Dr. Liauw Yan Siang: Tak Ada Penyiksaan Terhadap 6 Jenderal (Bagian-1)

Print Friendly, PDF & Email

Foto Dr. Liauw Yan Siang. Koleksi foto oleh Alfred Ticoalu

 

SEJAK peristiwa G30S diajarkan di sekolah, saya terusik dengan latar belakang kejadian tersebut. Salah satu faktor yang membuat saya ingin tahu lebih banyak adalah komentar orang tua saya sendiri. Ketika mereka membantu saya belajar untuk ulangan sejarah, mereka selalu tak sengaja menggunakan istilah Gestok. Kemudian salah satu guru di sekolah menggunakan istilah Gestapu. Mengapa satu hal penting yang telah mengubah sejarah Indonesia secara sangat drastis bisa dikenal dan memiliki tiga istilah? Hal itu membuat saya semakin tergelitik.

Setelah pergi ke Amerika untuk melanjutkan pendidikan, saya mendapat kesempatan pergi ke Cornell University untuk melakukan penelitian pribadi. Di sana saya berkenalan dengan para rekan peneliti, pelajar, dan terutama Indonesianis Professor Ben Anderson (akrab disapa Oom Ben). Salah satu topik pembicaraan saya dengan Oom Ben menyentuh tulisan beliau tentang laporan otopsi para jenderal.[1] Dari beliau saya kemudian mendapat kopian asli laporan otopsi[2] tersebut.

Suatu hari, ketika sedang makan siang dengan rekan-rekan di rumah Oom Ben, dia meminta saya untuk melacak di mana saja para dokter yang melakukan otopsi tersebut. Lewat rekan Stanley Adi Prasetyo di Jakarta, saya diberitahu kalau salah satu tokoh yang terlibat, Dr. Lim Joe Thay (Arief Budianto), pernah diwawancara majalah D&R[3]. Dus seperti terbuka pintu bahwa kemungkinan besar beliau tidak khawatir untuk membicarakan soal ini. Berkat bantuan rekan saya [yang tak bersedia disebut namanya] di Universitas Indonesia (UI), saya mendapatkan alamat dan nomor telepon Dr. Lim.

Satu malam saat kami berbincang, beliau memberitahukan bahwa dari semua pelaku otopsi tersebut, tiga orang[4] sudah tidak ada. Ketika ditanya tentang pelaku selanjutnya, yaitu Dr. Liauw Yan Siang, Oom Joe Thay [demikian beliau minta dipanggil] berkomentar bahwa beliau ada di Amerika dan harusnya baik-baik saja keadaanya. Saya segera minta beliau sudi kiranya memberikan informasi Dr. Liauw. Oom Joe Thay menukas bahwa dia hanya tahu Dr. Liauw pindah ke Amerika namun entah di mana sekarang. Rasa kecewa muncul seketika.

Beberapa hari kemudian, saya mulai memikirkan hal itu kembali. Tak mungkin rasanya seorang dokter tak berupaya untuk praktek kembali setelah pindah ke negeri baru. Tergelitik, saya ambil keputusan menghubungi American Medical Association (AMA) dan meminta mereka mencari nama Liauw Yan Siang di database mereka. Hasilnya nihil dus membuat saya kembali kecewa. Saya kemudian minta mereka mencari lagi, namun dari sisi spesialisasi forensik patologi dan hanya dengan menggunakan nama keluarga Liauw saja. Kali ini ternyata sukses! Ada seorang dokter bernama keluarga Liauw yang tinggal di negara bagian Ohio, namun namanya terdaftar sebagai Ferry Liauw.

Pihak AMA lalu menyatakan bahwa beliau sudah pensiun dan bukan anggota aktif AMA lagi; dus mereka tidak yakin data yang ada di mereka masih akurat. Mereka lalu memberikan nomor telepon asosiasi forensik patologi di negara bagian Ohio dan menyarankan agar saya menghubungi mereka untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. Sesuai dugaan pihak AMA, dari mereka akhirnya saya berhasil mendapatkan nomor telepon dan alamat Dr. Liauw.

Selanjutnya bisa Anda duga: saya segera menghubungi beliau. Seorang perempuan mengangkat telepon dan memberikan konfirmasi bahwa benar itulah kediaman Dr. Liauw yang aslinya dari Indonesia. Ternyata beliau adalah istrinya dan orang Indonesia juga. Kami mulai berbincang dalam bahasa Indonesia. Tak lama kemudian Dr. Liauw tiba di rumah dan telepon diberikan kepadanya. Perbincangan berlanjut dengan beliau memberikan konfirmasi identitas beliau dan memang betul dia yang melakukan otopsi tersebut di tahun 1965. Dia agak kaget dan kemudian bertanya bagaimana saya bisa menemukan beliau? Saya berikan garis besarnya seperti yang sudah saya terakan di atas. Dia tertawa sambil berkata, “Are you a detective?”

Bincang-bincang berlanjut beberapa kali lewat telepon selang beberapa minggu dan akhirnya saya minta ijin agar boleh datang mengunjungi Oom Yan Siang [beliau minta dipanggil demikian]. Pada tanggal 11 November, 2000 saya tiba di rumahnya. Yang pertama saya lihat ketika sedang parkir mobil adalah seseorang yang sedang membersihkan atap rumah tersebut. Ternyata itu Oom Yan Siang. Saat itu usianya sudah 72 tahun namun masih nampak sangat gesit dan gagah. Aura ramah namun berwibawa dan terpelajar segera saya tangkap dari beliau. Tak lama kemudian saya mulai berbincang lebih mendalam dengan Oom Yan Siang dengan ditemani sang istri. Pada kesempatan itu pula saya tunjukkan kopian laporan otopsi yang saya dapatkan dari Oom Ben. Berangkat dari laporan tersebut dan ingatan beliau, kami berusaha menelusuri kembali jalannya kejadian tersebut.

