Jokowi Ke Washington: Sebagai Presiden atau CEO?

Print Friendly, PDF & Email

UNTUK pertama kalinya, Presiden Jokowi akan berkunjung ke Amerika Serikat. Selama empat hari, dari tanggal 25 hingga 29 Oktober, dia akan menyambangi Washington D.C. dan San Fransisco. Ini adalah kunjungan kenegaraan. Sewaktu menghadiri KTT APEC, hanya beberapa saat setelah dia dilantik menjadi presiden, Obama mengundangnya datang ke Amerika. Kini saatnya Jokowi memenuhi undangan itu.

Kunjungan kenegaraan selalu punya dua dimensi. Yang pertama adalah protokoler yang lebih banyak berisi sopan santun diplomatik. Presiden Jokowi akan disambut dengan atributnya sebagai kepala negara dengan segala kemegahannya. Dia akan mendapatkan perlakukan khusus sebagai duta utama bangsa Indonesia.

Dimensi yang kedua lebih bersifat teknis, namun justru substansial. Presiden Jokowi adalah seorang kepala pemerintahan. Dalam fungsi ini, dia harus mengkomunikasikan kerjasama dengan negara yang akan dikunjunginya. Dia juga harus memberikan jawaban atas soal-soal penting yang relevan bagi publik negara yang dikunjunginya. Kadang jawaban itu tidak hanya menyangkut negara yang dikunjunginya, namun juga kepada publik di tanah air.

Beberapa hari yang lalu, kami mendapat jadwal kunjungan sementara Presiden Jokowi ke Amerika Serikat. Jadwal kunjungan ini memperlihatkan hal-hal mendasar yang hendak disasar oleh pemerintahan Jokowi dalam kaitannya dengan pemerintah Amerika. Mengingat negara yang dikunjunginya ini adalah negara yang punya bobot ekonomi dan strategis yang sangat penting untuk Indonesia, tentu kita mengharapkan Presiden Jokowi akan membahas banyak hal penting.

Apa sesungguhnya yang menjadi fokus kunjungan ini? Sudahkah Jokowi beserta tim yang mendampinginya memanfaatkan kesempatan kunjungan untuk benar-benar mewakili kepentingan strategis Indonesia? Yang lebih penting lagi, apakah Jokowi benar-benar diproyeksikan untuk mewakili kepentingan seluruh rakyat Indonesia mengingat dia adalah kepala pemerintahan dan kepada negara Indonesia?

Sayang sekali, setelah mengkaji semua rencana kunjungan itu dan berbicara dengan beberapa pihak yang terkait dalam persiapannya, baik dari sisi Amerika Serikat maupun Indonesia, agaknya pertanyaan-pertanyaan di atas tidak terjawab secara memuaskan. Tampaknya, Presiden Jokowi lebih memilih menjadi semacam ‘corporate CEO’ ketimbang seorang kepala pemerintahan.

***

Sebelum kita masuk lebih jauh, mari kita tengok jadwal Presiden Jokowi di Amerika Serikat. Presiden direncanakan akan mendarat pada pagi hari Minggu, 25 Oktober, di Washington DC. Dia akan tinggal di Blair House, tempat menginap resmi yang disediakan oleh pemerintah Amerika kepada kepala negara yang melakukan kunjungan resmi. Jam empat sore, Presiden akan menemui masyarakat Indonesia yang tinggal di DC.

Acara resmi akan mulai keesokan harinya. Jam 9 pagi, Presiden Jokowi akan sarapan bersama para eksekutif dari Freeport McMoran di Wilard Hotel. Sejam kemudian, Presiden Jokowi akan bertemu dengan Presiden Obama di Gedung Putih. Obama akan menerimanya di Oval Office, ruang kerja kepresidenan. Pertemuan ini dilanjutkan dengan melakukan konferensi pers bersama. Pertemuan ini tergolong sangat singkat, hanya 1 jam 20 menit (10-11.20). Presiden Jokowi akan diterima sesuai tatacara protokoler Amerika. Ketika datang, dia akan disambut Presiden Obama dan ibu negara. Kemudian dia harus mengikuti semua upacara protokoler seperti memeriksa barisan kehormatan yang diiringi dentuman meriam 21 kali, mendengarkan lagu kebangsaan kedua negara, dan sedikit pidato basa-basi antara kedua pemimpin negara. Selanjutnya, kedua presiden akan melakukan pembicaraan. Setelah berbicara, mereka akan melakukan konferensi pers bersama.

