BENARLAH apabila ada yang bilang hidup kita sebagai individu begitu terbatas; begitu fana. Kita terbatas dalam umur. Kita tak mungkin hidup sembilan ratus tahun seperti halnya Nabi Nuh. Kita juga tak punya banyak pilihan. Kita dilahirkan di keluarga yang bagian dari masyarakat dengan struktur dan kebudayaan tertentu tanpa sempat memilih. Seringkali begitu juga kejadiannya ketika memasuki dunia pendidikan. Mungkin ada satu-dua orang bisa memilih jurusan di universitas sesuai pilihannya sendiri sebagai mahluk berakal berbudi. Tapi, kebanyakan sekadar kuliah di jurusan tertentu karena kebanyakan teman seusia kuliah di situ juga. Lalu, setelah lulus, dapat keterampilan, pengetahuan, dan ijazah, kita mesti cari nafkah sebagaimana orang lainnya. Di titik ini pun tak banyak pilihannya: atau kita membikin usaha dan duduk di pihak yang mengupah orang, atau kita bekerja pada orang lain demi upah—tentu dengan asumsi dikesampingkannya profesi padri, rahib-pertapa, atau tukang palak dalam pilihan ini. Setelah itu tentu kita juga bisa memilih (atau terpaksa memilih) entah untuk menjomblo atau berkawin dan membentuk keluarga, punya keturunan atau tidak, untuk menyekolahkan anak atau tidak, untuk mengawinkan anak atau tidak, mengundang mantan atau tidak, dan seterusnya-seterusnya.
Dalam tulisan ini saya tidak akan mengulas bahan-bahan renungan eksistensialis di atas. Di sini saya hanya akan bercerita soal perbedaan dan persamaan manusia dan sepupu primata terdekatnya, simpanse. Dari cerita ini mudah-mudahan ada hikmah yang bisa kita petik, entah untuk berilmu, berorganisasi, ataupun berlawan.
Para ahli genetika menegaskan bahwa manusia (Homo sapiens) dan simpanse (Pan troglodytes) punya nenek moyang bersama yang hidup sekitar 8-6 juta tahun silam. Artinya, percabangan yang menghantar ke evolusi manusia pada satu sisi dan ke evolusi simpanse pada sisi lain, terjadi sekitar waktu itu. Dari sini bolehlah dikatakan manusia dan simpanse kerabat dekat. Setidaknya secara biologis. Artinya, manusia berbagi kualitas biologis tertentu dengan simpanse. Di dalam kepustakaan kontemporer, kita diberi tahu bahwa simpanse itu termasuk binatang cerdas. Tak sedikit dari kualitas manusia punya bentuk proto-nya pada mereka. Penggunaan perkakas secara cermat, misalnya, ditemukan juga dipraktikkan simpanse. Mereka memilih batu tertentu untuk menumbuk biji keras, mematahkan ranting tertentu untuk memancing rayat, meremas dedaunan tertentu untuk dijadikan spons pengumpul air, dan sebagainya. Dalam kehidupan sosialnya, simpanse juga menunjukkan ada pengelompokan dengan taktik dan siasat politik yang mirip politik manusia modern. Mereka juga menciptakan tanda-tanda bebunyian (sejumlah 14 fonem vokal) tertentu sebagai sarana komunikasi. Bedanya dengan manusia, mereka kesulitan menciptakan fonem konsonan. Itulah mengapa kita hanya bisa mendengar aa..uu..ee.. dari mulut mereka.