Setelah seharian di sana saya pamit karena perlu menyetir cukup jauh untuk pulang. Kami tetap berhubungan lewat telepon. Selain membahas kehidupan sehari-hari, kami juga melakukan berbagai follow up tentang bincang-bincang kami di rumahnya mengenai otopsi tersebut. Ketika saya menghubungi beliau pertengahan Januari 2001 untuk mengucapkan selamat tahun baru dan juga selamat ulang tahun, beliau terkesan merasa terganggu dan minta saya telepon lagi di lain waktu. Beberapa minggu kemudian saya telepon kembali dan saya terkejut mendengar pesan otomatis dari perusahaan telepon bahwa nomor tersebut sudah diputus.

Saya segera menghubungi anak Oom Yan Siang. Dari dia saya menerima kabar bahwa beliau ternyata sudah meninggal dunia pada tanggal 27 Januari. Setelah mulai lepas dari rasa terkejut, saya bertanya lebih lanjut latar belakang kejadian tersebut. Beliau ternyata menerima diagnosis kanker hati beberapa minggu sebelumnya dan sejak itu kondisinya menurun sangat drastis. Semua terkejut, betapa cepatnya beliau meninggal. Sang anak merasa ayahnya patah arang sehingga mempercepat kepergiannya. Dia lanjut menukas bahwa secara timing saya sangat beruntung berhasil menghubungi ayahnya dan membahas peristiwa otopsi tersebut. Menurutnya, saya orang Indonesia pertama dan terakhir yang dapat kesempatan membahas hal tersebut dengan beliau. Dia kemudian mengucapkan good luck dan mempersilahkan menggunakan hasil bincang-bincang itu sesuai keinginan dan keperluan saya.

Mungkin karena agak terpukul, saya secara tak sadar menyisihkan hasil bincang-bincang ini dari perhatian saya. Kebetulan juga saya kena kesibukan proyek lain sehingga tanpa sadar hal ini semakin luput dari pikiran saya. Setelah hampir 14 tahun lewat, beberapa kawan peneliti mulai bertanya status dan hasil dari bincang-bincang saya dengan Oom Yan Siang. Ketika saya menerima undangan dan menonton film The Act of Killing karya Joshua Oppenheimer, saya tergugah dan mulai berpikir mengapa tidak saya terbitkan saja. Toh ini sebuah cara untuk mengenang jasa Oom Yan Siang. Bertepatan dengan menyambut 50 tahun terjadinya peristiwa G30S ini, saya rasa sudah waktunya Anda sekalian dapat menyimak hasil perbincangan kami. Berikut petikannya:

 

Bisakah Oom ceritakan latar belakang Oom? Lahir di mana? Nama lengkapnya?

Liauw Yan Siang. Ferry Liauw. Saya lahirnya di Semarang. Waktu itu saya punya ayah jadi direktur N.V. Kian Gwan[5]. Kalau orang yang tuaan tuh tahu Kian Gwan itu wereldconcern.[6] Nah itu Ayah saya jadi direktur sama-sama dengan Tan Tek Peng. Tan Tek Peng di atasannya. Nama ayah saya Liauw Tjeng In. Mama saya Tjoe Kien Nio. Tapi kita sering pindah sana sini sih. Mula-mula my older brother itu dilahirkan di Surabaya. Nah lantas pindah ke Semarang, tempat saya dilahirkan. Dari Semarang balik lagi ke Surabaya. Adik saya yang, dua-duanya sekarang sudah meninggal, dilahirkan di Surabaya juga.

 

Kalau boleh tahu umur Oom sekarang berapa?
72 Sudah dekat jadi 73 nanti nih Januari [tertawa].

 

Kapan, tahun berapa, tanggal berapa Oom lahir?

Saya dilahirkan 13 Januari tahun 1928. Kakak saya 1926. Lantas tahun 1929 adik saya dilahirkan di Surabaya. Lantas balik lagi ke Semarang. Adik saya yang perempuan dilahirkan di Semarang. Dia sudah meninggal. Nah dari Semarang pindah ke Bandung. Nah waktu itu Ayah saya sudah berhenti kerja di Kian Gwan.

Adik saya yang ada di negeri Belanda, dia lahir di Bandung. Saya waktu kecil sudah pindah ke Jakarta karena ayah saya meninggal pada 1934. Saat itu saya baru berumur 6 tahun. Setelah ayah meninggal, semua kumpul pindah ke Jakarta. Tinggal di Jembatan Lima, pihak keluarga Mama. Di Gang Songsi. Kan Songsi itu yang pertama-tama pindah dari China ke Indonesia. Maka jalanan itu tuh dikasih nama Laan[7] Song Si waktu masih jaman Belanda. Belanda udah nggak ada Laan jadi Gang Song Si [tertawa].

 

Dulu apakah Papa Oom aktif di organisasi kayak Tiong Hwa Hwee Koan?

Dia pendidikan itu sih, pendidikan Belanda. BHS dulu [sic; maksudnya HBS.[8] Tan Tek Peng nomor satu, Papa saya nomor dua, di kelas itu. Tan Tek Peng yang direktur Kian Gwan juga. Jadi teman baik tuh mereka, kerja berdua. Setelah Jepang takluk, seingat saya Tan Tek Peng masih tinggal di daerah Menteng. Anaknya, apa Ci Sia ya namanya yang perempuan. Dia kawin sama seorang dokter dan kemudian pindah ke negeri Belanda mereka semua. Nah waktu saya masih sekolah di kedokteran Jakarta, Tan Tek Peng pindah ke negeri Belanda semua.

 

Nah kebetulan nih kita omongin masalah sekolah, saya ingin tahu latar belakang pendidikan Oom.

