SECARA sederhana, arti demokrasi adalah partisipasi luas publik.
Membicarakan demokrasi yang menyangkut dengan keikutsertaan warga di dalamnya, menjadi landasan yang penting. Karena demokrasi sejatinya tidak hanya dipahami melalui mekanisme prosedural seperti pemilu, melainkan berupa sebuah proses yang berlangsung terus menerus dalam kehidupan sehari-hari. Namun, demokrasi paska reformasi justru masih stagnan. Salah satu gugatan serius soal proses demokrasi Indonesia yang telah berlangsung selama 14 tahun ini adalah kegagalannya memberikan kesejahteraan bagi rakyat.
Demos dan Puskapol UI melakukan penilaian demokrasi sepanjang empat tahun (2010-2014) melalui Indeks Demokrasi Asia (IDA). Sebuah sistem pengukuran perkembangan demokratisasi di negara yang memiliki sejarah kediktatoran atau rezim otoritarian. IDA mendefenisikan demokrasi sebagai de-monopolisasi di tingkat monopoli politik, ekonomi dan sosial. Riset ini menemukan bahwa sumberdaya yang penting dalam relasi politik, sosial dan ekonomi masih dikuasai kekuatan-kekuatan elit lama yang telah menikmati monopoli sejak masa otoriter.
Meskipun terdapat perubahan konstelasi politik hasil Pemilu Legislatif 2014 dari Partai Demokrat ke partai PDI-Perjuangan, akan tetapi gelagat kembali ke masa Orde Baru semakin terlihat. Kita dapat menemukan beberapa kecenderungan tersebut di masa pemerintahan Jokowi-JK yang represif (kasus krimininalisasi KPK, dan terakhir memimpa Komnas HAM)[1]. Meskipun kehadiran Jokowi, merupakan klaim keberhasilan aspirasi politik masyarakat, akan tetapi wajah pemerintahan baru ini tidak terlepas dari kekuatan politik oligarkis. Bahkan dalam beberapa hal dapat dikatakan bahwa rezim hari ini lebih parah, dari pemerintahan SBY. Hal ini sebenarnya tidak mengagetkan karena wajah Jokowi-JK, justru merepresentasikan bagaimana partai-partai dan wajah-wajah lama yang telah menguasai sumber daya kekuasaan.
Temuan IDA di tahun 2014, setidaknya kembali memperlihatkan bahwa ekonomi kita masih di kuasai oleh aktor-aktor dominan yang ditandai dengan masih ditemukannya kesenjangan pendapatan antar kelompok dan antarwilayah[2]. Temuan tersebut mengingatkan kita pada temuan penelitian Perkumpulan Prakarsa yang menghitung kekayaan 40 orang terkaya, setara kekayaan 60 jiwa penduduk Indonesia paling miskin[3].
Sementara temuan IDA 2014 pada ranah masyarakat sipil menunjukkan bahwa kelompok ini masih sangat dipengaruhi oleh pemilu. Secara statistik, angka partisipasi dalam pemilu meningkat dibandingkan penyelenggaraan pesta demokrasi sebelumnya. Pada tahun 2009, partisipasi publik di dalam pemilu legislatif berada pada kisaran angka 70,99%. Angka tersebut kemudian mencatat peningkatan sebesar 4,12 % pada pemilu legislatif 2014[4]. Gejala lain ditunjukkan dengan munculnya bentuk-bentuk baru partisipasi politik warga seperti beragam kelompok relawan-relawan dalam pemilu presiden yang baru lewat. Akan tetapi tantangan serius yang hadir kemudian misalnya berupa intervensi pemerintah terhadap organisasi masyarakat sipil yang tetap mengancam (UU Ormas, UU ITE, RUU Kamnas). Dan pada akhirnya kekuatan yang tetap ada kemudian terus berakar dan menyesuaikan diri hanyalah oligarki. Argumentasi ini kemudian dikuatkan oleh temuan Demos dalam survei mengenai masalah-masalah dan pilihan-pilihan demokrasi di Indonesia[5] yang berkesimpulan bahwa demokrasi yang berlangsung saat ini di Indonesian adalah demokrasi oligarki.
Lalu bagaimana keberadaan masyarakat sipil saat ini di tengah konsolidasi elit dominan yang semakin menguat? Di tengah gempuran oligarki yang menggunakan legitimasi dan kekuasaan di wilayah politik serta menguasai sumber-sumber kekuasaan ekonomi yang tersebar?
Tulisan Eko Prasetyo di laman Harian Indoprogress[6], sangat menohok gerakan masyarakat sipil saat ini. Singkatnya konsolidasi di kalangan pendukung demokrasi saat ini, bukannya mengalami progress namun justru secara ironis terus mengalami penggerusan secara perlahan, kehilangan esensi dan tujuan utamanya, untuk memperkuat representasi popular. Konsolidasi demokrasi di tengah kelompok gerakan sipil pada akhirnya berubah semata-mata hanya sebagai bagian dari kerja-kerja berorientasi proyek ekonomi yang sangat tergantung terhadap donor. Hal ini kemudian ikut membentuk wajah gerakan masyarakat sipil di Indonesia yang cenderung elitis dan saling berkompetisi (bahkan terkadang dengan cara yang tidak sehat) guna mengamankan sumber-sumber pendanaan dari donor.
