Foto diambil dari jakartagreater.com
DALAM buku Membedah Tantangan Jokowi-JK, saya menulis bahwa pasangan ini mewarisi sebuah negara yang sangat buruk kondisinya. Tahun ketika Jokow-JK dilantik bisa disebut sebagai ‘tahun yang mengerikan/annus horribilis.’ ‘Mulai dari jurang kaya-miskin yang mencapai rekor tertinggi dalam sejarah perekonomian Indonesia, kesenjangan regional yang lebar, angka kemiskinan yang sangat tinggi, nerasa transaksi berjalan yang defisit, utang luar negeri yang sangat besar, kerusakan lingkungan yang meluas, birokrasi yang sangat tidak efisien dalam pelayanan publik, korupsi yang merajalela di seluruh lapisan struktur pemerintahan, konflik-konflik bernuansa SARA yang marak di mana-mana, kekerasan politik-militer terhadap warga Papua Barat, hingga penindasan terhadap perempuan dan LGBTQ sebagai akibat dari penerapan UU syariah di berbagai daerah.’
Kini menjelang satu tahun pemerintahan ini berjalan, saya ingin mengatakan bahwa kondisi yang buruk itu belumlah terlampaui. Tentu saya tidak berilusi bahwa pemerintahan ini harus bisa menyelesaikan seluruh benang kusut warisan pemerintahan lama tersebut dalam waktu sesingkat-singkatnya. Namun saya tidak melihat bahwa pemerintahan ini sedang dan hendak membangun pondasi yang kokoh bagi penyelesaian masalah-masalah maha besar di atas. Sebaliknya yang terjadi, pemerintahan Jokowi-JK hanya melanjutkan serangkaian jurus kebijakan pemerintahan lama sejak era Orde Baru hingga SBY. Kebijakan yang justru menjadi penyebab terpuruknya bangsa ini.
Contoh paling mencolok adalah ambisi pembangunan sektor infrastruktur di seluruh Indonesia. Dengan proyek ini pemerintah berharap agar perpindahan manusia, barang dan jasa semakin lancar dan terkoneksi satu dengan lainnya. Kelancaran arus pergerakan barang yang semakin terkoneksi, demikian argumennya, pada akhirnya akan menguntungkan rakyat Indonesia keseluruhan. Produksi petani semakin lancar dan mudah tiba di pasar, dengan demikian harga-harga akan semakin murah dan terjangkau oleh konsumen. Tetapi tujuan tertingginya adalah menggerek pertumbuhan ekonomi kembali ke angka 7 persen per tahun.
7 persen per tahun? Akbar Faisal, mantan anggota kelompok kerja Rumah Transisi pernah menghitung bahwa agar target 7 persen itu terwujud maka dibutuhkan investasi sebesar Rp. 6. 500 T, dimana 25 persen atau sebesar Rp. 1.638 T bisa disediakan oleh APBN, sedangkan 75 persen sisanya dicarikan dari BUMN maupun pihak swasta. Dan dari 75 persen itu, megaproyek infrastruktur merupakan primadonanya. Kenapa? Karena hanya infrastrukturlah sektor yang bisa ditawarkan secara meyakinkan kepada investor asing di tengah-tengah pergerakan ekonomi yang terus melesu.
Dengan ambisi besar pembangunan megaproyek infrastruktur ini, maka ada dua keadaan yang akan dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK, dimana kedua keadaan tersebut saling melengkapi keburukannya. Pertama, melalui megaproyek ini maka Jokowi-JK akan terus memperbesar jumlah hutang luar negeri kita. Pada bulan Mei 2014, jumlah hutang luar negeri Indonesia mencapai angka Rp. 2.507,52 T. Tapi yang lebih krusial dari sekadar deretan angka tersebut, bahwa sesungguhnya kita tidak lagi memiliki kemampuan untuk membayar hutang dan bunga hutang tersebut. Megaproyek infrastruktur Jokowi-JK ini, tak pelak membuat kita semakin terjerat pada lingkaran setan hutang luar negeri. Di sini, strategi pembangunan Jokowi-JK sama sekali tidak berbeda dengan strategi yang dianut oleh rezim-rezim sebelumnya: pembangunan yang dibimbing oleh hutang luar negeri.
Hal kedua yang tidak kalah mengerikan dari megaproyek infrastruktur ini adalah ancaman perampasan tanah atau lahan secara paksa dari penduduk setempat. Di seluruh belahan muka bumi ini, megaproyek infrstruktur tidak pernah sepi dari kisah memilukan. Demi ambisi akan kemudahan pergerakan barang dan manusia serta pertumbuhan 7 persen, para pemilik lahan atau mereka yang bermukim di atas lahan tersebut akan ‘diminta’ untuk berkorban. Namun di pihak rakyat, pengorbanan itu tidak pernah bersifat sukarela karena kesadaran akan masa depan yang lebih baik. Mereka benar-benar menjadi korban karena berpotensi untuk kehilangan tanah dan lahan sebagai sumber hidup dan mata pencaharian.
Terancam kehilangan tanah dan lahan berarti masa depan yang suram, berbeda dengan mimpi mereka-mereka yang berada di belakang megaproyek ini. Dan tentu saja perampasan-perampasan tanah dan lahan secara paksa itu akan melahirkan perlawanan-perlawanan rakyat yang masif. Dan dalam beberapa kasus terakhir, kita sudah menyaksikan bagaimana rakyat tak lagi gentar bergandeng tangan dan berpadu suara mempertahankan haknya dan menyatakan perlawanan, bahkan di bawah todongan senapan aparat keamanan sekalipun.
Pemerintahan Jokowi-JK bukannya tak menyadari aksi-aksi perlawanan yang bakal muncul secara meluas ini. Menteri Agraria dan Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan, sudah menggandeng organisasi pemuda bentukan dan binaan Orba, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), untuk menginventaris lahan-lahan berkonflik di daerah. Skenario bumi hangus juga sudah disiapkan oleh Menkopolhukam Luhut B. Pandjaitan. Dalam acara Apindo CEO Gathering, Luhut mengatakan bahwa jika peringatan pertama dan kedua tidak diindahkan oleh para tukang gaduh itu, maka ia tidak akan segan-segan melibas mereka seperti ketika ia melibas rakyat Papua. Dan kalau kita ingat bagaimana aparat keamanan begitu leluasa membunuh, menangkap, dan menyiksa warga Papua yang dituduh anti NKRI, maka itulah nanti yang terjadi pada mereka yang dituduh mengganggu stabilitas ekonomi.
Potret inilah yang nantinya akan kita hadapi, segera setelah pemerintahan ini sukses meyakinkan para kapitalis asing dan domestik untuk segera menginvestasikan kapitalnya di sektor infrastruktur. Pertanyaan yang tersisa kemudian, di pihak mana kita berdiri?***