Dulu waktu masih kecil, waktu di Bandung, saya dah nggak inget deh. Yang saya inget memang saya disuruh sekolah karena kakak saya tuh, yang dua tahun lebih tua tuh, nggak mau sekolah. Saya tuh masih kecil waktu disuruh sekolah sama dia. Kami sekelas. Setelah pindah ke Jakarta dan Papa saya meninggal, saya sekolah di Chung Hwa Hui. Itu partikulir, tapi guru-gurunya kebanyakan Belanda. Tante [istri beliau] juga sekolahnya di situ. Karena Oom punya Papa meninggal, kita jadi susah tuh. Karena partikulir sekolahnya itu mahal, kepaksa saya pindah ke gouvernement school.[9]

Setelah mau lulus, mau masuk HBS harus menempuh ujian masuk. Karena gouvernement school itu murid-muridnya banyak yang nggak mampu, nggak ada yang mau turut ujian masuk. Saya juga nggak turut ujian masuk. Lantas guru-guru kepala, buat jaga nama, pilih sepuluh murid untuk turut ujian, termasuk saya dan kakak saya. Nah kita yang lulus cuma bertiga tuh, dua murid lain dan saya. Lantas waduh ke HBS mahal. Sekolah partikulir saja nggak mampu. Nah itu uncle saya bilang udah masuk saja ke Canisius.[10] [tertawa].

Tahun 1940 saya masuk Canisius, waduh saya yang paling kecil. Di Canisius 2 tahun abis karena jaman Jepang. Jepang datang kepaksa berhenti. Nggak boleh nganggur kita di rumah tuh. Masuk sekolahan Jepang, pergi sekolah. Nggak bisa milih-milih. Masuk SMP sampai akhir, sampai lulus. Waktu sudah lulus, udah deh baru kita berhenti nggak sekolah setahun apa dua tahun sampai Jepang takluk. Baru balik Canisius sampai lulus, tahun 1957. Eh bukan, 1947. Tahun 1957, saya lulus kedokteran. Tahun 1947 saya lulus HBS lantas masuk kedokteran di UI [Universitas Indonesia].

Tahun 1957, persis sehari sebelum saya punya birthday, saya lulus tuh [tertawa]. Semuanya dokter umum. Baru ambil spesialisasi.

 

Nah, kenapa sampai ambil spesialisasi bagian forensik patologi?

Waktu itu kan susah kalau mau ambil spesialisasi. Kan UI, professor-professor Belanda berangkat pulang ke negaranya. Sudah itu dikuasai Indonesia. Seperti sekarang, kalau mau masuk fakultas kedokteran kan ada kuotanya. Nah, waktu itu kalau kita mau cari spesialisasi bagian klinik itu susah. Karena banyak yang mau, jadi harus dipilih orang Indonesia asli dulu. Nah karena bagian klinik nggak laku maka kita boleh masuk ke situ. Jadi kalau mau ambil chirurgie (bahasa Belanda yang artinya bedah), obstetrik, itu susah. Kalau dermatologi itu gampang.. Yang asli nggak begitu berminat untuk dermatologi.

 

Maksudnya asli?

Yang keturunan asli [bumiputera].

 

Jadi alasan utama Oom ambil spesialisasi itu karena itu?

Oh, untuk Oom nggak. Saya masuk ke situ karena bantuan dari saudaranya Professor Djuned Pusponegoro, yang waktu itu dekan di kedokteran. Saudaranya Professor Djuned tuh dekan di rumah sakit hewan di Bogor. Nah dia yang tawarin saya, mau masuk apa? Nanti dia bilangin Professor Djuned supaya saya diterima di bagian itu.

Saya sebenarnya mau ke bagian bedah (chirurgie), tapi waktu kosab [sic] di bagian bedah jadi takut. Karena lihat saya mesti operasi pasien ya. Jangan kata operasi, saya lihat pasien kesakitan aja udah…, aduh…, Bagaimana kita mesti iniin. Ah udah dah. Kayaknya nggak deh, nggak nyanggup ke bedah. Akhirnya udah dah ambil kedokteran kehakiman aja. Jadi saya pilih kedokteran kehakiman di bawah bimbingan Professor Sutomo Tjokronegoro.

Nah itu ketua bagian kedokteran kehakiman waktu itu Dr. Sunardi. Tapi rupanya ia nggak ada minat untuk…, [tertawa] untuk kedokteran kehakiman. Dia jadi kepala saja di situ. Ya udah. Jadi semuanya, baik Dr. Lim Joe Thay atau saya yang ngurus. Maka dari itu waktu ada kesempatan, Professor Sutomo kirim saya ke luar negeri.

 

Oh ya. Waktu itu Oom pernah bilang pergi ke luar negeri. Jadi dikirim ke luar negeri untuk apa, Oom? Ke mana dan untuk apa itu?

Untuk forensik patologi. Perdalam. Saya dikirim ke Cleveland [di negara bagian Ohio, Amerika Serikat].

 

Di universitas apa, Oom?

Case Western. Nah di situ saya dikirim ke satu professor di Institute of Pathology. Saya lupa nama professor itu. Dia suruh saya ke coroner’s office. Di situ saya kerja dengan Dr. Adelson,[11] kira-kira sembilan bulan. Lantas saya dipindahkan ke San Antonio, Texas. Karena di Texas ada Dr. Njoo. Njoo apa ya, lupa namanya. Dia dari Surabaya, juga dikirim untuk forensik patologi. Jadi kita bekerja di bawah Professor Hausman.[12] Dulunya dia (Prof. Hausman) dosen di Surabaya. Waktu Belanda pada pergi dia juga pergi. Terus ngungsi ke Amerika dan di sini dia dapat jabatan sebagai coroner di San Antonio. Nah Professor Hausman ini yang didik saya terakhir tiga bulan di situ dengan Dr. Njoo.

 

Itu dikirim ke Amerika tahun berapa, Oom?

Tahun 1960. Saya di Cleveland kira-kira delapan bulanan sebenarnya, karena saya sebulan di Washington D.C sih Dari Washington baru ke Cleveland.

