Musim Semi Arab telah lama berlalu, berganti menjadi kemarau panjang dengan paceklik. Gelombang revolusi digantikan dengan gelombang kontra-revolusi.
DUNIA dikejutkan dengan ekspansi Khmer Merah versi Islamis: Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Kelompok Islamis Sunni bersenjata ini, yang muncul sebagai akibat dari racikan maut antara politik sektarian Nouri al-Maliki, mantan Perdana Menteri Irak yang baru saja lengser itu, gelombang kontra-revolusi terhadap Musim Semi Arab (Arab Spring), dan tentu saja, fase imperial dari ekspansi neoliberalisme yang disokong Barat sekaligus ekspansi Wahhabisme yang disokong Arab Saudi, semakin hari semakin kuat, memantapkan cengkeraman kekuasaan politik, ekonomi, sosial, dan tentu saja, keagamaan, di wilayah-wilayah yang berhasil ditaklukannya. Lebih gilanya lagi, ideologi ISIS dapat dikatakan sebagai salah satu contoh fundamentalisme keagamaan sayap kanan, dalam hal ini fundamentalisme Islam, dalam bentuknya yang paling fasis dan totaliter. Di daerah-daerah kekuasaan ISIS, semua kelompok minoritas disiksa dan dibantai: orang-orang Syi’ah, Kristen, Yazidi, Kurdi, Druze, Mandean, dan juga kaum perempuan. Bahkan, Muslim Sunni, yang diklaim oleh ISIS sebagai kelompok yang diwakilinya, juga terpaksa bertahan hidup dalam suasana teror dan ketakutan. Dalam hal ini, ISIS tak ubahnya Khmer Merah atau para jagal Rwanda versi Islamis, yang siap memaksakan visi genosidisnya kepada siapapun yang berbeda dengan mereka.
Perumpamaan antara ISIS dengan Khmer Merah, bagi saya, perlu digarisbawahi. Tak ada satupun manusia yang berakal sehat yang akan mendukung barbarisme dan kebiadaban ISIS. Kita perlu mengutuk kejahatan ISIS, tetapi yang lebih penting lagi kita perlu memahami bagaimana kelompok ekstrimis militeris seperti ISIS dapat muncul dan berkembang begitu pesat. Untuk itu, kita perlu memahami pra-kondisi struktural yang memungkinkan kemunculan dan perkembangan ISIS. Kali ini, saya mengajukan satu pembacaan atas fenomena ISIS: sebagaimana Khmer Merah, ISIS bisa muncul dan menggencarkan proyek-proyek ekspansionismenya sebagai akibat dari sektarianisme al-Maliki, warisan tatanan pemerintahan developmentalis-otoritarian di Timur Tengah, dan intervensi ekonomi-politik Barat selama beberapa tahun terakhir.
Kemunculan ISIS
Ada dua penjelasan gampangan terhadap ekspansionisme ISIS: pertama, ISIS merupakan akibat dari merebaknya versi ekstrimis dari Islamisme[1] dan kedua, ISIS merupakan cerminan dari ‘kebencian kuno’ (ancient hatred) yang telah mendarah daging dalam masyarakat Timur Tengah. Sayangnya, dua penjelasan yang terlalu ideasional ini cenderung abai terhadap faktor-faktor lain, terutama faktor struktural yang memungkinkan ekspansionisme ISIS merebak. Untuk itu, kita perlu memahami konteks historis kemunculan ISIS. Buku terbaru jurnalis terkemuka spesialis Timur Tengah, Patrick Cockburn (2015), The Rise of Islamic State, akan menjadi referensi saya untuk memaparkan konteks historis kemunculan ISIS.
