Ilustrasi diambil dari http://www.zerohedge.com
SALAH satu hal yang hilang dalam banyak penjelasan mengenai situasi pelemahan ekonomi Indonesia sekarang, adalah mengenai perspektif imperialisme dalam memahami dinamika yang ada. Posisi ini berbahaya mengingat absennya penjelasan imperialisme hanya akan membuat kabur pembacaan atas realitas ekonomi Indonesia itu sendiri. Padahal jika diperhatikan secara seksama, peristiwa-peristiwa yang muncul sekitar pelemahan ekonomi Indonesia justru merupakan gejala penampakan dari imperialisme itu sendiri. Dari ringkihnya rupiah dihadapan dollar AS sampai dengan besarnya ketidakmampuan untuk membangun industri nasional secara mandiri, karena ‘ketergantungan pada investasi asing’ sedikit banyak merefleksikan bahwa imperialisme masih jauh dari mati.
Dalam terang seperti ini, adalah penting untuk membuka kembali penjelasan mengenai imperialisme dalam kaitannya dengan ekonomi Indonesia. Artikel singkat ini akan berupaya untuk mendudukkan kembali problem imperialisme dalam konfigurasi ekonomi (politik) Internasional sekarang. Menurut saya, dalam kondisi kekinian, operasi nyata imperialisme dapat dilihat dalam dinamika relasi ekonomi Amerika Serikat (AS) dengan Republik Rakyat Tionghoa (RRT). Hal ini, setidaknya, dapat dilihat pada tingkatan empiris yang ditandai dengan fenomena pelemahan ekonomi Indonesia dan peristiwa-peristiwa yang bergrafitasi disekitarnya tidak dapat dilepaskan dari entitas ekonomi AS dan RRT. Dapat ditandai secara signifikan dengan pengaruh dinamika ekonomi AS yang beriringan dengan besarnya keinginan RRT untuk melakukan investasi di Indonesia dalam beberapa waktu belakangan ini sebagai bagian untuk mengatasi pelambatan ekonomi Indonesia. Untuk itu, di sini saya secara sengaja membatasi argumen dimana terdapat perkembangan imperialisme yang berdasar pada relasi AS dengan RRT menciptakan implikasi ekonomi (politik) yang spesifik bagi Indonesia yang penting untuk diungkap.
Apa itu Imperialisme?
Sebelum mendiskusikan lebih jauh bagaimana operasi imperialisme, perlu bagi kita untuk mendudukkan apa yang sebenarnya dimaksud dengan imperialisme itu sendiri. Dalam diskursus publik Indonesia, imperialisme seringkali dipahami sebagai ‘intervensi asing’. Di sini imperialisme dilihat dalam asumsi teori ketergantungan, dimana terdapat kekuatan ekonomi politik eksternal dari suatu Negara dan kekautan eksternal ini melakukan penghisapan surplus ekonomi atas Negara yang bersangkutan. Di sini, relasi dalam Imperialisme dilihat sebagai relasi timpang antara Negara maju yang mendominasi ekonomi dunia dengan Negara berkembang yang menjadi objek eksploitasi yang berimplikasi pada keterbelakangan pembangunan Negara berkembang itu sendiri.
Walau terdapat kebenaran, namun pandangan imperialisme ala teori ketergantungan hanya memberikan sekelumit penjelasan mengenai imperialisme itu sendiri. Benar bahwa ekonomi politik dunia modern ditandai oleh ketimpangan relasi kuasa di tingkat internasional. Namun mengajukan problem ini jika tidak diiringi dengan penjelasan mengapa hal tersebut niscaya hanya akan mengaburkan pembacaan situasi yang hendak dipahami. Untuk mengatasi keterbatasan ini, ketimpangan relasi kuasa tingkat internasional haruslah diiringi dengan memasukkan dinamika kapitalisme dalam bingkai penjelasan yang ada. Hal ini dikarenakan prakondisi dari ketimpangan kekuasaan yang memungkinkan suatu Negara (maju) mendominasi ranah ekonomi dunia hanya dimungkinkan dalam konjungtur perkembangan modus produksi kapitalisme itu sendiri.
