Sebuah wawancara dengan Mahardika Yuda
PERKEMBANGAN teknologi informasi dan teknologi media yang begitu gigantik saat ini menjamah hampir seluruh wilayah di Indonesia. Hampir setiap hari, berseliweran di tengah-tengah kita segala macam unggahan foto dan video yang menyapa dari pelbagai kanal. Mata dan tubuh kita perlahan-lahan menyatu dengan perangkat-perangkat teknologi itu dan mempercayakan persepsi realitas pada alat-alat tersebut.
Pada edisi kali ini, Lembar Kebudayaan IndoPROGRESS mencoba melihat fenomena ini dalam kacamata yang berbeda; kacamata praktik seni. Kebetulan pula—atau dibetul-betulkan, terserah lo—edisi ini akan terbit hampir berdekatan dengan perhelaan OK. VIDEO: INDONESIA MEDIA ARTS FESTIVAL yang mengangkat tema ORDE BARU. Selain itu, tahun ini pula OK. VIDEO yang sebelumnya pada namanya disematkan imbuhan “Festival Video” berubah menjadi “Indonesia Media Arts Festival”. Raka Ibrahim, didampingi Berto Tukan, diutus untuk berbincang-bincang dengan—lebih tepatnya mendengarkan monolog—Mahardika Yuda (Diki), direktur artistik OK. VIDEO.
Yang hendak dicari sederhana saja: apa itu seni video, seni media, bagaimana hubungannya dengan teknologi informasi yang berkembang di masyarakat hari ini. Jika ternyata yang Anda baca dalam wawancara ini melenceng dari tujuan tersebut, salahkanlah perekam kami yang ngadat di tengah jalan!
LKIP: Harapan apa di balik diadakannya OK. Video pertama kalinya?
Diki: Penggagas awal OK. Video di 2003 itu Hafiz Rancajale dan Ade Darmawan. Lebih tepat kalau ditanyakan ke mereka. Tetapi begini menurut pembacaan gue. Pasca-1998, akses informasi terbuka lebar di Indonesia, gila-gilaan masuk dengan kanal yang begitu banyak. Belum lagi kepentingan pemilik modal di balik media-media itu. OK. Video, yang hadir lima tahun kemudian, didorong oleh pandangan bahwa perlu ada ruang untuk mengkritisi media itu sendiri. Selain itu, OK. Video juga berangkat dari kritik atas seniman (Indonesia khususnya) yang membuat karya dengan medium video. Harusnya mereka mengkritik TV. Karena dalam sejarah kelahirannya, video art muncul untuk mengkritik televisi dan media massa. Itulah kenapa kebanyakan seni video lebih dekat ke media massa. Ranahnya bukan 100% di seni. Seni video lahir dari televisi. Pada 2003, kami ingin mengembalikan fungsi kritik dari medium video itu sendiri.
LKIP: Jadi bisa dikatakan, berbeda dengan lukisan yang kadang “lama baru bisa dimengerti orang”, harusnya seni video tidak begitu?
Diki: Harusnya seni video itu lebih gampang dicerna oleh masyarakat karena medium yang dipakai adalah medium yang sama dengan yang dipakai masyarakat. Bahkan setelah 1998, masyarakat sudah bisa membuat video dan film sendiri. Jargon dari KONFIDEN (Komunitas Film Independen) pada 1999 saat bikin festival film pendek jadi menarik: semua orang bisa bikin film. Karena tools-nya memang ada. Kameranya ada, revolusi kabel firewire saat itupun hanya 10 ribu rupiah, mini DV semua bisa punya. Sarananya sudah ada semua. Tetapi kenapa kritiknya tidak berkembang? Di ranah seni sendiri hal ini pun jadi problem. Sebelum OK. Video 2003, Hafiz Rancajale dan Ugeng T. Moetidjo keliling Jawa untuk mencari seniman yang membuat karya video. Sangat sedikit yang dijumpai. Itu pun cenderung membuat film pendek, bukan kritik atas televisi.
Keputusan mereka untuk menggunakan istilah seni video untuk OK. Video itu juga menarik. Tahun 2000-2002, sebenarnya sudah ada kata new media art di scene seni rupa Indonesia. Beberapa seniman sudah menggunakan itu.
