SEBAGAI ilmu, materialisme historis berlandaskan pada realitas empiris. Meski begitu, tak lantas ia tunduk pada godaan empirisme. Malah, empirisme itu salah satu sasaran tembak paling awal ketika Marx dan Engels membangun tonggak-tonggak materialis untuk ilmu tentang masyarakat manusianya itu. Tak seperti anggapan kebanyakan orang, buat Marx dan Engels, bukan cuma lewat filsafat idealisme dan materialisme mekanistik saja kelas penindas melanggengkan daya tindasnya pada kelas pekerja, tapi juga lewat empirisme. Di tangan Lenin, urusan empirisme malah bukan sekadar soal filsafat pengetahuan semata. Urusan dengan empirisme Lenin anggap amat genting secara politik karena ia ada di jantung hidup-matinya gerakan revolusioner kelas pekerja. Karena itulah, alih-alih sibuk rapat konsolidasi kekuatan partai, merancang dan menyemangati pemogokan umum, atau debat di komite sentral soal posisi partai terhadap kaum tani, Lenin malah pelesiran ke Paris, ngendon di perpustakaan, membaca puluhan buku filsafat, dan menulis risalah serius ihwal empirisme.
Ada apa dengan empirisme? Kenapa Lenin begitu cemas padanya? Adakah hal-hal yang penting yang tak kita ketahui soal empirisme dan politik kelas pekerja? Coba kita tanyakan pada kaum empirisis. Di kamus filsafat, empirisme ialah sejenis faham filsafati bahwa satu-satunya realitas ialah yang menampak pada atau dialami oleh subjek. Dalam istilahnya pelajar filsafat, empirisis menyamakan antara keberadaan dan kehadiran. Karena satu-satunya realitas ialah yang menampak pada subjek, maka satu-satunya sumber pengetahuan yang sahih ialah pencerapan indrawi dan pengetahuan yang benar mesti dimulai dari kesan-kesan indrawi subjek atas realitas.
Kalau begitu, pengetahuan yang bertopang pada faham empirisme itu subjektif? Konsekuensinya memang begitu. Tapi tenang, kata empirisis. Ada jalan keluar bersahaja supaya pengetahuan subjektif itu menjadi objektif: mengubah realitas empiris menjadi fakta yang objektif. Wah, gimana caranya tuh? Gampang sekali dik, kata empirisis. Kita tinggal rancang bersama suatu alat, lalu kita bikin alat-alat atau sarana itu yang dengannya kita bisa menangkap realitas sekaligus—tidak seperti alat tangkap yang melekat pada subjek manusia seperti mata, telinga, dan pikiran—tak punya perasaan sehingga pengetahuan yang didapat darinya bisa objektif. Dengan alat-alat itu kita memang masih subjektifis dalam ontologi bahwa pada dasarnya realitas itu adalah realitas subjektif, tapi setidaknya kita objektivis dalam epistemologi, dalam arti, pengetahuan kita bisa objektif karena telah menanggalkan anasir-anasir subjektif manusia, kata empirisis. Dengan alat-alat tak beperasaan itu, kita bisa dapat pengetahuan sahih tanpa harus khawatir perasaan kita turut campur dan membikin rusak susu sebelanga, lanjutnya. Gimana caranya? Contoh pengalaman akan suhu di Bandung. Apakah di Bandung itu dingin, sejuk, sedikit panas, atau malah panas, amatlah subjektif bila kita tanya pada orang-orang akan pengalaman mereka. Buat orang yang sejak lahir tinggal di Timbuktu, waktu pertama kali berkunjung mungkin dia mengalami suhu di Bandung itu dingin. Tapi buat orang yang lahir dan tinggal di Tibet sejak orok, waktu pertama kali berkunjung mungkin dia mengalami suhu di Bandung itu agak panas. Nah, daripada debat kusir soal pendapat mana soal suhu Bandung menurut itu yang benar, kita tanya saja pada alat tak berperasaan bernama termometer. Kalau jawabannya bahwa suhu Bandung itu 25 derajat celcius, maka suhu Bandung itu 25 derajat celcius, titik. Itulah fakta. Atau, kalau kita hendak tahu dari orang-orang kita bikin kuisioner saja soal suhu, lalu kita bagikan ke sebanyak mungkin orang yang ada di Bandung. Kalau dari sebaran jawaban kuisioner itu kita dapatkan bahwa 78 persen orang menyatakan bahwa mereka mengalami suhu di Bandung sebagai sejuk, itulah fakta. Cuma fakta-fakta macam begini yang bisa jadi objek ilmu. Selebihnya tidak bisa. Karena realitas itu subjektif (atau paling banter intersubjektif) dan yang bisa kita ketahui dari realitas itu tampakan pada perilaku orang-orang, maka tak ada struktur, tak ada mekanisme atau cara kerja realitas yang objektif, yang ada hanya agregat dari perilaku orang-orang saja.