Lalu apa dalam kapitalisme yang memungkinkan bagi terjadinya ketimpangan relasi kuasa di tingkat internasional ini, yang menjadi prakondisi bagi dominasi satu Negara terhadap Negara yang lain? Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada tendensi umum dari produksi kapitalisme yang bercirikan pada sentralisasi serta konsentrasi kapital. Sentralisasi dan konsentrasi kapital memungkinkan terjadinya penguatan satu posisi sosial yang diiringi dengan pelemahan posisi sosial yang lain. Tendensi ini terjadi sebagai konsekuensi dari relasi kompetisi antar kelas kapitalis dalam rangka melakukan apropriasi nilai yang terealisasi dalam bentuk keuntungan. Kompetisi menjadi dasar bagi keberadaan kapitalis. Kegagalan kapitalis dalam berkompetisi hanya membuat dirinya tidak memiliki kapasitas untuk meraup sebanyak mungkin keuntungan. Kurangnya keuntungan bagi suatu kelas kapitalis tentu saja menjadi lonceng kematian bagi kapitalis itu sendiri.
Kompetisi antar kapitalis ikut mempenetrasi struktur Negara sebagai perwujudan politik dari ‘kepanitiaan kelas kapitalis secara keseluruhan’. Kepentingan kelas banyak kapitalis terkondensasi dalam Negara yang membuat Negara itu sendiri memiliki kepentingan untuk melakukan kompetisi dengan Negara lainnya. Implikasinya, muncul dimensi yang unik dalam imperialisme dimana kompetisi geopolitik antar Negara dalam kapitalisme memiliki kepentingan untuk melindungi sekaligus memperluas kepentinganya dari/terhadap Negara yang lain. Inilah yang kemudian menyebabkan penguasaan (serta penundukkan teritorial) menjadi tidak terelakan dalam momen imperialisme sekarang ini.
Disinilah kita bisa menemukan bahwa apa yang disebut Lenin bahwa “imperialisme sebagai tahapan lanjutan dari kapitalisme”, dimana proses ini sendiri adalah konsekuensi logis dari kapitalisme yang demi kepentingan akumulasi keuntungan tanpa batas senantiasa membutuhkan kapasitas penguasan teritori oleh Negara untuk memastikan keuntungan tersebut. Akan tetapi dalam posisi ini, adalah penting untuk tidak mereduksi logika kompetisi geopolitik Negara pada sepenuhnya logika kompetisi kapitalis itu sendiri. Sebabnya, kompleksitas relasi kelas-kelas sosial dalam Negara itu sendiri yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perjuangan kelas, menyebabkan agenda geopolitik Negara akan sangat tergantung pada (faksi) kelas sosial mana yang mampu menjadi hegemonik dan menjalankan agenda geopolitik negara itu sendiri.
Posisi ini memiliki signifikansi teoritis yang penting, karena membuat penjelasan atas imperialisme akan selalu bersifat historis sekaligus spesifik dalam perkembangan kapitalisme itu sendiri. Hasil-hasil politik dalam momen imperialis yang berlaku selalu terkait dengan gerak dinamis kapitalisme yang selalu berupaya untuk memaksimalisasi keuntungan beserta upaya mengatasi ancaman krisis internalnya. Namun upaya maksimalisasi ini akan berlangsung dalam kondisi yang spesifik, dimana sangat tergantung pada keberadaan kelas-kelas (baca: kekuatan) sosial yang di(ter)bentuk dalam konjungtur dinamika kapitalisme itu sendiri yang ditandai dengan kepentingan geopolitik tertentu yang dapat ditelusuri basis politik faksi kelasnya. Disinilah akhirnya imperialisme kemudian mewujud sebagai suatu struktur ekonomi politik global yang didasari pada kelit-kelindan logika yang berbeda namun saling mempengaruhi antara kompetisi kapital dengan kompetisi geopolitik.
Imperialisme Nexus AS-RRT
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, imperialisme seagai suatu sistem global didasarkan pada relasi kompetisi dalam kapitalisme itu sendiri. Dalam hal ini, relasi kompetisi antara AS dan RRT menjadi nexus dalam perkembangan imperialisme sekarang. Nexus ini sendiri tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kapitalisme yang sempat mengalami krisis tingkat keuntungan pada tahun 1970an dan 1980an. Krisis ini memaksa AS, yang pada saat itu merupakan salah satu Negara imperialis utama selain Uni Soviet, untuk mengorganisasikan kembali produksinya. Imbas dari pengorganisasian ini adalah dengan melakukan relokasi banyak industri manufakturnya ke Negara yang mampu menyediakan pekerja murah bagi sektor manufaktur. Tujuan dari relokasi ke Negara penyedia pekerja murah tentu saja agar industri manufaktur AS tetap kompetitif di tengah situasi krisis.