Jadi gini ya. New media art lebih cenderung pada teknologi digital sedangkan media art lebih analog. Di new media art, yang harfiah berubah menjadi kode. Media art masih ada bentuk fisiknya. Nah, new media art rupanya saat itu sudah ada di Indonesia. Apaan nih? Belum ada media art, udah ada new media art. Ada loncatan cukup besar. Ini sempat jadi perdebatan di OK. Video; kenapa tidak langsung new media art? Kesimpulan dari debat itu, masyarakat belum siap. Makanya perlu mengadakan dulu seni video. Kalau seni video sudah oke, baru melangkah lagi. OK. Video memang ingin berkembang beriringan dengan perubahan di masyarakat—bagaimana teknologi mempengaruhi hidup kita sehari-hari.
Di Filipina, seniman video sudah muncul pada 1985. Tapi di Indonesia belum ada. Itu cukup aneh. Kalaupun itu ada di Indonesia era 1990-an, belum ada kesadaran mengkritik televisi. Pada 1981 kita sudah menggunakan video, tapi itu hanya medium ekspresi membuat film. Seperti kuas digunakan untuk membuat lukisan. Namun video sebagai kritik atas mediumnya sendiri, atas teknologi dan media massa, belum ada tahun 90-an. Klaim gue, baru setelah OK. Video orang ditarik lagi untuk melihat bahwa seni video ada untuk mengkritik hal itu. Dia dilahirkan untuk mengkritik; bukan sekadar alternatif yang lebih murah untuk membuat film. Lebih ke esensi seni video itu sendiri sebagai perlawanan atas media massa. Ini perdebatan menarik pada 2003.
Nah, pada 2005, kata art dihilangkan sehingga menjadi Jakarta Video Festival. Waktu itu ada keraguan menggunakan kata seni. Bayangkan, ketika memakai kata video art saja orang syok, apalagi pakai kata new media art? Itu bikin pusing! Makanya, pada 2005 direvisi lagi dan lebih membicarakan kultur dengan isu yang diangkatnya, “subversi”, berbarengan dengan peristiwa razia Microsoft di Indonesia waktu itu. Warnet-warnet dirazia semua: siapa yang pakai Microsoft Word bajakan, pakai Excel bajakan, diciduk. Itu terjadi se-Indonesia. Buat gue, kata subversif muncul karena kita hidup dari software bajakan yang murah dan itu berkembang. Peristiwa itu menarik karena OK. Video jadi beriringan dengan situasi yang ada.
LKIP: Ketika lo masuk pada 2007, apakah kesadaran seni video untuk mengkritik media massa sudah mulai terbentuk?
Diki: Setelah 2007, menurut gue sudah banyak. Bahkan waktu itu, dengan tema Militia (Ok. Video 2007-red), itu kayak gong. Makanya kami mengadakannya di 15 titik di 12 kota. Oke, sekarang serentak kita bikin karya yang mencoba mengkritik budaya tontonan. Gimana caranya kita bicara isu-isu lokal.
LKIP: Kenapa video art atau teknologi video yang mulai bisa diakses masyarakat harus menjadi alat kritik? Jangan-jangan seniman video era awal di Indonesia melihat cara alternatif memanfaatkan mediumnya selain untuk kritik, misalnya?
Diki: Ketika video dibawa ke wilayah seni, akhirnya medium itu sendiri jadi berjarak. Ini kesulitannya menurut kami. Karena kami percaya, audiovisual itu medium yang paling mudah dicerna masyarakat. Misalnya di Papua, orang lebih enjoy melihat gambar bergerak daripada mendengar gue ceramah. Audio-visual lebih mudah dipahami: kalau kita melihat orang makan, artinya kita melihat orang sedang makan.
LKIP: Sekarang kalian sudah menggunakan istilah media arts festival. Perkembangan apa yang mendorong kalian mengubah istilah jadi media arts festival?
Diki: Setelah 2007, kami bikin lokakarya. Hasilnya 115 karya, kalau nggak salah. Pada 2009 (OK. Video Comedy-red) kami menggelar open submission dan rata-rata yang dikirim adalah karya dokumenter. Jadi, kembali ke film lagi. Dari situ kami berpikir, wah, ada yang salah nih. Kita salah langkah. Karena kok yang submit karya pendekatannya dokumenter? Irisan dengan seninya malah hilang.
