Marx, Matematika, dan Pintu Ijtihad

Print Friendly, PDF & Email

“Karena kita secara instan mendapatkan: f(x + x) = (x + x)4 = x4 + 4x3x + 6x2x + 4xx3 + x4, jadi, ketika kita tulis: x4 + 4x3x + 6x2 + 4xx3 + x4 – x4, di ujung, kita coret lagi fungsi awal x4, yang ialah permulaan dari deretnya”[1].

“Konsekuensinya, apa yang berlaku, misalnya, di dalam (x + h)3 + a(x + h)2 – x3 – ax2, mencakup pencabutan terma-terma pertama x3 dan ax2 dari binomial (x + h)3 + a(x + h)2…”[2].

SUMBANGAN Karl Marx bagi filsafat dan ilmu sosial jamak diketahui. Apalagi dalam kritik ekonomi-politik dan sosialisme. Entah pernah membacanya atau sekadar dengar kabar selentingan, kebanyakan orang sekolahan tahu Marx menulis Das Kapital. Para pelajar filsafat mungkin juga pernah membaca, atau setidaknya mendengar dosen menyebut-nyebut, Naskah-Naskah Paris 1844 atau Ideologi Jerman. Para Marxis juga bisa cepat menebak bahwa kutipan ‘Yang padat memuai ke udara, yang sakral diprofankan’ atau ‘Para pekerja tak akan kehilangan apapun selain belenggu-belenggu mereka’ berasal dari Manifesto Komunis. Tapi pasti tak banyak yang menyangka bahwa Marx adalah penulis dua kalimat kutipan di atas.

Lho, kalimat kering tanpa sastra itu kan notasi matematika? Apa benar kalimat ini ditulis Marx? Jangan-jangan cuma gosip. Memangnya Marx punya tulisan perihal kalkulus diferensial? Kalau benar, buat apa dia menulis? Apa tak ada persoalan yang jauh lebih penting daripada itu?

Tak banyak orang tahu Marx menulis matematika. Apalagi di Indonesia. Kalau pun pernah mendengar desas-desusnya, pasti ada yang bertanya apa urusannya mengkaji kalkulus diferensial dengan politik sosialisme, atau setidaknya dengan kritik kapitalisme. Sampai saat ini belum pernah ada seorang sarjana di sini mengulas apa yang dikenal Naskah-Naskah Matematika. Naskah-naskah matematikanya Marx? Ya. Sekumpulan naskah tulisan tangan Marx tentang aneka rupa matematika dari fungsi turunan, konsep diferensial, sejarah metode kalkulus, tentang teorema Taylor dan Maclaurin, perihal limit dan nilai-pelimit, dan sebagainya. Naskah-naskah ini ditulis antara 1858 hingga menjelang wafatnya 1883. Setengahnya, termasuk dua tulisan orisinil Marx, berkenaan dengan kalkulus diferensial. Selebihnya terutama catatan-catatan atas dan kutipan-kutipan dari sumber-sumber bacaan Marx dari aljabar elementer, trigonometri, geometri analitik, serta teori permutasi dan kombinasi. Marx juga membuat catatan-catatan soal deret tak hingga, teori persamaan binomialnya Newton, dan cabang-cabang lain aljabar tingkat tinggi. Marx tak cuma akrab dengan selusinan buku-buku ajar universitas tentang kalkulus, tetapi juga risalah-risalah metode kalkulus oleh Isaac Newton, Leonard Euler, C. McLaurin, dan J.L. Lagrange. Kelihatan pula Marx membaca karya-karya matematikanya Leibnitz, Taylor, dan Poisson.