Saat ini pembicaraan terhenti sejenak karena anak perempuan Oom Yan Siang tiba untuk mengunjungi orang tuanya. Dia sangat ramah, kami berkenalan, dan saling bertukar informasi. Dia kaget bagaimana saya berhasil melacak keberadaan ayahnya dan juga tertarik untuk melakukan bincang-bincang itu sampai rela datang dari jauh.

 

Jadi lanjut, Oom…,

Jadi, tahun 1960. Saya akhir November 1959 berangkat deh. Ke Washington dulu sebulan baru dikirim ke Cleveland. Nah itu sampai bulan berapa tuh. Pokoknya ada delapan bulan kira-kira di Cleveland. Lantas tiga bulan ke San Antonio, harus kembali ke Washington lagi. Nah terus berangkat pulang. Jadi akhir 1960 baru sampai di Jakarta lagi. Sempat jalan-jalan dulu di Eropa baru pulang [tertawa].    

 

Terus…, pas setelah pulang ke Indonesia, Oom dipekerjakan di Universitas Indonesia?

Oh ya, kembali ke tempat yang dulu saya bekerja.

 

Dan jabatan Oom pada saat itu apa?

Waktu itu sebagai dosen kedokteran kehakiman. Juga mengajar polisi. Waktu itu apa ya namanya itu. Pokoknya angkatan kepolisian. Nah ngajar di situ juga dan di Trisakti[13] yang partikulir. Saya diminta mengajar oleh Trisakti waktu itu karena mereka nggak ada dosen ilmu kedokteran kehakiman. Saya ngajar di situ seminggu sekali.

Dan setelah saya kembali, Dr. Lim dikirim. Kalau nggak salah ke San Antonio juga dia.

 

Dr. Lim Joe Thay?

Iya. Saya nggak inget apa dia ke Cleveland dulu atau nggak, rasanya dia nggak ke Cleveland. Dari San Antonio dia dikirim ke England.

 

Jadi Dr. Lim pun pernah ke Amerika juga ya. Dikirim oleh UI juga?

Iya. Dikirim oleh UI. Lantas dia di England. Lama juga dia, berapa bulan tuh lupa. Kan di England ada yang kesohor tuh yang menulis buku kedokteran kehakiman juga. Nah itu sampai tahun 1965, waktu ada kejadian itu, Prof. Sutomo ditugaskan untuk memeriksa atau memimpin pemeriksaan [otopsi para jenderal].

 

Pas waktu tahun 1965 jabatan Oom masih sebagai pengajar atau…,?

Iya. Hanya sebagai lektor di Universitas Indonesia.

 

Apakah Oom juga melakukan praktik, maksudnya dalam hal forensik kehakiman, untuk rumah sakit?

Nggak. Nggak ada hubungan dengan rumah sakit. Kedokteran kehakiman itu termasuk bagian dari fakultas kedokteran. Termasuk bagian kedokteran tapi statusnya itu juga di fakultas hukum. Karena…, nah itu anehnya karena kedokteran kehakiman tuh di bawah…, dijadikan satu dengan forensik patologi. Nah itu forensik patologi termasuk bagian hukum. Jadi entah waktu itu bagaimana. Saya nggak begitu mengerti. Pokoknya masa bodoh deh. Saya orang dari fakultas kedokteran bagaimana hubungannya. Kita bekerja sama-sama di satu bangunan, dengan forensik patologi, dengan forensik toksikologi.

 

Dan sampai saat itu tahun 1965, Professor Sutomo Tjokronegoro masih sebagai rektor kan ya?

Waktu itu professor dari bagian patologi. Dia sudah tidak ada sangkutan dengan forensik patologi.

 

Sekarang kita langsung saja ke bagian yang menyangkut dokumen ini. Hasil visum et repertum dari otopsi tersebut. Oom sendiri sudah lihat langsung kan dokumen ini, apa yang saya perlihatkan ke Oom ini?

Ya. Iya.

 

Jadi lengkap kan ya dari Jenderal Ahmad Yani sampai Letnan Tendean.

Iya.

 

Apakah oom mengenali ini? Maksudnya formatnya? Isinya? Pendapat Oom bagaimana? Apakah ini yang oom Kerjakan?

Iya. Kecuali yang Tendean itu bukan saya yang kerjakan [tertawa].

 

Siapa itu yang kerjakan?

Dr. Lim.

 

Lim Joe Thay ya?

Iya.

 

Jadi Oom nggak tahu ya yang mengenai Letnan Tendean tersebut?

Ya…, saya baca saja waktu itu. Karena waktu…, udah terlalu jauh malam jadi saya nggak inget detil-detilnya itu [maksudnya setelah otopsi selesai dikerjakan malam itu atau dini hari tanggal 5 Oktober]. Yang saya inget itu Dr. Lim yang mengerjakan pemeriksaan terhadap Letnan Tendean.

 

Dokumen ini, seperti yang kita bisa lihat, adalah salinan. Salinan dari salinan. Tapi kalau kita melihat isinya [maksudnya secara khusus bagian pemeriksaan] secara langsung Oom yakin bahwa memang ini yang dikerjakan?

 Iya!

 

Jadi bukan dibuat-buat oleh seseorang…,

Oh ya, nggak!

 

Kan soalnya kalau ini dibilang salinan ini bukan aslinya, begitu. Tapi kalau secara umum dan detil Oom memberikan kepastian bahwa ini memang yang Oom kerjakan?

Iya! Aslinya sendiri Oom nggak pernah lihat. Karena waktu itu patolog…, patolog dari…, apa tuh rumah sakit militer…, Frans Pattiasina.[14] Dia yang datang ke rumah saya. Waktu itu belum ada visum et repertum yang origineel.[15] Jadi semacam draft. Nah itu bersama-sama dia saya periksa apa yang saya dictate di…, itunya apa ada kesalahan-kesalahan atau tidak.