Protokoler Amerika biasanya juga menyertakan acara makan siang bersama antara kedua presiden. Tampaknya ini tidak akan dilakukan oleh delegasi Presiden Jokowi. Malam harinya, biasanya kepala negara yang berkunjung akan menikmati ‘glamour’ penyambutan dengan makan malam kenegaraan (state dinner). Ini juga rupanya tidak akan dilakukan oleh Presiden Jokowi. Ada kabar bahwa pihak Obama sesungguhnya menawarkan apakah Presiden Jokowi berkenan untuk mengadakan jamuan makan malam. Namun, tawaran ini tidak disanggupi mengingat terbatasnya waktu.

Sebagai gantinya, Presiden Jokowi akan mengadakan jamuan makan siang di Kementrian Luar Negeri (Department of State) Amerika Serikat (pukul 12.30-14.00). Menlu John Kerry akan menjadi tuan rumah jamuan makan itu. Tidak diketahui alasan mengapa jamuan makan siang tidak diadakan di Gedung Putih bersama Presiden Obama.

Setelah jamuan makan siang, Presiden Jokowi akan mengadakan pertemuan dengan orang per orang (one to one meeting) hingga pukul 17.00. Tidak diketahui siapa saja yang akan bertemu dengan Presiden Jokowi. Namun, biasanya, pertemuan seperti ini menjadi ajang melakukan lobby kepada Presiden.

Pukul 17.00, Presiden Jokowi akan berbicara di depan para pengusaha Amerika yang tergabung didalam US Chamber of Commerce. Ini adalah semacam Kadin di Amerika. Sebagaimana halnya kamar-kamar dagang di negara lain, US Chamber of Commerce adalah sebuah lembaga yang memiliki kekuatan politik yang signifikan. Pada pukul 19.00, Presiden Jokowi dijadwalkan akan menghadiri jamuan makan malam. Yang menjadi tuan rumah adalah US Chamber of Commerce. Makan malam ini juga akan dihadiri oleh Menteri Perdagangan AS. Itulah acara terakhir Presiden Indonesia hari itu,

Keesokan harinya (Selasa, 27 Oktober), Presiden Jokowi kembali akan bertemu dengan para pengusaha. Pertemuan pukul 8 pagi, akan diawali dengan sarapan bersama. Kali ini yang mendapat giliran adalah para ‘fund-manager’ atau orang-orang yang bergerak dalam bidang investasi dan jasa keuangan. Mereka inilah yang mengelola dana-dana yang akan diinvestasikan ke dalam bidang-bidang usaha yang dianggap paling menguntungkan. Tidak salah kalau dikatakan bahwa ‘funda manager’ adalah jantung dari kapitalisme kontemporer.

Sejam kemudian, Presiden Jokowi akan bertemu dengan para pimpinan Congress (DPR dan Senat) Amerika Serikat. Dia akan diterima John Boehner, Ketua DPR yang akan mundur dari jabatannya akhir bulan ini, dan Ketua Senat Mitch McConnell. Pertemuan ini akan berlangsung satu jam saja (9.00-10.00). Acara dilanjutkan dengan pidato tentang kebijakan (policy speech) di sebuah think tank, yang hingga tulisan ini dibikin belum ditentukan. Ada dua lembaga yang kemungkinan akan menjadi tempat pidato ini, yakni The Brookings Institution atau Carnegie Endowment for International Peace. The Brookings Institution adalah think tank tertua di dunia. Lembaga ini melakukan banyak melakukan riset kebijakan dengan fokus utama ekonomi, pembangunan, hubungan internasional, tata-pemerintahan (governance) serta ekonomi global. Sementara Carnegie Endowment for International Peace adalah think tank yang mengkaji kerjasama internasional dan memberi masukan soal kebijakan luar negeri kepada pemerintah Amerika.