Setidaknya dari dua risalah orisinilnya, Marx sedang menjelaskan—buat dirinya sendiri—persoalan infinitesimal atau bilangan yang sangat kecil sekali. Apa sih itu? Ambil contoh fungsi f(x) = 1/x. Untuk nilai x yang amat besar, maka nilai 1/x sangat kecil hingga mendekati nol. Selisih 1/x dengan nol atau 1/x – 0 untuk x sangat besar adalah bilangan sangat kecil atau infinitesimal. Dalam matematika, notasi yang melambangkannya ialah (epsilon, abjad Yunani). Nah, soal si ini, Marx menjelaskannya sebagai selisih perubahan nilai peubah, misalnya dari x ke x1 atau y ke y1. Selisih ini, dalam kalkulus diferensial atau turunan, dianggap sangat kecil. Para pelopor kalkulus diferensial seperti Newton dan Leibnitz menganggap turunan (atau diferensial) fungsi sebagai rasio dua infinitesimal atau (y1 – y)/(x1 – x). Ini yang dikritik dan coba dicari landasan matematisnya oleh Marx.

Dalam esai belum rampung tentang sejarah metode kalkulus diferensial, Marx menjelaskan bahwa pengertian diferensial atau turunan telah mengalami evolusi konsep dalam tiga tahap, yakni tahap mistis (Newton-Leibnitz), tahap rasional (D’Alambert), dan tahap aljabariah (Lagrange).[3] Menurut seorang kawan matematikawan, Marx melampaui ketiga tahap ini dan menemukan tahap keempat yakni tahap operasional (yang sekarang sudah jamak tapi abad kesembilan belas boro-boro). Jadi, kata kawan ini, Martin agak terburu-buru ketika dalam kolom logika bertajuk Marxisme dan Matematika bilang “Engels agak berlebihan ketika ia menyatakan di upacara penguburan Marx bahwa si Moor ‘mencapai temuan baru di berbagai bidang yang dipelajarinya, termasuk matematika’. Marx mungkin seorang polymath, tetapi sepertinya tidak dalam hal matematika”. [4]

Memang, karena pengaruh inovasi-inovasi matematika di Eropa Daratan terhadap kajian-kajian Marx amat terbatas, beberapa catatannya kelihatan kuno, bahkan primitif buat pembaca modern. Itulah mengapa ada komentar bahwa sumbangan Marx betul-betul amat kecil dan bisa diabaikan terhadap debat soal landasan kalkulus. Tulisan-tulisanya hadir begitu terlambat. Kenapa? Karena masalah kunci sudah dibereskan sebelum tulisannya dikerjakan. Sudah sejak dasawarsa 1820an Augustin-Louis Cauchy membereskan masalah landasan kalkulus ini dan Karl Weierstrass sudah mengetatkan landasan logis kalkulus ketika Marx baru belajar kalkulus. Sial memang Marx tidak membaca karya-karya kedua tokoh kalkulus modern ini. Tapi itu karena ketidaksengajaan historis. Kebanyakan Marx belajar matematika di berbagai perpustakaan kampus di Inggris. Padahal, orang-orang kampus di Inggris kala itu pengikut Newton. Nasionalisme mereka membikin angkuh dan karena itu biasanya menyepelekan apa-apa saja yang datangnya dari Eropa Daratan (maksudnya Perancis dan Jerman), termasuk inovasi metode kedua tokoh yang memodernkan kalkulus. Sialnya lagi, satu-satunya sohib yang pernah kuliah matematika dan menjadi tempat curhat matematis, Samuel Moore, si penerjemah Das Kapital, juga ketinggalan zaman ilmu matematikanya. Tapi, karena Marx tak membaca Cauchy (Perancis) dan Weierstrass (Jerman), dan fakta bahwa Marx bukan matematikawan, bukankah pengertiannya atas infinitesimal sebagai lambang operasional sebagaimana dikembangkan Cauchy menunjukkan kecanggihan pemikirannya? Dari apa yang ditulisnya, kelihatan Marx punya pemahaman aljabar yang kokoh. Memang dalam paparannya Marx membuat beberapa kekeliruan asumsi. Tapi bukankah kekeliruan itu juga dibuat oleh para matematikawan yang karya-karyanya dikaji Marx?