Puncaknya, pada OK. Video: Flesh (2011-red) kami membicarakan internet. Membicarakan daging, perubahan tubuh manusia setelah memakai ponsel. Tubuh sudah tidak dilihat secara fisik semata, persoalan privat dan publik sudah melebur. Itu pembacaan kami tahun 2010-2011. Memang pada 2005 (OK. Video Sub/Versin-red) sudah ada karya dengan pendekatan web-based. Tapi itu karya dari seniman Jepang.
LKIP: Apakah orientasi penggunaan seni video sebagai kritik atas media massa merupakan statement kalian?
Diki: Iya. Dan ini salah satu latar belakang munculnya video activism, misalnya. Muncul berbagai komunitas yang bermain di ranah ini. Tetapi setelah 2007, video mulai bergeser. Mediumnya berubah dan cara pandang orang terhadap video juga mulai bergeser. Tidak hanya dengan televisi tabung di rumah, tapi juga lewat ponsel. Dari 2012, gue merasakan pergeseran yang luar biasa. Dengan adanya media sosial, perkembangannya sudah semakin bergeser ke perpaduan di ranah virtual. Pada 2009 – 6 tahun setelah OK. Video pertama – kami mulai membahas internet.
LKIP: Jadi video art “masuk museum” nih?
Diki: Mau tak mau seni video harus berkembang karena penonton dan interaksinya juga sudah berubah. TVRI tahun 1962 sampai tahun 70-an membayangkan pemirsa sebagai bangsa. Tahun 70-an dan 80-an mulai bergeser, pemirsa dibayangkan sebagai keluarga. Setelah Perang Dingin dan televisi swasta mulai berkembang di Indonesia, pemirsa menjadi warga dunia. Nah, sekarang pemirsa sudah bergeser lagi. Kita harus melihat pemirsa sebagai user karena mereka juga berinteraksi dengan medium itu. Dan seniman harus ikut bergeser juga. Mereka tidak lagi memproduksi konten, tapi menjadi produsen sistem. Dia harus memfasilitasi semua itu; konsepnya, kanalnya, distribusinya, jejaringnya, sampai dampaknya. Masyarakat sudah sangat bisa jadi kreator. Maka, seniman sebaiknya menuju fasilitator. Konsep seni media persis ada di situ. Bagaimana memunculkan interaksi misalnya; bagaimana mengajak pemirsa untuk mengkritik.
Nah, OK. Video selalu berusaha mengikuti perkembangan ini. Bisa saja dia ambil tema yang justru berkebalikan, tapi situasi yang direspons harus tetap situasi yang ada di kesekarangan. Perkembangan teknologi, kultur yang dibangun, dan dampaknya.
LKIP: Oke. Gue coba balik lagi ke depan, jadi menurut pandangan lo atau OK. Video, banyak seniman video atau seniman yang tidak bisa mengikuti perkembangan praktik media di masyarakat?
Diki: Gue nggak mempermasalahkan kalau seniman gaptek (gagap teknologi—red.). Tapi selama dia tidak update terhadap kulturnya, itu repot.
LKIP: Nah, tadi ‘kan ada soal sudah ada new media art di Indonesia era awal 2000-an, padahal seni video sendiri belum berkembang. Ada loncatan, menurut lo. Apa hal ini bisa kita lihat sebagai bentuk kegagapan juga sebenarnya?
Diki: Wacana new media art itu berhenti sekitar tahun 2003 secara mendadak. Karena mereka juga bingung, mau ngomong apa lagi? Mereka loncat, lalu bingung mau ngapain. Banyak seniman kita yang di luar negeri melihat karya-karya di sana, produk seniman-seniman sana, dan ketika pulang ke Indonesia mereka langsung bikin. Mereka dapat majalah dari Amerika misalnya, lihat karya Fluxus, lalu langsung bikin. Tapi kita nggak punya landasan secara materil di masyarakat untuk itu. Tiba-tiba langsung dibawa ke Indonesia. Jadinya aneh! Dari segi konteks masyarakatnya, masyarakat belum bisa memahami itu.
Gue bisa aja mengundang seniman yang membuat karya gigantik, yang aneh bin ajaib, seperti daun yang tiba-tiba ada suaranya. Kalau gue taruh itu, nanti mereka melongo doang! Anjing, Jepang canggih ya. Kan akhirnya berjarak. Akhirnya kasihan audiensnya. Kita tetap mencoba alat-alat yang kontekstual dengan Indonesia. Ketika memilih seniman, perdebatan kami, misalnya, isu sosialnya masuk nggak, isu teknologinya bisa dimengerti nggak? Karyanya dekat dengan tradisi di sini nggak? Kami khawatir kalau tiba-tiba ada teknologi canggih, kita cuma berhenti di kekaguman. Keren, tapi nggak tahu mau diapain kerennya. Komunikasi dan kritiknya hilang.