Hasil dari penelitian evaluatif yang dilangsungkan pada pertengahan tahun 2014 lalu, kemudian melahirkan rekomendasi untuk menggagas pembentukan Blok Politik Demokratik (BPD)[7]. Hal ini setidaknya dianggap dapat menjadi alasan kuat untuk memperkuat konsolidasi praktek dan taktik di kalangan aktivis pro demokrasi dan gerakan masyarakat sipil saat ini. Melalui rangkaian penelitian yang dilakukan di empat daerah pembentukan BPD (Kabupaten Batang, Kabupaten OKI, Kabupaten Serang dan Kota Kupang), ditemukan bahwa proses konsolidasi politik di tingkat lokal sedang berlangsung dan mengalami dinamikannya sendiri sesuai dengan konteks dan kondisi subjektif BPD[8].
Di sisi lain, konsolidasi masyarakat sipil yang dianggap optimal dan representatif justru belum menemukan cara. Pengelompokan dan pengorganisiran sejauh ini masih berdasarkan kesamaan isu yang temporer. Penyatuan dan konsolidasi berbasiskan isu taktis membuat ikatan di tengah kelompok masyarakat sipil sangat renggang dan menghadirkan kecenderungan untuk kembali kepada kepentingan organisasi masing-masing setelah tuntutan isu bersama berhasil (atau gagal) dicapai.
Halangan lain yang juga serius adalah bagaimana pola konsolidasi masih sering bertumpu pada kekuatan figur dan infrastruktur salah satu organisasi (inisiator). Hal tersebut kemudian membuka celah untuk melahirkan fragmentasi lebih lanjut dan kecenderungan oportunistik dari figur-figur lokal yang memiliki cukup kekuatan ekonomi dan politik. Konsolidasi sejenis itu justru gagal untuk mencapai tujuan sebagai upaya memunculkan pemimpin (leader) dan organisator (organizer). Sebaliknya justru yang terjadi adalah persaingan antar aktor dan gesekan-gesekan yang diakibatkan oleh perebutan akses terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik. Meskipun BPD telah berfungsi sebagai wahana pendidikan politik, namun penciptaan ruang partisipasi seluas mungkin bagi warga, masih menghadapi tantangan yang sangat serius. Itu mengapa pada akhirnya, konsolidasi-konsolidasi yang dilakukan BPD justru lebih sering sebagai upaya untuk merespon momentum elektoral (mendukung kandidat dalam politik praktis), daripada membangun partisipasi langsung warga untuk terlibat serta mempengaruhi (mengontrol) kebijakan di tingkat lokal.
Temuan IDA di atas memberikan catatan penting bagi para aktifis kelompok masyarakat sipil, yaitu bagaimana jumlah ragam kelompok NGO ternyata tidak menjawab kebutuhan masyarakat. Jumlah ragam tersebut pada akhirnya hanya menjadi gambaran soal keragaman isu dan sektor yang diwakili oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil. Hingga saat ini, keragaman isu dan keterwakilan sektor tersebut ternyata belum dapat menjadi kekuatan yang dapat dianggap serius sebagai tandingan ideologi dan kekuatan yang mengancam demokrasi dan pluralitas masyarakat[9]. Penelitian tersebut sekaligus mengemukakan fakta bahwa pada umumnya masyarakat tidak mengetahui apa yang dikerjakan oleh sebuah kelompok NGO. Temuan ini seperti mengingatkan kembali kepada masa-masa di mana terjadi pergolakan ideologi di antara berbagai kelompok masyarakat sipil, seperti yang dicatat oleh Mansour Fakih[10]. Pergolakan ini berlangsung pada dekade 1990an ketika lahir pertanyaan besar mengenai kapabilitas dan kualitas sebuah kelompok masyarakat sipil untuk bekerja memecahkan persoalan kemiskinan, atau hanya mampu menyembuhkan gejalanya saja. Kegelisahan pada era tersebut sebenarnya mulai terlihat ketika mulai bermunculnya ratusan kelompok NGO di Indonesia. Kritik pada periode tegangan tersebut terletak pada persoalan bagaimana banyak NGO yang tidak melakukan kerja-kerja pengembangan anggota basis di tingkat akar rumput, dan masih berlangsung hingga hari ini.
Gerakan Rakyat Berdaulat (GRB), sebagai sebuah koalisi yang di bangun oleh puluhan kelompok NGO, mahasiswa serta akademisi di tingkat nasional ketika bersama-sama merespon isu Pilkada oleh DPRD pada akhir tahun 2014, cukup memberikan gambaran bagaimana wajah konsolidasi masyarakat sipil kita saat ini. Meskipun GRB telah berhasil menyepakati berbagai macam isu taktis sebagai komitmen tujuan bersama pada awal pembentukannya -wacana melawan oligarki politik- akan tetapi secara strategis (termasuk pengorganisasian massa dan struktur kelompok) masih terus mengalami kendala.
