerika masuk menggantikan Spanyol sebagai penguasa di Filipina, ia memperkenalkan sistem demokrasi. Ketika itu imigran-imigran Cina sudah menjadi kuat dan menguasai ekonomi. Dengan cepat, pengusaha-pengusaha Cina ini menguasi lembaga-lembaga demokrasi di tingkat lokal dan kemudian nasional. Dari kekuasaan politik ini, mereka memperkuat ekonomi sehingga mereka menjadi ‘cacique’. Mereka menguasai faktor produksi ekonomi yang sangat besar dan dari kekuatan ini mengontrol kekuasaan politik.
Ben Anderson juga menulis beberapa artikel tentang nasionalisme Filipina. Namun karya yang paling besar tentang Filipina lahir setelah dia pensiun dari tugas mengajar di Universitas Cornell. Tahun 2006, terbit buku ‘Under The Three Flags’[2] yang mengkaji bagaimana ide-ide anarkis dari Eropa dan Amerika menjelajah dan mengilhami pemberontakan anti-imperialisme di banyak negara. Dengan mengambil contoh dua novel karya bapak bangsa Filipina, Jose Rizal, dia menunjukkan globalisasi gerakan anti-kolonial, tarik menarik antara penyebaran ide-ide anarkis dan kebangkitan revolusi dan nasionalisme di daerah-daerah pinggiran (periphery). Buku ini memperkuat semua tesis yang sudah dibangun oleh Ben didalam karyanya yang paling mashyur, Imagined Communities, yakni bahwa kapitalisme media cetak memiliki peranan besar dalam pergerakan ide ini.
Pada tahun 1998, Ben Anderson mengumpulkan semua esei yang ditulisnya tentang tiga negara di Asia Tenggara ini ke dalam sebuah buku, “The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia, and the World.” Buku ini, selain merupakan hasil perbandingan antara tiga negara Asia Tenggara yang selama ini dia pelajari, juga merinci kembali semua pikiran-pikiran dia tentang nasionalisme.
***
Tidak ada negara yang menyedot sebagian besar perhatian Ben Anderson selain Indonesia. Dia mengakui bahwa dia mengalami saat-saat terbaik dalam hidupnya ketika dia melakukan riset di Indonesia antara 1961-64. Pada masa-masa setelah itu, sekalipun dilarang untuk berkunjung ke negeri ini selama hampir seperempat abad, dia tidak kehilangan gairah untuk memperhatikan Indonesia.
Karya pertamanya tentang Indonesia adalah ‘Java in a Time of Revolution.’ Ini adalah sebuah kajian tentang revolusi Indonesia di Jawa. Berbeda dengan gurunya, George Kahin, yang menulis ‘Nationalism and Revolution in Indonesia’ yang mengupas dinamika revolusi di kalangan elit-elit politiknya, Ben Anderson melihat dinamika di bawah. Dia memunculkan satu kategori sosiologis yang menjadi kekuatan penggerak revolusi, yaitu golongan pemuda. Sangat berbeda dengan kaum Marxis tradisional yang menganalisis kelas sosial, pemuda jelas bukan kategori kelas. Satu-satunya kategori adalah umur dan status pemuda ini adalah status sementara dalam perjalanan hidup manusia. Ini adalah status ketika orang belum menjadi ‘dewasa’ namun tidak lagi ‘anak-anak.’ (Ingat, konsep pemuda ini sangat berbeda dengan konsep pemuda Orde Baru yang kebanyakan berumur 40 tahun ke atas!).
Status pemuda adalah sesuatu yang baru yang terjadi karena perubahan sosial. Konsep ini hanya muncul ketika konsep pendidikan diperkenalkan ke dalam masyarakat. Secara tradisional, orang lahir dan sejak usia dini sudah dipersiapkan untuk bekerja. Namun itu berubah setelah diperkenalkan pendidikan. Sekalipun demikian, konsep ini tidak juga tidak terlalu asing untuk masyarakat Jawa yang mengenal ‘satria lelana’ sebagai salah satu konsep orang muda yang berkelana menimba ilmu. Ini adalah transisi sebelum dia menetap dan menjadi dewasa.
