Tanggapan untuk Muhammad Ridha
DALAM artikelnya di IndoPROGRESS beberapa bulan lalu, Muhammad Ridha mengkritik tulisan saya dengan mengatakan bahwa gerakan sosial di Indonesia akan sulit menemukan kepeloporan sejenis seperti Podemos. Sebabnya, karena tidak memiliki keistimewaan yang sama berupa ‘konsentrasi kemarahan’ (gerakan 15-M/Indignados). Argumentasi ini yang menjadi dasar untuk menyimpulkan bahwa Podemos tidak relevan untuk dijadikan sebagai referensi pembangunan partai elektoral gerakan sosial di Indonesia, karena basis material yang kita miliki tidak sama dengan gerakan sosial di Spanyol.
Sekilas rentetan argumentasi ini sangat masuk akal jika kita mencermati kualitas gerakan sosial yang telah kita bangun selama ini. Namun demikian, alih-alih menghindari pembacaan romantik yang berujung pada pengkultusan Podemos di Spanyol, tulisan Muh. Ridha justru telah memukul mundur pengembangan diskursus pengembangan partai alternatif di Indonesia yang, menurut saya, harusnya telah sampai pada tahap mengeksplorasi titik temu antara gerakan sosial dan pembangunan institusi politik.
Belajar dari Podemos tidak lebih dari upaya mengelaborasi berbagai prinsip-prinsip umum dalam menemukan terobosan penting yang sesuai dengan konteks gerakan sosial di Indonesia. Bahwa ‘belajar dari Podemos’ tidak dapat diartikan sebagai ‘menjiplak mentah-mentah Podemos’. Toh jika kita mencermati lebih jauh, inovasi yang dipraktikkan oleh para petinggi Podemos pun tidak sepenuhnya original. Sedikit banyak apa yang mereka lakukan lahir dari refleksi panjang melalui keterlibatan aktif sebagai peneliti ataupun konsultan dari praktek pengorganisiran massa rakyat di negara-negara Amerika Latin. Lagi pula, upaya menggagas konsep praktis tentang model kepeloporan gerakan sosial yang sesuai dengan basis material yang kita miliki tentunya membutuhkan usaha yang lebih serius dibandingkan dengan sekedar perang opini di media dengan menggunakan satu referensi saja (Podemos).
Sebelum terlalu jauh, terdapat beberapa hal yang perlu diluruskan atas bangunan narasi yang dibangun oleh Muh. Ridha. Menurut hemat saya, Muh. Ridha juga gagal dalam menjawab beberapa pertanyaan kunci yang dia sendiri lontarkan, terutama tentang hal praktis apa yang dilakukan oleh gerakan sosial di Spanyol dan mengapa mereka bisa secara efektif melakukan intervensi politik yang efektif sejauh itu.
Dengan mengatakan bahwa Podemos berhasil menjadi artikulator utama tuntutan massa pada momen Indignados, tidak menggambarkan hal-hal praktis yang dilakukan untuk sampai pada posisi tersebut. Hal ini menjadi penting jika kita mencermati bahwa inisiatif tersebut tidak semulus yang digambarkan. Jika kita mencermati, ternyata tidak sedikit elemen Indignados yang tegas menolak ide pendirian partai elektoral. Dalam artikelnya yang berjudul Spain is Different: Podemos and 15-M, Fominaya menjelaskan bahwa beberapa elemen dalam gerakan Indignados, terutama kaum anarkis libertarian, bahkan menuding Podemos telah mengooptasi gerakan tersebut. Bagi mereka gerakan Indignados (15 M) tidak lain merupakan bentuk keterputusan mutlak atas politik lama dengan mengharapkan lahirnya model demokrasi langsung melalui gerakan alternatif akar rumput. Oleh karena itu, terdapat sebuah konsensus di tengah elemen Indignados untuk menolak mentah-mentah partisipasi partai politik. Pendirian ini berkaitan konteks historis di Spanyol dimana elemen gerakan sosial di sana mengalami gejala traumatis tersendiri akibat kooptasi yang dilakukan oleh partai kiri. Setelah PSOE menang, gerakan sosial di Spanyol didemobilisasi dengan menekankan bahwa ‘orang baik’ dapat menyelesaikan semua masalah yang ada.
Jika Muh. Ridha mengatakan bahwa Podemos lahir dari inisiatif yang signifikan dari Izquerda Anticapitalista yang dikoordinir oleh Pablo Iglesias, pertanyaan kemudian adalah inisiatif yang seperti apa? Jika benar bahwa Pablo Iglesias dkk. sensitif dengan denyut tuntutan massa maka keputusan membangun partai elektoral tentunya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Setelah momen Indignados berakhir, tantangan utama yang dihadapi Pablo Iglesias dkk. adalah mentransformasi apatisme massa rakyat yang semula terpapar semangat anti-sistem pada momentum Indignados menjadi sebuah kegairahan untuk berpartisipasi dalam kontestasi politik elektoral. Untuk menjawab pertanyaan di atas, lagi-lagi pemisahan yang tegas antara domain politik dan gerakan sosial menjadi tema sentral yang tidak dapat dinafikan.
