Biarkan Saja Kami Menanam Jagung

Print Friendly, PDF & Email

“SAMPAI nanti ketika hujan tak lagi meneteskan duka meretas luka sampai hujan memulihkan luka”. Begitulah sepengenggal lirik lagu Efek Rumah Kaca berjudul Desember.

Beberapa minggu lalu, sebelum hujan benar-benar rata jatuh di tanah. Ketika hujan barangkali belum memulihkan luka, saya pulang ke kampung halaman di Gunung Kidul.

Siang itu di ruang tamu bapak nampak cemas, mondar-mandir ke luar rumah melihat langit. Langit memang mendung tapi hujan tak kunjung turun. Udara terasa begitu panas, barangkali bapak begitu cemas, bingung memikirkan kapan bisa mulai menanam jagungnya, sambil menggaruk-garuk rambutnya yang sudah memutih. ‘Ini gimana lho, hujan kok nggak turun-turun to’, bapak menggerutu.

Benar saja bapak begitu cemas, mungkin ini juga yang dirasakan para petani tadah hujan di desaku. Di desa tetangga yang letaknya sebelah utara desa, hujan telah turun sejak beberapa hari lalu. Memang di kabupaten ini, hujan turun lebih dulu di wilayah bagian utara, sedangkan di selatan tanah masih jauh dari basah, dan desaku menjadi semacam interval yang membagi dua bagian, di utara desa tanah telah berubah basah, dan di selatan tanah masihlah sesuatu yang bukan basah.

Di pojok ruang tamu, di atas pupuk urea, benih jagung hibrida sudah siap. Kalau saja hujan akan segera turun maka benih siap ditanam. Satu bungkus benih jagung hibrida seberat 1 kg cukup untuk ditanam di lahan yang luasnya 1000 (10m x 100m) dan ketika panen nanti kira-kira akan menghasilkan 2-3 kwintal jagung jika tumbuh normal.

Jangan bayangkan ladang jagung yang akan kami miliki nanti seperti dalam film Interstellar yang begitu luas. Bapak dan Ibu takkan berharap terlalu tinggi atas jagung yang ditanamnya. Lahan yang kami miliki tak seluas dan tak sesubur seperti dalam film itu. Tanah kars Gunung Kidul tak sesubur tanah persawahan di Bantul atau Sleman. Hanya ada benih jagung 4 bungkus, itu artinya kami hanya memiliki lahan yang luasnya kurang lebih 4000 dan secara itungan matematis kalau panen nanti akan menghasilakan 1,2 ton jagung. Jika nanti dijual, dengan harga jagung per Kg nya Rp.3000,00 maka akan menghasilkan Rp.3,6 juta. Jumlah yang cukup menggiurkan untuk petani. Tapi tunggu dulu, prosesnya tak sesimpel itu.

Lahan seluas 4000 bukanlah luas satu lahan, melainkan gabungan dari 4 lahan yang berbeda. Dan jangan dikira ini adalah lahan milik pribadi. Hampir 70 persen lahan yang ditanami penduduk adalah tanah milik Perhutani. Oleh Perhutani, penduduk desa diberikan hak untuk dijadikan sebagai tanah garapan pertanian. Jika penduduk memiliki tanah, biasanya malah di tanami pohon jati sebagai aset selain sapi. Dulu ketika saya masih kecil, pinggiran desa masihlah dipenuhi hutan jati yang lebat. Tapi hutan itu ditebang habis untuk ditanami kembali oleh pihak Perhutani. Sebelum penanaman kembali lahan bekas hutan oleh Perhutani, penduduk diberikan hak pakai untuk dijadikanya lahan pertanian. Penduduk desa menyebut lahan ini dengan istilah Mbaon.

Bapak dan Ibu adalah pensiunan guru, ada cukup pendapatan untuk biaya hidup masa tuanya. Kami cukup beruntung dengan nasib seperti ini. Bagaimana dengan yang lain? lebih dari setengah populasi penduduk di desaku mayoritas pekerjaannya adalah buruh bangunan dan pekerjaan serabutan lainya di kota. Jika musim hujan tiba, mereka akan pulang untuk menanam jagung sekadarnya, tentunya tidak semua memiliki lahan seluas seperti yang kami tanam. Padahal hasil panen yang nanti dicapai nilainya jika dihitung per bulan tak seberapa jika dibandingkan dengan UMP di kota-kota besar. Tapi kami juga tak punya waktu untuk memikirkan atau membandingkan itu.

‘Le, bangun, bangun, anterin ibu ke Mbaon’. Setelah cuci muka, lalu saya menyalakan mesin motor untuk mengantar ibu ke ladang di pinggir desa. Bapak juga pergi ke ladang yang lain. Di ladang nampak jagung sudah mulai tumbuh, raut muka ibu semringah. Dengan pelan ia masuk ke ladang, dengan hati-hati melihat ke tanah memilih tapak berpijak agar tidak menginjak jagung yang mulai tumbuh.

Hujan telah turun sejak beberapa minggu lalu, semua penduduk desa telah menanam jagung di Mbaon mereka masing-masing. Terimasih Tuhan, terima kasih hujan, telah membiarkan kami menanam jagung.***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.