Setelah dikoreksi itu udah…, saya nggak lihat lagi deh. Karena Dr. Frans Pattiasina yang ditugaskan untuk menandatangani…, dan suruh ngetiknya semua dia yang ditugaskan. Tapi dia nggak mengerjakan pemeriksaan ini. Maka dia datang pada saya untuk bantuan itu…, mengoreksi apa-apa yang saya kerjakan itu, apa bener semuanya di sini.

 

Saya sempat bicara dengan Dr. Lim dan dia diwawancara juga oleh majalah D&R di Indonesia, di Jakarta. Di laporan tersebut dia mengatakan bahwa dia mengerjakan jenazah Jenderal Yani, Jenderal Harjono, dan nampaknya juga Letnan Tendean. Menurut Oom bagaimana?

Waktu saya baca visum repertum [kopian yang saya tunjukkan ke beliau], menurut ingatan saya, Dr. Lim cuma mengerjakan Tendean. Kalau menurut ingatan saya. Waktu saya baca lagi, ini kok semua tanda tangannya ditulis di sini. Dr. Lim, saya, semuanya ada di sini namanya [Kertopati, Pattiasina, Tjokronegoro]. Padahal saya kira…, nah itu tuh…, saya kira hanya yang mengerjakan saja yang dikasih tahu di sini. Tapi semua tertanda tangan. Saya tidak merasa menandatangani itu.

Yang saya ingat, karena sudah sekian lama…, yang saya ingat itu Frans Pattiasina datang ke rumah saya. Bersama-sama kita mengoreksi. Nah, tiap kali…, berapa kali dia datang, tiga kali atau dua…, kali ke rumah saya di Jalan Palem. Saya masih inget, “Ayuk dong Feeerrr…, ini de groote bung[16] ini…, zit al er achter.”[17] Dia kan ngomong Belanda tuh kalau ke saya. Itu yang saya ingat masih.

 

Visum et repertum kasus G30S 1965. Koleksi Alfred Ticoalu

 

Tadi Oom mengatakan de groote bung?

De groote bung, Bung Karno. Waktu itu Bung Karno belum ditangkap. Karena ada desas-desus jenderal-jenderal ini dianiaya dan saya kira orang pada curiga Sukarno yang memberi perintah untuk menganiaya. Itu hanya dugaan saya ya, bukannya pasti. Maka dia mau ada kepastian bahwa jenderal-jenderal ini tidak dianiaya. Hanya dibunuh saja. Nah dari itu dia mau mempercepat supaya dia bisa memberitahu kepada public hasil pemeriksaan ini. Ya. Nah itu Frans Pattiasina tuh yang selalu…, Ya itu yang saya nggak lupa tuh, yang dia bilang de groote bung yang sudah desak dia supaya buru-buru diselesaikan.

 

Waktu dia datang dengan koreksi-koreksian itu, apakah Frans Pattiasina menunjukkan format bentuk laporan yang seperti kita lihat ini?

Oh, nggak inget saya. Saya nggak inget. Yang saya inget cuman itu draft saja yang itu. Karena waktu itu visum et repertum itu di-dictate, nggak ada dictating machine. Jadi selalu ada penulis yang kita dictate, dia yang menulis kayak sekretaris. Saya nggak tahu namanya, nggak kenal kok orangnya. Salah satu orang dari RSPAD.[18]

Saat ini pembicaraan terhenti sejenak karena anak Oom Yan Siang menawarkan makanan kecil.

 

Maaf tadi terpotong sebentar, disambung lagi. Bagaimana tadi?

Jadi yang menulis itu saya nggak tahu siapa. Cuman ada orang yang ditugaskan [dari RSPAD]. Saya tahu dia nulis, saya yang dictate ke dia.

 

Dan tadi Oom katakan tidak pernah merasa menandatangani laporan karena…,

Nggak ingat nandatangani ini. Cuma yang saya ingat itu disuruh koreksi aja dengan Frans. Dan dugaan saya juga yang nandatangani itu hanya Frans Pattiasina. Karena saya bilang ke Frans, “Hei Frans, jij ondertekent alles.”[19] Jadi kamu yang nandatangani. Jangan tulis nama saya di situ.

 

Kenapa begitu? Kenapa Oom bisa ngerasa…,

Karena waktu itu, katanya the chinese were involved in the communist coup. Aborted coup. Nanti saya dituduh…, apa, oh ini karena mau membela komunis nih…, dia menutupi penganiayaan itu.

 

Nah kalau begitu, sekarang Oom lihat nama Oom ada di situ. Dan bahkan ini digunakan di Mahmilub lho. Mahkamah Militer Luar Biasa. Pendapat Oom bagaimana?

Saya nggak tahu sama sekali kenapa nama saya ada di sini. Walaupun pendapat saya, ya rupanya nggak apa-apa.

Waktu itu kan keadaan demikian tegang! And then, some of the chinese doctors…, udah yang, apalagi yang dikirim ke Rusia tuh. Siapa tuh namanya yang lari ke Holland. Saya bilang ke si Frans Pattiasina, nama saya jangan ditulis di situ.

Saya nggak tahu ini. Lihat-lihat ini. Lho kok semua orang ditulis nih [yang tercantum di laporan otopsi menandatangani]. Ini bukannya…, mereka nggak lihat sama sekali. Kok tanda tangan Sutomo Tjokrone…, kalau lihat aslinya [maksudnya draft] mungkin nggak ada tanda tangan saya di sini. Cuma ditulis saja tertanda Liauw Yan Siang.

 

Seperti yang ditulis di sana [sambil menunjuk laporan otopsi di tangan beliau], bahwa ini disalin sesuai dengan aslinya, asumsi kita di laporan aslinya nama Oom ada di situ. Dari awal kami memang hendak menanyakan itu, apakah Oom menandatangani laporan aslinya.

 Nggak. Itu ingatan saya, karena saya bilang ke si Frans supaya dia yang menandatangani.

 

Jadi yang menyelesaikan laporan ini sampai bentuk final-nya itu siapa?

Nggak tahu.

 

Apakah Oom pernah melihat sekali saja?

