BEBERAPA hari lalu, merespon desakan pengungkapan secara tuntas kasus pembunuhan Jopi Peranginangin oleh prajurit TNI Angkatan laut, Panglima TNI Jenderal Moeldoko dengan entengnya mengatakan Jopi Peranginangin adalah preman dan prajurit saya juga preman. Pernyataan Moeldoko ini tentu saja merupakan pemutarbalikkan fakta. Fitnah tingkat tinggi. Jopi jelas bukan preman. Ia tidak memiliki rekam jejak sebagai seorang pelaku tindak kriminal. Ia seorang aktivis-cum peneliti.
Sebaliknya, mengatakan bahwa prajuritnya adalah preman, Moeldoko benar 100 persen. Sebagai prajurit mereka dilatih untuk berperang melawan musuh sesama militer, bukan mengeroyok dan kemudian menikam hingga mati warga sipil tidak bersenjata. Kasus pembunuhan terhadap Jopi, hanya salah satu noktah kecil dari segunung tindak sewenang-wenang aparat TNI. Sebagai panglima TNI, Moeldoko jelas masih menyimpan catatan sejarah yang akurat tentang prajuritnya dari kesatuan Kopassus yang memberondong dengan timah panas hingga tewas empat tahanan di penjara sipil Cebongan, Jogyakarta, pada 23 Maret 2013. Moeldoko juga tahu persis bahwa prajuritnya sering terlibat aksi baku tembak antar angkatan, terutama dengan pihak kepolisian di berbagai daerah. Aksi baku tembak ini tidak terjadi di medan tempur, melainkan lebih sering terjadi di wilayah damai yang sarat pemukiman penduduk sipil. Aksi-aksi seperti yang dilakukan anak buah Moeldoko ini umumnya hanya bisa kita lihat di film-film bertema mafia, seperti film klasik The Godfather atau serial televisi Inggris yang lagi populer saat ini, Peaky Blinders.
Dengan demikian menyebut Jopi sebagai preman, hanyalah cara Moeldoko untuk menutupi kebobrokan moral dan disiplin maha dahsyat yang sedang melanda para prajuritnya. Sehingga alih-alih melakukan perubahan dan perbaikan mendasar di tubuh TNI, Jenderal Moeldoko lebih suka melemparkan kalimat omong-kosong. Apalagi ia tahu persis bahwa dirinya dan institusinya itu tak bisa dijangkau oleh hukum acara pidana umum. Mereka memiliki hukum dan aparatus hukum sendiri. Tidak ada yang perlu mereka takuti, apalagi hanya rakyat sipil tak bersenjata. Mereka adalah negara dalam Negara.
Persis di titik inilah masalah utama di tubuh TNI. Ideologi yang mereka bangun dalam dirinya adalah ‘rakyat sipil itu adalah bahaya laten’. Bagi mereka, rakyat sipil itu setiap saat bisa menjadi gerombolan pengacau keamanan, pengganggu ketertiban umum, dan pemberontak negara. Hanya TNI lah yang paling setia pada ideologi negara. Hanya TNI lah yang tidak memiliki kepentingan sempit tertentu, kecuali kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan. Hanya TNI lah satu-satunya yang konsisten menjaga keutuhan dan keselamatan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Ideologi bahaya laten rakyat inilah yang terus-menerus dipompakan ke kesadaran para prajurit, mulai dari tingkat tamtama hingga perwira.
Kesadaran palsu semacam ini kemudian diperkuat dengan pembentukan disiplin kasar dan buta pada atasan. Prajurit-prajurit itu dilatih kekuatan fisik yang luar biasa keras. Sedikit pelanggaran disiplin mendapat hukuman fisik berlipat. Para prajurit itu tidak dilatih bagaimana menghormati hak asasi manusia dan bagaimana melayani kepentingan rakyat karena hal itu bertentangan dengan ideologinya, bahwa rakyat adalah bahaya laten, yang keberadaannya harus diwaspadai setiap saat.
Tetapi karena disiplin yang tumbuh adalah kepatuhan buta pada atasan, maka ideologi keamanan nasional itu menjelma pada perintah dan komando atasan. Kata atasan bunuh, ya mereka bunuh. Atasan adalah hukum dan Negara sekaligus. Sehingga tidak menjadi jelas, apakah kesetiaannya yang terutama adalah pada ideologi negara atau pada perintah atasan.
Kesetiaan dan kepatuhan buta pada atasan ini juga membuat kesenjangan sosial ekonomi yang begitu lebar antara para jenderal dengan prajuritnya tidak memunculkan konflik terbuka. Kita tahu bagaimana megah dan mewahnya kehidupan para jenderal itu. Mereka memiliki akses ekonomi dan politik yang luar biasa besar. Sebagai jenderal, mereka bisa menjadi begitu kaya raya dan sekaligus bisa menduduki jabatan politik tertinggi dan terpenting. Sementara para prajuritnya tinggal di barak-barak yang kumuh, hidup pas-pasan, yang untuk meningkatkan taraf hidup keluarganya terpaksa (atau dibiarkan) menjadi centeng, tukang palak, atau pelindung aktivitas perdagangan gelap di daerah-daerah perbatasan.
Kondisi sosial ekonomi yang parah tetapi secara psikologis merasa paling patriot dan paling ksatria membuat para prajurit rendahan ini, dalam istilah sosiolog George Junus Aditjondro, memiliki dendam kelas terhadap rakyat sipil tak bersenjata. Dendam kelas ini lantas mengejawantah dalam bentuk tindak kekerasan terhadap warga sipil: entah itu ketika menghadapi demonstrasi rakyat yang menuntut hak-haknya atau seperti kasus Jopi yang bersifat individual.
Inilah akar penyebab membiak dan mewabahnya premanisme di kalangan prajurit TNI. Pengakuan Jenderal Moeldoko bahwa prajuritnya adalah preman, mestinya ditindaklanjuti dengan sebuah kebijakan strategis dari pemerintah untuk mereformasi TNI secara total. Ibarat mobil, TNI harus turun mesin untuk memperbaiki kerusakannya yang begitu parah.Tentu ini bukan perkara mudah. Tetapi hal paling sederhana adalah berhentilah para jenderal itu membuat pernyataan-pernyataan layaknya bos preman. Seperti, mengatakan bahwa Jopi adalah preman.***