……dengan pidatomu itu, tegakkanlah mereka yang lemah, bukakan mata yang buta, korek kuping yang tuli, bangunkan yang tidur, suruh berdiri yang duduk dan suruh berjalan yang berdiri; itulah kewajiban seorang yang tahu akan kewajiban seorang putera tumpah darahnya…..(Tan Malaka, Aksi Massa)
MUNGKIN ada waktunya kita menyoal kembali peran aktivis. Tulisan segar kawan Yosie dan Ken Kumbara, menyuguhkan lagi perdebatan itu semua. Walau diawali dengan sikap skeptis dan ditutup dengan harapan, kedua tulisan itu mencemaskan apa yang secara umum digelisahkan oleh banyak kawan. Tidak saja aktivis kian dipusingkan soal ekonomi, melainkan juga alami pengucilan dan terkadang sasaran kekerasan. Dianggap akan menghidupkan PKI hingga sasaran pukul aparat karena terlampau radikal dalam aksi. Tiba-tiba ada suasana dilema yang harus dihadapi oleh banyak aktivis hari-hari ini. Kedua tulisan sebelumnya memotret itu dengan meyakinkan.
Walau saya melihatnya tidak saja dilema, tapi juga posisinya yang terancam. Dilema itu persis seperti pilihan keyakinan yang harusnya diambil. Kebutuhan untuk mendorong agenda perubahan yang lebih militan harus ditundukkan oleh logika proyek yang terus menekan. Tidak saja logika proyek melainkan logika kehidupan yang makin kapitalistik. Sedangkan posisi itu kian terancam seiring dengan teror yang terus bertebaran. Di sana-sini usaha untuk mendiskusikan seputar peristiwa ‘65, misalnya, terus mendapat reaksi kekerasan. Kegiatan menonton film Senyap berlangsung di bawah ancaman. Terakhir pertemuan dengan para korban ’65, harus berhadapan dengan intimidasi dan pembubaran. Bahkan solidaritas pada KPK maupun usaha membongkar kasus korupsi menghadapi tuntutan kriminalisasi. Situasi makin jumud karena sistem politik dan ekonomi dikarantina oleh kepentingan para bandit. Mereka kini berkomplot terang-terangan di seputar istana, aparat hingga partai. Puncaknya, keputusan telat Jokowi yang tak menunjukkan posisi dalam kasus KPK lawan Kepolisian. Warisan putusan itu bukan hanya pada keberanian para koruptor, tapi juga barisan jahanam yang makin berani merusak acara apapun yang berkaitan dengan sejarah kekerasan.
Situasi suram itu yang memberi aneka pelajaran berharga. Di antaranya adalah kepercayaan dan keyakinan kita pada pribadi seorang pemimpin harusnya direvisi selekasnya. Juga metode dan praktek politik untuk melawan tak bisa mengandalkan cara-cara lama. Secara sederhana: kaum aktivis tak bisa lagi hanya memusatkan harapan dan keyakinan pada ‘lajur’ proyek demokrasi. Proyek yang dulu selalu memusatkan perhatian pada isu transparansi, reformasi aparat hukum hingga partisipasi publik. Mantra kata-kata proposal yang telah melejitkan banyak aktivis jalanan jadi borjuis kecil yang hidup penuh fasilitas. Proyek yang dulu didorong oleh banyak LSM dengan dukungan lembaga donor untuk merias negara ini dengan perubahan kelembagaan. Bahkan, hingga hari ini, masih banyak yang setia dengan keyakinan itu bukan atas pertimbangan nilai tapi memang itulah jalan hidup yang ada. Kita tahu di kemudian hari kalau keyakinan itu beresiko.
Keyakinan itu kini menemukan korbannya. Setidaknya, agenda-agenda politik yang strategis pudar tak karuan. Di antara yang prinsip dan terpenting adalah pengusutan kejahatan HAM. Sejak para pelaku kejahatan HAM dibiarkan bebas, maka tindakan sewenang-wenang lahir dan berbiak dengan lebih leluasa. Korupsi salah satu anak kandungnya. Tapi lembaga donor dengan mahir memahami korupsi sebagai masalah kelembagaan. Soal yang semustinya punya akar struktural jauh lebih mendalam hanya dipahami sebagai persoalan prosedural. Inisiatif yang lahir adalah mendorong lahirnya banyak komisi negara yang punya peran mengawasi, memantau hingga memberi rekomendasi. Hampir kita bisa pastikan komisi, selain KPK, tak jelas kegunaanya. Bahkan KPK sendiri pada akhirnya dibekuk dengan cara yang ‘amat’ prosedural. Maka surutnya agenda pengadilan atas penjahat HAM membawa resiko pahit: garis batas antara penjahat dan pejuang kian kabur. Ironisnya hal ini melanda pula pada para aktivisnya: yang dulu militan tiba-tiba berubah posisi bersama para pecundang.
