Daftar Isi:
Mari Rebut Kembali Universitas Publik!
Pembantaian Massal 1965 Sebagai Gerakan Kontra-Revolusioner
Wawancara dengan Ronny Agustinus
Pengantar
PADA 15 Oktober 2015, kaum buruh kembali dirugikan oleh persekongkolan negara dengan pemilik modal. Dengan dalih menstimulus perekonomian, pemerintah Jokowi-JK melalui paket kebijakan ekonominya menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan. Aturan ini akan menjadi dasar penghitungan Upah Minimum (UM), yang akan berlaku dalam bentuk Upah Minimum Provinsi (UMP) Upah Minimum Provinsi Sektoral (UMPS), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota Sektoral (UMKS), untuk buruh di Indonesia yang masa kerjanya nol tahun.
Melalui aturan baru ini, kaum buruh tidak bisa lagi menuntut hak normatif mereka, upah, tiap tahun dengan dasar Komponen Hidup Layak (KHL). Padahal, selama ini saja, penentuan upah berdasarkan KHL masih bermasalah, mengingat survey yang dilakukan serikat buruh tidak pernah diakomodir dan dijadikan landasan dalam penetapan upah minimum di Dewan Pengupahan. Dengan kata lain, peraturan pemerintah ini membuat capaian yang berhasil ditorehkan kaum buruh kembali dipukul mundur ke belakang.
Selain itu, dengan adanya peraturan pemerintah mengenai pengupahan ini, kaum buruh tidak saja kehilangan kesempatan untuk menentukan upahnya secara layak melalui tangan mereka sendiri, melainkan juga kehilangan momentum untuk semakin memperbesar kekuatan. Sebagaimana diketahui, isu-isu ekonomistik seperti ini, terlepas dari segala kekurangannya, merupakan isu yang paling tepat untuk memperbesar kapasitas organisasi, merekrut buruh-buruh baru untuk mau dan aktif berserikat, serta menjadi titik awal bagi kesadaran kelas yang lebih maju. Dengan kata lain, isu pengupahan ini sangat sentral bagi kemajuan gerakan buruh secara umum.
Disahkannya PP Pengupahan ini merupakan satu bukti lain bahwa kemajuan gerakan buruh tidak dikehendaki adanya. Kekuatan buruh begitu ditakuti dan pemilik modal bersama negara (lagi-lagi) bersekutu untuk menghambat kemajuan gerakan buruh. Tak dapat dielakkan, kaum buruh yang selama ini selalu menjadi pihak yang dipinggirkan dan dirugikan harus kembali membangun persatuan gerakan buruh dan menjadikannya sebagai kekuatan politik tandingan yang signifikan dalam konfigurasi politik Indonesia.
Dengan semangat perlawanan, Left Book Review edisi Oktober 2015 kembali hadir ke hadapan pembaca. Kali ini, kami hadirkan review dari Daya Sudrajat yang mengulas buku yang membahas tentang privatisasi pendidikan tinggi, Take Back Higher Education: Race, Youth and Democracy in Post Civil Era. Review kedua hadir dari Made Supriatma yang mengulas buku tentang pembantaian massal 65 yang merupakan gerakan kontra-revolusi, The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68. Terakhir, kami hadirkan kembali wawancara salah satu media Jerman dengan Ronny Agustinus dari penerbit alternatif Indonesia, Marjin Kiri.
Selamat membaca!