Untuk memahami kekacauan yang terjadi di Timur Tengah sekarang, kita perlu melihat apa yang terjadi di kawasan tersebut beberapa tahun silam. Meskipun sekarang sulit dibayangkan, kita tahu bahwa gelombang demonstrasi dan Revolusi Arab Spring menyapu segenap penjuru Jazirah Arab. Demokratisasi, keadilan ekonomi dan sosial, dan perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) di dalam tatanan pemerintahan yang relatif sekuler atau non-sektarian menjadi semacam pesan utama dari Arab Spring. Namun, keberhasilan Gerakan Rakyat tersebut berbeda-beda di tiap tempat. Tunisia mungkin merupakan satu-satunya kasus keberhasilan Gerakan Rakyat, di mana demokratisasi politik terjadi dan kaum oposan sekuler dan Islamis berhasil bersepakat untuk berpartisipasi di dalam gelanggang politik secara demokratik. Tetapi di negeri-negeri lain, seperti Bahrain, Libya, dan tentunya Irak dan Suriah, situasinya jauh lebih kompleks. Fakta inilah yang digarisbawahi oleh Cockburn.
Cockburn menekankan dua faktor penting, selain faktor-faktor yang saya sebut di atas, yang memungkinkan kemunculan ISIS di Irak dan Suriah: ‘beban sejarah’ kekerasan sektarian di dua negara tersebut dan intervensi negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat (AS), dan Arab Saudi di dalam Perang Sipil di Suriah. Di Irak, mayoritas warga Irak yang Syi’ah dimarginalkan dimasa rejim Saddam Hussein. Namun, setelah invasi AS ke Irak, di masa pemerintahan Irak pasca-invasi yang notabene mayoritas Syi’ah, giliran warga Sunni yang dimarginalkan, suatu proses yang mencapai puncaknya di masa pemerintahan al-Maliki. Tentu, al-Maliki bukanlah satu-satunya penyebab dan pihak yang menyebabkan sektarianisme semakin merebak di dalam masyarakat Irak, tetapi sejumlah kebijakan di masa pemerintahannya, seperti kecenderungannya untuk menggunakan diskursus politik yang berbau sektarian maupun dukungannya terhadap pembentukan kelompok-kelompok paramiliter Syi’ah ‘memberi angin’ bagi kemungkinan berkembangnya ISIS. Cockburn memberikan satu contoh yang sangat ilustratif: demonstrasi damai warga Sunni pada Desember 2012 tidak diindahkan oleh al-Maliki, Perdana Menteri Irak pada saat itu, yang kemudian disusul oleh serangan atas kamp perdamaian di Hawijah pada April 2013 oleh militer Irak, yang menewaskan lebih dari 50 demonstran (hal. 47). Menurut Cockburn, kejadian ini merupakan momentum yang mengubah strategi aksi damai dan pembakangan sipil menjadi perlawanan bersenjata. Ketika ISIS mulai muncul ke publik, banyak warga Sunni Irak yang memberikan dukungan tersiratnya: banyak warga Sunni, yang lelah atas kebijakan sektarian pemerintah Irak yang mayoritas Syi’ah, awalnya menganggap ISIS sebagai saluran perlawanan yang bisa membebaskan mereka dari jeratan sektarianisme, sebelum akhirnya mereka kembali tertindas dalam tatanan totalitarian setelah mereka ‘dibebaskan’ oleh ISIS, persis seperti orang Kamboja yang mengira pasukan Khmer Merah akan membawa kedamaian pasca perang yang tidak berkesudahan.