Pada saat itu, salah satu Negara yang mampu untuk menyediakan pekerja murah dengan jumlah massif tentulah RRT. Kondisi ini dimungkinkan karena keberhasilan sistem ekonomi sosialis yang, sejak era Mao, sukses mendorong tingkat pertumbuhan demografi masyarakatnya di daerah pedesaan Tiongkok, karena penguatan ekonomi pedesaan yang berlangsung pada saat itu. Pada masa reformasi ekonomi, Deng Xiaoping melakukan perubahan prioritas pembangunan dimana ekonomi desa diperlemah sembari membuka migrasi besar-besaran pendudukan desa ke kota dalam rangka penciptaan pekerja bebas industri urban sebagai orientasi baru ekonomi RRT. “Kolam” tenaga kerja yang membludak inilah yang kemudian menjadi basis bagi penekanan tingkat upah pekerja industri secara keseluruhan yang kemudian menjadi dasar bagi murahnya pekerja di RRT.
Implikasi dari kemampuan RRT ini adalah terjadinya akselerasi proses industril. RRT yang tadinya tidak memiliki kapasitas produksi yang mumpuni, mampu mengalami perkembangan ekonomi yang pesat karena kemampuannya untuk menyerap secara massif kebutuhan industri manufaktur pada saat itu akan keberadaan pekerja murah. Pada titik inilah RRT berkembang menjadi negara industri yang mampu melakukan produksi atas barang konsumsi yang banyak sekaligus murah.
Kondisi industrial RRT yang semakin maju mengubah sistem ekonomi dunia kontemporer. Pasca keruntuhan Uni Soviet pada awal tahun 90an, RRT memegang peranan yang krusial dalam mempengaruhi sistem ekonomi politik dunia yang didasari oleh imperialisme. Walau AS masih menjadi satu-satunya negara imperialis, namun peningkatan kapasitas industri RRT mengubah kesetimbangan relasi kuasa (balance of power) ekonomi dunia.
Salah satu faktor yang cukup menentukan bagi perubahan ini tidak dapat dilepaskan oleh tren liberalisasi ekonomi dunia, yang didukung secara militan oleh AS sendiri pada era 90an. Liberalisasi ekonomi tingkat internasional (atau biasa dikenal sebagai globalisasi) ini sendiri adalah bagian dari solusi kapitalisme mengatasi masalah tersumbatnya akumulasi keuntungan karena krisis. Liberalisasi ekonomi kemudian memfasilitasi setiap negara untuk berperan secara aktif dalam proses perdagangan internasional. Dengan kapasitas produksi industri yang dimiliki RRT pada saat itu, RRT dapat secara kompetitif terlibat dalam perdagangan internasional yang ada. Karena murahnya barang yang diproduksi, komoditas industri RRT mampu diserap secara mudah oleh negara manapun, termasuk juga negara konsumen besar seperti AS.
Bagi banyak kalangan, posisi kompetitif bagi RRT membuat dirinya tidak terelakkan menjadi calon negara imperialis baru. Namun kita perlu lebih mendalam ketika melihat bagaimana proses kekompetitifan industri RRT dilakukan. Kekompetitifan RRT justru dilakukan dengan melakukan integrasi ekonomi secara massif dengan ekonomi AS. Hal ini menyebabkan, dalam derajat tertentu, struktur produksi RRT tergantung dengan dinamika ekonomi AS itu sendiri. Hal ini setidaknya dapat dilihat pada bagaimana RRT banyak membeli surat hutang AS untuk menjamin tetap dipertahankannya daya beli konsumen AS di tengah defisit perdagangan antara AS dengan RRT yang terus-menerus terjadi.
Implikasinya, kita menjadi perlu lebih jeli dalam melihat konstelasi imperialisme sekarang. Pandangan bahwa AS tidak lagi menjadi kekuatan utama imperialis karena adanya ancaman baru dari RRT, sulit untuk diterima karena secara struktural RRT masih sangat tergantung pada ekonomi AS. RRT mungkin mengalami peningkatan kapasitas ekonomi yang signifikan, namun kondisi RRT tidak dapat dinilai setara dengan posisi AS. Dalam artian AS masihlah menjadi penyokong imperialisme utama sekarang ini. Kondisi ini begitu kentara jika kita memperhatikan pada bagaimana dinamika ekonomi global sekarang ini. Ekonomi RRT sekarang ini juga mengalami imbas negatif dari penguatan ekonomi AS. Beriringan dengan ketidakpastian pemulihan ekonomi Eropa yang memengaruhi daya beli konsumen di sana, RRT tengah berada dalam kesulitan ekonomi yang cukup serius. Tidak heran jika kemudian hal ini berimplikasi pada penurunan yang cukup signifikan performa pasar saham RRT sampai dengan 150 persen dalam kurun waktu 12 bulan terakhir.
