Petani dan Problem Pembangunan di ASEAN

Print Friendly, PDF & Email

APA artinya menjadi petani di tengah integrasi kawasan dengan hadirnya Masyarakat Ekonomi ASEAN?

Kita menghadapi potret yang sayangnya, agak buram. Di Indonesia, kondisi petani hampir dapat dikatakan ironis jika dibandingkan dengan slogan-slogan pembangunan yang menjadikan petani sebagai dasar landas berangkatnya. Bagi para petani lahan pantai di Kulon Progo, ‘bertani’ artinya hidup atau mati. Bertani di Temon mengharuskan mereka berhadapan dengan proyek besar ‘pembangunan bandara’ yang, tentu saja, disponsori oleh negara. Bertani di Pegunungan Kendeng mendesak petani untuk harus berhadapan dengan perusahaan semen negara yang siap dengan alat berat dan petugas-petugas mereka yang garang. Bertani di Urut Sewu, Kebumen, sinonim dengan kehilangan tanah untuk dijadikan lahan latihan bagi militer. Bertani di Papua tentu saja dapat diartikan perampasan lahan untuk penanaman sawit dan mega proyek MP3EI.

Potret ini menggambarkan satu hal: petani hidup tidak dalam kondisi yang nyaman.

Hal ini paradoks dengan banyak paparan, baik akademisi maupun elit pemerintah, yang melihat bahwa Indonesia harus menghadapi musuh dari luar berupa produk pertanian dari beberapa negara ASEAN lain. Paparan-paparan semacam itu melupakan satu hal penting: mungkinkah kita menghadapi beras Thailand dan Vietnam ketika para petani di negeri ini justru semakin kehilangan akses mereka terhadap tanah?

Tesis yang sering diulang-ulang adalah: Indonesia adalah ‘negara agraris’.

Hari ini, makanan pokok mayoritas bangsa Indonesia adalah nasi. Dari kota hingga ke pelosok desa, semua orang menggantungkan ketahanan pangan dapurnya pada karung-karung beras. Akan tetapi, banyak di antara orang Indonesia –terutama kelas menengah dan orang-orang kaya— lupa bahwa sebulir beras adalah hasil dari kerja keras seorang petani di Kulon Progo dan Rembang juga di banyak tempat lain. Tak banyak pula yang ingat kalau cabai yang selama ini dimakan sebagai penyedap rasa makanan kita adalah hasil kerja keras para petani yang menanam di pesisir selatan laut Jawa.

Kondisi petani Indonesia saat ini, di berbagai daerah, cukup memprihatinkan. Data BPS tahun 2013 menyebutkan bahwa ada penurunan jumlah rumah tangga petani dari besaran 31,17 juta jiwa pada tahun 2003 menjadi 26,04 juta jiwa pada tahun 2013 (BPS, 2013). Namun, sebaliknya, ada peningkatan jumlah perusahaan pertanian dari 4086 perusahaan menjadi 5011 perusahaan di tahun 2013 (SPI, 2013).

Sementara itu, jumlah lahan produktif di Indonesia juga menurun tiap tahunnya. Jumlah lahan saat ini sekitar 13 juta hektar. Menurut keterangan Menteri Pertanian (2013), ada 100 ribu alih fungsi lahan yang terjadi setiap tahunnya, menyebabkan lahan pertanian juga ikut mengikis. Alih-fungsi itu salah satu picu yang menyebabkan beberapa kelompok petani di melakukan perlawanan.

Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan bahwa di tahun 2011, ada 106 kasus Konflik Agraria. Tahun 2012 jumlahnya meningkat drastis menjadi 163 kasus. Sementara itu, di tahun 2013 ada 198 kasus yang tercatat oleh KPA. Dari jumlah tersebut, 156 orang petani telah ditahan, 55 orang mengalami luka-luka dan penganiayaan, 25 petani tertembak, dan tercatat  3 orang tewas dalam konflik agraria.  (KPA, 2012).

Berdasarkan data ELSAM, sepanjang tahun 2004-2010 tercatat sekitar 26 kasus kriminalisasi terhadap petani di seluruh Indonesia, dari Serdang Bedagai sampai ke Banggai. Ini belum termasuk insiden Mesuji dan Tukijo yang baru terjadi pada tahun 2011. Para petani yang berada di wilayah sengketa tidak hanya menghadapi teror dari korporasi setempat, melainkan juga harus menghadapi represi dari negara.

