Muhammad Hafidh Ma’ruf, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia dan anggota Serikat Mahasiswa Progresif (Semar) UI
Mustahil memahami Marxisme atau menghadirkan gambaran komplet atasnya
tanpa akrab dengan semua tulisan Engels
-V.I. Lenin
KEBANYAKAN dari kita hanya mengenal Friedrich Engels sebagai juru tulisnya Karl Marx saja. Tugasnya hanya mengumpulkan, mengetik ulang, dan menawarkan karangan Marx kepada penerbit. Sumbangsih lainnya tidak lebih dari penyokong dana bulanan supaya keluarga Marx tetap bisa hidup sementara Marx terus melanjutkan kerja intelektualnya. Beberapa buku menggambarkannya sebagai penulis amatiran yang dengan kemampuan terbatas mengotak-atik pemikiran Marx sehingga menghasilkan suatu sistem pemikiran yang cacat sedari kalimat pertama. Demikianlah yang diungkapkan Dede Mulyanto, sang penyunting buku, ihwal alasan penyusunan bunga rampai “Di Balik Marx: Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels” yang diterbitkan oleh Marjin Kiri beberapa bulan lalu.
Buku ini hadir untuk merehabilitasi sosok dan pemikiran Engels dan mendudukkannya sebagaimana mestinya. Memperkenalkan kembali sosok dan pemikiran Engels kepada pembaca Indonesia masa kini merupakan tantangan, tidak saja dari aspek legal formal seperti masih bercokolnya pelarangan penyebarluasan gagasan Marxisme melalui TAP MPR Nomor 25 Tahun 1966, tetapi juga dari aspek teoritik Marxisme itu sendiri.
Pertanyaan utama yang seringkali muncul saat akan mempelajari pemikiran pria asal Jerman ini adalah: mengapa justru Engels yang harus dipelajari? Bukankah ia hanya dikenal sebagai fasilitator Marx saja? Mengapa tidak langsung belajar pemikiran Marx saja? Kondisi ini semakin diperkeruh karena adanya kecenderungan pemikiran dari ilmuwan neo-Marxis yang ingin membebaskan teori Marx dari stigma determinasi ala Uni Soviet dengan mengidentifikasi Engels sebagai biang keladi intepretasi yang ekstrem dan kaku. Dalam konteks demikianlah buku ini terbit pada waktu yang tepat. Keenam tulisan dalam buku ini secara umum dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang kontribusi Engels terhadap perkembangan Marxisme.
Bedah Buku Di Balik Marx di Kampus UI
Di kampus-kampus, baik negeri atau swasta, pemikiran Marx, apalagi Engels, begitu asing. Kalaupun ia diketahui, tak akan lebih dari sekadar stigma dan prasangka. Hal ini tentu bukan tanpa sebab. Sebagaimana diketahui bersama, penghilangan kajian Marxisme dalam institusi pendidikan tinggi dilakukan rejim Orde Baru dan masih diteruskan hingga saat ini. Contoh paling mudahnya, seberapa banyak yang tahu bahwa Marxisme berbicara tentang sejarah perkembangan masyarakat dibanding dengan mereka yang mengasosiasikan Marxisme secara sempit sebagai paham anti-Tuhan?
Dengan niat untuk merehabilitasi sekaligus menyebarluaskan gagasan Marxisme di kampus, Serikat Mahasiswa Progresif Universitas Indonesia (Semar UI) bekerjasama dengan BEM FISIP UI, BEM FIB UI, dan Program Studi Filsafat UI mengadakan acara bedah buku ini pada hari Selasa (24/3/2015), tepatnya di Gedung X Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Acara bedan buku tersebut menghadirkan dua orang pembicara, Martin Suryajaya dan Mohammad Zaki Hussein. Keduanya masing-masing menyumbangkan satu buah tulisan dalam buku yang dibedah. Kemudian, ada lagi satu pembicara lainnya, Petrus Putut Pradopo Wening yang berstatus sebagai mahasiswa Ilmu Politik UI. Diskusi ini dimoderatori oleh Perdana Putri, mahasiswa Sastra Rusia UI yang juga anggota Semar UI.