Namun, ada dua faktor lain yang memicu kelahiran dan perkembangan ISIS: instabilitas yang disebabkan oleh Perang Sipil di Suriah dan sisa-sisa jaringan al-Qaeda dan banyak milisi bersenjata ‘tanpa tuan’ lainnya yang siap mengkapitalisasi keadaan. Kita tahu, sebagaimana telah saya bahas sebelumnya, Assad adalah seorang despot, tetapi bukan berarti intervensi Barat di Suriah akan menyelesaikan segalanya. Yang terjadi adalah kebalikannya: intervensi Barat di Suriah telah memperpanjang perang sipil dan konflik sektarian di Suriah dan negara-negara di sekitarnya. Cockburn mencatat bahwa kelompok oposisi sekuler-demokratik di Suriah dan sayap militernya, Tentara Pembebasan Suriah (Free Syrian Army), perlahan dipinggirkan dan bahkan dihabisi oleh ‘rekan’ Islamis-ekstrimis mereka – yang kemudian bertransformasi menjadi ISIS (hal. 79-95). Meminjam istilah film G30S, ‘Suriah adalah kunci,’ karena di Suriah lah ISIS bisa memperkuat basis militernya sebelum memperluas operasinya ke Irak. ISIS memanfaatkan perbatasan antara Suriah dan Turki untuk memperkuat basis militernya, dengan menggunakan wilayah tersebut untuk latihan-latihan militer dan jalur pemasokan senjata tentunya. Tentu saja, pada saat itu, Turki menutup mata terhadap aktivitas ISIS, yang dianggapnya dapat menjadi penyeimbang terhadap perlawanan orang-orang Kurdi terhadap kebijakan sektarian pemerintah Turki yang cenderung anti-Kurdi. Namun, hal lain yang tidak kalah pentingnya yang memperkuat basis militer ISIS adalah dukungan militer terutama pasokan persenjataan dari negara-negara Barat terhadap kelompok ‘oposisi anti-Assad.’ Tentu saja, sebagaimana diakui sendiri oleh Wakil Presiden AS, Joe Biden, dalam suatu forum di Universitas Harvard pada Oktober tahun lalu, sekarang tidak ada yang namanya ‘oposisi anti-Assad’ – de facto, bantuan militer tersebut ujung-ujungnya mengalir kepada al-Nusra dan kelompok-kelompok Islamis-ekstrimis lainnya yang merupakan embryo ISIS (hal. xix-xx), yang makin mendominasi perlawanan anti-Assad dan bisa mendapat pasokan senjata canggih terbaru dari Barat dengan mudah, dengan memaksa atau membeli dari kelompok-kelompok oposisi lain yang semakin termarginalisasi. Instabilitas di Suriah, persekusi terhadap kaum minoritas Sunni di Irak, meningkatnya kekuatan militer embryo ISIS di suriah, dan konsolidasi kelompok-kelompok Islamis-ekstrimis di Irak di bawah komando Abu Bakar al-Baghdadi, ‘khalifah’, atau lebih tepatnya, panglima jagal ISIS, semuanya memungkinkan kemunculan dan perkembangan ISIS yang begitu pesat di Timur Tengah.
Ada satu faktor lain yang tidak boleh kita lupakan: ekspor Wahabbisme, yang sukses karena dukungan kekuatan politik dan dukungan dana dari dinasti Saud, yang sejatinya merupakan suatu bentuk imperialisme Arab Saudi. Cockburn memaparkan dengan cukup jelas upaya Arab Saudi untuk mempopulerkan Wahhabisme ke negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim (termasuk Indonesia tentu saja), meskipun pemerintah Saudi mulai kelimpungan dengan kemunculan varian Wahhabisme dan Islamisme yang menyerang dinasti Saud yang berkuasa (hal. 97-110). Wahabbisme memberikan landasan ideologis bagi kelompok-kelompok seperti ISIS: retorika anti-minoritas – anti-Kristen, anti-Yahudi, dan terutama, anti-Syi’ah, merupakan salah satu karakteristik utama dari Wahabbisme, yang masih diajarkan di bangku-bangku sekolah dan institusi-institusi pendidikan di Arab Saudi. Gagasan anti-Syi’ah, yang dipopulerkan untuk menghadang pengaruh Iran di Timur Tengah, yang digabung dengan gagasan ‘kemurnian Islam’ versi Sunni, menemukan gaungnya bukan hanya kepada warga Sunni di Irak yang termargninalisasi oleh kebijakan sektarian, tetapi juga kepada kelompok-kelompok Islamis-radikal yang di kemudian hari bertransformasi menjadi ISIS – yang pada akhirnya juga mengembangkan tendensi anti-Saudi.
