Marxisme dan Iman

Print Friendly, PDF & Email

PARA pembaca tentu kenal sosok Christiaan Snouck Hurgronje. Ya, dia itu penasihat pemerintah Hindia-Belanda untuk urusan Islam dan muslim. Kalau tidak salah dia itu lulusan doktor teologi di Universtas Leiden. Potretnya digambarkan parasnya berjanggut dan berpeci layaknya orang Turki. Fasih bahasa Arab dan bacaan Quran-nya. Konon tak kurang dari tujuh tahun dia tinggal di Mekah. Tanpa diketahui kebanyakan temannya di sana, di Mekah dia melakukan penelitian untuk disertasinya tentang ibadah hajinya umat Islam. Selain pandai dan faham ilmu agama, dia rajin solat, teguh puasanya, besar sedekahnya pula. Karena itulah dia dekat dengan anggota keluarga Saud. Sempat juga menikahi seorang muslimah sebelum kemudian keluar Arabia kembali ke Belanda. Oleh pemerintah kerajaan Belanda dia dikirim ke Hindia-Belanda, khususnya ke Aceh yang kala itu tak kunjung surut perjuangan perlawanan bersenjatanya. Setelah menolong para jendral di Aceh, dia ke Jawa. Di sana Hurgronje menjalin hubungan akrab dengan banyak ulama. Semua orang pasti menganggapnya sebagai mualaf yang beriman. Kesalehannya begitu kasat mata. Mungkin karena itu pula dia bisa menikahi putri seorang ulama di Jawa Barat.

Apakah ada iman kepada Alloh Maha Pengasih di lubuk hati Hurgronje? Apakah tampilan kesalehannya merupakan perwujudan atau materialisasi dari nilai-nilai kesalehan di relung hatinya? Hanya Alloh Maha Penyayang yang tahu. Iman itu nilai, sesuatu yang kualitatif, tersembunyi, tak kasat mata. Seandainya Anda adalah satu-satunya manusia di semesta ini; seandainya hanya ada hablum min Alloh, tak perlulah segala bentuk tampilan kesalehan formal. Alloh bisa tahu kadar iman Anda tanpa Anda tunjukkan itu ke dalam solat, puasa, zakat, dan lain sebagainya. Persoalannya, beriman itu juga hablum minan-naas. Mau tak mau nilai-nilai tersembunyi di lubuk hati itu mesti diejawantahkan ke dalam hal yang kasat mata bagi manusia lain. Orang lain tak akan tahu seberapa besar iman Anda tanpa kuantifikasi iman Anda yang kualitatif itu ke dalam solat ‘lima waktu’, puasa ‘sebulan penuh’, zakat dan sedekah ‘sejumlah tertentu’ harta, ‘mengongkosi’ diri ziarah haji ke Mekah, dan lain-lain yang serba kuantitatif. Dengan kata lain, yang bersifat nilai mesti diformalkan, yang kualitatif mesti dikuantifikasi.

Alloh Maha Besar sendiri tidak butuh formalitas macam begitu. Manusialah, orang-orang di sekitar Anda-lah, komunitas keagamaan yang di dalamnya kita menjadi bagianlah yang membutuhkannya. Mengapa? Tanpa kuantifikasi, pengejawantahan, atau materialisasi nilai-nilai keimanan ke dalam kesalehan formal, bagaimana kelompok tempat Anda berada bisa mengukur keimanan Anda? Lho, memangnya keimanan itu perlu ditakar? Tentu saja. Penakaran itu penting sebagai batas bawah keanggotaan seseorang dalam kelompok sosialnya. Untuk menjadi anggota HIPMI Anda tak hanya harus muda, tetapi juga pengusaha. Kemudaan dan kepengusahaan itu mesti ada ukurannya. Kalau tidak, ‘pengusaha meme’ yang tak jelas jumlah pabrik, karyawan, dan laba tahunannya bisa juga masuk. Intinya, ketika suatu kelompok sosial terbentuk, terbentuk pula batas-batas siapa yang anggota dan siapa yang bukan. Jangankan kelompok keagamaan yang landasannya ialah keimanan pada keyakinan tertentu, pecinta sepeda motor merk tertentu saja punya batas-batas keanggotaan yang ditakar oleh tampilan formal orang-orang di dalamnya.

Tapi, seperti kasus Hurgronje atau intel POLDA yang menyamar menjadi aktivis buruh, tampilan formal (perbuatan, pakaian, perkataan, dll.) yang katanya materialisasi dari nilai-nilai itu tidaklah sama dengan nilai itu sendiri. Seperti semua perlambang, bisa jadi tampilan formal nilai bertentangan dengan nilainya sendiri. Di permukaan betapa fasih bacaan solatnya, toyib tutur katanya, luas ilmu agamanya si mualaf Hurgronje. Tapi apakah di lubuk hatinya berteguh iman kepada bukan Alloh Yang Maha Lembut? Secara kasat mata betapa hafal dia akan undang-undang hubungan industrial, betapa membakar semangat pidatonya sebagai koorlap, betapa rajinnya ikut serta rapat-rapat serikat, betapa cekatannya mengutip sana-sini Manifesto Komunis. Tapi apakah tampilan ini wujud dari imannya pada perjuangan anti-kapitalisme? Hanya Alloh yang tahu.