Pilihan ke Carnagie mungkin akan lebih menarik untuk dicermati. Itu karena pada tahun 2010, keluarga Bakrie dari Indonesia memberikan dukungan kepada Carnagie lewat Bakrie Foundation. Sokongan dana dari Bakrie Foundation ini dipergunakan oleh Carnagie untuk mendukung sebuah posisi yang dinamakan “the Bakrie Chair for Southeast Asian Studies.” Posisi itu sekarang diduduki oleh Vikram Nehru, mantan manajer di World Bank, yang juga ahli mengenai isu-isu pemberantasan kemiskinan.

Setelah memberikan pidato soal kebijakan, Presiden Jokowi kembali akan bertemu dengan para manajer modal ventura (fund managers). Selama satu jam (14.00-15.00) dia akan mengadakan konferensi dengan para manajer keuangan ini.

Praktis inilah yang akan mengakhiri kunjungan Jokowi di Washington DC. Sebelum meninggalkan Washington menuju ke San Fransisco pada jam 18.00, Presiden Jokowi akan melakukan ‘blusukan’ di Washington. Untuk acara ini, Presiden sendirilah yang akan menentukan kemana dia hendak pergi. Dalam jadwal acara disebutkan ‘biasanya Presiden akan pergi dengan para relawan.’

San Fransisco adalah kota di pantai barat-selatan Amerika, sementara Washington D.C. berada di pantai timur-utara. Karakteristik kedua kota ini sangat berbeda. Washington adalah kota politik, kota birokrat, dan kota pemerintahan. Sementara San Fransisco adalah kota kewirausahaan (entrepreneurship). Kota ini berdekatan letaknya dengan pusat teknologi komputer yang terkenal ‘Silicon Valley.’ Wilayah sekitar San Franscisco adalah juga daerah tempat ‘pembenihan usaha’ (starts up). Hampir semua produk komputer dimulai dari daerah ini.

Acara Presiden Jokowi akan dimulai di kota ini jam 10 pagi. Dia dijadwalkan akan bertemu dengan orang-orang Indonesia yang ada di Silicon Valley. Pertemuan itu akan diadakan di Computer Museum, Palo Alto. Pada saat itu, Presiden Jokowi akan meresmikan sebuah usaha modal ventura yang diberi nama Palapa Ventures. Perusahan ini digagas oleh Indonesian Diaspora Business Council (IDBC).

Ketua IDBC Edward Wanandi menjelaskan di satu media bahwa Palapa Ventures menargetkan akan mengumpulkan modal sebesar US$20 juta untuk tahun ini. Mereka akan menghimpun dana dari orang-orang Indonesia diaspora. Perusahan modal ventura ini dipimpin oleh Tirto Aji, seorang diaspora Indonesia yang sudah duabelas tahun bekerja di bidang ventures development milik Yahoo. Dia dibantu oleh Mahendra Siregar, mantan ketua BKPM pada masa pemerintahan Presiden Yudhoyono.[1]

Pada pukul 12 siang, Presiden Jokowi akan makan siang dengan para CEO (Chief Executive Officers) perusahan-perusahan teknologi informasi. Jokowi akan memberikan masukan tentang investasi di Indonesia. Selanjutnya, selama satu setengah jam Jokowi akan kembali melakukan ‘blusukan’ di wilayah ‘Bay area’, yakni daerah seputaran San Francisco. Seperti di Washington DC pun, dia akan diampingi oleh para relawan.