Baiklah, memang betul Marx pernah menulis matematika. Tapi, lalu apa kaitan semua itu dengan pemikiran Marx secara keseluruhan? Bukankah penalaran matematis itu didasarkan logika formal, logika yang mendepak kontradiksi dan pergerakan kontradiktif dari perbendaharaan katanya sebagaimana itu berlaku dalam logika dialektis yang konon inti pemikiran Marx? Marx memang bilang kalau matematika bisa dipakai menghitung pergerakan: “metode aljabariah… [ialah] kebalikan dari metode diferensial” karena yang pertama ialah analisis kuantitas-kuantitas statis sedangkan yang kedua analisis kuantitas-kuantitas dinamis.[5] Meski begitu, bukankah perbedaan kedua metode beralaskan logika yang sama, logika kuantitatif yang tak dapat membaca hal-ihwal kualitatif kontradiktoris seperti struktur dan tendensi, misalnya? Dan kalau sudah begitu, kalau matematika cuma berfaedah dalam soal kuantitatif, apakah pemanfaatannya ke dalam Marxisme tidak menyalahi ajaran ekonomi-politiknya Marx secara khusus dan dialektika materialis secara umum? Jangan-jangan ini akan menjerumuskan kita ke dalam lubang yang sama dengan para bajingan ekonom neoklasik/marjinalis yang pandai mengutak-atik model matematis tapi buta pada realitas ekonominya sendiri?

Pada 22 Nopember 1882, kurang dari empat bulan sebelum Marx wafat, Engels kirim surat ke Marx melaporkan diskusinya dengan satu-satunya teman mereka yang kuliah matematika, si Samuel Moore. Di surat itu diceritakan Moore mengkritik metode aljabar analitik dan lebih condong pada penjelasan geometris. Marx membalas surat Engels itu. Salah satu isinya tentang janji Marx mengirimkan tulisannya tentang sejarah metode kalkulus diferensial. Di akhir surat, Marx yang sedang sakit, menulis: “mentari sedang bersinar cerah, saatnya tiba buat jalan-jalan, tak ada waktu sekarang buat matematika, tapi aku bakal balik lagi nanti pada metode-metode diferensial sekali-kali secara rinci”[6].

Memang hari itu matahari cerah. Tapi tidak dengan kesehatannya Marx. Istrinya sudah dimakamkan setahun sebelumnya. Gerakan kelas pekerja yang didambanya menjadi motor revolusi tak kunjung maju, malah jalan di tempat. Krisis-krisis tak kunjung pula meruntuhkan kapitalisme, sang monster. Dirundung sakit dan punah harapan, membikin sekadar jalan-jalan tak cukup membuat Marx bugar kembali. Pada 5 Maret 1883 dia wafat. Meninggalkan janji-janji yang, meski tak palsu, tak bisa dipenuhinya semua. Jadi, kira-kira apa jawaban Marx atas pertanyaan-pertanyaan di atas?