Acara tersebut cukup mendapat perhatian banyak pihak, mulai dari kalangan sivitas akademik UI hingga pihak-pihak dari luar kampus. Sekitar 200-an lebih peserta datang hari itu. Dari mahasiswa UI yang datang, sebagian besar berasal dari rumpun sosial humaniora seperti Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Sedangkan hanya sebagian kecil mahasiswa yang datang berasal dari rumpun ilmu alam, seperti misalnya Fakultas Kesehatan Masyarakat atau Fakultas Kedokteran. Sementara itu, kebanyakan pihak yang datang dari luar kampus UI sebagian besar adalah aktivis sosial dari berbagai organisasi. Saat beberapa kali berbincang, sebagian besar dari mereka datang ke acara ini adalah karena ingin mengetahui lebih jauh pemikiran Engels. Selain itu, ada pula yang menganggap bahwa pemikiran Engels tersebut, sama seperti Marx,dapat berguna untuk dijadikan pisau analisis untuk membaca realitas sosial yang sedang terjadi.
Sebelum membahas diskusi yang berlangsung, perlu kiranya membahas buku ini secara ringkas. Secara umum, buku ini memperkenalkan kehidupan dan pemikiran Engels dan menelusuri relasinya dengan Marx dengan cara yang tidak hanya meletakkannya sebagai orang kedua, atau subordinat Marx. Dalam buku ini, kita akan menyadari bahwa Engels bukan hanya sahabat setia yang memberi dorongan dan pembuka jalan bagi Marx untuk menulis dan mempublikasikan karya-karyanya. Ia juga bukan sekadar orang yang paling bersedih saat Marx meninggal, bahkan sebelum sempat menyelesaikan Das Capital sebagai magnum opus-nya. Melampaui itu, kita juga menyaksikan bagaimana gigihnya Engels dalam mengumpulkan kembali catatan studi Marx serta mengatur susunannya untuk menghasilkan serangkaian penerbitan, antara lain Das Kapital II dan III.
Kita juga memperoleh pengertian yang lebih dalam tentang Engels, sebagaimana gambaran singkat yang dipaparkan Sylvia Tiwon dalam pengantar buku tersebut, sebagai teoritikus yang mengembangkan teori materialisme historis ke ranah-ranah keilmuan di luar bidang ekonomi serta bergumul dengan penemuan-penemuan sains mutakhir dimasanya.
Acara dibuka oleh MC pada pukul dua siang. Setelah itu, MC menyerahkan jalannya acara ke moderator. Bedah buku setebal 186 halaman ini dimulai dengan pemaparan pertama dari Putut. Putut secara ringkas menjabarkan riwayat hidup Engels dengan segala pengalaman materil yang akhirnya membuatnya berpihak kepada kelas proletariat dan bercita-cita menumbangkan kapitalisme. Pemaparan ini disarikan dari salah satu esai dari buku tersebut yang berjudul “Engels: Hayat dan Karya Seorang Revolusioner” yang ditulis Dede Mulyanto, editor buku sekaligus pengajar Antropologi di Universitas Padjajaran yang saat ini mengasuh rubrik Logika Indoprogress.
“Engels lahir dari keluarga elit pebisnis dengan ideologi nasionalis dan konservatif,” demikian Putut memulai pemaparan. Meskipun demikian, Engels sama sekali tidak tertarik dengan dunia bisnis. Ia justru berminat pada filsafat. Hal ini dibuktikan dengan kegemarannya membaca buku-buku pemikiran tokoh-tokoh dunia, dari mulai filsuf Yunani Kuno seperti Aristoteles hingga Hegel. Untuk tokoh terakhir, pemikirannya lah yang menjadi arus utama sistem filsafat di masa itu.