Artinya, berdasarkan pembacaan di atas, terlihat bahwa problem petani hari ini erat kaitannya dengan tanah. Kita tidak mungkin bicara kedaulatan pangan tanpa ikut membicarakan tanah. Paradoksnya, pembangunan dan industrialisasi membuat petani harus merelakan tanahnya. Jika petani bertahan dengan tuntutan mereka untuk terus dapat bertani, ancaman yang dihadapi bukan lagi produktivitas atau hasil panen yang semakin turun, tetapi juga pentungan.

Ada satu problem yang sangat ironis. Ketika pemerintah mencanangkan pertanian sebagai salah satu produk dalam negeri yang harus dilindungi, problem-problem pertanahan justru semakin banyak. Perhatian pemerintah sendiri terhadap industri dan pengalihfungsian lahan petani –bahkan atas kedok pembangunan—yang kian tahun kian bertambah jumlahnya, minim. Bahkan sering diimbuhi oleh kriminalisasi korban petani.

Persoalan petani mungkin lebih kompleks dari masalah ini. Tetapi tuntutan mereka sebetulnya beralasan: bagaimana memastikan tanah mereka tetap menjadi sumber rezeki. Bagaimana tanah tetap menjadi sumber penghidupan tanpa harus mengkhawatirkan perampasan oleh korporasi dan negara. Persoalan jaminan masa depan dan keberlangsungan aktifitas pertanian yang dijamin negara sepenuhnya.

Akhir tahun, Masyarakat Ekonomi ASEAN resmi beroperasi. Sehingga pembahasan tentang kemandirian petani dan tanahnya menjadi penting untuk didiskusikan dan diseriusi. Sebab persoalannya nanti lebih dari sekedar apakah beras Indonesia dapat bersaing dengan beras petani dari Thailand atau Vietnam. Sebab sudah jelas di atas kertas, tanpa tanah, petani kita telah kalah bahkan sebelum peluit MEA dibunyikan. Kita tidak akan mampu membicarakan mengenai produk pertanian tanpa ada yang ditanam. Tanpa garansi dan subsidi dari negara, tentu persoalan rendahnya kualitas produk pertanian kita akan tidak mampu bersaing, dengan negara manapun. Akhirnya jelas: masyarakat kita dari berbagai lapisan akan menyandarkan konsumsinya bukan pada hasil produksi dalam negeri, tapi pada impor produk-produk yang seharusnya bisa kita produksi.

 

 

taniGambar diambil dari http://sawanila.com

 

Problem Pembangunan di ASEAN

Ternyata, masalah sengketa tanah bukan masalah nasional yang hanya dialami Indonesia. Sejak beberapa tahun silam, komunitas-komunitas petani dan kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar Sungai Mekong juga harus menghadapi hal serupa: pembangunan bendungan yang mengharuskan mereka pindah. Isu ini tidak hanya dialami Thailand, tetapi juga Burma, Laos, Vietnam dan Kamboja.

Ini artinya, penting bagi kita untuk memperluas konteks isu persoalan petani menjadi isu kawasan bagi kita yang berada di Asia Tenggara. Memetakan persoalan ini secara lebih komprehensif untuk membantu menelanjangi bahwa, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang selama ini didengungkan justru pada kenyataannya tidak berpihak pada petani. Blueprint Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang ditandatangani pada tahun 2007 (sila cek di http://www.asean.org/archive/5187-10.pdf) menunjukkan rendahnya inisiatif yang adil terhadap petani. Sebaliknya, yang lebih banyak ditekankan adalah konektivitas ekonomi dan pelaku bisnis.

Artinya, kita sedang menyaksikan sebuah paradoks.

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) memiliki kecenderungan untuk berporos pada industri dan mengesampingkan mereka yang hidup dari hasil-hasil alam. Hal ini semakin diperparah dengan fakta bahwa dalam Deklarasi HAM ASEAN, poin tentang hak-hak petani dalam pembangunan belum dicantumkan. Artinya, hak-hak para petani dalam MEA sangat rentan terkait proyek integrasi kawasan yang sedang diinisiasi.