Tak seperti opini banyak orang, baik penghujat ataupun pemujanya, Marxisme bukanlah sesuatu yang sudah rampung. Tafsir atas Marx tidak selesai pada Vladimir Lenin, Rosa Luxemburg, Eduard Bernstein, dan Karl Kautsky. Keempatnya bukanlah imam-imam mazhab yang telah hafidz semua tulisan Marx. Di masa hidup mereka Naskah-Naskah Paris 1844, Ideologi Jerman, dan Grundrisse belum ‘ditemukan’. Ketiganya baru diterbitkan setelah mereka semua wafat. Jangankan membacanya, tahu saja mungkin tidak. Ini baru untuk teks-teks yang sekarang sudah dianggap jamak. Bagaimana dengan naskah-naskah tulisan tangan Marx lainnya? Selain petugas arsip Lembaga Internasional Sejarah Sosial (IISH) Belanda, naskah-naskah tulisan tangan Marx tentang pertanian, kimia, sejarah teknologi, geologi, biologi, dan fisiologi tak pernah dibaca orang. Risalah tentang sejarah Britania, Irlandia, dan Jerman, naskah tentang sejarah filsafat dan militer juga belum semuanya diterbitkan. Catatan-Catatan Etnologis yang ditulis bersamaan dengan masa belajar kalkulusnya baru diterbitkan buat khalayak pada 1972. Tapi, buku suntingan antropolog Lawrence Krader setebal 450 halaman itu ternyata cuma sepertiga dari keseluruhan Catatan-Catatan Etnologis-nya Marx. Naskah-Naskah Matematikanya Marx baru terdengar keberadaannya setelah terbit di Moskow 1968. Terjemahan Inggris lengkap dari Edisi 1968 ini baru terbit pada 1994. Memang terjemahan Inggris pernah terbit pada 1983. Tapi itu cuma mencakup Bagian I dari Edisi 1968 yang kalau dijumlah tak lebih dari 1/3-nya saja. Dan ternyata, dari penyelidikan terbaru Edisi Moskow 1968 masih belum mencakup semua naskah matematikanya Marx. Konon ada sekitar 400 lembar naskah folio yang masih sebagai arsip di Lembaga Internasional Sejarah Sosial (IISH), Belanda. Belum lagi naskah catatan, komentar, dan kutipan-kutipan Marx atas teori probabilistik dan statistika. Ditambah dengan bagian-bagian ‘kalkulasi matematis’ yang rencananya dimasukkan ke dalam Jilid 2 dan 3 Das Kapital tapi ternyata tak dimasukkan oleh Engels ke dalam terbitan Jilid 2 dan 3, keseluruhan tulisan Marx terkait matematika masih tersembunyi dari pandangan banyak orang. Jadi, apa kira-kira jawaban Marx soal kaitan matematika dan kritik kapitalisme atau analisis materialisme historis; soal apakah ilmu sosial matematis bertentangan dengan pemikiran ekonomi-politiknya? Entahlah[7].

Meski demikian, hikmah kebijaksanaan yang bisa dipetik ialah bahwa Marx belum selesai. Dia bukan patung yang isi dan seginya sudah ada di depan mata, siap ditelisik hingga pori-pori. Apa yang selama ini kita kira patung pejal, ternyata cuma kerangka, purwarupa, atau sekadar sketsa. Sungguh suatu kepongahan tiada tara keliling pasar sambil gembar-gembor mendaku ‘inilah Marxisme yang benar sampai kiamat’ sambil menghujat atau memujanya. Dari cerita di atas, jangankan membikin tafsir kaffah, hadits-haditsnya saja belum semua ditemukan. Oleh karena itu, pintu ijtihad harus terus dibuka. Toleransi (bukan relativisme) meski dikembangkan. Dalam konteks ini sudah tepatlah proyek Martin untuk ‘menemukan kembali Marxisme kita’ sebagai upaya mengisi kerangka Marxisme.***

Jatinangor, 15 Juni 2015.

 

———

[1] K. Marx. 1994. Mathematical Manuscripts. Calcutta: Viswakos Parisad, h. 85.

[2] Marx. 1994: 105.

[3] Marx. 1994: 67-106.

[4] https://indoprogress.com/2013/03/marxisme-dan-matematika/

[5] Marx. 1994: 289.

[6] K. Marx. 1995. ‘Marx to Engels, 22 Nopember 1882’, Karl Marx and Frederick Engels Collected Works, Vol. 46. London: Lawrence & Wishart, h. 380-381.

[7] Untuk salah satu upaya menjawabnya, lihat G. Carchedi. 2008. ‘Dialectics and temporality in Marx’s mathematical manuscripts’, Science & Society, 72 (4): 415-426. Soal sukses atau tidak, bukan masalah. Yang penting usaha.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.