Putut kemudian menjelaskan bagaimana sejak muda, Engels telah tertarik dengan dunia aktivisme. Ia, misalnya, sempat mengorganisir anak-anak muda berkumis. Perkumpulan ini kemudian diberi nama “Pemuda Berkumis”. Meskipun tampak remeh-temeh, harus diketahui bahwa pada saat itu pemuda berkumis cenderung dianggap urakan, kriminal, bahkan pemberontak. Pemuda Berkumis ini dibentuk untuk melawan kaum Filistin, yaitu istilah yang digunakan mahasiswa-mahasiswa Jerman yang mengacu kepada orang-orang borjuis yang tidak peduli dengan intelektualitas serta bersifat egois.
Meskipun tidak suka dengan dunia bisnis, Engels pada akhirnya menjadi salah satu manajer di perusahaan ayahnya, Ermen & Engels. Hal ini dilakukan karena dia membutuhkan uang untuk sebagai modal untuk melakukan aktivitas politik yang saat ini sudah cukup intensif dilakukannya. Karena itu, Engels dapat dikatakan hidup di dua dunia: di satu sisi kehidupannya yang sangat borjuis, sementara di sisi lain dia sering “turba” seperti melihat langsung kehidupan buruh-buruh di sekitar London. Engels, yang akhirnya bertemu dengan Marx di tahun 1844 juga ikut membentuk Liga Komunis Sedunia di London, yang resmi terbentuk pada medio Juni 1847.
Apa yang dijelaskan Putut kemudian berkisar tentang sepak terjang dan aktivitas politik Engels. Putut menyebutkan bagaimana Engels mulai membuka kelas-kelas filsafat untuk buruh, menulis di koran radikal, hingga memperjuangkan demokrasi di Jerman.
Selain itu, Putut juga menyinggung pemikiran Engels tentang agama, terutama berdasarkan pada esai berjudul “Di Balik Agama: Analisis Engelsian atas Konflik Keagamaan dalam Masyarakat Tibet“ yang ditulis oleh Stanley Khu. “Engels beranggapan bahwa agama dijadikan alasan untuk berperang,” kata Putut. Dari kasus pada tulisan tersebut, dapat disimpulkan bahwa konflik yang terjadi sebenarnya adalah karena alasan ekonomi. Sedangkan agama hanya tampakan luar, atau pembalut konflik yang sesungguhnya.
“Engel juga seorang evolusionis,” tambah Putut. Ungkapan tersebut didapatkannya melalui esai “Prakondisi Anatomi Kerja: Rekonstruksi Paleoantropologis Teori Engels perihal Evolusi Tangan” yang kembali ditulis oleh Dede Mulyanto. Dalam tulisan tersebut, dijelaskan bahwa nenek moyang manusia adalah kera yang berevolusi karena kerja mengolah alam. Kerja pula yang akhirnya membuat manusia bisa membangun sistem komunikasi seperti bahasa hinga menciptakan teknologi, dari yang paling sederhana seperti kapak batu hingga yang paling canggih seperti saat ini.
Dalam kesimpulannya, Putut beranggapan bahwa “Engels adalah seorang gerilyawan. Dia sempat memimpin artileri, mengingatkan saya pada Che [Guevara]. Engels menunjukan bahwa perjuangan kelas tidak bisa berhenti pada tataran teori, ia juga perlu diperjuangkan dalam lapangan praktik.”
Di akhir pemaparan Putut, peserta diskusi tampak semakin antusias dalam mengikuti bedah buku. Gambaran awal yang dipaparkan Putut yang sudah mulai mengupas pemikiran Engels yang jarang diketahui memicu peserta diskusi semakin betah dan ingin mengetahui lebih dalam tentang Engels. Sementara itu, peserta diskusi juga masih berdatangan di tengah-tengah acara.