Acara penting lainnya yang akan dilakukan oleh Presiden Jokowi adalah mengunjungi kantor pusat Google. Kemudian pada jam 18.30, dia akan berkunjung ke kantor pusat Apple dan akan dijamu makan malam oleh CEO Apple, Tim Cook. Presiden Jokowi akan meninggalkan San Fransisco keesokan harinya (29 Oktober) dan kembali ke Jakarta.

***

Apakah yang penting diperhatikan dari kunjungan Presiden Jokowi ini?

Melihat dari jadwal ini, tidak bisa tidak, kita dipaksa untuk menelan kenyataan bahwa kunjungan pertama Presiden Jokowi ke Amerika Serikat ini lebih mirip sebagai kunjungan bisnis ketimbang kunjungan seorang kepala negara dan kepala pemerintahan. Bahkan, acara di hari pertama, Presiden Jokowi pun dimulai dengan urusan bisnis: menyantap sarapan dengan eksekutif perusahan Freeport McMoran.

Jika dihitung secara keseluruhan, dari empat hari kunjungan itu, kira-kira hanya setengah hari dipakai untuk urusan politik pemerintahan dan kenegaraan. Selebihnya adalah urusan dengan para pengusaha. Dia bertemu dengan eksekutif Freeport McMoran yang sedang mengalami persoalan dengan perpanjangan kontrak karyanya di Indonesia. Freeport menguasai tambang tembaga dan emas terbesar di dunia.

Dua kali Presiden Jokowi akan bertemu dengan para fund managers, yakni mereka yang menghimpun dana dan menginvestasikannya. Presiden Jokowi tentu akan berusaha agar mereka menanamkan modalnya di Indonesia. Para fund managers itu tentu juga akan mengkalkulasi resiko dan return (keuntungan) yang akan mereka dapat jika mereka berinvestasi di Indonesia. Presiden Jokowi akan memberikan jaminan dan kemudahan-kemudahan untuk berinvestasi sehingga resiko bisa ditekan dan return diperbesar.

Yang menarik adalah Presiden Jokowi akan dijamu makan malam oleh US Chamber of Commerce. Dalam peta politik Amerika, US Chamber of Commerce memiliki pengaruh politik yang sangat besar terutama di kalangan Partai Republik. Lembaga ini terkenal sangat anti terhadap Serikat Buruh, anti-perubahan iklim (climate change) dan penentang undang-undang kesehatan. Praktis US Chamber of Commerce ini bertentangan dengan Presiden Obama dalam banyak front.

Demikian juga kunjungannya ke Silicon Valley. Sekali lagi, Jokowi akan menghadapi venture capitalist. Acara pertamanya di daerah ini adalah meresmikan Palapa Ventures. Yang menarik, Palapa Ventures ini berusaha menggalang dana dari masyarakat Indonesia perantauan atau yang secara mentereng disebut diaspora itu. Dana itu nantinya akan diinvestasikan di Indonesia. Tentu dibandingkan dengan dana yang digalang oleh para venture capitalists yang sebelumnya bertemu dengan Presiden Jokowi, jumlah modal yang dihimpun Palapa Ventures masih sangat kecil.

Akan tetapi, ada informasi menarik yang berhasil dihimpun oleh IndoPROGRESS. Ketika mengecek aktivitas lobbying yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia Washington DC, kami menemukan bahwa ada aktivitas lobbying yang dilakukan oleh sebuah lembaga yang bernama Yayasan Diaspora Indonesia Global. Yayasan ini diketuai oleh Edward Wanandi,[2] yang di atas disebutkan juga sebagai ketua Indonesian Diaspora Business Council (IDBC). Yayasan Diaspora Indonesia Global ini beralamat di Jakarta. Yayasan ini didaftarkan di Departemen Kehakiman Amerika Serikat karena menyewa dua perusahan lobbying, yakni The Glover Park Group, LLC dan Hogan Lovells US, LLP.