Dari cerita ini kita bisa petik beberapa pelajaran. Pertama, nilai itu sesuatu yang abstrak, tersembunyi, tak kasat mata, dan kualitatif. Sekadar dengan mata telanjang, kita tak akan bisa melihatnya. Kita mustahil memahaminya hanya dengan pertolongan pancaindra kita. Harus ada cara lain selain lewat situ untuk menemukan dan memahaminya. Kedua, jalan lain untuk mengetahuinya ialah dengan menakar besarannya. Kita mesti menengok ke konteks kehidupan dengan sesama manusia (hablum minan-naas) saja supaya bisa menakarnya, karena dalam kehidupan sosial sajalah nilai-nilai itu terejawantahkan ke dalam sesuatu yang material dan kuantitatif, sesuatu yang kasat mata dan formal (berbentuk). Ketiga, tampakan empiris nilai di dalam relasi sosial bisa jadi tak sama dengan hakikat nilai itu sendiri.

Baiklah, lalu apa hubungannya khotbah Jumat ini dengan kolom Logika? Setelah saya pikir-pikir, cerita di atas mirip dengan pembahasan Marx soal komoditi. Marx memulai mahakarya Das Kapital dengan pembahasan ihwal hakikat komoditi. Penempatan bahasan komoditi di awal karena di dalam komoditi tersimpan kunci untuk membuka pintu misteri cara produksi kapitalis, batu penjuru sekaligus pondasi keberlangsungan masyarakat kapitalis tempat kita hidup sekarang. Konon bahasan soal komoditi termasuk teks tersulit dibanding soal lain di bagian lain dalam Das Kapital. Salah satu alasannya ialah bahwa komoditi itu sendiri misterius. Pertama-tama, komoditi itu bukan sekadar barang. Di dalamnya terkandung nilai yang menjadi rahasia terdalamnya. Seperti iman, nilai komoditi tidak sama dengan nilai-guna barang yang terindrai. Tidak juga ia sama dengan wujud kuantitatif nilai-tukarnya dalam pertukaran. Pada titik kita membelinya, sebatang coklat adalah komoditi. Tapi tatkala kita berikan batang coklat yang sama itu kepada teman yang sedang merayakan ulang tahun, ia tak lagi komoditi, ia hadiah, ia pemberian. Yang membedakan kedua hakikat pada satu barang yang sama itu ialah relasi sosial tempat batang coklat itu berpindah tangan. Momen pertama relasinya ialah jual-beli, sedang yang kedua relasinya pemberian. Tapi baik batang coklat maupun relasi penghantar perpindahannya (jual-beli) hanyalah pengejawantahan nilai ke dalam nilai-guna dan nilai-tukar, dua tampakan watak yang terkandung di dalamnya, bukan nilai itu sendiri. Kekeliruan ekonomi ortodoks ialah menyamakan nilai-tukar dengan nilai. Malah mereka menyamakan harga dengan nilai. Harga, atau formalisasi atas nilai-tukar, hanyalah perlambang dua lapis atas realitas nilai. Dan seperti semua perlambang ungkapan, ada faktor kesembarangan tertentu pada harga yang belum tentu sama dengan nilai sebetulnya.

Seperti halnya iman, untuk dapat ditakar nilainya, komoditi haruslah, pertama-tama diperhadapkan dengan komoditi lain di dalam konteks hablum minal-komoditi. Hanya melalui komoditi lain yang berbedalah kita bisa menerka seberapa besar nilainya. Misalnya, kita tidak akan tahu berapa nilai A apabila dibandingkan dengan A yang sama. Tapi dengan B, kita, misalnya, bisa tahu bahwa A = 2B. Artinya nilai A ialah 2B. Bagi A, nilai B ialah nilai-penyetara, nilai pantulan atau bayangan. Nilainya A sendiri tetap tersembunyi sebagai dirinya sendiri. Selain itu, kalau di dunia ini hanya ada dua komoditi (A, B), rampung sudah upaya kita. Persoalannya, ada banyak sekali barang komoditi yang ada di delapan penjuru mata angin. Nilai 2B itu kalau kita perhadapkan A dengan B. Bagaimana kalau diperhadapkan dengan C, D, E, dan seterusnya? Bisa jadi nilai A bukan lagi 2B, tapi 3C, 4D, 5E, dan seterusnya. Lantas, manakah di antara mereka yang betul-betul mencerminkan nilai A? Bisa semuanya sekaligus tidak semuanya karena mereka, seperti ibadah-ibadah formal yang rutin kita tunaikan, tak lebih dari nilai-nilai penyetara yang relatif sifatnya, bukan nilai itu sendiri.