Pada situasi ekstrim, kondisi ini melahirkan gerombolan politik yang keji. Mewarisi praktek politik kekerasan mereka meneruskan banyak pekerjaan hina. Melakukan swepping, mendukung politisi bejat hingga melakukan kekerasan pada banyak aktivis. Kejayaan kelompok ini bukan karena dukungan aparat segala, tapi taktik ‘diam’ para aktivis. Seakan takjub dengan voltase kekerasan yang dilakukan maka upaya kita adalah ‘mendorong’ agar polisi bekerja untuk menangkap mereka hingga melakukan press release atas kekerasan yang sudah dialami. Lebih uniknya lagi, praktek perlawanan ini ‘difasilitasi’ oleh lembaga donor. Isu tentang pruralisme, kebebasan beragama, hingga perlindungan minoritas mendapat dukungan raksasa dari mereka. Pertemuan dari hotel ke hotel hingga riset bermunculan untuk berusaha memahami kenyataan sederhana ini. Maka normal jika yang meluncur adalah kampanye melalui poster, komik hingga kaos. Kekerasan kita bisa lihat jumlahnya dari tahun ke tahun dan bahkan kita tahu pelakunya. Tapi untuk ‘menghukum, menjerat hingga mengadili’ kita tak mampu. Maka konfrontasi yang berjalan berada di atas dataran proyek politik yang membawa untung kedua belah pihak. Periset dan pelaku; bukan korban.
Lingkaran iblis ini makin tak karuan karena kampus jadi benteng penyalur wacana. Produksi proyek demokrasi dipusatkan di banyak kampus negeri. Dosen-dosen yang dulu punya pengalaman progresif di gerakan jadi seperti birokrat yang melayani kepentingan apa saja. Terkadang jadi kaki tangan donor, sesekali memilih berlabuh dengan penguasa dan tak jarang jadi pembela hukum para jahanam. Cerminan keadaan ini ada pada sikap diam banyak kampus ketika aktivitas diskusi ilmiah diserbu oleh gerombolan sipil bersenjata. Wujud lebih nggak masuk akal lagi adalah administrasi kampus yang memaksakan kepatuhan pada mahasiswanya. Secara sederhana, kampus telah membangun desain teror yang sistematis untuk membekuk kesadaran kritis mahasiswa menjadi pelayan kepentingan-kepentingan modal. Pintu masuknya beragam: pembukaan pusat studi, kurikulum wirausaha hingga kerja sama kampus dengan perusahaan. Jalan ini kian mulus ketika pemerintah melahirkan berbagai regulasi tentang tata kelola kampus yang otonom dengan sistem akreditasi yang kompetitif. Kita tak lagi mampu untuk mendidik mahasiswa dengan utopia tentang keadilan karena kampus memang tak mampu mencium mimpi mereka. Mahasiswa dianggap seperti barisan boneka yang tahunya kuliah cepat dengan kesuksesan yang lebih cepat lagi.
Memutus mata rantai itu jadi tugas tak gampang. Beban dan tekanan ekonomi yang berada di seputar kalangan aktivis tak bisa dipecahkan dengan mudah. Inisiatif mengembangkan koperasi hingga usaha mengembangkan ekonomi mandiri berada dalam tekanan. Sistem ekonomi pasar telah meremukkan berbagai bentuk inisiatif. Maka pilihan pekerjaan jadi makin terbatas dan kebutuhan hidup tak bisa pemenuhanya ditunda. Saya tentu sependapat dengan gagasan koperasi, tapi kita juga ada baiknya melihat lebih jauh kemampuan para aktivis dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagian kini mulai berusaha mengembangkan jalur ekonomi alternatif: mencetak kaos, buat penerbitan, bikin web berita hingga membuat sekolah gerakan kecil-kecilan. Belakangan ada yang mencoba menghidupkan teater gerakan yang pentas dari kampus ke kampung. Gerakan kecil mereka ini memang mula-mula hanya mau keluar dari payung jeratan donor dan sudah barang tentu kekuatanya naik-turun. Bukan itu yang terpenting tapi ‘daya tahan’ untuk tidak melucuti dirinya takluk dengan kepentingan besar jauh lebih bermakna.