Diskusi kemudian dilanjutkan dengan pembedahan tulisan ”Naturalisme Historis: Rekonstruksi Analitis atas Filsafat Alam” yang dilakukan penulisnya langsung, Martin Suryajaya. Martin mengungkapkan ada beberapa perbedaan antara Marx dan Engels, meskipun banyak orang menganggap kedua pemikirannya sama persis. Menurut Martin, Marx lebih fokus untuk menulis tentang ilmu sosial. Sedangkan tulisan-tulisan Engels lebih didominasi oleh pembahasan tentang filsafat dan ilmu alam. Meskipun begitu, bukan berarti Marx sama sekali tidak mendalami filasafat, ia hanya menempati porsi yang lebih kecil dari keseluruhan karyanya dibanding dengan tulisan-tulisannya tentang ekonomi-politik. Latar belakang perbedaan fokus ini yang akhirnya membuat mereka berdua dapat saling melengkapi.
Martin menjelaskan bahwa permasalahan yang seringkali timbul adalah anggapan banyak orang bahwa buah pikir Engels sangat rumit serta kuno atau sudah tidak relevan. Contoh keruwetan tersebut, lanjut Martin, sering ditudingkan pada buku Dialectic and Nature yang banyak membahas filsafat idealisme dialektis Hegel. Adapun esai Martin dalam buku ini ingin membuktikan bahwa hal tersebut tidak sepenuhnya salah. Ia ingin menunjukan bahwa memahami pemikiran Engels tidaklah sulit. Martin kemudian menawarkan menggunakan pendekatan filsafat Analitik untuk memahami Engels. Selain itu, alumni STF Driyakara ini juga mencoba melakukan rekonstruksi pemikiran Engels tentang filsafat, khususnya filsafat alam.
Martin memulai pembahasan tentang filsafat Analitik dengan terlebih dulu membicarakan konsep materialisme yang dia rekontruksi berdasarkan filsafat alam hasil pemikiran Engels. Menurut Martin, berdasarkan kriteria filsafat Analitik kontemporer, pemikiran Engels (dan Marx) tidak lain merupakan sebuah bentuk naturalisme ontologis atau fisikalisme. Fisikalisme sendiri sebetulnya merupakan nama lain dari materialisme dalam dunia kontemporer.
Tesis naturalisme ontologis dapat dirumuskan sebagai berikut: apa yang ada tidak lain daripada, atau bertopang pada, alam semesta fisik. Melalui tesis ini, dapat dinyatakan bahwa semesta mental ada, persis karena ia bertopang pada semesta fisik sedemikian rupa sehingga daya kausal semesta fisik mengkondisikan daya kausal semesta mental. Analisis Engels atas ilmu-ilmu alam dalam karyanya seperti Dialectic of Nature mengandaikan tesis tersebut. Menurut Engels sebagaimana yang dijabarkan Martin, pada akhirnya tesis materialisme historis, yaitu basis ekonomi mengkondisikan suprastruktur, hanya dimungkinkan terjadi setelah syarat-syarat alam tertentu terpenuhi, misalnya kandungan oksigen yang sedemikian rupa.
Martin kemudian menjelaskan tentang dialektika. Salah satu sumbangsih Engels adalah mengeksplisitkan dialektika yang tidak pernah ditulis Marx secara khusus dan utuh. Engels, dalam buku Dialectic of Nature menuliskan tiga hukum dialektika yang dianggapnya paling pokok, yaitu 1) hukum perubahan dari kuantitas ke kualitas, dan sebaliknya; 2) hukum negasi atas negasi; dan 3) hukum kesatuan dalam kontradiksi. Dalam bukunya, Martin memformalkan pengandaian ontologis integral dari Marxisme yang diupayakan Engels menggunakan metode filsafat Analitik (p. 52).