Baiklah wahai kau intelektuil, sekarang apa urusannya filsafat empirisme dengan Marxisme dan gerakan kelas pekerja?! Jangan bisanya cuma ngotak-ngatik pikiran dan onani intelektual! Sekarang yang penting adalah bergerak: kerja-kerja-kerja! Sudah muak kami sama teori-teori-teori melulu!
Sebentar, saya tanya Lenin dulu. Lenin pernah bilang bahwa tak ada gerakan revolusioner tanpa teori revolusioner. Artinya, gerakan dan teori tak bisa dipisahkan, entah disadari ataupun tidak. Tak mungkin gerakan ‘bergerak’ sendiri karena, pertama-tama, gerakan mengandaikan 1) kejelasan apa yang dituju, 2) kejelasan bagaimana kita bergerak menuju tujuan. Nah, kata Lenin, teori empirisme sungguh tak revolusioner sejak dalam pikiran. Kenapa? Buat empirisis, eksploitasi itu urusan empiris dan karenanya subjektif. Tidak ada yang namanya realitas objektif bernama eksploitasi. Tak ada sistem eksploitatif karena yang ada hanya pengalaman (dan perasaan) subjek-subjek atas keadaan. Coba saja kita bikin kuisioner ke seluruh pekerja, dari pembersih WC sampai akuntan, dari buruh pabrik sampai wartawan bursa saham. Nah, kalau sebagian besar menyatakan bahwa mereka tidak mengalami dieksploitasi, maka tak ada yang namanya eksploitasi. Selagi kelas pekerja ‘mengalami’ hidup nyaman, selama proses produksi selalu diawali oleh kontrak sukarela antara pekerja dan majikan, selama pekerja ‘tak mengalami’ pemotongan gaji, selama tak ada penyerobotan lahan oleh korporasi demi pembangunan tapi pembelian-pembelian yang sama-sama ‘dirasa’ menguntungkan kedua belah pihak, selama masa depan terbayangkan begitu indahnya karena pertumbuhan ekonomi tinggi dan karenanya standar hidup juga ‘dialami’ bagus oleh kebanyakan orang, tak ada eksploitasi. Eksploitasi itu cuma rekaan para Marxis degil yang tak menghargai pengalaman harian! Kalau pun ada yang mengalaminya, itu cuma ‘oknum’. Tak ada urusannya dengan sistem, struktur sosial, dan tetek bengek yang tak kelihatan itu!
Lho, kalau ada yang mengalami, meski itu ‘oknum’, bukankah berarti eksploitasi itu ada? Memang, tapi kan itu berarti eksploitasi itu subjektif, urusannya orang per orang. Karena itu, tak perlulah kiranya kita ‘bergerak’ merevolusi kondisi masyarakat. Cukuplah kiranya kita petuahi si oknum. Kalau masih eksploitatif bisa kita seret si oknum ke pengadilan, dihukum, dan beres sudah. Yang perlu dilakukan ialah ‘bergerak’ memperbaiki keadaan yang ada, bukan menghancurkan apa yang ada. Pengusaha dan pekerja harus bekerja sama membangun kondisi yang membahagiakan semua pihak. Tak perlulah bergerak menghancurkan apa itu yang disebut para Marxis degil sebagai ‘sistem eksploitatif’, karena pada dasarnya tak ada sistem selain serangkaian aturan-aturan kelembagaan yang dibuat secara sadar guna menata kehidupan bersama. Kalau kita merasa ada yang keliru, kita perbaiki saja aturan-aturan kelembagaan itu secara demokratis melalui lembaga-lembaga yang sudah ada. Semua pihak berhak punya wakil di lembaga legislasi, bukan?
Singkat kata, buat revolusioner empirisis, kapitalisme itu bermasalah ketika secara empiris bermasalah. Ketika kapitalisme menelurkan otoritarianisme, ketika korporasi dan penguasa sewenang-wenang mengambil alih lahan, memotong gaji dan menghapus tunjangan buruh, memaksakan lembur pada mereka, dan semua kejadian yang membuat kita ‘mengalami’ eksploitasi, barulah kita bergerak. Ketika kita mengalami dunia baik-baik saja, kapitalisme is OK. Tak perlulah gerakan-gerakan untuk menyulihnya dengan sistem lain karena tak ada yang namanya sistem keliru secara objektif. Ingat, eksploitasi itu hanya tindakan oknum!***
Jatinangor, 9 Nopember 2015