Pada situasi seperti inilah militansi lalu jadi punya kekuatan inspiratif. Sebab tak semua kemudian mau takluk dengan keadaan atau mencoba membuat kompromi dengan kenyataan. Sesekali memang ada usaha untuk melakukan penyesuaian dengan usaha menambal sana-sini. Tapi ada sejumlah aktivis yang masih mau mengorganisir, melakukan advokasi hingga mengalami siksaan dari aparat. Kebutuhan ekonomi dicukupi dengan kemampuan yang dimilikinya sendiri: menulis mungkin atau berjualan ala kadarnya. Kegiatan penting mereka adalah ‘mempertahankan’ konfrontasi dengan kekuatan apapun yang membajak kedaulatan dan otonomi rakyat. Penggalan kisah di Rembang, Kulon Progo, Palu hingga Papua memberi sinyal masih ada banyak aktivis militan yang terus-menerus memelihara garis batas antara barisan penjaga status quo dengan kekuatan progresif. Kini soalnya adalah bagaimana memberi dukungan pada mereka sembari berusaha melipat-gandakan perlawanan sejenis pada kawasan-kawasan lain.
Soalnya ancaman yang ada makin membahayakan. Pasukan fasis bertebaran dengan keyakinan naif pada stabilitas dan status quo. Barisan ini makin mendapat perlindungan ketika tak ada satupun kekuatan sipil yang berani melawan. Memasang spanduk ancaman di ruas jalan raya sudah jadi pemandangan umum. Seruanya selalu sama: awas bahaya komunis hingga awas bahaya Syiah. Menyatu bersama aparat keamanan dengan dilindungi oleh negara membuat kiprah kelompok ini makin mendekat dengan banyak agenda kepentingan busuk. Seperti melindungi pelaku korupsi, membabat habis semua kelompok kritis hingga menggunakan cara hukum untuk menumpas siapapun yang mengganggu. Tak jarang, mereka melakukan itu untuk mengalihkan dari sejumlah persoalan penting. Tapi kekuatan ini sebenarnya tak ‘seberapa’ secara jumlah hanya mereka jauh lebih punya dukungan dari elemen-elemen status quo. Politik ‘pembiaran’ negara pada keberadaan kelompok ini membuat mereka kian liar dalam aksi dan sasaran.
Di sisi yang ekstrem, ada banyak rakyat yang kini berstatus sebagai korban. Korban penggusuran, korban stigma hingga korban ketiadaan akses layanan. Seperti yang terjadi pada rakyat yang digusur tanahnya, buruh yang dipotong haknya hingga mahasiswa yang dijatuhi sanksi: adalah barisan yang tak mau tunduk dengan kebijakan represif aparat maupun tekanan kelompok fasis. Sebagian di antara mereka mengembangkan gerakan perlawanan yang amat efektif. Melakukan pemblokiran hingga menggrebek pabrik. Komunikasi di antara mereka kini coba dirawat meski belum sepenuhnya terkonsolidasi. Kecurigaan dan prasangka masih saja muncul. Tapi keberadaan aktivis jadi penting dalam situasi semacam ini. Mereka selain bisa menjadi kekuatan mediator dengan gerakan rakyat lainnya juga bisa mengorganisir elemen-elemen rakyat lainnya. Tegasnya, ada keperluan untuk mendorong prakarsa-prakarsa baru dalam menggerakkan perubahan.
Soal inilah yang membuat kita memerlukan barisan aktivis militan dan terorganisir. Tak sekedar unjuk rasa melainkan bagaimana mendorong kesadaran politik meningkat jadi praktek politik radikal. Taktik politik seperti mogok, boikot hingga grebeg pabrik seperti yang dilakukan pada buruh bisa jadi dapat dipraktekkan pada semua sektor perlawanan. Selain taktik ini terbukti efektif juga meningkatkan kesadaran akan pentingnya merebut kekuatan produksi. Simbol kekuatan produksi pada buruh ada di pabrik. Lewat grebeg pabrik terbukti pabrik dipaksa untuk berunding atau memenuhi tuntutan buruh. Selama ini massa demonstran telah kehilangan ‘elemen kekuatan produksi’ sebagai sasaran. Demo berlangsung di jalan yang sama lalu dituduh dengan tuduhan yang selalu sama: membuat macet jalanan. Agak ironis demonstrasi diukur keberhasilan dan kegagalanya dengan alat ukur satuan polisi lalu lintas. Sederhananya, logika perlawanan kita dibekuk untuk mengikuti tolak ukur para pemegang kekuasaan.
Karenanya aksi itu memiliki posisi tawar. Pada sisi yang lebih luas, taktik ini juga melatih ‘keberanian’ dalam melakukan konfrontasi. Konfrontasi pada elemen-elemen yang selama ini merasa punya kekuasaan karena ‘otoritas’ maupun memanfaatkan logika ‘teror’. Maka waktunya untuk menyudahi kegiatan perlawanan yang hanya berada di depan kamera atau duduk sembari minum kopi di depan layar. Saatnya pula untuk mengubur keyakinan kalau kesadaran kritis itu tak lagi bisa hidup di pelatihan, workshop apalagi penelitian yang bertabur dana ratusan juta. Hasil dari metode ini kita saksikan hari-hari ini: munculnya proyek demokrasi yang malah menghukum para pejuangnya dan terbitnya kekuatan fasis yang bersekutu dengan aparat. Tak bisa tidak praktek politik radikal yang selama ini dijalankan pada beberapa organisasi buruh bisa jadi ‘contoh terbaik’ untuk mendorong perlawanan pada titk-titik vitalnya.