Hogan Lovells mendaftarkan kerja lobbying-nya untuk tanggal 30 Juni 2015. Sementara, The Glover Park Group pada tanggal 7 Juli 2015. Surat pendaftaran oleh kedua perusahan lobby nyaris sama. Aktivitas lobbying ini diminta oleh Edward Wanandi, yang disamping duduk sebagai ketua Yayasan Diaspora Indonesia Global juga menjabat sebagai CEO perusahan International Merchant, LLC, sebuah perusahan ekspor impor yang berkedudukan di Lincolnshire, Illinois.[3] Dalam berkas Hogan Lovells dikatakan bahwa aktivitas lobbying ini diminta oleh perusahan International Merchant, LLC. dan juga akan dibayar oleh perusahan ini.[4]

Menariknya, dalam berkas yang diajukan ke Departemen Kehakiman AS itu dikatakan bahwa aktivitas lobbying ini akan dilakukan ‘lewat koordinasi dengan para pejabat Indonesia.’ Disebutkan bahwa para lobbyists ini akan diminta bekerja untuk memberikan nasehat dalam soal-soal hubungan antara Amerika Serikat dan Republik Indonesia. Termasuk didalamnya melakukan ‘advokasi kebijakan’ terhadap cabang-cabang pemerintahan Amerika Serikat, baik itu eksekutif maupun yudikatif.

Usaha lobbying ini tentu menimbulkan pertanyaan karena dilakukan dan dibeayai oleh pihak swasta (International Merchant, LLC) untuk kepentingan Yayasan Diaspora Indonesia Global, namun lewat koordinasi dengan pejabat-pejabat pemerintahan. Batas-batas antara kepentingan pemerintahan, dengan demikian rakyat Indonesia, dengan pihak swasta (International Merchant LLC dan Yayasan Diaspora Indonesia Global menjadi kabur di sini.

Pertanyaan menjadi semakin besar karena Presiden Jokowi akan meresmikan Palapa Ventures yang merupakan badan usaha yang terkait dengan organisasi diaspora Indonesia. Kelihatannya ada saling tumpang tindih kepentingan di sini.

***

Kunjungan Presiden Jokowi ini meninggalkan lobang besar. Apa yang hilang itu? Yang paling kasat mata adalah Massa-Rakyat! Presiden Jokowi terpilih dengan mandat popular, yaitu dengan suara terbanyak dari rakyat. Dia bukan diktator atau pemimpin yang mendapat kekuasaannya dengan cara merampok atau dengan cara kekerasan. Dia menjadi presiden lewat persetujuan (consent) para pemilih Indonesia. Dia adalah presiden rakyat Indonesia.

Orang akan melihat kunjungan ke Amerika Serikat ini tidak lebih dari perpanjangan tangan pengusaha. Presiden Jokowi akan menemui pengusaha, berdialog dengan mereka, menanyakan berbagai kepentingan mereka, dan memberikan jaminan bahwa semua kepentingan itu bisa diselaraskan di Indonesia. Sebaliknya, pihak pengusaha akan menaksir berbagai macam resiko yang akan mereka hadapi jika mereka menanamkan uangnya di Indonesia. Tentu mereka akan membikin perbandingan-perbandingan dengan negara-negara lain. Seperti air mencari dataran yang rendah, modal akan mengalir ke negara yang memberikan resiko paling kecil dan keuntungan yang paling besar.

Kunjungan ini jelas memberikan terlalu banyak konsesi terhadap pengusaha. Tidak hanya terhadap pengusaha Amerika, tetapi juga terhadap pengusaha Indonesia. Kita bisa membaui konflik kepentingan yang sangat kuat yang mengiringi kunjungan Presiden Jokowi ini.