Buku ini diterjemahkan ke Indonesia pada tahun 1990an dengan judul ‘Revolusi Pemoeda.’ Judul terjemahan yang saya rasa lebih pas. Di kemudian hari, Ben Anderson mengingatkan bahwa apa yang namanya revolusi ini sesungguhnya memang pernah ada. Selain revolusi menentang pendudukan kolonial asing, antara tahun 1945-1949 juga berlangsung revolusi sosial populis, yakni revolusi “melawan birokrat kolaborator Belanda, monarki dan aristokrasi lokal yang menindas, kepala-kepala desa yang dibenci, mata-mata Belanda, dan kadang-kadang juga golongan ‘pengkhianat’ (yang umumnya orang Kristen-Indonesia), dan tentu saja golongan yang paling tidak disukai, yakni para pedagang keturunan Cina, para pembunga uang, dan lain sebagainya.”[3]
Revolusi semacam ini terjadi hampir merata di Indonesia yakni di Aceh, Sumatra Utara, Pantai utara Jawa, Banten, dan Surakarta. Namun, dengan berkuasanya pemerintahan militer Suharto, kata Revolusi ini dihilangkan dan diganti dengan ‘Perang Kemerdekaan.’ Kalau pun ada ingatan sejarah ditinggalkan maka ia direkonstruksi menjadi ‘Pemberontakan Komunis’ seperti peristiwa Madiun 1948. Kata massa dan rakyat pun menghilang menjadi masyarakat. Kata pemuda lebih parah lagi diturunkan tingkatnya menjadi manusia mapan setengah tua yang memang dipersiapkan untuk menjadi antek-antek penguasa militer.
Bahasa dan sastra selalu menarik perhatian Ben Anderson. Seringkali dia melihat politik dan kehidupan sosial lainnya lewat kacamata bahasa dan sastra (juga di kemudian hari, film). Itulah yang melatarbelakangi keluarnya buku “Language and Power.” Sebagian besar esai dari buku ini ditulis saat Ben mengalami ‘pengasingan’ dari Indonesia. Pengasingan itu memaksanya untuk membaca berbagai macam terbitan dan berkala yang datang dari Indonesia. Juga mengorek sedemikian banyak arsip di perpustakaan Universitas Cornell. Dia beruntung karena Cornell memiliki koleksi tentang Asia Tenggara yang termasuk yang terlengkap di dunia.
Hampir semua esai dalam buku berusaha untuk menunjukkan kontradiksi antara masyarakat Indonesia yang baru terbentuk pada awal abad ke-20 dengan ide-ide tradisional yang masih hidup dalam dalam masyarakat. Sementara politik Indonesia modern dilakukan sepenuhnya dalam bahasa Indonesia yang egaliter – sebuah proyek yang dimulai oleh para nasionalis – namun isinya tidak sepenuhnya sejalan dengan egaliterisme proyek nasionalis ini. Dalam konsep kekuasaan, misalnya, baik Soekarno dan terlebih lagi Soeharto, sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa yang membesarkan mereka.
Kontradiksi semakin mencolok ketika membandingkan bahasa (lewat kartun dan monumen, misalnya) revolusi pada jaman Soekarno yang masih kuat dipengaruhi oleh kaum nasionalis dengan bahasa Orde Baru. Egaliterisme dalam bahasa terasa sangat kuat pada masa Soekarno, sementara Orde Baru sangat bercorak hirarkis. Ben Anderson dengan jeli melihat semua perubahan-perubahan ini. Meskipun orang juga bisa mempertanyakan cakupan Indonesia yang dikaji oleh Ben, karena yang dikaji hanyalah Jawa. Sekali pun tidak bisa disangkal bahwa kebudayaan Jawa memiliki pengaruh yang amat besar terhadap seluruh politik Indonesia.