Titik vital utama adalah elemen kontradiksi. Saatnya untuk memahami bahwa barisan status quo itu telah merampok kesempatan, pendapatan hingga kesadaran kritis kita. Tak bisa membayangkan korupsi hanya pada jumlah rampokan tapi ikut terlibat di dalamnya posisi pelaku yang mengakumulasi semua asset publik. Fakta rekening gendut bukan merupakan fakta moral dimana ada polisi serakah dan tamak; melainkan penting untuk jadi fakta politik dan ekonomi. Normal kalau petugas punya uang sebanyak itu maka dengan mudah bisa membeli loyalitas, dukungan hingga keadilan. Di sisi ekonomi ada arus pengambil-alihan asset yang semula milik publik berpindah pada kekayaan yang dipunyai perorangan. Koruptor bahkan pejabat yang punya harta melimpah adalah simbol bagaimana pencurian, perampokan dan penyitaan bisa dilangsungkan dengan normal sekaligus dilindungi aturan. Kontradiksi inilah yang akan membangun posisi batas antara mereka yang diuntungkan jika sistem ini dipertahankan dan mereka yang akan terus dikorbankan kalau sistem ini tak diubah. Mendorong kesadaran kontradiksi tak bisa melalui telaah pengetahuan semata tapi aksi-aksi perlawanan lapangan yang memberikan pengalaman lebih langsung.
Di sisi yang lebih prinsip lagi adalah membangun ingatan. Reaksi kelompok fasis atas pembubaran diskusi tentang peristiwa ‘65 hingga sweeping atas beberapa aliran yang dikatakan sesat, merupakan wujud langsung dari warisan kekerasan. Maka tindakan seperti Aksi Kamisan sebaiknya dilipat-gandakan di banyak kawasan untuk meneguhkan ingatan terus-terusan mengenai keberadaan kelompok fasis dan masih banyaknya korban kejahatan HAM. Teror merupakan cara untuk melupakan dan Aksi Kamisan adalah ikhtiar untuk melawannya. Pendirian monumen ingatan itu hadir melalui praktek aksi politik yang intens, terus-menerus dan rutin. Beruntung kini Aksi Kamisan tak saja berlangsung di Jakarta, tapi juga di Bandung, Jogjakarta hingga Samarinda. Lewat aksi-aksi politik seperti Aksi Kamisan itulah kita menunjukkan lagi kekuatan melawan lupa sekaligus menaklukkan rasa takut. Daya tahan Aksi Kamisan yang sudah bertahun-tahun bukan hanya menunjukkan komitmen melainkan juga meneguhkan posisi korban. Adalah korban yang sebenarnya jadi kekuatan pemrakarsa penting dalam upaya meneguhkan politik ingatan dan hanya kekuatan inilah yang bisa bertarung melawan sikap sewenang-wenang pasukan fasis.
Itu sebabnya, kita butuh inisiatif baru dalam memutus kebekuan gagasan politik. Menggantungkan pada metode penggalangan dukungan hingga upaya untuk menempuh jalur hukum tak lagi mencukupi. Selain itu juga tak banyak mendorong kesadaran kritis pada tingkat massa. Dibutuhkan aksi politik yang lebih militan, propagandis dan belajar dari keberhasilan banyak kawan-kawan gerakan. Tentu pelajaran pentingnya bagi aktivis adalah waktunya melakukan dekonstruksi keyakinan atas jalan perubahan yang dulu begitu dipercaya. Kritik ketergantungan pada lembaga donor hingga keterpesonaan pada partai tertentu waktunya disudahi. Tak mungkin praktek politik radikal lahir dari orang, lembaga hingga jaringan yang memang tak punya riwayat sama sekali melakukan praktek itu. Praktek politik radikal didasarkan bukan hanya oleh kesadaran, pengetahuan, tapi juga jejak langsung yang sudah ditanam sejak dulu. Maka penting waktunya untuk para aktivis untuk kembali pada jalan lama yang mungkin dipercaya waktu mahasiswa dan belajar dengan rendah hati pada sayap politik radikal yang dijalankan oleh rakyat maupun korban di banyak kawasan. Mungkin mereka tak berhasil menaklukkan barisan status quo, tapi setidaknya mereka memberi petunjuk bahwa mereka mampu, berani dan bisa ‘memukul’ barisan itu. Setidaknya mereka berdiri dengan tidak gentar dan bisa untuk mengatakan bahwa mereka tak mau mengalah apalagi mundur.***
Penulis adalah Aktivis Social Movement Institute