Diskusi kemudian berlanjut dengan membedah tulisan “Sosialisme Ilmiah: Engels dan Kritik Materialisme Historis dan Sosialisme” yang dilakukan Mohamad Zaki Hussein selaku penulisnya sendiri. Zaki mengatakan bahwa alasannya menulis tema tersebut berangkat dari keresahannya sendiri tentang Marxisme. Menurutnya, Marxisme terlampau sering dikaitkan dengan aspek politik saja, seperti pengorganisiran buruh, perlawanaan terhadap korporasi, perebutan negara, dan lain-lain. Zaki mengatakan bahwa Marxisme tidak hanya berkaitan dengan politik, ia juga merupakan kritik terhadap kenyataan.
Menurut Zaki, sebagian kalangan Kiri merumuskan pemikiran Marx dan Engels berdasarkan pada otoritas teks, dan kemudian mencocok–cocokan kondisi material yang ada dengan teks tersebut, atau mencoba menerapkan gagasan praktek revolusi persis sebagaimana yang Marx dan Engels tulis.
“Marxisme berlandaskan metode pemikiran yang tidak utopis, malahan ia merupakan kritik terhadap sosialisme utopis,” Ungkap Zaki. Dalam Marxisme atau Sosialisme Ilmiah, sesuatu akan dapat diwujudkan bila sudah ada “benihnya” di dunia nyata, di alam materil. Marxisme adalah senjata yang berguna untuk membedah benih tersebut untuk kemudian diwujudkan di masa depan dengan seperangkat aktivitas politik.
Zaki mengatakan bahwa ada setidaknya dua benih pemikiran sosialisme. Pertama, perkembangan teknologi produksi. Teknologi produksi yang semakin canggih dibutuhkan kapitalisme sebab melaluinya lah memproduksi sejumlah barang yang lebih banyak dengan waktu yang lebih sedikit dimungkinkan. Sedangkan di sisi lain, dengan meningkatkan produktivitas, problem kelangkaan sumber daya sebetulnya dapat diselesaikan, asalkan penguasaan alat-alat produksi tidak berada di tangan segelintir orang. Saat itu terjadi, maka di masa depan orang-orang dapat hidup tanpa kelangkaan. Pengurangan waktu kerja pun dapat terealisasikan. Akhirnya, semakin banyak waktu luang yang akan dimiliki manusia untuk mengembangkan dirinya.
Benih yang kedua adalah produksi yang tersosialisasi. Muncul mesin-mesin yang hanya bisa dioperasikan oleh sekelompok orang, tidak bisa lagi hanya oleh satu-dua orang. Produksi pun tidak lagi dilakukan di bengkel-bengkel kecil, tetapi di pabrik-pabrik dengan jumlah pekerja yang banyak dan pembagian kerja yang terencana. Sebuah produk tidak lagi bisa dikatakan sebagai hasil kerja individu, karena merupakan hasil kerja bersama. Marx melihat produksi tersosialisasi memperlihatkan kapasitas manusia untuk bekerja sama.
Benih-benih ini tidak akan berkembang dengan sendirinya karena mereka masih berada dalam relasi sosial produksi kapital. Relasi sosial produksi kapital dicirikan oleh penguasaan alat-alat produksi pada segelintir orang, sedangkan sebagian besar lainnya tidak memiliki apapun kecuali tenaga kerja mereka.
Zaki kemudian merangkum kontradiksi kapitalisme yang menjadi dasar memungkinkannya menegakkan sosialisme. Kontradiksi tersebut adalah kontradiksi antara produksi yang tersosialisasi dengan modus apropriasi kapitalisme; kontradiksi antara kelas proletariat dengan borjuis; kontradiksi antara organisasi produksi dalam unit-unit produksi dengan persaingan antar unit produksi di tingkat masyarakat secara keseluruhan. Inilah benih sosialisme yang dimaksud.
Sesi Tanya Jawab
Setelah pemaparan dari ketiga pemateri, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Sesi ini pun tidak kalah menarik. Beragam pertanyaan terlontar dari peserta yang datang.