Akan tetapi ‘kelemahan’ posisi kekuasaan ekonomi politik RRT sedikit banyak juga sangat dipengaruhi oleh modus akumulasi ekonomi internal mereka sendiri. Pilihan RRT yang melakukan proses pembangunan melalui pekerja murah juga mendorong pendalaman kontradiksi sosial dalam struktur sosio-politik RRT. Mobilisasi banyak pekerja RRT yang diupah secara murah menjadi ‘bara dalam sekam’ dalam pembangunan RRT, karena hal ini dapat menjadi sumber ketidakpuasan sosial bagi mayoritas pekerja RRT. Suatu kondisi yang tentu saja berpotensi mengancam legitimasi kekuasaan negara. Di sini kita dapat menemukan ketidakstabilan basis kekuasaan RRT dalam relasinya dengan konstelasi politik global. Karena sedikit banyak RRT harus lebih memperhatikan dinamika pembangunann internalnya sendiri yang pada dasarnya ditopang oleh relasi sosial yang sangat timpang.
Gambar diambil dari http://cdn.rimanews.com
Eksplorasi ini menjadi penting karena hal ini akan memengaruhi bagaimana operasi imperialisme itu membentuk karakter negara dan relasinya dalam konstelasi kekuasaan internasional yang saling berkompetisi. Walau RRT belum dapat dikatakan sebagai kekuatan imperialis yang setara dengan AS, namun relasi antar keduanya harus diakui membentuk pola geopolitik yang baru. Penting untuk diingatkan kembali bahwa walau logika kompetisi kapitalisme memengaruhi logika geopolitik, logika geopolitik itu sendiri tidak dapat direduksi sepenuhnya dalam logika ekonomi kapitalisme.
Pada tingkatan permukaan, AS dengan RRT tentu saja melakukan persaingan geopolitik dalam rangka perebutan teritori dunia. Akan tetapi praktek penguasaan territorial ini berlangsung dalam cara kerja yang berbeda antara satu dengan yang lain. Penguasaan territorial AS dilakukan secara lebih sistematis, dimana penanaman hegemoni terhadap teritori yang hendak ditundukan. Penguasaan dilakukan dengan kombinasi antara penggunaan kekuatan militer sekaligus dengan penguasan kultural dan politik dimana AS akan menggunakan pengaruh finansialnya untuk menundukkan kelompok elit negara yang hendak dikuasai. Modus geopolitik ini sendiri adalah warisan dari pengalaman imperialis pada masa perang dingin, dimana AS harus mampu untuk ‘merebut hati dan pikiran’ negara yang hendak dikuasai.
Di sisi yang lain, RRT melakukan skema penguasaan teritorial yang lebih pragmatis. Pilihan akan skema ini lebih karena didasarkan pada problem kontradiksi internal yang terjadi karena pembangunan dalam RRT itu sendiri. Kebutuhan RRT untuk melakukan ekspansi ke negara lain merupakan dari kanalisasi atas keberhasilan RRT dalam melakukan akumulasi atas surplus ekonomi dalam fase ekonomi pasar. Jika surplus ini tidak dikanalisasi ke wilayah teritorial yang lain, ia akan menciptakan problem bagi pembangunan RRT itu sendiri. Tidak heran jika orientasi geopolitik RRT sangatlah bersifat murni ekonomi (baca: investasi ekonomi), yang dalam derajat tertentu, tidak membutuhkan proses hegemonik lebih lanjut. Karena dilakukan dalam agenda investasi ekonomi biasa, negara yang menjadi target pun melihat adanya kesempatan pembangunan ekonomi yang bisa didapat dari investasi dengan RRT itu sendiri.
Perbedaan antara logika geopolitik yang berbeda ini, dimana AS lebih komprehensif sementara RRT cenderung fragmentatif menciptakan pola relasi dominasi yang berbeda pula. Pola dominasi yang dilakukan AS akan cenderung lebih mengikat dibandingkan dengan dominasi yang dilakukan oleh RRT. Dalam derajat tertentu, kondisi ini menciptakan semacam dinamika yang multipolar, dimana elit berkuasa dalam negara-negara berkembang relatif memiliki pilihan yang leluasa untuk menentukan ‘tuan’ bagi pembangunan ekonomi mereka.