LKIP: Kalau ditarik ke belakang, ada catatan menarik dari esai Hafiz Rancajale. Alat rekam dsb., di Indonesia sudah dijual sejak tahun 70-an tapi seni video baru mulai muncul pada 90-an. Apa yang menyebabkan gap ini?
Diki: Setahu gue, teknologi video sudah dijual bebas sejak 1974 dan Rima Melati punya geng yang rajin membuat film sejak akhir 1970-an. Tahun 1976, Hardi (salah satu pentolan GSRB—Gerakan Seni Rupa Baru—red.) sempat menulis saat dia ke New York dan melihat karya video recording dengan performance. Lalu pada 1981, ada seorang dosen IKJ pergi ke New York dan menulis soal seni video. Marcelli Sumarno juga mengkritik kenapa kita nggak bikin film pakai video, dan sebagainya. Sampai kemudian ada pameran seni video di Goethe Institut tapi kita tetap kaget.
Ini ada kaitannya juga dengan perkembangan seni rupa di Indonesia. Dari 1981 sejak Soeharto dianggap Bapak Pembangunan sampai 1989, seni disensor habis-habisan dengan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan—red.) dan sebagainya. Kalau pada dekade sebelumnya Benyamin, God Bless, dan sebagainya masih muncul, tahun ’80-an sudah habis. Ditambah dengan ekonomi kita lagi cakep. Jadi tidak ada alasan untuk mengkritik. TIM down tahun ’80-an karena itu. Galeri pun muncul pada tahun-tahun itu. Dan seni jadi tumpul karena itu.
Di Asia Tenggara muncul semua. Filipina, Thailand, muncul pada 80-an. Jadi, persoalannya ada di wilayah seni kita sendiri. Setelah 1989, ada bom seni lukis, habis! Toni Haryanto sempat bikin karya Keluarga Berisik di Biennale 1993. Dia bikin boneka-boneka nonton TV. Itu fenomenal. Pada tahun-tahun segitu, sudah mulai ada yang bikin instalasi pakai slide, dan sebagainya. Medium sudah banyak. Tapi, video masih jadi elemen. Belum ada yang menjadikan dia karya itu sendiri. Baru setelah 1998, seni video bisa “berdiri sendiri”.
Nah, kemudian digital menggila dan nggak bisa dibendung. Awal 90-an kita ngebayangin terbang dan pakai satelit. Sekarang, kita sudah main GPS. Semua itu jadi mainan sehari-hari.
LKIP: Apakah OK. Video muncul karena lo merasa seni video kita ketinggalan dari seni video di negara lain?
Diki: Kalau menurut gue, dari segi video dan konsep, Indonesia nggak ketinggalan jauh. Setidaknya dalam konteks Asia Tenggara, ya. Saat OK. Video muncul, ada beberapa pertanyaan. Kalau kita mau pakai teknologi canggih, kita sudah kalah jauh dari Jepang dan Jerman. Lo mau tampilin secanggih apa pun, mereka sudah ada duluan. Jadi gimana cara kita mencari celah yang cuma kita miliki. Di kita memang ada lompatan itu. Sejarah ide dan sejarah materi kita nggak berbarengan. Itu sebenarnya poin penting. Gimana cara kita mengubah itu jadi kelebihan?
LKIP: Misalnya bagaimana?
Diki: Kalau orang bule melihat kita kampungan, kita bilang saja ini kreativitas. Buat gue tutup panci itu keren! Gimana cara kita meyakinkan mereka bahwa teknologi kita itu memang dengan mengoprek-oprek seperti itu. Fungsi dari teknologi lo bisa sampai. Terserah, walau gue bikin kulkas dari lemari, buat gue itu sah-sah aja. Kita menyiasati semua itu.