Berdasarkan observasi di atas, tak heran apabila Cockburn berkesimpulan bahwa ISIS bisa muncul dan merebak bagaikan wabah penyakit yang mematikan karena kondisi struktural yang diciptakan oleh Barat, terutama AS, dan juga Arab Saudi, yang memperparah konflik sektarian dan kesenjangan sosial yang memiliki sejarah yang cukup panjang di Irak dan Suriah. Dengan kata lain, ISIS bagaikan ‘anak haram’ yang tak diinginkan dari hasil ‘perselingkuhan’ imperialisme AS dan imperialisme Saudi, yang mengamuk dan melancarkan serangannya ke segala penjuru, memaksakan visi tatanan sosialnya yang fasis kepada rakyat jelata yang kembali harus menanggung penderitaan setelah perang dan pemerintahan tangan besi yang berkepanjangan.
Perempuan pejuang Kurdi menentang ISIS. Foto diambil dari http://1-ps.googleusercontent.com
Prospek Perkembangan Politik di Timur Tengah Pasca ISIS
Berdasarkan pembahasan kita mengenai ekspansi ISIS akhir-akhir ini, ada sejumlah hal yang perlu kita bahas lebih lanjut, yaitu pertama, perbedaan antara kritik terhadap ISIS dengan pembacaan esensialis atas masyarakat Muslim, kedua, analisa atas dinamika politik di Timur Tengah terutama kebangkitan Islamisme dari perspektif strukturalis-historis, dan ketiga, peranan kaum Kurdi dalam perlawanan atas ekspansi ISIS.
Pertama, kita perlu membedakan antara kritik terhadap ISIS dengan pembacaan esensialis atas masyarakat Muslim. Memahami dan menempatkan kemunculan ISIS dari perspektif strukturalis-historis adalah perlu, tetapi saya juga tidak menafikkan bahwa kita juga perlu melakukan pemblejetan atas interpretasi Islam ala ISIS dan para jagal berjubahnya yang sangat vulgar, fasis, totaliter, dan genosidis. Tugas itu saya serahkan ke para pengkaji teks-teks keagamaan Islam yang membaca teks secara progresif dan dapat meruntuhkan doktrin-doktrin ISIS. Ini diperlukan untuk membuktikan bahwa mereka yang bertarung untuk ISIS, meskipun mereka membayangkan diri mereka adalah tentara Tuhan, sejatinya mereka adalah tentara Setan. Tetapi satu pembacaan dan kritik yang menarik terhadap doktrin ISIS adalah kritiknya Zizek (2014), yang menunjukkan bahwa doktrin militeris ISIS adalah penghinaan terhadap fundamentalisme yang sejati, yang dianut oleh pemeluk Buddhisme Tibet dan orang-orang Amish di AS misalnya, yang percaya terhadap potensi pembebasan spiritual dari praktik-praktik keagamaan yang ketat dan tidak takut terhadap godaan dari luar, terutama dari orang-orang yang tidak percaya dengan sikap keberagaman yang ortodoks dan puritan seperti itu. Dengan kata lain, tendensi teroristik ISIS merupakan pelencangan dan pelecehan terhadap fundamentalisme dalam artian yang sesungguhnya menurut Zizek. Tendensi tersebut, sebagaimana telah kita bahas di atas, lahir dan berkembang dalam konteks yang sangat spesifik dan ekstrim, yaitu perang, kekerasan sektarian, dan otoritarianisme yang sangat intens, yang menjadikannya bertransformasi menjadi suatu bentuk ideologi keagamaan sayap kanan yang fatalis dan fasistik.
