Foto diambil dari http://akrockefeller.com
PADA 10 Mei lalu[1], Jokowi mengunjungi Papua Barat. Ia singgah di Merauke dan sekaligus melakukan panen padi. Sembari tersenyum, Jokowi seakan ingin mengatakan bahwa kini masalah pangan sedang berada di ambang pintu menuju kejayaan: swasembada beras. Sesudah panen raya tersebut, Jokowi segera memberikan pidato megah. Dengan lantang ia memberitahukan kepada dunia bahwa dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia akan memiliki lebih dari satu juta hektar sawah baru. Lahan pertanian yang akan dibuka di Merauke tersebut didedikasikan untuk “memberi makan Indonesia, lalu memberi makan dunia”, seperti yang pernah dicita-citakan oleh pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ada dua hal yang tersirat sekaligus dalam pidato singkat Jokowi di Merauke tersebut. Pertama, hantu impor beras yang selama ini menjadi problem dan polemik berkepanjangan telah menemukan solusi. Kedua, adalah soal imaji bahwa negeri ini akan menjadi pengimpor beras di masa mendatang. Dengan bentang seluas lebih dari satu juta hektar, Indonesia dibayangkan akan memiliki beras berlimpah yang tidak hanya sanggup memenuhi kebutuhan dalam negeri tapi juga dapat dijual ke luar negeri. Sekali tepuk, dua nyamuk mati di tangan.
Namun, benarkah sesederhana itu?
MIFEE Sebagai Serangan Agribisnis
MIFEE sebenarnya telah jauh hari diawali sejak SBY naik tampuk di periode pertamanya sebagai presiden. Di bulan April 2006, sebuah proyek bertajuk Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) diluncurkan bersamaan dengan seremoni panen padi. Bagi SBY, proyek ini adalah ide cemerlang bahwa Indonesia akan memiliki sebuah ‘pabrik beras’ yang tidak hanya masif dalam luasan proyek namun juga dalam skala produksi.[2] Salah satu grup investor yang pada awalnya tertarik untuk berinvestasi adalah Bin Laden Group yang berasal dari Arab Saudi. Investasi ini akhirnya batal karena krisis ekonomi yang melanda dunia finansial global di tahun 2009.[3]
Namun proyek ini urung terlaksana. Rezim SBY kemudian mengemas kembali proyek ini di tahun 2010 dengan sebuah rencana yang lebih glamor: Merauke Integrated Food and Energy Estate yang dikenal dengan singkatan MIFEE.
Sebuah proyek skala raksasa yang tidak pernah terdiri dari satu desain tunggal. MIFEE memiliki ragam versi yang berbeda satu dengan yang lain mengenai apa yang sebenarnya dibutuhkan serta apa tujuan final dari proyek ini. Beragamnya interpretasi mengenai MIFEE ini juga menggambarkan beragam kepentingan dan manipulasi dari berbagai aktor korporasi dan pemerintah yang terlibat. Belum lagi menyoal bagaimana proses pengambilan keputusan mengenai proyek ini yang tidak pernah transparan serta absennya sumber otoritatif yang dapat menjadi sumber rujukan data yang akurat untuk membantu publik memahami status proyek ini. Ada semacam kewajaran di mana gambaran lengkap mengenai MIFEE hanya dapat diketahui dengan menghubungkan berbagai titik yang tampak acak dan saling tidak bertaut. Tambal sulam data serta sulitnya melakukan verifikasi membuat MIFEE memang layak dipertanyakan.