Nggak. Yang saya lihat cuma draft-nya yang dibawa Frans Pattiasina ke rumah saya itu. Dan kita sama-sama koreksi, oh ini mesti begini begini begini. Nah itu yang saya ingat. Setelah itu saya nggak pernah lihat lagi. Kalau Dr. Lim bagaimana? Dia pernah lihat ini?

 

Dijawab penulis, “Belum bisa dibilang karena kami baru akan melakukan wawancara dengan Dr. Lim. Jadi untuk sekarang masih tanda tanya.”

 

Waktu Dr. Lim tiba di RSPAD dan dia masuk dan mulai mengerjakan otopsinya, jenazah entah yang mana, yang masih belum dikerjakan – menurut Oom itu jenazah Tendean – Oom ada di situ tidak? Oom menyaksikan tidak proses pengotopsian itu?

Nggak.

 

Oom sendiri di mana saat itu?

Mungkin saya lagi mengerjakan yang terakhir.

 

Tidak di ruangan yang sama?

Ya sama. Sama ruangan. Tapi kan kalau saya meriksa kan saya nggak liatin ke sana. Saya ngeliatin pemeriksaan yang saya lakukan. Kalau dia lagi meriksa di situ ya dia juga nggak ngeliatin apa yang saya kerjakan di sini. Mana bisa. Masing-masing ada tugasnya, yang satu itu…,

 

Jadi Oom mengatakan bahwa jadi…, mengerjakannya bareng-bareng? Jadi Oom mengerjakan yang ini, dia mengerjakan yang itu.

Perasaan saya begitu.

 

Jadi apa mungkin sehabis Dr. Lim datang, Oom pergi begitu meninggalkan semuanya?

Oh nggak. Rasanya setelah selesai kita berdua berangkat pulang.

Pembicaraan terpotong sejenak karena beliau pergi ke ruang belakang untuk bicara dengan istri dan anaknya. Kemudian beliau kembali dan kami lanjutkan perbincangan.

Rasanya pulangnya berdua dengan Dr. Lim. Dia dianter pulang, saya dianter pulang ke Jalan Palem.

 

Apakah mungkin atau adakah kemungkinan bahwa Dr. Lim itu melakukan otopsi ulang terhadap tubuh-tubuh ini?

Rasanya tidak karena kita pulang berdua sih. Dia dianter. Atau masak dia kembali lagi dengan militer, oh tunggu dulu saya mau kembali lagi [maksud beliau, nampaknya tak mungkin Dr. Lim bilang ke militer dia mau kembali lagi ke RSPAD untuk otopsi ulang].

 

Jadi sampai saat terakhir keluarnya pun bareng-bareng?

Rasanya begitu.

 

Maksudnya Oom dengan ‘rasanya’?

Kalau mengenai pasti, sudah nggak mungkin. Karena sudah sekian lama itu, bagaimana…, cuma ingatan saya pulangnya berdua bebareng aja. Dia pulang dianter, saya pulang juga dianter dengan militer.

 

Jadi kesimpulannya adalah, Oom berada di sana sampai saat terakhir.

Iya.

 

Dan apakah itu masih tanggal 4 Oktober malam, atau sudah 5 pagi? Subuh?

Pokoknya sudah lewat jam 12 saya sampai di rumah [tertawa]. Sudah lewat jam 12. Entah udah pagi atau belum nggak tahu dah tuh.

 

Pertanyaan saya selanjutnya adalah…, apa benar kelompok ini, 5 dokter ini yang mengerjakan?

Yang mengerjakan cuma Dr. Lim dengan saya.

 

Kan ada nama-nama Roebiono Kertopati,[20] Frans Pattiasina, Sutomo Tjokronegoro. Nah nama-nama ini Oom kenali semua nggak?

Oh kalau Frans Pattiasina sih saya kenal bener dia [tertawa].

 

Bagaimana hubungannya dengan beliau itu?

Waktu dia masih ko-asisten…, waktu itu kalau dia mengerjakan pemeriksaan mayat, saya waktu itu suka jadi protocol…, Kan dia yang men-dictate sembari kerja. Kita yang harus menulis apa yang terjadi. Ya itu tugas ko-asisten dulu. Jadi kalau kita dapat giliran itu, nah…, Oh, bukannya ko-asisten. Waktu masih lebih rendahan dari ko-asisten. Waktu Frans Pattiasina ko-asisten di bagian kedokteran kehakiman, nah saya yang tempo-tempo suka jadi protocol untuk menulis apa yang dia dictate di waktu mengerjakan pemeriksaan itu.

 

Nah kalau nama…,

Kalau Kertopati saya nggak kenal. Personally itu ndak.

 

Tapi namanya tahu ya?

Tahu, Kertopati.

 

Kalau Professor Sutomo itu…,

Oh iya! Dia yang ngirim saya ke sini kok [tertawa] [maksudnya Amerika]. Dia mengajar patologi, bukan kedokteran kehakiman. Nggak pernah dia mengajar…,

 

Jadi Oom tidak pernah diajar langsung oleh Professor Sutomo?

Nggak. Waktu itu Professor Müller yang mengajar saya mula-mula.

 

Belanda?

Iya. Waktu itu Professor Müller, apa tuh…, ahli kedokteran kehakiman yang paling terkenal di Asia Tenggara. Sebab dia ahli balistik juga. Bukan otopsi aja yang dia kerjakan, juga balistik. Kalau ada pemeriksaan peluru, nah dia yang mengerjakan.

 

Dan dia mengajar di Universitas Indonesia, dan dia guru Oom, ya?

Iya. Sampai tahun…, ya sampai Belanda pada pergi dari Indonesia tahun 1949. Nah Professor Müller ini juga pergi ke Belanda. Setelah itu…, Dr. Sunardi yang memberi kuliah kedokteran kehakiman. Dia bukan professor, dia cuma dokter.