Jurangnya dengan kita memang besar banget. Kamera aja ada di sini tanpa sejarahnya. Mau nggak mau kita harus berjalan di modernisme yang dipaksakan Barat. Sudah ratusan tahun kita dipaksa dan kita nggak bisa membuat itu jadi nol. Jadi gimana cara siasatnya? Nah, muncullah praktek-praktek aneh; misalnya rice cooker buat masak Indomie, itu nggak ada di kultur luar. Ya udah, kayaknya di sini aja kita maininnya. Lebih di wilayah itu.
Yang perlu dikejar adalah stimulan agar kita tetap kreatif. Belakangan ini ada beberapa kejadian yang menurut gue berbahaya juga. Karena kita mulai dipaksakan seperti mereka. Naik KRL, bustransjakarta, semuanya harus pakai kartu, dan sebagainya. Kita mulai disamaratakan. Tapi gue yakin, kita nggak akan sampai ke wilayah itu juga karena kita masih banyak bolongnya, dan mereka sendiri nggak bisa tambal.
Gue kurang sreg dengan beberapa kritikus yang bilang ini alternatif dari dunia ketiga. Kenapa sih kita nggak berani bilang bahwa ini sesuatu yang distingtif dan bukan lagi persoalan dunia pertama, kedua, atau ketiga? Selama para pemikir masih menganggap ini alternatif, itu susah. Kita sudah berani bilang ini jalan kita yang beda dengan jalan lo. Bukan lagi suara ketiga. Harusnya perdebatan itu sudah selesai. Dan gue menunggu ada tokoh kita yang bilang bahwa ini jalan kita, bukan hanya alternatif. Bukan tandingan, alternatif; kita berbeda aja.
Misalnya, Anil Gupta membuat website yang menarik. Dia datang ke kampung di India dan bertanya; ada yang bikin motor sendiri nggak? Ada yang bikin panci sendiri nggak? Dia memotret itu, wawancarai, lalu upload, lalu itu dipatenkan nggak secara kapitalistik tetapi untuk mendistribusikan pengetahuan itu. Sebenarnya kita juga punya penemuan seperti penggilingan padi, mesin parutan kelapa, dan lain-lain. Harusnya ini bisa dihubungkan dengan dunia seni dan kritik.
Kita punya budaya itu, tapi tidak terhubungkan. Sekarang gimana caranya itu berjaringan. Pada ’80-an akhir, ada profesor yang menemukan sumber energi alternatif tapi dilarang karena bisa mengancam harga minyak bumi. Hal kayak begini kan harusnya dimunculkan! Itu kan tugas kita. Kalau pengetahuan dan temuan lokal ini bisa disambungkan dengan situasi di masyarakat, bakal jadi beda. Kayak Lifepatch bikin minuman sendiri. Menurut gue itu anjing banget!
Kemarin misalnya ada yang bikin TV sendiri tapi ditangkap. Kan jadi repot. Kita harus punya kesadaran bahwa pengetahuan itu perlu diambil. Tahun ’80-an, orang nimpukin parabola agar parabolanya bolong dan siarannya bocor, sehingga tetangganya bisa nonton. Itu subversif!
LKIP: Pemerintah kita punya pemikiran yang memang mengikuti “hak paten”. Alternatif-alternatif teknologi atau ngoprek itu kan dianggap mengganggu dan perlu dilarang.
Diki: Nah, itu dia. Sejak 1968, kita sibuk mengkonsumsi dan membeli, bukan menyiasati lagi. Makanya isu-isunya di film misalnya tentang narkoba, seks bebas, dampak dari konsumsi.
Mungkin ini asumsi gue, tapi setelah 1998 orang mulai berusaha jadi produsen informasi. Dan dalam lima tahun terakhir, muncul fenomena bagaimana arsip naik ke internet, terutama dalam kasus WikiLeaks. Setelah orang bisa memproduksi informasi, informasi tersebut mulai diunggah dan diarsipkan. Kemudian mulai muncul kegiatan Open Society yang membuat lo bisa nonton (Andrey) Tarkovsky gratis, bisa nonton (Sergei) Eisenstein gratis. Arsip-arsip dikeluarkan semua.
LKIP: Kenyataan “kotor” tentang masa lalu kita sendiri mulai dimunculkan…
Diki: Iya, mulai dimuncukan lagi. Baik dari pihak yang mendukung agar semuanya terbuka, maupun pihak yang menurut gue ikut melakukan tindakan kotor tersebut. Ini jadi pertarungan sejarah. Mereka bisa saling membantah. Dan akhirnya, kita harus gimana? Ketika lo berlimpahan dengan arsip, lo mau ngapain?