Secara umum, pemerintah Indonesia menggambarkan MIFEE sebagai rencana perkebunan raksasa yang akan menjadikan beras sebagai tulang punggung. Sebagai pendamping, beberapa proyek satelit akan dibangun yang semuanya bertujuan untuk memberikan garansi bagi kebutuhan pangan nasional. Jadi, dapat dikatakan, proyek ini adalah pintu gerbang bagi pemenuhan kebutuhan pangan nasional melalui pembukaan lahan baru di luar pulau Jawa dan Sumatra. Hal ini dikuatkan dengan munculnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28, Tahun 2008 yang secara detil menyasar kabupaten Merauke sebagai pusat proyek, dan membaginya ke dalam enam daerah utama yang masing-masing akan menjadi daerah industri dengan tanaman spesifik. Tak lama kemudian, di tahun yang sama, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 diluncurkan untuk mempercepat realisasi MIFEE. Inpres ini secara spesifik meminta Badan Pertanahan Nasional bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Merauke untuk segera melakukan pemetaan, pengukuran dan pembagian enam daerah kunci yang akan menjadi gelanggang aktualisasi MIFEE. Di tahun 2010, Pemerintah kembali mengeluarkan PP No.18, Tahun 2010 yang secara khusus memberikan perhatian terhadap MIFEE serta proyeksi tentang keuntungan nasional yang bakal didapat dari pajak dan keuntungan lain jika proyek ini berjalan.
Dalam berbagai publikasi yang berhasil dikumpulkan, MIFEE ditargetkan secara bertahap merampas sekitar 2.5 juta hektar hutan alam dan lahan gambut yang berada di wilayah ulayat Malind Anim. Total luas lahan ini rencananya akan didistribusikan untuk industri pangan (50 persen), industri sawit (20 persen) dan industri tebu (30 persen). Industri pangan yang dimaksud terdiri dari beberapa cluster yang dibagi untuk percetakan sawah baru padi, lahan jagung, kedelai dan juga kebun untuk menanami buah-buahan. MIFEE direncanakan akan dibangun secara bertahap dalam rentang dua dekade.[4]
Dalam data yang berhasil dikompilasikan dari berbagai sumber, tercatat ada 33 perusahaan yang ikut berinvestasi dalam proyek raksasa ini. Korporasi-korporasi ini bahkan telah mengantongi ijin jauh sebelum proyek ini diresmikan. Secara umum, jenis usaha yang berada di dalam skema MIFEE terbagi ke dalam enam ragam industri pertanian; perkebunan kayu, kelapa sawit, tebu, padi/beras, jagung dan pengolahan kayu.[5]
Dari tabel di atas, kita dapat mengetahui bahwa total luas lahan yang dikorbankan untuk MIFEE mencapai 1.927.357 hektar, atau hampir dua juta hektar. Dari total tersebut 973.057 hektar (50.48 persen) digunakan untuk industri perkebunan kayu, 2.800 hektar (0.14 persen) dianggarkan untuk pengolahan kayu, 433.187 hektar (22.47 persen) dikorbankan untuk perkebunan sawit, 415.094 hektar (21.53 persen) diberikan untuk industri perkebunan tebu yang produksi akhirnya adalah gula, dan 103.219 hektar (5.38 persen) untuk sawah padi beras. Perbandingan statistik sederhana serta ijin konsesi alih fungsi hutan di atas menunjukkan bahwa MIFEE sejak awal tidak bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, seperti digembar-gemborkan oleh propaganda pemerintah. Sebaliknya, ekspansi dan perampasan lahan ini semata-mata ditujukan untuk memenuhi kebutuhan ekstraktif korporasi semata.
Jadi bukan sebuah kebetulan jika MIFEE secara resmi diluncurkan pada 8 Agustus 2010, ketika SBY mengunjungi lahan percobaan MEDCO di daerah Serapu.[6] Empat tahun kemudian, proyek ini semakin mengeras dan diperluas dengan penambahan 1.2 juta hektar lahan baru untuk mencetak sawah. Ekspansi MIFEE ini secara seremonial ditandai melalui pidato Jokowi seusai tersenyum lebar di depan media ketika mengikuti panen padi di sawah milik MEDCO yang terdapat di Distrik Kurik.[7]
MIFEE Sebagai Mimpi Buruk Malind-Anim
Kelompok yang terpapar dampak brutal MIFEE adalah masyarakat adat Malind. Mereka adalah suku mayoritas di wilayah administratif kabupaten Merauke. Selain Malind, ada juga populasi dalam jumlah kecil yang berasal suku Muyu, Mandobo, Mappi dan Asmat. Mandobo dan Muyu mendiami bagian utara yang berbatasan dengan Kabupaten Boven Digul, dan suku Mappi dan Asmat berada di bagian barat laut yang berbatasan dengan Kabupaten Mappi. Sebagai besar hutan dan sungai di wilayah Merauke, merupakan daerah kultural Malind-Anim (lihat gambar)[8].