Penekanan ini juga berguna dalam menjawab ketidakcermatan analisis Muh. Ridha tentang pilihan warna Podemos (bukan kiri atau kanan) dengan mengatakan bahwa hal tersebut tidak lebih dari sekadar respon kebuntuan ideologi kiri dan kanan tengah (Partai PP dan PSOE). Faktor yang luput menjadi bahan analisis dari Muh. Ridha adalah fakta bahwa para petinggi Podemos dibesarkan dalam tradisi sosialis yang cukup kuat dengan platform program yang benar-benar kiri. Hanya saja strategi, diskursus dan cara mengartikulasikannya berbeda dengan varian kiri yang lain. Karena pada dasarnya momentum Indignados tidak hanya menyerang kebuntuan ideologi kiri dan kanan tengah saja namun legitimasi sistem politik secara keseluruhan. Oleh karena itu, pemilihan corak tersebut tidak dapat disamakan dengan terminologi ‘jalan ketiga’ yang memiliki kecenderungan ideologis yang sangat kuat. Podemos hanya menyembunyikan corak ideologis yang mereka pahami dengan membangun citra sebagai ‘partai orang biasa’ karena menganggap bahwa corak ideologis apapun tidak sesuai lagi dengan praktik keseharian masyarakat umum. Pada konteks Spanyol, Podemos menganggap masyarakat tidak lagi tertarik dengan istilah heroik seperti ‘anti neoliberalisme’ namun lebih terbuka pada isu-isu ‘common sense’, seperti kecurangan perbankan sampai korupsi yang dilakukan oleh politisi.
Sebagai sebuah ilustrasi kita dapat memperbandingkan Podemos dengan partai kiri yang lainnya. Selain PSOE dan sarekat buruh, kelompok kiri di Spanyol juga diwakili oleh partai Izquerda Unida (IU). Partai ini merupakan transformasi dari dari Partai Komunis Spanyol (PCE) yang merangkul beberapa partai politik lokal, organisasi politik, maupun organisasi independen yang berhaluan kiri untuk menghadang dominasi PSOE. Di atas kertas, platform program yang dikampanyekan oleh IU dan Podemos hampir identik satu sama lainnya. Kedua partai ini bersepakat pada beberapa gagasan neo-developmentalis, seperti peningkatan pengeluaran untuk pelayanan publik, hukuman terhadap praktik penghindaran pajak, penciptaan kredit untuk pengembangan ekonomi, dan restrukturisasi utang. Namun demikian, platform program yang sama tidak melulu menciptakan hasil yang sama pula. Disamping banyaknya politisi dari IU yang terseret kasus korupsi, pada beberapa konteks IU terkesan masih terjebak pada struktur organisasi yang kaku dan model komunikasi politik usang dengan bergantung pada jargon-jargon tradisional. Hal ini, setidaknya, terlihat dari lahirnya tuntutan peremajaan dalam tubuh IU untuk lebih responsif terhadap gerakan sosial di luar partai dengan membuka keran-keran partisipasi terhadap simpatisan dan aktivis gerakan sosial pasca keberhasilan Pablo Iglesias dkk. ‘menunggangi’ gerakan Indignados. Komparasi ini lebih relevan untuk menemukan akar kebuntuan kiri institusional ketimbang menggunakan Sarekat Buruh sebagai perbandingan.
Sudut pandang seperti ini memang berisiko terjebak pada pembacaan yang sifatnya romantik (retoris berbalur jargon), namun dalam konteks masyarakat yang heterogen dengan identitas dan latar belakang yang kompleks, pesan politik yang universal (dapat dipahami dengan mudah) menjadi variabel kunci di tengah tumpah ruahnya citra yang diproduksi oleh pesaing politik yang lain. Sebagai contoh, kita dapat mencermati kekuatan slogan “when was the first time you vote with excitement?” yang menurut Fominaya terbukti berhasil menarik simpati dari kalangan pemuda yang selama ini memilih untuk golput.
Pada konteks yang lain, meskipun praktik partisipasi yang dijalankan Podemos dipertanyakan derajat demokratisnya, karena masih mencerminkan besarnya domain pimpinan kolektif Podemos untuk menentukan agenda mana yang harus dijalankan, namun harus diakui bahwa Podemos masih menjadi partai yang paling horisontal di Spanyol. Pada saat pembentukannya, Podemos menghimpun aspirasi dari bawah dengan membuka ruang bagi siapa saja untuk memasukkan draft usulan tentang beberapa aspek vital seperti operasional organisasi, etika partai dan langkah politik yang akan dijalankan. Draft yang terkumpul kemudian didiskusikan dan diperdebatkan secara terbuka melalui citizen assembly, termasuk menentukan calon yang akan di usung dalam pemilu. Penggunaan teknologi informasi pun pada dasarnya berangkat dari analisis tentang masyarakat dan sistem kerja kontemporer dimana tidak semua warga negara bisa terlibat secara aktif dalam politik. Tidak semua warga negara memiliki keahlian dan ketertarikan yang sama untuk mendiskusikan permasalahan politik secara terbuka. Dalam konteks sistem kerja yang semakin terfragmentasi, level pemahaman maupun ketertarikan menjadi salah satu kendala yang paling sering dialami oleh semua organisasi sukarela. Dengan membuka ruang partisipasi virtual, Podemos sebenarnya hanya melebarkan jaring untuk menangkap aspirasi yang tidak dapat terbahasakan lewat ruang-ruang pertemuan terbuka.
Pada akhirnya Pengalaman Podemos tidak berarti apa-apa selain memberikan kita pelajaran bahwa partai alternatif dapat membangun model keterwakilan baru yang memungkinkan warga negara yang selama ini tidak terwakili oleh sistem politik seperti kalangan muda, pengangguran dan golongan putih (golput) memiliki hak dalam menentukan nasib mereka sendiri. Tidak untuk dijiplak hanya untuk dipelajari.***
Penulis adalah kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan peneliti di Philoshopia Institute Makassar