LKIP: Apakah itu salah satu alasan kenapa tahun ini lo mengangkat tema soal Orde Baru?
Diki: Iya. Dan bersamaan dengan 50 tahun peristiwa 1965 yang sedang asyik-asyiknya dirayakan. Sinematek sedang didigitalisasi, PFN lagi naik, sekarang lo mau gimana merumuskan itu semua? Kalau dulu serangan informasi banyak, dan banyak versi yang muncul, sekarang arsip juga banyak yang muncul. Itu jadi PR.
Gue juga jadi khawatir bahwa dengan adanya informasi itu, orang semakin takut. Gara-gara geng meme itu, gue jadi mikir, jangan-jangan Supersemar misalnya yang dimunculin ini hasil dari semacam (hasil) Photoshop? Manipulasi. Gimana ya cara kita melihatnya? Akibatnya kita jadi sulit mempercayai informasi. Udah ada terlalu banyak informasi dan bersamaan dengan itu orang sadar bahwa ada alat seperti Photoshop dan manipulasi itu.
Tantangannya justru gimana kita kritis terhadap itu. Perlu dibangun kesadaran kritis di masyarakat bahwa sejarah apa pun adalah konstruksi. Wacana itu perlu dikembangkan dan kita tunjukkan bahwa mereka pun bisa turut andil dalam mengkonstruksi sejarah itu. Buat gue, ini perayaan atas bagaimana kita melihat arsip.
LKIP: Kalau ditarik ke belakang lagi, masih belum jelas bagaimana video art beralih menjadi media art pada OK. Video sendiri.
Diki: Dari kemarin, kita sudah ngomongin sejarah benda, penemuan, siasat, dan sebagainya. Tapi problemnya bukan pendefinisian, tapi cara mengesahkan semua ini. Bahwa ini adalah media art dari Indonesia. Ini seni media kita, bukan seni media dalam ukuran Eropa. Bagaimana kita pakai terminologi mereka, tapi cara melihatnya berbeda. Di Jepang, misalnya, ada manga yang masuk ke dalam media art. Apakah kita harus melakukan sesuatu yang serupa? Kalau gitu kita ke mana? Kultur medianya, distribusi internet, dan lain-lain? Itu masih jadi PR bagi gue.
Mungkin setelah OK. Video ada katalog post-event yang membahas itu. Kenapa seni media, bukan new media, multimedia, atau intermedia—istilah yang sudah dipakai di ITB. Ada yang menarik. Tahun 1996, tiba-tiba di Lombok ada orang bikin pameran multimedia, tapi pakai kayu. Gue juga nggak tahu karyanya gimana, tapi ternyata tahun 1996 multimedia malah keluar dari tiga kota utama – Bandung, Jakarta, Yogyakarta.
Kalau dulu wilayah seni konseptual dan patung cuma di tiga wilayah kota besar itu, seni media berpeluang tumbuh dan berkembang di luar tiga kota ini. Bahkan di Papua. Kita bisa menganggap teknologi antena tutup panci jadi karya tapi kita tidak tahu siapa penemunya. Nah, hal-hal kayak gini yang perlu kita baca lagi. Tak hanya di wilayah seni, melainkan juga di wilayah teknologi. Makanya kami menggunakan istilah media. Lebih melihat teknologinya, melihat isu media massa. Tahun 1988, Sanento Yuliman sudah menulis tentang seni komputer. Dia ngomongin desain grafis tapi pakai komputer dan itu nggak pernah dibaca di sejarah seni rupa. Itu nggak masuk wilayah pengembangan seni media. Itu harus dibaca ulang lagi.
Terus terang, ini masih jadi eksperimen. Yang paling penting, OK. Video harus memunculkan statement itu. Gimana sih sound art bisa masuk ke dalam seni media, gimana caranya performance yang pakai tubuh dan time-based art juga hadir, gimana sih web bisa muncul, semua itu juga masih perlu dicari.
LKIP: Namanya kan OK. Video Media Art Festival. Kenapa nggak diganti jadi OK. Media Art Festival?
Diki: OK. Video jadi brand yang nggak bisa diubah. Paling imbuhannya yang diubah. Namanya jadi OK. Video: Indonesia Media Art Festival.
LKIP: Kompatriot lo di Indonesia siapa saja?