Dalam kaitannya dengan (apa yang kebanyakan orang pahami sebagai) doktrin-doktrin agama Islam dan masyarakat Muslim, kritik teologis dan ideologis terhadap Islamisme ISIS bukan berarti menjustifikasi pandangan-pandangan esensialis terhadap Islam dan masyarakat Muslim. Tidak perlu saya sebutkan bahwa hampir seluruh Muslim di dunia menolak aksi-aksi teroristik dan doktrin-doktrin reaksioner ISIS. Faktanya, banyak warga Muslim menjadi korban dari kekerasan Islamis, termasuk kekerasan oleh ISIS, dan mereka yang berkonfrontasi langsung dengan pasukan ISIS di darat, seperti pasukan Kurdi, juga Muslim. Karenanya, tidak perlu ada semacam ‘imbauan’ kepada ‘para Muslim di seluruh dunia’ untuk ‘mengutuk kekerasan ISIS’ dan ‘keheranan’ bahwa penentangan terhadap ISIS di negeri-negeri Muslim ‘kurang terdengar.’ Kita sering mendengar bahwa ‘menghaluskan’ kritik terhadap Islam dan masyarakat Muslim merupakan sebuah bentuk political correctness. Namun, apabila komunitas Muslim harus terus menerus ‘membuktikan’ bahwa mereka ‘bukan ISIS,’ ‘bukan teroris,’ dan dapat menjadi bagian dari ‘masyarakat modern’, bukankah ini berarti ada sebentuk reverse political correctness yang tidak kalah vulgar yang bekerja di sini? Seorang Muslim seakan-akan harus membuktikan bahwa dirinya ‘bukan’ atau ‘kurang’ Islami untuk dapat diterima di masyarakat modern. Ini sama saja dengan memperkuat pandangan esensialis atas masyarakat Muslim dalam bentuk ‘Muslim baik’ dan ‘Muslim buruk’ (good Muslim/bad Muslim) yang didefinisikan oleh kekuatan hegemonik yang menguasai diskursus sosial dan politik (Mamdani, 2004), seperti AS dan imperium globalnya, dan juga kekuatan imperial yang lain, seperti Arab Saudi misalnya. Keberadaan diskursus esensialis yang menekankan pada oposisi biner tersebut juga membuktikan bahwa pandangan yang Eurosentrik dan orientalis atas masyarakat Muslim masih marak. Kaum Muslim Timur Tengah seperti sudah jatuh, tertimpa tangga pula: sudah ditindas oleh pemerintah mereka sendiri, diperangi oleh kekuatan luar, dibantai oleh jagal macam ISIS, masih juga disalahkan karena mereka dianggap ‘kurang bersuara menghadapi terorisme ISIS.’ Sungguh sebuah penggambaran dan tuduhan yang bukan hanya absurd tetapi juga menghina.
Kedua, sebagaimana telah saya bahas secara cukup rinci di atas, untuk memahami fenomena ISIS secara lebih komprehensif, kita perlu menempatkan dan menganalisanya dalam kacamata strukturalis-historis. Ideologi jagalisme yang menjadi landasan ekpansi militeris ISIS tidak muncul dan berkembang dari kevakuman sejarah. Ideologi tersebut juga tidak serta merta langsung mempengaruhi para petarung dan simpatisan ISIS untuk mengangkat senjata demi sebuah konsepsi khilafah yang banyak khilaf-nya. Ada dimensi-dimensi lain, perebutan kucuran dana dari Saudi dan Qatar misalnya, atau mekanisme disiplin militer ISIS yang sangat rigid dan teroristik, atau ketiadaan pilihan dan upaya-upaya yang sangat desperate untuk bertahan hidup. Bayangkan jikalau kita misalnya adalah seorang pemuda Sunni muda yang cukup sehat di sebuah kampung di Iraq, dan pasukan ISIS yang ‘membebaskan’ kampung tersebut dari ‘cengkeraman’ pemerintah Irak ‘memanggil’ para ‘Muslim’ untuk bertarung ‘di jalan Tuhan.’ Bisa jadi pilihan bagi si pemuda tersebut hanya dua: antara ‘bergabung’ dengan milisi ISIS atau dipenggal sembari direkam dalam video[2]. Yang terjadi di medan pertempuran jauh lebih kompleks ketimbang tersihirnya segerombolan fanatik oleh panggilan keagamaan dan janji-janji surgawi dalam bentuknya yang paling barbar.