Selain menjadi sumber pangan yang menyediakan sagu, hewan buruan, buah-buahan dan kebutuhan hidup lain, hutan juga dalam kosmologi Malind-Anim dipandang sebagai ‘Ibu’ yang diasosiasikan sebagai pemberi kehidupan serta pintu religius untuk berhubungan dengan Dema.[9] Upacara-upacara ritual Malind-Anim dilangsungkan di tengah hutan. Begitu juga dengan rapat-rapat para tetua untuk memutuskan hal-hal penting dalam komunitas, semisal penyelesaian sengketa. Batas-batas kepemilikan antar klan serta aturan tata kelola dan pemanfaatan hutan dalam tradisi Malind juga didasarkan pada batas-batas geografis yang hanya bisa dikenali melalui penanda-penanda kultural yang terdapat di tengah hutan. Keterikatan Malind-Anim dengan hutan juga dapat dikenali melalui pemaknaan dari tiap-tiap marga (fam) Malind-Anim dengan tumbuhan atau hewan yang terdapat dalam hutan. Semisal marga Gebze yang dilambangkan dengan pohon kelapa, Samkakai yang disimbolkan oleh kangguru, fam Mahuze yang ditandai oleh sagu, Kaize yang berasosiasi dengan kasuari atau Basik-basik yang identitas klan-nya direpresentasikan oleh babi hutan.[10] Kehilangan simbol klan bagi Malind-Anim merupakan tragedi keterputusan sejarah antara dirinya dengan kebudayaannya.[11]
Itu mengapa pengambilalihan hutan oleh pemerintah Indonesia untuk realisasi proyek MIFEE adalah ancaman serius bagi keberadaan Malind-Anim. Menggantikan hutan sagu dengan sawit, sawah padi atau perkebunan tebu berarti aksi langsung penghancuran terhadap perangkat penunjang kosmologi Malind-Anim, yang berimplikasi pada pemusnahan kebudayaan (etnosida) Malind secara keseluruhan.
Sebagai sebuah entitas budaya yang memiliki ketergantungan yang besar terhadap hutan, Malind-Anim adalah korban serius dari proyek raksasa MIFEE. Berkurangnya secara drastis ketersediaan sagu dan hewan buruan karena alih fungsi hutan untuk kepentingan industri pertanian, telah berpengaruh terhadap peningkatan angka kekurangan gizi di generasi muda Malind-Anim. Hal ini berujung pada naiknya jumlah kematian ibu dan anak di Kabupaten Merauke secara tajam (15 persen per tahun 2013) dalam catatan Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke. Setelah MIFEE resmi diluncurkan, Forest People Programme mencatat mewabahnya malnutrisi yang berujung pada kematian. Di dusun Zanegi, distrik Malind, tercatat 5 orang anak meninggal dunia karena kekurangan gizi.[12]
Selain itu, MIFEE telah sukses meminggirkan Malind-Anim dan memutus akses mereka terhadap hutan. Lahan-lahan konsesi telah menjadi tembok-tembok baru yang tidak bisa dilintasi Malind-Anim untuk mengakses pangan atau melakukan ritual di sebagian kecil hutan yang tersisa. Dari total luas Kabupaten Merauke yang hanya 4.5 juta hektar, lebih dari 55 persen telah diserahkan pemerintah kepada korporasi-korporasi perkebunan. Hilangnya hutan juga berpotensi menimbulkan konflik horizontal. Semakin sulitnya mencari bahan pangan, membuat banyak keluarga Malind-Anim terpaksa mesti menyeberang ke sebagian kecil hutan yang dimiliki keluarga lain untuk mencari sagu tersisa. Hal yang kerap menjadi pemicu terjadinya perselisihan. Upaya kultural untuk meredam konflik antar marga juga semakin sulit karena lokasi-lokasi penting bagi Malind-Anim dengan semena-mena sudah dirampas untuk kepentingan agribisnis.