Pertanyaan pertama datang dari Suryo. Ia kira-kira bertanya seperti ini: ”Apa sebetulnya hubungan antara pemikiran Marxis dengan revolusi? Mengapa pemikiran Marxis sering dikaitkan dengan revolusi?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, Zaki menjelaskan bahwa salah satu pemicu revolusi adalah benih sosialime yang yang tidak berkembang dan sengaja ditahan oleh relasi produksi yang ada. “Intinya,” kata Zaki, “revolusi adalah usaha mentransformasikan modus produksi kapitalisme ke sosialisme.”
Pertanyaaan kedua datang dari Sueb. Dia menanyakan begini: “Mengapa setiap cabang aliran di sosialisme, kurang memberikan hipotesis baru?”
Zaki kemudian menjawab pertanyaan menarik ini. Menurutnya, pertanyaan ini tidak terlalu tepat. Sebab, sosialisme pun tidak lepas dari debat, dan pada akhirnya memberikan kesimpulannya masing-masing.
“Ada debat spesifik tentang perkembangan sosialisme, misalnya antara Marxis dengan anarkis, revisionisme dengan Marxisme, dan lain-lain. Contoh lain, pada Internasional II, [Edward] Berstein percaya bahwa kapitalisme memiliki kesempatan untuk tidak menyebabkan krisis, bisa ber-evolusi, dan dengan sendirinya terbentuk masyarakat sosialis,” demikian kira-kira jawaban Zaki.
Pertanyaan ketiga datang dari peserta lainnya. Peserta ini menayakan, “apakah Marxisme atau Sosialisme Ilmiah sudah bisa memprediksi puncak ekstrim kapitalisme?” (Lagi-lagi Zaki yang menjawab). Menurut Zaki, Marx sudah jauh-jauh hari memprediksi akan adanya konsentrasi kapital, dan hal tersebut sangat nyata hari ini. Beberapa contoh di antaranya adalah merger perusahaan, akusisi aset, dan lain sebagainya.
Kemudian, datang lagi pertanyaan selanjutnya. Pertanyaan ini paling menarik, setidaknya menurut saya. “Corak komunisme seperti apa yang cocok di Indonesia?” demikan pertanyaannya.
Pertanyaan keempat pun dijawab oleh Zaki. Menurutnya, ada beberapa usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk menuju komunisme, yang tidak lain merupakan tahap sosialisme. Menurutnya, pertama, adalah meningkatkan kekuatan negara. Hal ini menjadi penting karena saat ini negara tidak memiliki bargaining position yang kuat karena sektor produksi minim. Kekuatan ini bisa dimulai dengan mengembangkan sektor-sektor strategis.
Kedua, penerapan perlindungan sosial universal. Perlindungan sosial yang dimaksud di antaranya adalah program-program kesejahteraan, anggaran pendidikan, dan lain lain. Program ini dapat menjadi tahap awal yang dapat dilakukan sebelum melakukan pengambilalihan alat-alat produksi ke tangan semua orang. Terakhir, pendalaman demokrasi. Maksudnya adalah bagaimana caranya untuk meningkatkan antusiasme masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap kebijakan.
Yang penting adalah, ketiga poin ini hanya dapat dilakukan jika yang menguasai negara adalah rakyat pekerja sebagai mayoritas. Di alam demokrasi dengan perangkatnya seperti pemilihan umum, maka penguasaan negara oleh rakyat pekerja dapat dilakukan melalui partai. Tentu partai yang berisi dan mewakili kepentingan kelas pekerja secara langsung.
Pada akhir diskusi, moderator menyimpulkan beberapa hasil dari pembedahan pemikiran Engels. Secara umum, pemikiran Engels tidak dapat dipisahkan dengan pemikiran Marx itu sendiri. Engels sama sekali bukan hanya juru ketik dan donatur Marx. Pemikiran mereka berdua berdiri bersamaan, yang satu bukan lah subordinat dari yang lainnya, bahkan keduanya saling melengkapi.