Ketiga, yang terakhir dan tidak kalah penting, peranan kaum Kurdi dalam perlawanan terhadap ISIS patut kita hormati dan hargai. Orang-orang Kurdi, yang notabene Muslim Sunni namun minoritas secara etnis dan senantiasa tertindas di negara-negara yang mereka tinggali, baik Irak, Turki, maupun Suriah, sudah paham betul bagaimana rasanya ditindas dan dipermalukan oleh rejim-rejim tangan besi di negara-negara tersebut. Tak heran apabila pasukan Kurdi dari berbagai organisasi politik dan paramiliter Kurdi berada di garis terdepan dalam – sebagai bentuk dukungan saya terhadap kaum Kurdi, izinkan saya menggunakan istilah ini – jihad melawan imperialisme ISIS. AS dan negara-negara Timur Tengah lainnya yang memerangi ISIS boleh menepuk dada bahwa serangan udara mereka ‘melemahkan’ ISIS sembari menutup mata terhadap fakta bahwa bom-bom yang dijatuhkan mereka kerap kali melukai dan menewaskan banyak warga sipil yang tidak ada hubungannya dengan konfilk dan perang yang tengah berkecamuk dan kemungkinan bahwa upaya pengeboman dari udara dapat meradikalisasi banyak orang untuk bergabung ke ISIS. Tetapi kita tahu bahwa pasukan Kurdi merupakan pasukan yang paling efektif dalam konfrontasi langsung dengan ISIS di daratan. Dan melihat bahwa kita tidak punya banyak pilihan selain melakukan aksi militer balasan terhadap ekspansionisme ISIS, maka menurut hemat saya sudah sepatutnya kita mendukung perjuangan kaum Kurdi.
Ada banyak cerita mengharukan dari upaya militer kaum Kurdi. Pasukan Kurdi, seperti Peshmerga (militer resmi Kurdi di Irak) dan YPG (People’s Protection Units, sayap militer Democratic Union Party (PYD), partai sosialis Kurdi di Suriah) banyak menyelematkan kelompok minoritas seperti orang-orang Yazidi dan Kristen dari kekejaman ISIS. Hal lain yang juga sangat mencolok dan menarik dari pasukan-pasukan Kurdi adalah partisipasi pejuang dan gerilyawan perempuan – yang tidak kalah militan dengan rekan laki-laki mereka dan konon kabarnya ditakuti pasukan ISIS – yang sangat tinggi dalam aksi-aksi mereka. Padahal, di saat yang bersamaan, AS dan rekan-rekannya di Timur Tengah tidak pernah betul-betul mempedulikan nasib orang Kurdi apalagi aspirasi mereka untuk memiliki tatanan politik yang otonom (Stansfield, 2014; Tharoor, 2014). Militansi pasukan Kurdi juga mengundang simpati sejumlah sukarelawan yang bergabung dengan mereka untuk melawan ISIS, seperti Ivana Hoffman misalnya, seorang perempuan muda Jerman keturunan Afrika Selatan yang juga anggota Marxist-Leninist Communist Party (MLKP), sebuah partai komunis yang berbasis di Turki yang dekat dengan YPG dan Kurdistan Workers’ Party (PKK), yang baru saja gugur dalam suatu pertempuran melawan ISIS. Yang paling mengharukan adalah upaya orang-orang Kurdi untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosialis yang libertarian dan demokratik di wilayah-wilayah yang berhasil dibebaskan dan dipertahankan oleh mereka. Gareth Watkins (2015) mencatat sejumlah upaya eksperimen sosialis kaum Kurdi di wilayah mereka. Pemerintahan mereka misalnya, bukan hanya dipilih secara demokratik, tetapi juga mensyarakatkan keterwakilan perempuan minimal 40%. Kemudian, dalam hal penanganan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelaku KDRT bukan hanya akan mendapatkan ganjaran hukum tetapi juga pengucilan sosial dari masyarakat – bandingkan misalnya dengan ‘kekhilafan’ ISIS yang memperbudak perempuan dan merupakan neraka di dunia bagi kebebasan dan hak-hak perempuan. Bahkan, pengelolaan sistem kepolisian dan hukum dilakukan secara demokratik – alih-alih polisi, terdapat ‘komite-komite perdamaian’ yang menyelesaikan konflik di masyarakat di antara pihak-pihak yang bertikai secara imparsial, dialogis, dan damai. Arsitek dan ideolog dari eksperimen ini tentu saja adalah Abdullah Ocalan, pemimpin PKK, yang masib berada di balik terali besi, yang menkontekstualisasikan ide-ide Kiri dalam perjuangan pembebasan kaum Kurdi menjadi sosialisme libertarian dengan unsur feminisme dan ekologisme yang kental. Tujuan dari menceritakan pengalaman dan keberhasilan eksperimen praktik-praktik sosial baru oleh orang-orang Kurdi di Timur Tengah bukanlah untuk meromantisir pencapaian-pencapaian mereka, melainkan untuk menjadi bahan pembelajaran sebagai alternatif progresif terhadap otoritarianisme developmentalis di Timur Tengah, imperialisme Barat, dan juga barbarisme ISIS.