Dalam kacamata MIFEE, Malind-Anim dianggap bukan sebagai komunitas adat yang memiliki hak ulayat atas tanah. Olivier De Schutter, Pelapor Khusus terkait Hak Atas Pangan, secara jelas menuliskan bahwa paradigma MIFEE adalah cara pandang yang berbasis pada pola perampasan tanah dengan mengabaikan hak-hak dasar masyarakat adat di lokasi proyek.[13] Kesimpulan serupa juga dipublikasikan oleh Fransiskan Internasional yang menunjuk tentang “adanya pengabaian secara sengaja oleh negara-negara adidaya dan aktor ekonomi internasional –baik lembaga swasta atau pemerintah– dengan memandang bahwa Merauke adalah tanah tak bertuan yang cocok digunakan sebagai lokasi proyek energi dan pangan”.[14]
MIFEE Sebagai Solusi Palsu
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa MIFEE dikategorikan sebagai solusi palsu sehingga kemudian penting untuk disikapi oleh semua dan tidak hanya menjadi ‘pekerjaan rumah revolusioner’ bagi Malind-Anim saja?
Persoalan tentang MIFEE adalah kenyataan bagaimana jejaring kapitalisme global, nasional dan aktor pemerintah nasional hingga ke tingkat daerah, dihubungkan oleh satu kepentingan: ekstraksi sumber daya alam. Kepentingan ini mensyaratkan peminggiran mutlak terhadap kelompok-kelompok oposan, termasuk di dalamnya komunitas adat seperti Malind-Anim. Tidak bisa dipungkiri bahwa MIFEE bertaut erat dengan krisis finansial global yang terjadi di tahun 2008. Krisis ini memaksa dilakukannya evalusasi ulang dari sektor keuangan terhadap praktek-praktek yang tidak berkelanjutan, memiliki resiko tinggi dengan keuntungan jangka pendek yang dituduh menjadi sebab lumpuhnya ekonomi global. Respon akan hal tersebut adalah beralihnya target para investor untuk melihat pilihan-pilihan investasi yang dianggap jauh lebih aman, memiliki resiko rendah dan memberikan garansi keuntungan jangka panjang: yaitu tanah.
Lahan pertanian menjadi ladang investasi yang sangat menarik dengan tiga alasan utama.
Yang pertama, harga tanah tidak bergerak searah dengan harga komoditas lainnya. Sebaliknya, harga tanah meningkat disebabkan oleh faktor inflasi dan oleh karenanya memberikan manfaat berupa terbukanya beragam pintu masuk keuntungan yang dapat memberikan keseimbangan dalam portofolio investasi.[15]
Faktor kedua adalah, prediksi dalam sektor finansial yang menunjukkan bahwa harga jual pangan dan energi tidak memiliki gejala untuk turun. Berkebalikan dengan itu, harga pangan dan energi dapat dipastikan terus naik seiring semakin besarnya permintaan. Bertambahnya populasi, degradasi lingkungan serta perluasan industrialisasi urban telah mendorong terjadinya pengurangan yang signifikan di soal alternatif akan pangan dan energi. Beragam fakta menunjukkan bahwa di banyak negara dunia ketiga, lahan-lahan yang luas masih dapat disewa atau bahkan dibeli dengan murah. Itu yang membuat penawaran dan permintaan yang mendorong membesarnya minat terhadap pembukaan lahan pertanian skala besar (agribisnis).