Maka dari itu, pembicaraan tentang ‘hak atas tanah’ perlu digaungkan di tengah-tengah berbagai diskusi soal hak azasi di ASEAN, terutama di Komisi HAM ASEAN. Hal ini penting sebab saat ini perbincangan soal hak-hak petani hampir absen dalam kajian ASEAN yang lebih banyak menitikberatkan pada pelaku usaha. Padahal, Asia Tenggara adalah kawasan yang sebagian besar masyarakatnya masih bercorak agraris dengan pertanian sumber mata pencaharian utama.

Kenyataan bahwa blueprint Masyarakat Ekonomi ASEAN (2007-2015) justru tidak memproteksi hak-hak petani yang vital dalam menjaga produktivitas ekonomi masyarakat akar-rumput di kawasan. Blueprint yang cenderung sangat menitikberatkan pada industri dan arus bebas barang dan jasa tersebut, yang menyebabkan ‘proletarianisasi petani’ –petani yang hidup susah karena mereka dihambat kerjanya secara eksternal (Cammack, 2003).

Luas lahan yang semakin menyusut dan ancaman ekspansi modal kaum industrialis, para petani dipaksa menghadapi dua pilihan sulit: tetap bertahan dengan produktivitas hasil pertanian yang terus menurun atau menjual lahannya kepada pemilik modal. Di Indonesia, implikasinya terbagi dua: (1) petani harus rela kehilangan tanah dan menjadi ‘buruh tani’ –atau petani yang menggarap sawah orang lain dan konsekuensinya hidup dari upah atau (2) bekerja ke kota untuk menyambung hidup, baik menjadi kaum miskin perkotaan atau buruh pabrik.

Hal yang serupa juga tengah dihadapi oleh petani-petani di sekitar Sungai Mekong yang sedang kehilangan tanah untuk pembangunan sejumlah dam. Kampanye hak petani atas tanah dalam konteks Indonesia, dengan menengok menengok UU No. 5 tahun 1960 tentang Pedoman Dasar Pokok Agraria (dikenal sebagai UUPA). Sebagai dasar untuk memastikan hak petani atas tanah tidak diganggu oleh kepentingan siapapun, baik negara maupun pemilik modal.

Ada empat pasal yang menarik di UU tersebut. Di pasal 9, tertulis bahwa “Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”. Di ayat selanjutnya, UUPA mengatur “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan megerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan” (pasal 10).

UU Pokok Agraria juga mengatur agar “pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 3 serta menjamin bagi setiap warganegara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya” (pasal 13).

Selain itu, pada UUPA tertuang juga bahwa: “perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan  golongan yang ekonomis lemah” (pasal 15).

Empat pasal dalam UU Pokok Agraria ini dapat digunakan untuk memberikan perlindungan atas hak-hak petani dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Tentu saja, secara lebih teknis, perlu ada rumusan kebijakan sebagai turunan sebagai bentuk komitmen negara dalam melindungi petani. Dalam konteks ini, hal penting yang bisa dilakukan adalah menimbang ulang rencana proyek industrialisasi (termasuk di dalamnya eksploitasi Sumber Daya Alam) di berbagai daerah di Indonesia.

Proyek industrialisasi, baik yang berkedok MP3EI maupun RIPIN (Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) yang baru saja disahkan untuk tahun 2015-2035, perlu mempertimbangkan hak-hak petani –terutama soal tanah dan nasib para petaninya. Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah proyek industri ekstraktif yang dalam banyak hal, yang tidak transparan, juga tidak memperhatikan dampak merusaknya bagi petani. Variabel dampak terhadap pertanian jarang menjadi pertimbangan pemerintah dalam memberikan izin pertambangan. Sudah saatnya variabel ini menjadi salah satu item yang perlu dipertimbangkan untuk industri.

Kasus sengketa petani dan PT Semen Indonesia di Rembang dan Pati menjadi contoh masalah yang akan sering dihadapi ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN diberlakukan. Jika tidak diantisipasi, industri tidak akan memberikan apa-apa bagi petani dan rakyat kecil kita. Dus, penting bagi kita menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN ini dengan satu seruan singkat: lindungi petani kita dengan menggaransi hak mereka atas tanah!***

 

Penulis adalah Asisten Peneliti di ASEAN Studies Center UGM

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.