Diki: Surabaya ada festival video, di Jogja juga ada festival seni media, di Bandung juga mulai ada festival seni digital. Semakin banyak muncul, jadi kami caplok aja! Indonesia Media Arts Festival… hahahahaha. Tapi itu juga berisiko. Karena apakah kita siap dengan itu? Apakah kita siap mengakomodir seniman dari Aceh sampai Papua?
LKIP: Karena perkembangan teknologi di Indonesia nggak sama rata?
Diki: Gue punya keyakinan bahwa dari ujung Papua sampai Aceh ada kok media art. Tapi dia lahirnya bukan dari ranah seni. Ia lahir dari masyarakat, dari ranah sosial.
LKIP: Itu termasuk yang lo temukan di Halaman Papua[i] ya?
Diki: Iya. Di sana, gue dicela habis-habisan ketika gue tanya, “Ibu pakai poster, pakai video, atau apa untuk memberikan penyuluhan tentang kesehatan keluarga?” Oh tidak, dia bilang, dia pakai poster hidup – dirinya sendiri! Gue nggak bisa ngomong kan? Menariknya, dalam situasi sekarang, benar juga sih. Dalam satu waktu, itu muncul. Internet dan video sudah ada, di daerah Freeport sudah ada satelit sendiri yang menghubungkan itu semua dan tiba-tiba di sebelah lo ada yang bilang dia poster hidup. Gimana coba?
LKIP: Apakah ini salah satu hal yang ingin lo lakukan dengan OK. Video: Indonesia Media Arts Festival? Selain karena lo maruk ya.
Diki: Iya, selain karena gue maruk! Dari sini ke Papua aja 6 jam, udah kayak mau ke Jepang. Tapi buat gue, ini peluang besar.
LKIP: Seringkali dalam seni rupa kita ini, praktiknya ada tapi teorinya nggak ada. Apakah hal yang sama terjadi saat perubahan dari video festival ke media art?
Diki: Itu salah satu yang masih jadi PR. Karena, terus terang gue agak khawatir karena ternyata semakin banyak seniman yang menggunakan. Apakah kita siap? Karena kritikusnya belum ada, kuratornya belum banyak. Padahal itu penting banget.
Mungkin memang kita perlu bereksperimen. Kuratornya kita ambil dari Surabaya, misalnya. Atau dari Lampung, dari Medan. Itu kan urban juga dan bakal ajaib kalau ada kurator dari sana. Sudah waktunya melebarkan cakupan melampaui tiga wilayah utama itu dan perspektifnya bakal jadi lebih menarik karena praktiknya sama tapi hasilnya berbeda-beda. Konteks lokalnya akan sangat mempengaruhi dia. Di Papua, Epen kah Cupen toh[ii] kan juga menarik. Mereka punya kesadaran distribusi via internet, lelucon mereka sangat lokal.
LKIP: Kalau gue lihat Epen kah Cupen toh dari kacamata Jakarta, itu jelek. Tapi lo melihatnya sebagai suatu potensi?
Diki: Gue menitikberatkan fakta bahwa yang membuat itu orang sana. Logika mereka nggak bisa ditemukan di tempat lain. Misalnya ada lelucon gini; mereka beli antena baru tapi isi filmnya horor semua. Coba lihat antenanya, katanya. Rupanya antena menghadap ke kuburan, jadi digeser ke gunung agar ganti jadi film perang! Gimana cara gue mikir kayak gitu? Angkat tangan gue. Becandaan seperti ini yang perlu dikembangin! Masalahnya, orang sering datang dari Jakarta dan bilang, “Lo bikin film yang kayak begini aja.” Itu kan jadi ngacak-ngacakin. Buat gue, itu harus ditandingi. Ketika mereka bikin film jelek, kita bantu mereka membuat film yang lebih ngaco lagi!
LKIP: Kalau dari standar orang Jakarta, kan ada penggunaan media yang seolah tidak pada tempatnya. Dia nggak paham, tapi dia pakai saja. Atau, apa penggunaan itu terjadi dengan kesadaran penuh akan ketidakmampuan daerahnya sendiri?
Diki: Ketika logika ngaco itu difilmkan, mereka sudah sadar. Tinggal gimana caranya agar mereka fokus ngomongin itu aja. Di Medan, filmnya jelek. Tapi mereka bikin DVD sendiri, perputaran ekonominya bagus banget! Persoalannya, gimana caranya agar mereka menemukan estetikanya sendiri, agar kita tidak memaksakan estetika Jakarta. Kita pengen melihat peluang mereka di mana.