 

Sekarang bisa nggak Oom berbagi cerita dengan kita prosesnya bagaimana dari awal. Bagaimana Oom dapat permintaan untuk otopsi ini; bahwa Oom ada di kelompok ini. Tanggal berapa, jam berapa? Yah sedetil mungkin bisa berikan.

Ingatan saya waktu itu saya bekerja seperti biasa. Hari itu tanggal berapa tuh ya [4 Oktober, 1965]. Nah sebelum saya pulang, saya diberitahu Professor Sutomo itu…, dapat tugas untuk memeriksa mayat ini jenderal-jenderal. Dikasih tahu oleh Prof. Sutomo, bahwa jenderal-jenderal itu sudah ketemu dan sekarang harus diperiksa di RSPAD

 

Jadi Oom sendiri tahu ya jenderal-jenderal itu hilang?

Oh iya. Kan dari surat kabar kan sudah ada bahwa para jenderal itu diculik oleh komplotan komunis kan? Kalau nggak salah di surat kabar saya baca, Suharto untungnya nggak ada di rumah. Jadi yang mau culik Suharto cuma bicara dengan ibunya Jenderal Suharto dan mereka lantas diberitahu tidak ada itu Jenderal Suharto. Terus mereka pergi lagi. Kalau nggak salah itu yang saya baca di surat kabar.

 

Oom tahu yang menugaskan Professor Sutomo itu siapa?

Yang menugaskan saya nggak tahu. Saya sendiri siapa yang tugaskan saya nggak tahu. Yang saya tahu, Prof. Sutomo panggil saya untuk beritahu bahwa ada mayat-mayat jenderal yang sudah ditemukan, harus diperiksa. Sekarang kita tunggu untuk dijemput. Untuk diajak ke rumah sakit militer di…, apa namanya tuh, RSPAD.

Dan saya…, tadinya nggak tahu mau dijemput di mana. Karena menunggu di kedokteran bisa nunggu sampai sore, kita bisa kelaparan. Dari itu saya ajak Prof. Sutomo ke rumah saya di Jalan Palem, nunggu di situ aja. Jalan Palem 51 persis di hoek[21] Jalan Tanjung. Tuh deket Jalan Gresik kan.

 

Itu rumah Oom sendiri?

Iya. Nah menunggu di situ sampai kita dijemput.

 

Oom mulai sendiri mulai mengerjakan ini jam berapa?

Jam berapa tuh…, kira-kira jam 5. Waktu berangkat dari rumah jam 4 lewat, baru dijemput. Pakai pengawal satu vrachtwagen[22] tuh. The whole tow yang mengawal, kita naik jeep dengan Prof. Sutomo. Prof. Sutomo nunggu di rumah saya tuh, jadi sama-sama …, berangkat diantar ke RSPAD

Di mana kamar mayatnya aja saya nggak tahu. Tahu-tahu dianter situ, ya udah keluar. Di situ ketemu dengan lain-lain. Saya nggak di…, nggak diperkenalkan. Cuman Prof. Sutomo bilang, “Oh iya…”. Yang saya inget cuman Frans Pattiasina sudah ada di situ.

 

Oh ya, tadi kan Oom bilang kalau Oom dijemput. Dijemput oleh siapa?

Oleh militer! Yang dikirim oleh Dr. Frans Pattiasina.


Jam 4 sore ya. Itu tanggal 4 Oktober?

Wah tanggalnya mesti lihat di sini deh [menunjuk ke laporan otopsi], saya nggak inget deh tanggalnya.

Waktu itu Prof. Sutomo hanya lihat-lihat itu, udah…, dia tinggal. Jadi saya yang selesaikan semua itu. Waktu itu mula-mula Dr. Frans Pattiasina yang sudah lebih dulu ada di situ. Dia lagi sedang…, sebetulnya dia sudah ingin mulai memerika mayat yang pertama, tapi mayat itu masih di dalam peti mati. Dan dia muter muter muter muter…, saya kata kalau nggak dikeluarin nggak bisa diperiksa. “Ooohhh, iya, iya, that’s a good idea, good idea.” Panggil asistennya, suruh keluarin. Taruh di meja pemeriksaan. Nah sesudah itu…, ngilang dia!

Saya yang periksa pertama. Dikira wah nanti yang kedua nanti dia (Frans Pattiasina) muncul. Nggak! Sampai dua selesai belum ada juga dia. Akhirnya sudah tiga atau empat dia bilang, “Udah Fer. Saya udah itu…, karena sudah laat[23] mesti makan dulu nih.” Dia udah pesan makanan, nasi goreng dari chinese restaurant. Jadi saya disuruh makan dulu tapi dianya nggak tahu ke mana.

 

Frans Pattiasina-nya?

Iya. Nah selesai makan mulai kerja lagi. Pikir, wah nggak bisa selesai sampai pagi nih. Lantas saya usulkan…, saya kasih tahu coba pangggil Dr. Frans Pattiasina. Suruh panggil Dr. Lim Joe Thay, begitu. Dr. Lim Joe Thay tinggalnya di Kota.[24] Masih dengan orang tuanya. Nah itu jadi dikirim lagi militer ke sana.

 

Itu sekitar jam berapa, Oom?

Wah, udah nggak inget. Pokoknya sudah jauh malam. Karena saya pikir aduh…, nggak nyanggup nih kalau terus-terusan begini. Waktu itu masih ada dua atau tiga mayat yang harus diselesaikan. Saya pikir dua, tiga mayat kalau Dr. Lim datang cepet nih selesai.

Waktu militer pergi ke Kota dan balik lagi, saya kerja terus tuh. Jadi saya sudah harap-harap…, waduh kalau si Joe Thay datang nih masih ada beberapa yang belum selesai. Wah tahu-tahunya udah tinggal satu yang belum selesai. Nah jadi yang terakhir saya kerjakan tuh, Dr. Lim kerjakan si itu, si Tendean. Itu Oom Joe Thay yang kerjain Tendean.