Tentu, orang bisa membela Presiden Jokowi dengan argumen bahwa toh ini semua dilakukan demi rakyat. Indonesia membutuhkan investasi dan modal untuk membangun infrastruktur yang nantinya akan kita pakai untuk membangun lebih lanjut. Argumen yang absah. Namun, bagaimana dengan rakyat biasa yang akan memikul bebannya? Bagaimana dengan kebutuhan akan tanah yang akan bersaing antara proyek-proyek mercusuar infrastruktur dengan kebutuhan hidup sehari-hari rakyat kecil? Pada akhirnya, rakyat Indonesia yang biasa-biasa itulah yang akan memikul semua beban pembangunan infrastruktur itu.

Bahkan tidak ada tanda-tanda Presiden Jokowi akan berbicara soal bencana asap yang saat ini melanda Indonesia. Sementara dunia sibuk dengan persoalan perubahan iklim, Indonesia berdiam diri karena bencana asap yang melepaskan jutaan ton karbondioksida ke udara? Isu perubahan iklim adalah isu yang saat ini menjadi perhatian Presiden Obama. Mengapa tidak membahas isu ini dengan pihak Amerika dan menunjukkan komitmen Indonesia untuk berdiri bersama negara-negara lain di dunia untuk memperbaiki lingkungan? Dalam kunjungannya ke Amerika sebulan lalu, Presiden Cina Xi Jinping, membuat persetujuan dengan Amerika dalam soal lingkungan ini. Mengapa Indonesia tidak menunjukkan komitmen yang sama? Juga, Indonesia tidak bisa terus menerus membangun ekonominya dengan merusak lingkungan. Untuk masa depan, ekonomi yang menghancurkan lingkungan adalah sebuah jalan buntu kalau bukan bunuh diri.

Kemudian, ada juga persoalan dalam negeri yang terkait dengan Amerika yang sesungguhnya bisa diselesaikan oleh Presiden Jokowi. Kita tahu bahwa banyak dokumen-dokumen milik CIA tentang tahun 1965 yang belum dibuka. Dokumen-dokumen itu hanya bisa dibuka atas permintaan negara yang bersangkutan. Negara-negara yang pernah mengalami kediktatoran, seperti Guatemala, Chile, dan Argentina sudah meminta pemerintah Amerika untuk membuka dokumen-dokumen tersebut. Pengetahuan tentang apa yang terjadi di masa lalu membikin negara ini mampu melakukan rekonsiliasi dan menyembuhkan luka-luka sosial dan politik akibat kediktatoran. Hanya dengan cara seperti ini, negara-negara tersebut bisa maju sebagai bangsa.

Kita tahu bahwa peristiwa pembantaian massal tahun 1965 itu berusaha dihindari oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Berbagai kekuatan politik menentang permintaan maaf oleh negara kepada para korban 1965 beserta keluarganya. Peristiwa itu tidak berhenti dengan pembantaian 1965 saja namun merambah jauh ke depan dengan menciptakan status ‘pariah’ kepada warga yang kebetulan terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sesungguhnya, tidak ada negara di dunia ini yang bisa maju dengan mendiskriminasi warga negaranya sendiri.

Presiden Obama sendiri kabarnya sudah menunjukkan gesture bahwa dia bersedia untuk membuka dokumen-dokumen ini. Namun itu tidak bisa dilakukan sepihak dari sisi Amerika saja. Indonesialah yang harus memintanya. Presiden Jokowi sebaiknya membahas isu ini dalam pertemuannya dengan Presiden Obama. Pembukaan dokumen-dokumen ini penting. Kita perlu tahu apa yang terjadi pada waktu itu dan mengapa. Kita perlu belajar darinya. Sementara pihak mengatakan bahwa pembukaan dokumen-dokumen tersebut akan memojokkan pihak militer khususnya Angkatan Darat. Itu adalah pandangan yang menurut hemat kami sangat salah. Justru generasi muda TNI perlu belajar dari situasi seperti tahun 1965.

Ada juga pihak yang mengatakan bahwa situasi sekarang tidak mengijinkan Presiden Jokowi untuk mengambil langkah politik tentang pembantaian massal 1965, karena akan menghabiskan ‘kapital politiknya’ yang sangat terbatas itu. Pandangan ini juga menurut hemat kami sangat salah. Seorang pemimpin harus memiliki ‘conviction’ (keyakinan). Dia harus memiliki keteguhan bahwa langkah yang diambil itu baik untuk bangsanya.

