Edisi XXXII/2015

Print Friendly, PDF & Email

Daftar Isi:

Feminisme Itu Bukan Sekadar Pilihan Personal!

Evolusi dan Revolusi: Teori Darwin dalam Pemikiran Politik Marxis

 

PULUHAN, bahkan ratusan ibu-ibu, ada yang masih cukup muda, paruh baya, bahkan yang sudah terlihat tua, berjejer di tengah jalan pintu masuk sebuah pabrik, lengkap dengan jarik, kebaya dan capingnya. Mereka duduk bergerombol, ada pula yang berdiri bercengkerama dengan damai. Tetapi, di balik wajah-wajah yang tenang tersebut, tersimpan aura perjuangan yang begitu kentara. Ya, merekalah ibu-ibu Samin yang sekeras baja menolak pembangunan pabrik Semen Gresik Indonesia di kawasan Rembang, Jawa Tengah.

Pembanguna pabrik semen di atas lahan pertanian ini pun bukan tanpa konteks. Adalah Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang menjadi basis bagi semakin gencarnya ekspansi modal melalui akumulasi primitif, melalui pemisahan produsen dengan sarana-sarana produksinya dengan paksa. Untuk mewujudkan MP3EI, pemerintah perlu, dan memang harus, untuk menyediakan segala sarana dan prasarana yang menunjuang agar ekspansi kapital berjalan dengan mulus, dan salah satu di antaranya dalah dengan adanya infrastruktur yang memadai. Untuk terciptanya infrastruktur yang memadai, tentu saja, salah satu syaratnya adalah adanya bahan baku yang mencukupi semua pembangunannya. Di sini, kita melihat bahwa pembanguna Pabrik Semen tidaklah semata untuk memenuhi kebutuhan lokal, tetapi juga menjadi syarat bagi mulusnya investasi yang “ramah” bagi seluruh investor asing.

Di satu sisi, kita juga melihat kelindan lain antara penetrasi kapitalisme dengan gerakan perempuan yang diwakili oleh ibu-ibu bercaping dan hanya bersenjatakan poster-poster tersebut. Dari sini kemudian kita juga harus memilikirkan ulang apa relasi yang tepat antara feminisme, sebagai upaya teoritisasi terhadap gerakan perempuan, dengan corak produksi yang justru sama sekali tidak ramah dengan perempuan. Gerakan perempuan haruslah pada mulanya merupakan perjuangan terhadap hak-hak ekonomi, tidak seperti saat ini dimana narasi yang dominan, setidaknya menurut pengamatan kami, sebatas pada persoalan identitas dan perayaan perbedaan semata.

Dalam konteks demikian, kami menghadirkan sebuah review menarik dari Perdana Putri yang membahas buku Fortunes of Feminism: From State-Managed Capitalism to Neoliberal Crisis karya Nancy Fraser. Dalam review tersebut, kita akan melihat bagaimana feminisme yang acuh terhadap relasi ekonomi politik yang menindas dan sebatas pada, sekali lagi, perayaan perbedaan semata, justru tidak akan membawa kita kemanapun selain ke jalan buntu. Para pegiat feminisme, dalam ulasan tersebut, harus mulai kembali membaca secara teliti sejarah panjang feminisme, terutama pada Pasca Perang Dunia II yang lebih menitkberatkan pada persoalan distribusi dan alokasi yang adil terhadap sumber daya ekonomi. Meskipun begitu, ulasan tersebut juga menunjukkan bahwa menitikberatkan perjuangan atau menganggap kontradiksi pokok berada pada aras ekonomi-politik bukan berarti acuh sama sekali terhadap apa-apa yang berada pada aras kultural. Ia penting, tetapi harus selalu menjangkar pada ekonomi politik, demikian kira-kira.

Kemudian, dalam esai kedua, kami menghadirkan review buku Historical Materialism and Social Evolution dari Fransiskus Hugo. Dalam review tersebut, Hugo menunjukkan bagaimana kondisi yang ada saat ini tidaklah statis sejak zaman baheula, ada relasi yang kuat antara perkembangan alam dengan evolusi manusia, baik dalam hal bentuk fisik hingga organisasi sosialnya. Sebaliknya, kenyataan sejarah juga menunjukkan bahwa dengan kerja, manusia ternyata bukanlah subjek yang pasif yang dibentuk oleh kondisi materiilnya semata. Selain itu, review tersebut juga menunjukkan bagaimana teori evolusi Darwin membawa dampak yang cukup signifikan terhadap perkembangan Marxisme, terutama tesis materialisme historis. Keduanya saling melengkapi. Tesis materialisme historis dilandasi dan diafirmasi oleh teori evolusi, sedangkan teori evolusi diradikalkan dengan materialisme dialektika historis. Tanpa relasi tersebut, atau ia rawan jatuh pada sejenis determinis-ekonomistik, atau ia akan menjadi semacam voluntaristik. Tentu, pembacaan terhadap relasi antara yang objektif atau infrastruktur, dengan yang subjektif atau suprastruktur, penting dalam konteks saat ini. Dimana, misalnya, kritik yang berkembang terbatas pada kritik moralis yang naif tanpa menjangkarkannya pada kritik ekonomi politik.

Akhir kata, selamat membaca!

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.