LKIP: Sebagai seniman dan direktur artistik OK. Video, menurut lo gimana para seniman akan bereaksi menghadapi perubahan ini?
Diki: Sebenarnya, ketika kita pakai istilah art itu jadi polemik. Pada 2013, kami mendatangkan seniman dari Jepang. Dan karya yang dipilih berbasis benda-benda analog yang dekat dengan Indonesia. Bahkan kehadiran Media Art Kitchen sudah cukup mengagetkan, karena OK. Video pun bawa-bawa fotografi. Selama ini kan video saja. Ketika Muslihat sudah mengeluarkan itu, sekarang kita nggak mungkin mundur. Jadi kami gunakan kata art.
Tahun 2007 ada ASEAN New Media Art Competition di Galnas. Tahun 2010 kami bikin pameran seni media di Medan atas nama Dikbud. Tahun 2011 kami bikin juga pameran seni media di Lombok. Sekarang, ada meme, video masak, ada gif, jadi OK. Video harus memperluas. Bukan medium saja yang diambil tapi juga praktik dan interaksinya. Mediumnya udah luas banget. Bahkan drawing juga bisa masuk, tapi drawing seperti apa? Teater juga ada, tapi nggak semua teater yang bisa masuk. Batasan itu yang ingin coba dirumuskan. Walaupun gue yakin tetap banyak bolongnya sih.
LKIP: Kenapa sih harus Orde Baru?
Diki: Gue ngikutin LSM-LSM sekarang! Orde Baru, peristiwa 65 dan ada persoalan arsip. Pas banget. Awalnya, diskusi kami lebih soal bagaimana teknologi media membangun konstruksi pelegalan pembantaian massal, pembangunan citra, dan sebagainya. Dan rupanya panjang juga, ya. Gak mungkin dibicarakan dalam satu event. Setelah ditarik ‘65 sebagai latar, mungkin kita ambil isu post-authotarianism, tapi pakai arsip.
Gue rasa ini test case. Dulu sensor karena negara, sekarang sensor karena fundamentalisme agama. Gue menantang beberapa seniman untuk bicara soal itu. Gimana kita bicara soal peristiwa 65, dan ditarik ke sekarang. Karena ini PR buat gue juga, Orde Baru itu lokal banget. Gimana gue bawa ini ke persoalan global? Bagaimana cara gue bilang bahwa 1965 itu peristiwa global, selain narasi karena Perang Dingin misalnya. Gue lihat ke negara-negara lain, bagaimana mereka bicara soal peristiwa sejarah dan mencari kesamaan itu. Gue lebih menekankan ke arsip. Tapi refleksinya kenceng banget. Traumatisnya kenceng. Kalau gue salah, gue malah jadi glorifikasi saja. Dan itu risiko yang besar. Apalagi gue menggunakan medium yang beragam. Gue jadi pengen tahu konteks di balik propagandanya. Tapi problemnya, gue harus cari arsipnya dulu. Dan itu gila susahnya. PFN nggak ada! Itu bisa jadi kekurangan atau peluang. Banyak pekerja arsip tidak tahu arsip ini isinya apa, jadi kita bisa ambil aja! Mereka nggak paham mana yang rahasia negara atau bukan. Tinggal masalah teliti atau nggak teliti aja nih.
LKIP: OK. Video sudah berjalan 11 tahun. Nah, sebagai direktur, kira-kira nanti lo bakal berubah nama lagi nggak? Dan berapa tahun lagi?
Diki: Kayaknya kita memang harus bersiap sedia untuk perubahan itu karena brengseknya teknologi berkembang terus. Masuk aja teknologi dan (tiba-tiba) ada di depan muka lo.
Yang harus ditempel sekarang itu hubungan antara seniman dengan aktivis. Agar OK Video jadi segar, dan nggak terlalu jadi soal “seni” aja. Kalau gitu jadi stagnan. []
[i]Sebuah program yang diinisiasi oleh Forum Lenteng di mana Mahardika Yuda juga terlibat aktif.
[ii]Epen kan Cupen toh adalah serial-serial film pendek yang berisi mop-mop Papua. Salah satu contohnya bisa dilihat di tautan ini https://www.youtube.com/watch?v=–tbF-IZlPo