Alasan terakhir yang membuat bisnis pertanian menjadi menarik adalah proyeksi keuntungan yang diharapkan setelah investasi. Badan-badan ekuitas keuangan, hedge fund, bank-bank dan atau lembaga sejenis dengan mudah mengucurkan pinjaman atau modal untuk melakukan akuisisi lahan untuk pembangunan bisnis pertanian. Dalam 20 tahun terakhir dunia perbankan nasional telah mengubah ketertarikan investasinya dengan semakin berkurangnya kucuran kredit bank untuk industri ekstraktif seperti pertambangan, dan di saat yang bersamaan meningkatkan investasi di sektor pertanian.[16]
Oleh karenanya, menentang MIFEE bukanlah sebuah tindakan anti-pembangunan. Ilusi mengenai terbukanya lapangan pekerjaan secara luas dan massal karena proyek raksasa seperti MIFEE telah berkali-kali dibuktikan hanya sekedar bualan propaganda. Investasi dalam skala besar tidaklah akan pernah menyelesaikan krisis pengangguran karena kecenderungannya untuk memilih mempekerjakan buruh dengan kemampuan yang rendah dan upah yang murah. Proyek-proyek agribisnis seperti MIFEE juga terbukti menihilkan batas-batas antara aktor nasional-internasional atau negara-korporasi. Di sektor lingkungan, investasi pertanian skala besar terbukti memiliki efek destruktif yang tidak lebih baik dari industri ekstraktif lain seperti pertambangan. Kondisi iklim yang semakin memburuk hari ini, diakibatkan oleh meningkatnya emisi karbon yang ditimbulkan oleh proyek-proyek agribisnis tersebut. Menjawab krisis pangan yang terjadi di dunia semenjak krisis finansial global tahun 2008 kemarin, juga tidak dapat dilakukan dengan industri monokultur seperti rencana Jokowi untuk mempercepat pembukaan satu juta hektar sawah baru di Merauke. Berbagai pengalaman telah menunjukkan bahwa industri pertanian hanya akan memberikan keuntungan bagi investor dan pihak korporasi tanpa pernah mampu menjawab kebutuhan dari kelompok yang rentan dengan masalah pangan.
Krisis pangan dan energi hanya dapat diselesaikan dengan metode pendekatan yang khusus dan tidak bisa secara umum. Itu mengapa, mega-proyek seperti MIFEE tidak lebih dari mimpi buruk yang menjadi solusi palsu untuk menutupi tujuan penggerukan keuntungan yang berada di balik itu. Diversifikasi pangan misalnya, tidaklah bisa merupakan satu skenario semata yang diformat sebagai satu resep manjur untuk setiap komunitas dengan latar belakang budaya dan kondisi geografis yang berbeda-beda. Krisis energi yang timbul akibat menipisnya persediaan bahan bakar fosil (fossil fuel) juga tidak dapat dijawab dengan solusi tunggal dengan mengalihkan perhatian pada eksplorasi bahan bakar nabati (biofuel) yang justru semakin memperparah degradasi lingkungan, menyebabkan deforestasi, memperburuk krisis iklim yang terjadi serta tentu saja: membuka ruang legitimasi bagi industri agribisnis monokultur seperti sawit yang hanya melahirkan konflik, memutus akses masyarakat atas tanah (land grabbing) serta memperpanjang mata rantai penindasan.
Saya mengambil sikap untuk bersolidaritas dengan Malind-Anim dan menolak MIFEE secara tegas. Bagaimana dengan anda?***
Penulis adalah Peneliti di Yayasan PUSAKA: Pusat Studi, Advokasi dan Dokumentasi Hak-hak Masyarakat Adat
————-
[1] Anggi Hasibuan, “Seharian di Papua Barat, Jokowi Panen Padi dan Serat Optik”, Metro TV, 10 Mei 2015, diakses 14 Oktober 2015 http://news.metrotvnews.com/read/2015/05/10/124300/seharian-di-papua-barat-jokowi-panen-padi-dan-serat-optik
[2] Takeshi Ito, Noer Fauzi Rachman, Laksmi A. Savitri, Naturalizing Land Dispossesion: A Policy Discourse Analysis of the Merauke Integrated Food and Energy Estate, makalah yang dipresentasikan di Konferensi Internasional: Global Land Grabbing, 6-8 April 2011. Diselenggarakan oleh Land Deals Politics Initiative (LDPI) dan Journal of Peasant Studies bertempat di Future Agricultre Consortium, Institute of Development Studies, Univesity of Sussex
[3] Dow Jones, “Indonesia, Binladin group discussing $4bn rice project”, Farm Land Grab, 13 Agustus 2008, diakses 15 Oktober 2015 http://farmlandgrab.org/2454
[4] Sejauh ini belum ada dokumen resmi dari pemerintah yang secara terbuka dipublikasikan mengenai desain MIFEE. Data di atas merupakan kompilasi dari berbagai sumber yang dikumpulkan dan kemudian diverifikasi untuk mendapatkan gambaran umum.