Contoh dari Presiden Obama yang membuat Undang-undang Jaminan Kesehatan di Amerika pada tahun kedua pemerintahannya mungkin bisa ditiru. Dia meloloskan undang-undang ini tanpa satu pun dukungan dari Partai Republik. Namun dia maju dengan keyakinan bahwa itulah yang terbaik bagi bangsanya. Hingga saat ini, undang-undang itu akan menjadi warisan terbesar Obama untuk bangsa Amerika. Sekalipun ditentang amat keras oleh kalangan Republikan, Obama tetap maju dan yakin akan kebaikannya.

Semestinya itulah yang harus dilakukan oleh Presiden Jokowi. Dia harus menyuarakan suara rakyat Indonesia kepada pejabat, pengusaha, dan publik Amerika. Dia harus menyuarakan suara Salim Kancil dan Tosan, dua penduduk Desa Desa Selok Awar-awar, Pasiran, Lumajang, Jawa Timur, yang disiksa dan dibunuh karena menentang penambangan pasir di desanya. Dia harus menyuarakan suara jutaan rakyatnya di Sumatera dan Kalimantan yang berjuang melawan asap yang dibuat oleh pengusaha-pengusaha perkebunan. Dia harus menyuarakan suara ibu-ibu di Rembang yang memprotes kehadiran pabrik semen yang akan merampas sumber-sumber air yang selama ini menghidupi mereka. Dia harus menyuarakan suara orang-orang dirampas kehidupannya hanya karena kepercayaannya dianggap sesat atau berbeda dari yang mayoritas. Dia harus menyuarakan suara jutaan rakyatnya yang menjadi pariah sesudah pembantaian massal tahun 1965. Dia harus menyuarakan mereka yang tidak bisa bersuara.

Mungkin harapan ini terlalu muluk. Tetapi, siapa tahu? ***

 

————-

[1] http://swa.co.id/business-strategy/management/diaspora-indonesia-makin-rekat-lewat-palapa-ventures

[2] Dalam file lobbying ini disebutkan juga bahwa Edward Wanandi adalah CEO dari International Merchants, LLC.

[3] The Glover Park Group menyatakan dalam berkasnya: The Registrant has been retained by International Merchants, LLC (lOOTri State International Drive, Lincolnshire, IL) on behalf of the Yayasan Diaspora Indonesia Global to render advice on matters of interest to the Foreign Principal and/or the Republic of Indonesia relating to strengthening the U.S.-lndonesia bilateral political, economic) and social relationship. Such representation may include policy advocacy before officials and staff of the legislative and executive branches ofthe U.S. government, as well as outreach to U.S. media representatives and others. The Registrant will be collaborating with, and receiving guidance from, officials of the Republic of Indonesia on these matters, as appropriate. Please see item 8 for a more detailed description ofthe activities. The Registrant will be paid by International Merchants, LLC a monthly retainer fee between $15,000.00-$25,000.00 depending on the level of activities in any given month.

[4] Bunyi lengkap dalam berkas Hogell Lovells LLC disebutkan sebagai berikut: The Registrant has been retained by International Merchants, LLC on behalf of Yayasan Diaspora Indonesia Global to render advice on matters of interest to the Foreign Principal and/or the Republic of Indonesia relating to strengthening the U.S.Indonesia bilateral political, economic, and social relationship. Such representation will include policy advocacy before officials and staff of the legislative and executive branches of the U.S. Government, the Registrant will be collaborating with, and receiving guidance from, officials of the Republic of Indonesia on these matters, as appropriate. Please see item 8 for a more detailed description of the activities. The Registrant will be paid by International Merchants, LLC a monthly retainer fee between $ 15,000.00-$30,000.00 depending the level of activities in any given month.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.