Pasca kekacauan yang dihasilkan oleh totalitarinisme ISIS, imperialisme Barat, AS, dan Saudi, dan sisa-sisa despotisme rejim-rejim lama, adakah jalan keluar dari kemelut politik panjang di Timur Tengah? Akan seperti apakah masa depan Timur Tengah pasca gelombang kontra-revolusi ini? Saya tidak tahu. Ironisnya, saya hanya bisa bergumam lirih: down with imperialism and authoritarianism, death to the fascist ISIS, and hopefully, victory to the progressive Kurds and Arabs in the Middle East.***
Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc
Kepustakaan:
Cockburn, P., 2015. The Rise of Islamic State: ISIS and the New Sunni Revolution. London & New York: Verso.
Gagnon, V.P., 2004. The Myth of Ethnic War: Serbia and Croatia in the 1990s. Ithaca: Cornell University Press.
Mamdani, M., 2004. Good Muslim, Bad Muslim :America, the Cold War, and the Roots of Terror. New York: Pantheon Books.
Stansfield, G., 2014. Kurdistan Rising: To Acknowledge or Ignore the Unravelling of Iraq. [Online] Tersedia di: http://www.brookings.edu/~/media/research/files/papers/2014/07/kurdistan-iraq-isis-0731/kurdistan-iraq-isis-stansfield-0731.pdf [Diakses 12 Maret 2015].
Tharoor, I., 2014. A U.S.-designated terrorist group is saving Yazidis and battling the Islamic State. [Online] Tersedia di: http://www.washingtonpost.com/blogs/worldviews/wp/2014/08/11/a-u-s-designated-terrorist-group-is-saving-yazidis-and-battling-the-islamic-state/ [Diakses 12 Maret 2015].
Watkins, G., 2015. Anarchists vs. ISIS: The Revolution in Syria Nobody’s Talking About. [Online] Tersedia di: http://www.cvltnation.com/anarchists-vs-isis-the-revolution-in-syria-nobodys-talking-about/ [Diakses 12 Maret 2015].
Zizek, S., 2014. ISIS Is a Disgrace to True Fundamentalism. [Online] Tersedia di: http://opinionator.blogs.nytimes.com/2014/09/03/isis-is-a-disgrace-to-true-fundamentalism/?_r=0 [Diakses 12 Maret 2015].
————-
[1] Istilah ‘Islamisme-ekstrimis’ saya pikir lebih tepat untuk menggambarkan kelompok-kelompok Islamis dengan taktik kekerasan seperti ISIS dibandingkan istilah ‘jihadis’ yang menyempitkan makna jihad dalam Islam yang memiliki konotasi yang lebih dekat dengan perjuangan untuk mencapai pembebasan spiritual menjadi justifikasi atas perang suci’ (holy war) untuk tujuan-tujuan sektarian.
[2] Pola kekerasan yang tidak membedakan antara lawan yang berbeda identitas dengan rekan satu kelompok yang memiliki pandangan moderat merupakan hal yang jamak terjadi dalam kasus kekerasan massal yang dimotori oleh kelompok-kelompok paramiliter yang tidak memiliki kode moral dan disiplin militer yang mengikat, seperti di Rwanda dan Yugoslavia misalnya. Lihat misalnya pemaparan bernas Gagnon (2004) tentang konflik etnis di Serbia dan Kroasia.