[5] Data ini dikompilasi dari berbagai sumber. Acuan utama adalah publikasi dari Badan Promosi dan Investasi Daerah (BAPINDA) Kabupaten Merauke, yang terbit pada Mei 2010. Data kemudian ditriangulasi dengan beberapa sumber sekunder lain, semisal laporan dari Yayasan PUSAKA mengenai MIFEE (2011 & 2014), serta informasi yang berhasil dikumpulkan di lapangan.
[6] Peluncuran program ini mengundang tanya tanya, mengingat warga lokal tidak pernah diberitahu dan dilibatkan mengenai rencana presiden untuk meresmikan MIFEE. Hal lain yang makin mencurigakan adalah kematian jurnalis Ardiansyah Mata yang terjadi beberapa hari sebelum kunjungan presiden.
[7] Evarukdijati, “Presiden Jokowi panen raya di Wapeko, Merauke”, Antara News, 10 Mei 2015, diakses 15 Oktober 2015 http://www.antaranews.com/berita/495395/presiden-jokowi-panen-raya-di-wapeko-merauke
[8] Anim secara harafiah berarti ‘orang’, sehingga Malind-Anim dapat diartikan sebagai ‘orang Malind’. Penyebutan ini adalah untuk merujuk relasi individu dengan komunitasnya dalam tata nilai Malind, yang memandang seseorang merupakan ‘milik’ dan ‘bagian integral’ dari komunitasnya. ‘Anim” tidak dapat berdiri tunggal tanpa merujuk kepada komunal dari mana ia berasal.
[9] Dema merupakan sebutan Malind-Anim yang mengacu kepada roh-roh leluhur. Dalam kosmologi Malind-Anim, Dema merupakan perwujudan sifat-sifat bajik dan petunjuk mengenai aturan-aturan komunal yang tidak bisa dilanggar. Dema menjadi acuan dan penuntun bagaimana seorang Malind-Anim menjalani kehidupannya. Kisah mengenai Dema diwariskan secara lisan melalui tutur dan cerita-cerita yang memiliki penanda-penanda khusus dalam hutan adat Malind-Anim. Ekspansi MIFEE yang menghancurkan hutan, juga ikut menghancurkan simbol-simbol kultural yang memiliki posisi penting bagi Malind-Anim untuk membantu setiap generasi memahami tentang Dema dan tata nilai budaya Malind.
[10] Paul Barber dan Rosa Moiwend, ‘Chapter 4: Comprehending West Papua’ dalam Internet Activism and the MIFEE Project, University of Sydney: West Papua Project, 2011
[11] Rosa Biwangko Gebze Moiwend, “A Small Paradise That Will Be Annihilated” Just A Little Thing, 30 Agustus 2010, diakses 12 Oktober 2015 https://malindanim.wordpress.com/2010/08/30/a-small-paradise-that-will-be-annihilated/
[12] Forest People Programme, “Kelaparan dan kemiskinan di Indonesia: organisasi masyarakat sipil menyerukan penghentian proyek MIFEE di Papua sebelum ada perbaikan bagi masyarakat setempat”, Forest People Programme, 29 Agustus 2013, diakses 13 Oktober 2015 http://www.forestpeoples.org/node/4638
[13] Olivier De Schutter, Large-scale land acquisitions and leases: A set of core principles and measures to address the human rights challenge, UN Special Rapporteur 2008-2014: Briefing Note, 11 Juni 2009
[14] Fransicans International et.al, Human Rights in Papua 2010-11, November 2011, hal 37
[15] GRAIN (2011) ‘Pension funds: key players in the global farmland grab’ Against the Grain, June 2011, available at: http://www.grain.org/article/entries/
[16] Liputan 6, Bank Mandiri Gelar Papua Investment Day, Liputan6.com, 17 Oktober 2010, diakses 15 Oktober 2015 http://news.liputan6.com/read/247800/bank-mandiri-gelar-papua-investment-day