Nah jadi, Dr. Lim Joe Thay dijemput. Dateng, dia bantu. Ingetan saya dia kebagian cuma satu. Tapi mungkin juga saya salah, mungkin dua. Ingatan saya cuma satu.

 

Oom yakin itu jenazahnya Tendean?

Lha habis siapa punya? I don’t know Tendean. I have to believe somebody who identify that body. Semuanya juga.., asal dia tahu ini mayatnya jenderal itu. Saya cuma dictate ini aja nih, ke yang menulis nih, ‘Majat berpakaian sebagai berikut:…’. Nah ini ini ini… Dus mulai dari sini nih (sambil menunjuk ke satu bagian di laporan otopsi].

Jadi…, pada pemeriksaan itu, saya mulai dengan ini, mayat berpakaian pemeriksaan luar. Begitu. Mayat berpakaian sebagai berikut. Terus sampai akhir itu [bagian yang dimaksud khusus bagian otopsi, dari bagian ‘Hasil pemeriksaan luar adalah sebagai berikut:…’ sampai bagian ‘Kesimpulan:…’].

Kalau di atas ini saya nggak tahu. That’s not mine [yang dimaksud adalah bagian kop/kepala laporan tersebut, dus bagian yang berada sebelum bagian ‘Hasil pemeriksaan luar adalah sebagai berikut:…’].

 

(bersambung di bagian kedua)

————

[1] Jurnal Indonesia, vol. 43 (April 1987): 109-134.

[2] Merupakan lampiran dari materi sidang Mahmilub Letnan Kolonel Heru Atmodjo, mantan Asisten Direktur Produksi Intelijen Angkatan Udara Republik Indonesia.

[3] Edisi No. 7, XXX, 3 Oktober, 1998: 20-21.

[4] Mereka adalah Brigadir Jenderal Dr. Roebiono Kertopati, Kolonel Dr. Frans Pattiasina, dan Dr. Sutomo Tjokronegoro.

[5] Perusahaan yang dibentuk oleh Oei Tjie Sien, ayah dari Oei Tiong Ham. Perusahaan ini lalu menjadi dasar terbentuknya Oei Tiong Ham Concern, perusahaan konglomerat terbesar di Hindia Belanda.

[6] Bahasa Belanda, berarti perusahaan multi nasional.

[7] Bahasa Belanda, berarti jalan atau bisa juga gang.

[8] Hogere Burgerschool, sekolah menengah yang ditujukan bagi orang keturunan Belanda atau kaum pribumi dan Tionghoa terpilih.

[9] Bahasa Belanda, berarti sekolah pemerintah, sekolah yang dimiliki dan dijalankan oleh pemerintah.

[10] Kolese Kanisius di Menteng Raya, Jakarta Pusat.

[11] Dr. Lester Adelson di Cuyahoga County Coroner’s Office

[12] Dr. Robert Hausman di Bexar County Medical Examiner’s Office

[13] Penulis kemudian tanyakan ke beliau apa yang dimaksud mungkin Universitas Baperki atau Res Publica, cikal bakal Trisakti. Beliau katakan bukan, benar Trisakti. Menimbang Trisakti dibentuk November 1965, nampaknya beliau mulai mengajar di sana setelahnya.

[14] Pada saat otopsi terjadi jabatan Kolonel Frans Pattiasina di RSPAD adalah sebagai salah satu dokter ahli patologi. Tahun 1969 naik pangkat menjadi Brigadir Jenderal. Tahun 1970 ditunjuk menjadi kepala RSPAD. Tahun 1971 ditunjuk menjadi kepala Jawatan Kesehatan Angkatan Darat. Tahun 1972 turun dari jabatan kepala RSPAD. Dipensiunkan tahun 1973 dan kemudian bertugas di berbagai jabatan lainnya; antara lain tim dokter kepresidenan Republik Indonesia (sampai tahun 1995), anggota DPR/MPR, dan lain-lain. Informasi lebih lanjut bisa dilihat di http://balagu.50webs.com/pahlawan/ts/frans_pattiasina.html dan http://rspadgs.net/index.php/page/2.

[15] Bahasa Belanda, berarti asli.

[16] Bahasa Belanda, berarti Bung Besar.

[17] Bahasa Belanda, secara garis besar kira-kira artinya menyadari hal tersebut, mengerjakan hal itu.

[18] Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto.

[19] Bahasa Belanda, berarti kamu tandatangani semuanya.

[20] Saat ini beliau lebih dikenal sebagai Bapak Persandian Indonesia (cryptography). Dia mendirikan dan memimpin Lembaga Sandi Negara dari tahun 1946 sampai 1984. Secara khususnya dia berada di bagian intelijen/intel TNI (Kementerian Pertahanan Bagian B). Dia juga anggota tim kedokteran Presiden Soekarno (tidak diketahui apakah beliau memiliki spesialisasi). Pada saat otopsi terjadi tidak ada indikasi dia bekerja di RSPAD. Menurut laporan resmi otopsi, kehadiran beliau saat itu dinyatakan sebagai ‘Perwira Tinggi diperbantukan pada Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat’. Perlu diperhatikan bahwa ada kemungkinan beliau sengaja dihadirkan sebagai perwira kedokteran dengan pangkat tertinggi saat itu dengan statusnya sebagai bagian intel. Pangkat terakhir Mayor Jenderal. Informasi lebih lanjut bisa dilihat di https://id.wikipedia.org/wiki/Roebiono_Kertopati dan http://rspadgs.net/index.php/page/2.

[21] Bahasa Belanda, berarti pengkolan jalan, huk.

[22] Bahasa Belanda, berarti truk. Bisa diambil kesimpulan itu truk militer.

[23] Bahasa Belanda, berarti larut dalam pengertian waktu (i.e. larut malam.)

[24] Maksudnya Kota Tua, pecinan di daerah Glodok. Menurut artikel D&R, Dr. Lim saat itu tinggal bersama orang tuanya di Kampung Angus, Gelondongan, Glodok, Kota.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.