Di antara serba kesamaan, menurut para ahli neurologi, salah satu perbedaan kunci yang membedakan manusia dan simpanse ialah bahwa kapasitas otak manusia berevolusi sedemikian rupa sehingga memungkinkan munculnya kesadaran dan pikiran reflektif. Simpanse juga sadar-diri dan bisa berpikir. Boleh dikata selain manusia simpanselah binatang yang terbukti punya kesadaran-diri. Simpanse bisa menyadari kaki-nya terluka, bisa juga mengukur jarak dirinya dan monyet buruannya di atas pohon lalu menyusun siasat dengan kawan-kawan di serikat simpanse berdikarinya melalui gestur. Simpanse juga bisa menimbang-nimbang, mengukur, dan memutuskan batu macam mana yang cocok buat menumbuk biji, menilai buah mana yang sudah masak, dan sebagainya. Tapi kesadaran dan pikiran simpanse itu episodik. Maksudnya, simpanse hanya sanggup menyadari dan berpikir atas sesuatu yang langsung ada di lingkungan sekitaran seketika itu saja. Kesadaran mereka sama dengan kesan-kesan indraannya. Mereka berpikir akan sesuatu yang secara kasat mata di hadapannya saja. Artinya, buat simpanse, realitas ialah serangkaian episode terputus di dalam suatu kesekarangan abadi. Tak ada masa lalu, tak ada masa depan. Bahkan tak ada struktur tetap realitas di balik tampakan-tampakan yang berubah-ubah. Tak ada substansi. Dalam istilahnya Martin, pikiran simpanse itu, pertama-tama, hanya bisa menjangkau ‘ranah empiris dan aktual’ hal-ihwal dan peristiwa. Kedua, karena kesadaran dan pikirannya tak bisa dilepaskan dari apa yang terindra saat itu juga, dan itu artinya subjektif, wajarlah bila dibilang simpanse-simpanse itu materialis yang naif. Paling jauh mereka hanya bisa sampai ke idealisme subjektif yang memahami realitas sebagai hasil konstitusi subjektif tertentu.
Manusia, pada sisi lain, memiliki kapasitas kognitif yang melampaui kapasitas simpanse karena kesadarannya reflektif, tak sekadar episodik. Seorang manusia bisa memikirkan apa-apa yang tak langsung tertangkap pancaindranya. Manusia bisa keluar dari kungkungan ‘kesekarangan abadi’. Seperti pernah saya contohkan di tempat lain, ambilah contoh seekor simpanse dan seorang manusia yang sedang berjalan di jalan hutan yang sama. Ketika seekor simpanse berjalan di suatu bagian hutan, dia bisa berpikir cerdik tentang pohon kecapi, mengerti peristiwa buah jatuh, menerka gerakan monyet buruan di atas pohon, dan serba-serbi yang ada di bagian hutan itu. Ketika seorang manusia berjalan di bagian hutan yang sama—hutan dengan pohon kecapi, buah jatuh, dan monyet bertengger di pohon—bisa saja pikirannya melayang ke tenggat pembayaran cicilan kredit rumah bulan depan, agenda rapat persiapan perayaan hari buruh kemarin, cita-cita masa kecil yang tak kesampaian, status lajang yang entah berujung kapan, dan serba-serbi yang tak ada hubungannya dengan lingkungan yang langsung dihadapinya saat itu. Mungkin karena itulah manusia satu-satunya binatang yang bisa melongo, kosong tatapannya, atau schizofrenik.
Dengan kapasitas kognitif reflektif inilah manusia bisa membayangkan masa lalu dan merencanakan ‘masa depan’ yang jauh. Dalam istilahnya Martin, manusia bisa menjangkau ranah mekanisme dan struktur realitas, membikin perampatan dari atom-atom hal-ihwal dan peristiwa langsung, dan menstratifikasi kenyataan. Selain itu, kesadaran manusia pun tak hanya sampai ke kesadaran-diri. Kesadaran manusia juga mencakup apa yang disebut ‘kesadaran-sosial’, kesadaran akan tautan struktural atau relasional antar orang dan hal-ihwal di dalam suatu kehidupan kolektif melampaui kesadaran akan adanya interaksi-interaksi. Pada manusialah chaos dikosmoskan, yang tak beraturan ditatankan.