Karya terpenting Ben Anderson tentulah ‘Imagined Communities.’ Karya ini sama sekali tidak bersangkutan dengan Indonesia, namun jelas bahwa pengalaman dengan Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara sangat mempengaruhi pikiran dalam buku ini. Dalam pengakuan Ben sendiri, buku ini adalah semacam ‘inverted orientalism’ (orientalisme terbalik) dimana seorang yang berasal dari kebudayaan Barat melihat fenomena besar yang tumbuh (pada awalnya) di Barat namun dengan kacamata dari Timur, dari pinggiran.
Imagined Communities berangkat dari pertanyaan mengapa orang yang tidak saling mengenal bisa terikat dalam satu perasaan bahwa mereka adalah bagian dari sebuah komunitas yang disebut bangsa? Apa yang membuat mereka merasa senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa? Mengapa orang mau mati untuk sebuah bangsa, untuk anggota-anggota yang tidak dikenalnya? Nasionalisme, demikian tulis Ben Anderson, juga memunculkan kecintaan dan bahkan membutuhkan pengorbanan untuk memenuhi rasa cinta itu.
Contoh yang digemari oleh Ben adalah bagaimana masyarakat terikat satu sama lain karena nasionalisme. Jika tanpa nasionalisme, demikian katanya, orang Amerika akan saling membunuh satu sama lain dalam lima menit karena begitu banyaknya orang yang punya senjata. Namun itu tidak terjadi karena orang merasa terikat satu sama lain sebagai bangsa.
Namun itu juga tidak dengan serta merta menjadikan korupsi tidak penting. Sama sekali tidak. Korupsi tidak akan terjadi jika orang memiliki nasionalisme. Orang tidak akan mencuri dari milik bersama sebagai bangsa karena punya perasaan senasib dan sepenanggungan. Orang Jepang, yang terkenal memiliki nasionalisme amat tinggi, akan membunuh dirinya sendiri kalau mereka ketahuan mencuri dari milik bersama.
Hal yang sama juga bisa diterapkan terhadap kritik terhadap jalannya kehidupan bersama sebagai bangsa. Mereka yang mempersoalkan segala macam ketidakberesan di dalam negara tidak bisa dituduh tidak nasionalis. Kebanyakan orang mempersoalkan ketidakberesan ini karena perhatian dan rasa rasa cintanya pada negara. Kita harus sangat waspada pada orang yang mengatakan pengritik jalannya hidup bersama sebagai bangsa adalah pengkhianat bangsa. Biasanya penuduh itu memiliki maksud-maksud tertentu yang bermotif penyelewengan.
Ben Anderson menelusuri sejarah munculnya nasionalisme ini. Dia menemukan bahwa kehadiran nasionalisme itu banyak berkaitan dengan kemunculan kapitalisme media cetak (print-capitalism). Hadirnya suratkabar dan buku-buku itu menciptakan perubahan mental yang amat mendasar dalam masyarakat. Terlebih lagi, kapitalisme media cetak melayani pembacanya dalam bahasa-bahasa lokal (vernaculars). Sebagai akibatnya, orang memiliki kemampuan untuk membayangkan (imagined) dalam posisi orang lain (emphaty).
Penjelasan melalui lahirnya kapitalisme media cetak sebagai basis material dari nasionalisme ini sesungguhnya adalah penjelasan Marxian. Seluruh proses ini digerakkan oleh kapitalisme. Bagaimanapun juga media-media cetak adalah juga komoditi yang diproses oleh kapitalisme, dipertukarkan dalam mekanisme pasar sama seperti pertukaran komoditi lainnya. Namun, tidak seperti analisis kapitalisme yang konvensional, Ben Anderson cenderung melihat efek yang agak positif dari kapitalisme media cetak ini, yakni dengan lahirnya nasionalisme dan komunitas bangsa.