Demos sendiri memiliki pengalaman langsung yang menunjukan bagaimana banyak organisasi masyarakat sipil kita masih dalam situasi gamang. Alih-alih membangun isu bersama, dalam level aksi massa atau dukungan publik saja, gerakan kelompok masyarakat sipil masih sulit dipercaya. Kekuatan penekan yang paling bisa diandalkan sejauh ini, hanya berasal dari buruh dan mahasiswa. Dan kekuatan itu sendiri sejauh ini masih belum maksimal dalam lapangan praktek solidaritas lintas sektoral, jika dibandingkan dalam perumusan isu-isu bersama. Kelompok buruh masih memfokuskan diri pada pencapaian target dan pemenuhan gerakan buruh pada isu-isu terkait buruh. Konsolidasi jenis tersebut, mau tak mau harus diakui sebagai konsolidasi yang sarat agenda donor, yang sangat mudah terlihat dari gerakan setiap organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Konsolidasi temporer tersebut juga memiliki karakter reaktif yang misalnya tampak ketika beberapa waktu yang lalu, sejumlah kelompok gerakan mahasiswa sipil kembali membentuk koalisi baru anti korupsi yang secara spesifik diarahkan untuk membela KPK dalam perseteruannya dengan Polri. Gerakan masyarakat sipil di Indonesia masih tampak seperti gerakan simbolik, yang belum berhasil membangun wacana dan gerakan yang menyentuh kepentingan individual dan kolektif warga secara luas untuk mengajak mereka terlibat didalamnya.
Di dalam situasi seperti ini, konsolidasi demokrasi di arus kelompok masyarakat sipil dapat dikatakan sedang menghadapi jalan terjal. Untuk mengimbangi kekuatan oligarki, gerakan masyarakat sipil harus menemukan cara untuk kembali memperkuat representasi dan resistensi popular melalui pengorganisasian, pembangunan basis sosial serta upaya menghubungkan gerakan di tingkat nasional dengan yang dibangun di tingkat lokal. Proyek demokratisasi oleh para donor yang mengganggap konsolidasi demokrasi telah usai dan bertendensi untuk menggerus kesadaran masyakarakat, haruslah mulai dipikirkan dan kembali di garap secara serius oleh aktifis-aktifis dari kelompok masyarakat sipil atau organisasi rakyat yang berafiliasi. Sehingga kemudian kelompok masyarakat sipil di Indonesia, tidak akan disebut sebagai “sektor LSM”, yang hanya memikirkan demokrasi sebagai proyek guna menopang “dapur” organisasi belaka atau sebagai aktivis yang telah menjelma sebagai borjouis kecil.***
Penulis adalah direktur eksekutif Demos Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi
————–
[1] http://www.tempo.co/read/news/2015/03/07/063647934/Setelah-KPK-dan-Tempo-Giliran-Komnas-HAM-Dikriminalkan
[2] Indeks Demokrasi Asia: Kasus Indonesia Tahun 2014, Puskapol UI 2014
[3] (Policy Review Perkumpulan Prakarsa 2011)
[4] KPU: Partisipasi Pemilih di Pemilu Legislatif 2014 Capai 75,1%. http://nasional.kompas.com/read/2014/05/10/0211249/KPU.Partisipasi.Pemilih.di.Pemilu.Legislatif.2014.Capai.75.11.Persen
[5] Priyono, Samadhi, dkk. 2005. Menjadikan Demokrasi Bermakna
[6] Eko Prasetyo. 2015. “Posisi Aktivis: Di Antara Proyek Demokrasi dan Praktek Politik Radikal” Harian IndoPROGRESS, https://indoprogress.com/2015/03/posisi-aktivis-di-antara-proyek-demokrasi-dan-praktek-politik-radikal/
[7] BPD merupakan wadah gerakan sosial untuk membangun jaringan yang kuat, antara gerakan masyarakat sipil (LSM dan OR) yang terdapat di berbagai tempat, dengan aktivitas politik yang terorganisir (parpol, parlemen dan berbagai lembaga representasi lainnya). Sejak diinisiasi pada tahun 2008 hingga 2011, BPD mulai dibangun di lima belas wilayah pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
[8] Hasil penelitian ini berupa buku dengan judul Menuju Demokrasi Bermakna: Perbaikan – perbaikan Representasi Politik di Indonesia masih dalam proses percetakan.
[9] Dinamika Pertumbuhan Ekonomi dan Ketidaksetaraan di Indonesia. Ringkasan Eksekutif Laporan Konsorsium Indeks Demokrasi Asia 2013, Demos – Puskapol UI
[10] Mansour Fakih, 2010. Masyarakat Sipil Untuk Tranformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.