Kapasitas kognitif manusia ini yang memungkinkan kita berpikir reflektif dan dengan demikian berilmu dan menciptakan kebudayaan. Meski demikian, ternyata dalam berilmu banyak orang yang masih dalam taraf kesadaran episodik simpanse. Misalnya, buat kebanyakan ilmuwan (dan dosen-dosen kita di kampus) realitas itu tak lebih dari apa-apa yang tercerap pancaindra dan menjadi pengalaman individu. Realitas itu individual, subjektif, dan langsung. Realitas hanya itu tersusun atas hal-ihwal dan peristiwa-peristiwa. Tak ada realitas di balik atau melampaui apa yang ditangkap pancaindra. Tak ada realitas yang tak kasat mata. Kalau pun ada, itu tak lebih dari perampatan dari agregat tampakan atau konstruksi akalbudi yang tak punya realitas sendiri selain ciptaan kita. Dalam istilahnya Martin, banyak yang masih teguh memeluk ‘kekeliruan epistemik’, yakni “ilusi bahwa proposisi tentang apa yang ada (ontologi) dapat direduksi ke dalam proposisi tentang pengetahuan kita mengenai apa yang ada (epistemologi)”[1]. Paling jauh, kita diajarkan dosen-dosen bahwa adanya manusia bersifat silih-menentukan terhadap realitas sehingga “substansi tidak ada karena kita hanya melihat kualitas-kualitas yang silih berganti”. Tak ada keberadaan objektif dan karena itu tak ada kebenaran objektif. Semua bisa serba benar. Karena realitas itu subjektif, maka satu-satunya yang mesti objektif ialah cara dan sarana kita mengetahuinya. Kebenaran ilmiah ialah kebenaran yang bisa diukur secara objektif dengan alat yang tak bisa menampung kesan subjektif peneliti. Dan apa alat itu: angka dan persamaan. Ditambah dengan sepikul pragmatisme, maka kebenaran ilmiah diukur dari seberapa mampu ia berguna bagi manusia. Selain itu, karena semua orang berindra, dan realitas itu langsung menampak kepada setiap orang, maka prinsipnya setiap orang bisa mengaksesnya. Tapi karena cara dan sarana mencapai pengetahuan itu tertentu (dalam kerumitan, prasyarat kapasitas logis, dan tentu ongkos mendapatkan pendidikannya), maka tidak setiap orang bisa mengaksesnya.
Dengan cara pandang berilmu seperti ini ‘eksploitasi’ bisa diartikan dua. Pertama, realitas ekspoitasi itu ada sejauh ada satu pihak yang kasat mata mengambil apa yang jadi milik pihak lain. Ketika kita melihat dengan mata kepala sendiri korporasi mengambil alih penguasaan lahan tanpa ganti rugi kepada para penggarap, maka itu adalah eksploitasi. Ketika kita pergoki tukang palak merampas uang tukang baso, maka itu eksploitasi. Ketika kita alami gaji buruh dipotong untuk memenuhi kewajiban perusahaan membayar iuran jaminan sosial, itulah eksploitasi. Artinya, eksploitasi dimengerti sebagai peristiwa empiris yang keberadaannya mensyaratkan kekasatmataan.
Kedua, eksploitasi itu riil sejauh pihak yang dieksploitasi merasa mengalami eksploitasi. Karena saya kerja di kantor ber-AC delapan jam sehari, diberi tunjangan macam-macam, sering diajak dinner oleh bos, dapat bonus tahunan ke Singapura, dan sebagainya, maka tak ada eksploitasi di sini. Karena saya sendiri yang menenteng map merang berisi CV, ijazah, surat lamaran secara sukarela maka kontrak kerja antara saya dan perusahaan bukanlah eksploitasi. Pada pengertian kedua ini, eksploitasi tidak punya status ontologis selain sebagai konstruksi pikiran, perasaan, makna orang atas suatu peristiwa.
Kedua-dua pengertian ini sama-sama bertumpu pada cara pandang simpanse atas realitas. Pertama-tama, keduanya mengandaikan realitas sebagai sekumpulan kesan-kesan subjektif atas hal-ihwal dan peristiwa kasat mata dalam potongan-potongan episode ‘kesekarangan abadi’. Di luar apa yang tertangkap indra dan dialami subjek, tak ada apa-apa. Dengan ilmu ini mudahlah orang mengutuk demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah yang memacetkan jalan hanya karena ‘sekarang’ kita nyaman kerjanya, makmur rumahtangganya, banyak tabungannya. Ketika kondisi ekonomi membikin kita ‘sekarang’ tidak nyaman kerjanya, fakir rumahtangganya, bangkrut tabungannya, barulah kita mengalami eksploitasi dan sukarela turut serta dalam demonstrasi. Karena terperangkap dalam ‘kesekarangan abadi’ ala simpanse, kita yang sedang enak-enaknya hidup juga niscaya percaya bahwa delapan jam kerja itu yang kita nikmati sekarang ialah hasil ‘sekarang’ dari kemampuan kita dan karunia majikan ‘sekarang’, bukannya hasil perjuangan berdarah-darah para buruh di ‘masa lalu’.