***
Survey yang teramat singkat dari perjalanan intelektual Ben Anderson di atas memperlihatkan perjalanannya sebagai ahli sebuah wilayah (area studies) dan kemudian memberikan sumbangan kepada dunia teori ilmu-ilmu sosial. Ben melakukannya dengan sangat kreatif dan inovatif. Dia memakai pendekatan Marxian tanpa sedikitpun terjebak pada jargon-jargon Marxian. Penjelasannya tentang munculnya nasionalisme lahir dari keluasan dan kedalaman pengetahuannya akan sejarah dunia, namun sekaligus juga keahliannya dalam studi Asia Tenggara. Baik di dalam Imagined Communities, Spectre of Comparisons, dan Under Three Flags kita mendapati fakta-fakta yang dicomot dari berbagai belahan dunia. Ben Anderson adalah seorang comparativist sejati dan dia menjadi demikian karena terbantu oleh kemampuannya untuk belajar bahasa dengan cepat.
Ketika hendak menulis obituari ini (kalaupun bisa disebut demikian!) saya bertanya pada diri saya sendiri, seandainya ada keharusan untuk memasukkan Ben Anderson ke dalam sebuah kotak kategori maka kategori apakah itu? Dia jelas bukan orang yang liberal dalam pengertian orang yang percaya pada sistem pasar bebas dan kehadiran kelas menengah yang akan membawa demokrasi.
Namun dia juga bukan seorang Marxist yang dogmatis. Dia memakai prinsip dasar Marxian untuk melihat dan menganalisis banyak hal. Seperti analisisnya dalam Withdrawal Syndrome, misalnya. Dia memblejeti kelas menengah dan borjuis kecil Thailand yang tidak mau mengambil resiko untuk berubah. Dia melihatnya dari pembentukan kelas menengah dan para borjuis kecil ini, yakni lewat pendidikan massal, dan kemudian kontradiksi-kontradiksi yang muncul sebagai akibat dari pendidikan massal tersebut.
Di Indonesia pun Ben Anderson cepat melihat kontradiksi-kontradiksi itu. Ketika melakukan riset lapangan pada awal tahun 1960an, dia terkaget-kaget melihat masyarakat Jakarta yang begitu cair. Rakyat jelata bisa berbaur dengan Paduka Jang Mulia Presiden untuk menonton wayang di istana. Namun, lagi-lagi, ketika melihat kenyataan politik dia juga melihat kontradiksi yang amat kuat antara kaum reaksioner Kanan dengan kekuatan revolusioner Kiri.
Mungkin satu-satunya kotak yang tepat untuk mendudukkan Ben adalah kotak progresif. Kotak itupun rasanya kekecilan. Dia progresif dengan pengertian bahwa dia tidak suka dengan hirarki, dominasi, penaklukan, dan yang terpenting sangat tidak suka dengan kekuasaan. Rasa-rasanya, dimana pun Ben berada dia tidak pernah berdamai dengan kekuasaan. Itu mungkin menjelaskan mengapa dia memilih Irlandia sebagai kewarganegaraannya dan bukannya Inggris. Dalam satu wawancara, dia mengatakan bahwa dalam buku Imagined Communities dia menyebut semua raja dan kaisar Eropa dengan sebutan resminya. Namun tidak demikian halnya dengan Raja/Ratu Kerajaan Inggris. Dia memberi sebutan seolah-oleh mereka adalah orang biasa atau orang kebanyakan, dengan menyebut langsung namanya seperti Victoria von Saxe-Coburg-Gotha, atau hanya Anne Stuart saja. Itu dilakukannya untuk memprovokasi orang Inggris.
Ben adalah juga seorang penjelajah. Dia tidak hanya tahu sesuatu dari buku atau tulisan, namun juga dengan mengunjungi sendiri tempat-tempat yang pernah dibacanya. Ketika kembali ke Indonesia sesudah Orde Baru jatuh, hal pertama yang dia lakukan adalah mengunjungi candi-candi yang sempat dia kunjungi di era 1960an. Dia memiliki kelompok anak-anak muda yang diajak menjelajah ke candi-candi itu. Banyak di antara candi-candi itu tidak diketahui keberadaannya oleh publik di Indonesia, kecuali oleh orang-orang berdiam disekitarnya. Sehari sebelum dia meninggal pun dia mengunjungi candi Jolotundo, di Mojokerto, Jawa Timur.