Hal serupa berlaku ketika suatu masyarakat ekonomis menerima salah satu komoditi yang ada, katakanlah emas atau perak, sebagai nilai-penyetara untuk semua komoditi di kolong langit. Atau ketika uang diciptakan sebagai lambang dari nilai-penyetara universal untuk semua nilai komoditi. Baik emas ataupun beraneka bentuk uang tidak melenyapkan kenyataan bahwa nilai-uang (atau harga) komoditi hanyalah nilai-penyetara yang memantulkan nilai hakiki si komoditi, yang, seperti semua nilai-penyetara, sifatnya relatif. Apalagi saat ini ketika berbagai macam matauang hadir di ranah perekonomian kapitalis sebagai barang dagangan yang juga punya harga dan diperjualbelikan. Sebagai dagangan, harga matauang tentu memengaruhi fungsinya sebagai nilai-penyetara nilai komoditi dalam konteks ruang-waktu tertentu. Kalau sudah begini, makin relatiflah nilai komoditi yang diteropong lewat harga atau nilai-uangnya.

Tentu saja, seperti formalisasi nilai kesalehan ke dalam ibadah harian, formalitas nilai dalam nilai-uang atau harga komoditi memudahkan transaksi dan memuluskan peredaran barang dan jasa dalam masyarakat. Namun, seperti halnya ibadah rutin, formalitas ini belum bisa mengatakan apa-apa soal nilai hakiki dan asal-usulnya. Malah ia bisa mengelabui pandangan kita soal itu. Siapa sangka Hurgronje itu bajingan tengik yang tak punya iman sama sekali kepada Islam meski secara kasat mata dia tunjukkan tindak-tanduk kesalehan formal kepada orang-orang sekitarnya? Apabila demikian, artinya nilai komoditi mustahil kita selidiki di ranah hablum minal-komoditi, di ranah pertukaran, saja. Lalu di manakah kita mesti mencarinya?

Kita yang terbiasa hidup di tengah-tengah dunia bergelimang harga, memang cenderung memandang realitas dari segi formal penampakan komoditi kepada kita. Kita pikir harga adalah nilai, dan ketika harga tenaga kerja (upah) kita dibayarkan dengan nominal yang lebih besar, kita pikir selesai sudah perjuangan melawan kapitalisme. Kita pikir setelah menyetor zakat dengan cara mentransfer ke rekening badan amil, punah sudah kewajiban kita kepada Alloh Yang Maha Pemberi. Padahal, nilai berzakat dan sedekah bukan sekadar menyisihkan sebagian harta kita, tapi lebih jauh lagi ialah meningkatkan kualitas iman kita bahwa Alloh menyuruh kita untuk peduli kepada sesama, tidak tamak, adil, dan menolong mereka yang fakir-miskin. Nilai-nilai ini tidak akan bertumbuh apabila kita sekadar mentransfer ke rekening badan amil, karena yang kita hadapi hanyalah mesin ATM atau kasir jelita tanpa bertatap muka langsung dengan wajah-wajah nyata para fakir-miskin beserta kehidupan mereka di tengah-tengah struktur sosial yang memiskinkannya. Kita sering khilaf bahwa formalitas ibadah hanya cara kita mengomunikasikan tampakan iman kita kepada sesama manusia, bukan iman itu sendiri kepada Alloh Yang Maha Melihat.

Hal serupa berlaku juga pada nilai komoditi. Formalisme harga yang mengungkung hidup sehari-hari telah menghalangi kita untuk menelisik lebih jauh dengan mata rasio bahwa nilai tidak berasal dari pertukaran. Ada hal lebih dalam yang memungkinkan pertukaran itu sama sekali. Dan itu letaknya di tingkat produksi karena tak ada pertukaran barang tanpa produksi barang. Di sinilah, di relung terdalam cara produksi kapitalislah kita mestinya menyisir kemungkinan asal-usul nilai komoditi dan dinamikanya.[1] Tentu saja seperti halnya cinta yang tak akan pernah kita ketahui besarnya tanpa dikemukakan secara empiris-aktual, begitu pula nilai komoditi akan tetap sebagai misteri tanpa kemunculannya ke permukaan kehidupan sehari-hari dalam relasi pertukaran. Tapi mengabaikan hakikat nilai komoditi dan bertumpu sepenuhnya pada nilai-relatifnya seperti termaktub dalam harga dan pertukaran akan menjauhkan kita dari kenyataan bahwa tak ada satu pun masyarakat yang dapat melanjutkan hidup tanpa produksi. Di ranah realitas inilah perjuangan mengubah masyarakat kapitalis mesti bermula, tidak di tempat lain. Inilah hikmah yang bisa dipetik dari paparan Marx soal nilai komoditi.***

 

Jatinangor 4 April 2015

—————–

[1] Buat pembaca yang punya minat mendalami pengertian ihwal asal-usul nilai, silahkan baca buku Asal-Usul Kekayaan: sejarah teori nilai dari Aristoteles hingga Amartya Sen, Resist Boook (2013), karangan saudara Martin Suryajaya.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.