Implikasinya bagi Indonesia
Implikasi operasi imperialisme yang berdasar pada relasi AS-RRT, menurut saya, cukup kuat mewarnai dinamika ekonomi Indonesia yang tengah mengalami pelambatan saat ini. Ringkihnya rupiah terhadap dollar AS banyak difasilitasi oleh imperialisme AS. Perubahan struktur ekonomi domestik Indonesia yang semakin terintegrasi dengan pasar global melalui liberalisasi ekonomi, tidak hanya harus dipahami sebagai suatu penyesuaian baru ekonomi Indonesia terhadap tren ekonomi global, namun juga adalah suatu proses penundukkan kedaulatan ekonomi Indonesia oleh skema imperialisme AS. Liberalisasi sistem finansial Indonesia yang terjadi pada awal-awal reformasi ekonomi, bisa dimaknai bukan sekedar sebagai upaya penataan sistem ekonomi yang ‘lebih baik’, namun juga sebagai suatu mekanisme yang lebih sistematis untuk mempertahankan dominasi AS di teritori Indonesia. Melalui liberalisasi sistem finansial, dollar AS menjadi lebih mudah untuk masuk dan mendominasi sistem keuangan Indonesia sekaligus memengaruhi secara terstruktur ekonomi Indonesia itu sendiri. Hal ini menjadi niscaya mengingat prasyarat bagi interaksi Indonesia terhadap ekonomi global hanya dapat dimediasi dengan penggunaan dollar AS. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor yang cukup kuat bagi ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap dollar AS dan AS itu sendiri.
Namun demikian karena imperialisme adalah juga suatu proses yang didasarkan pada kompetisi, maka dalam nexus AS-RRT, dominasi AS di Indonesia pasti akan memunculkan kompetisi dari RRT. Momen pelambatan ekonomi menjadi kesempatan bagi RRT untuk ikut memengaruhi Indonesia. Dalam momen pelambatan ekonomi ini, Indonesia dan RRT dapat dikatakan memiliki kepentingan yang berdekatan: Indonesia membutuhkan resolusi ekonomi melalui investasi asing yang solid untuk keluar dari pelambatan ekonomi yang ada, sementara RRT membutuhkan kanal investasi di luar negaranya guna menghindari problem sosial dalam negeri karena masalah penurunan performa ekonomi RRT saat ini. Tidak heran jika kemudian RRT akan meningkatkan portofolio investasi mereka di Indonesia. Berdasarkan data BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), investasi RRT di kuartal II tahun 2015 cenderung mengalami peningkatan besaran nilai investasinya. Posisi yang berbeda dengan negara investor utama Indonesia lainnya seperti Singapura, Jepang dan Korea Selatan yang mana nilai investasinya sedikit.
Intensifikasi investasi RRT di Indonesia memunculkan dinamika yang lain, khususnya dengan kekuatan sosial (baca: faksi-faksi kapitalis tertentu) Indonesia yang selama ini mendapat keuntungan dari keberadaan dominasi imperialis AS. Investasi RRT dianggap ancaman bagi kelompok ini karena akan meminggirkan secara sistematis posisi mereka dalam aktivitas ekonomi yang ada. Inilah yang kemudian menjadi dasar bagi terjadinya provokasi rasialis anti RRT yang berkembang sekarang ini. Provokasi rasis ini akan berguna untuk menekan pegaruh RRT terhadap elit berkuasa sekarang. Dengan adanya provokasi ini, upaya investasi ekonomi yang ada diharapkan dapat dinegosiasikan ulang guna mengikutsertakan kekuatan sosial yang terancam dipinggirkan tersebut.
Penutup
Dinamika ekonomi Indonesia beserta situasi yang berkembang disekitarnya, tidak dapat ditempatkan secara terisolasi dari gerak imperialisme sekarang. Nexus AS-RRT harus diakui menjadi motor dominan dari gerak imperialisme kontemporer. Untuk itu menjadi penting agar pembacaan yang dilakukan terhadap ekonomi Indonesia mesti mengikutsertakan gerak relasional AS dan RRT dalam konfigurasi kekuasaan ekonomi politik internasional. Pembacaan ini akan lebih memperjelas pemahaman atas situasi ekonomi yang ada; dan tentu saja kejelasan ini akan lebih membantu kita dalam mengubah situasi yang ada.***
Penulis adalah Sekretaris Wilayah Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia DKI Jakarta.
Artikel ini sebelumnya merupakan pengantar diskusi Koperasi Riset Purusha, “Dinamika/Tensi Ekonomi Global dan Agenda Masyarakat Sipil” 17 September 2015 di Owl House Coffee, Jakarta