Dalam hidup sehari-harinya, Ben sangat gandrung dengan teka-teki silang (TTS). Dia tinggal sekitar 30 kilometer diluaran kota Ithaca. Karena koran tidak diantar kerumahnya maka setiap hari dia harus menyetir ke pusat kota Ithaca untuk mengambil koran The New York Times. Sebelum ada email dan internet, dia mengikuti perkembangan dunia lewat koran ini, yang disebutnya koran terbaik karena berita internasional diletakkan di halaman 1. Namun yang lebih penting adalah TTS.
Agaknya, TTS adalah cara relaksasi untuknya. Dengan cerutu di bibir, dia akan mengisi TTS itu dengan tekun. Hanya saja, dia tidak mengisi dengan cara konvensional. Dia akan menulis jawaban TTS tersebut di kertas apa saja yang dia bisa dapati. Seringkali halaman kosong di balik draft disertasi mahasiswanya menjadi korban TTS. Dia akan menulis angka-angka jawaban TTS itu. Hingga saat ini, cara menjawab TTS dengan mengkonversikannya menjadi angka itu tetap menjadi misteri bagi saya.
Kecanduannya dengan TTS pun dibawa ke mana-mana. Dalam satu obituari di koran Filipina, diceritakan bahwa dia hadir di satu diskusi di University of Philippines (UP). Ketika sesi tanya jawab, moderator memanggil namanya, “Prof. Anderson, ada pertanyaan?” Ben ketika itu sedang asyik dengan TTS ditangannya, mengangkat muka, dan bertanya dengan serius, “Apa kata Filipino untuk orgasme?”[4]
Kini, ilmuwan dengan banyak keahlian ini sudah tiada. Sumbangannya untuk studi Indonesia, Asia Tenggara, dan ilmu-ilmu sosial sungguh sulit ditakar. Ben Anderson adalah sebuah figur unik yang sulit dicari padanannya.
Selain itu, kecintaannya kepada Indonesia juga teramat besar. Saya selalu ingat kata-katanya tentang nasionalisme yang rasanya sangat relevan dengan Indonesia, “Menjadi satu bangsa itu memerlukan pengorbanan, namun bukan dengan mengorbankan orang lain.” Apalagi dengan mengorbankan sesama saudara sebangsa. Saya sendiri merasa bahwa sebagai bangsa kita terlalu banyak mengorbankan hidup sesama warga bangsa kita, terutama mereka yang lemah dan tidak berdaya.
Ketika kembali dari Indonesia pertama kali tahun 1999, Ben mengeluh tentang perilaku orang-orang yang mengaku menjadi penggerak reformasi. Mereka sibuk mempersoalkan berapa banyak yang dicuri oleh Soeharto dan para kroninya. Namun tidak ada satu pun orang mempersoalkan berapa banyak orang yang dibunuh dan dibikin menderita hidupnya oleh Soeharto dan militernya.
Hidup Ben Anderson sudah selesai. Namun dia meninggalkan warisan yang demikian besar terhadap dunia intelektual dan pemikiran ilmu-ilmu sosial. Tanpa menjadi terlalu sentimental, salah satu cara menghormatinya adalah dengan mengambil inspirasi dari karya-karya Ben Anderson ini. Inspirasi bisa berarti meneruskan agenda-agenda penelitian yang dirasakan kurang. Inspirasi juga bisa berarti melahirkan kritik dari karya-karya Ben ini dan membuat karya yang sama sekali baru.
Untuk itu, kita hanya mampu mengucapkan terima kasih. Selamat jalan, Oom Ben!***
———–
[1] https://www.marxists.org/indonesia/indones/sudisman.htm
[2] Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, Di Bawah Tiga Bendera: Sebaran Anarkisme Global dan Imajinasi Anti-Kolonial di Asia Tenggara, Jakarta: Marjin Kiri, 2015.
[3] Lihat resensi Ben Anderson atas buku ‘Rifle Reports: A Story of Indonesian Independence oleh Mary Margaret Steedly’, Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Volume 30, Number 3, November 2015, p. 861.
[4] http://opinion.inquirer.net/91207/benedict-anderson-in-memoriam