Persoalannya tambah pelik ketika dalam konteks kesadaran akan ‘kesekarangan abadi’ simpanse ini kita disuguhi tayangan-tayangan iklan layanan masyarakat dari korporasi dan kuliah-kuliah dosen yang mengabarkan bahwa korporasi datang ke sini bukan untuk mengakumulasi modal dan kemakmuran bagi akumulasi itu sendiri tapi demi kemaslahatan kita semua. Tak ada realitas apapun di balik tayangan itu. Itulah realitasnya. Apalagi ketika kita mengalami kebenaran tayangan bahwa keberadaan korporasi ‘bagi saya sekarang’ memang memaslahatkan. Titik.
Ibarat teri dalam gerombolan teri di samudra luas yang tak menyadari keberadaan samudra, begitulah kiranya banyak orang tak menyadari samudra kapitalisme dengan struktur dan relasi-relasi eksploitatif tak kasat matanya. Yang kita tahu sekadar kehidupan sehari-hari kita sekarang yang (kebetulan sedang terasa) lumrah, rutin, dan wajar. Hidup kita singkat. Tak perlulah kiranya pusingkan diri menelisik rupa apa yang ada di balik kehidupan sehari-hari kita. Ditambah dengan seporsi pragmatisme dari doktor-doktor simpanse, makin teguhlah gambaran dunia yang lumrah, rutin, dan wajar itu.
Mas, bukankah yang diajarkan di kampus memang begitu caranya berilmu, cara empisis/positivis/pragmatis? Kalau sudah begini, waktu kita mempelajari ilmu sebetulnya kita sedang dikelabui atau setidaknya tidak dikabarkan apa yang sedang betul-betul terjadi? Lalu apa faedahnya kita belajar ilmu-ilmu kampus-kampus itu? Dik, ilmu juga lembaga sosial. Kata Martin, salah satu syarat ilmu ialah bahwa ilmu itu ada sejauh sebagai hasil sejarah perdebatan dalam masyarakat. Ini namanya segi transitif ilmu. Selain itu dosen juga tak pernah terlahir sebagai dosen. Mereka lahir di dalam suatu masyarakat dengan struktur, relasi, dan kategori-kategori sosial tertentu (dengan kepentingan-kepentingan terpaut kategori ini) yang telah ada sebelum mereka sendiri lahir. Menuntut ilmu di lembaga-lembaga pendidikan dengan cara pandang atas ilmu yang masih di tingkatan kesadaran episodik macam yang adik alami memang bukan tindakan heroik-revolusioner. Namun, Lenin pernah berpesan:
“Jauh lebih sulit—dan jauh lebih berharga—ialah menjadi revolusioner ketika keadaan untuk perjuangan yang sungguh-sungguh massal dan revolusioner, langsung dan terbuka, belumlah hadir; untuk sanggup mengusung kepentingan-kepentingan revolusioner (lewat propaganda, agitasi, dan organisasi) di dalam badan-badan yang tidak-revolusioner dalam situasi yang tidak-revolusioner, di antara massa yang tak sanggup secara langsung mengapresiasi kebutuhan akan metode-metode aksi revolusioner”[2]
Selamat Hari Buruh Internasional.***
Jatinangor, 4 Mei 2015
———–
[1] M. Suryajaya, 2013. Asal-Usul Kekayaan. Yogyakarta: Resist Book, h. 212.
[2] V.I. Lenin, 2008. “Left-Wing Communism, an infantile disorder”, dalam Revolution, Democracy, Socialism: selected writings, suntingan P. Le Blanc. London: Pluto Press, h. 315,