Antara Kewaspadaan, Militansi, dan Refleksi: Sebuah Catatan Mengenai Arah Politik Akhir-akhir ini

Print Friendly, PDF & Email

SEBELUMNYA kita sudah mengucapkan selamat tinggal kepada Jokowi dan membongkar ilusi popularitas Ahok. Kemudian, baru-baru ini terdapat sejumlah perkembangan politik yang menarik, seperti aksi warga Rembang yang menolak pendirian pabrik semen di lingkungan mereka. Deretan artikel terbaru di IndoProgress yang mempertanyakan mengenai masa depan aktivisme gerakan masyarakat sipil dan gerakan mahasiswa merupakan upaya untuk memahami sekaligus merespon sejumlah perkembangan terbaru tersebut. Kali ini, saya juga turut serta untuk mencoba memahami perkembangan politik terkini. Sukur-sukur apabila dari analisa tersebut kita bisa pelan-pelan merumuskan langkah-langkah apa yang harus kita ambil kedepannya. Pada satu titik, sepertinya ada kesepakatan bahwa pengorganisasian massa rakyat diperlukan sebagai strategi politik kelas untuk memperjuangkan agenda-agenda publik.

Untuk memulai diskusi, mari kita tengok aksi warga Rembang yang telah dan masih berlangsung hingga saat ini. Selain bersolidaritas terhadap perjuangan para warga wabil khusus ibu-ibu di Rembang, bagi saya yang baru bisa melihat dari kejauhan aksi ini menarik apabila kita letakkan dalam perkembangan gerakan rakyat pekerja di Indonesia pasca reformasi. Edward Aspinall (2013b) dalam artikelnya mencatat bahwa meskipun sejauh ini gerakan sosial di Indonesia masih sangat terfragmentasi dan belum bisa membentuk suatu blok politik yang kohesif dan signifikan, nyatanya ada perubahan kualitatif dari aktivisme rakyat pekerja pasca reformasi. Bahwasanya konstelasi politik Indonesia, terutama politik elektoral, tetap oligarkis merupakan satu hal yang sepertinya disepakati oleh banyak pihak, tapi akan sangat naif apabila kita menafikkan potensi militansi rakyat pekerja dan kemampuan mobilisasinya. Tentu saja, mobilisasi dan pengaruh riil dalam pembuatan berbagai kebijakan publik merupakan dua hal yang berbeda. Sebagaimana telah disampaikan oleh Ridha kemarin dalam tulisannya, kita membutuhkan “penguatan kapasitas politik dalam rangka mengendalikan secara programatik kebijakan yang sesuai dengan kepentingan publik” (penekanan oleh saya). Tetapi, tidaklah berlebihan bahwa potensi militansi itu tetap ada, dan pergerakan rakyat di Rembang menunjukkan hal itu: bahkan setelah involusi dan demoralisasi gerakan sosial pasca pemilu 2014 kemarin, gerakan rakyat tidak berhenti bergerak.

Melihat militansi rakyat akhir-akhir ini, maka lagi-lagi pertanyaan selanjutnya adalah apa respon gerakan-gerakan sosial menanggapi militansi ini? Kali ini, saya tidak mencoba memberikan saran-saran yang bersifat preskriptif, tetapi mencoba merefleksikan sejumlah pertanyaan yang diangkat oleh Inggrid Silitonga dalam artikelnya kemarin. Kritik Silitonga terhadap pengabaian terhadap jejaring ekomi-politik dan diskursus hegemonik yang membentuk sejumlah segmen dalam masyarakat sipil di Indonesia serta kecenderungan kariris dari masyarakat sipil tersebut merupakan kritik yang sangat tepat sasaran. Nyatanya, kita tahu bahwa di banyak negara-negara berkembang, terutama negara-negara kapitalis pinggiran, masyarakat sipil bukanlah imajinasi indah Tocqueville, yang bercerita kumpulan asosiasi publik yang otonom, independen dari kepentingan negara dan modal, dan organik. Masyarakat sipil di negara-negara tersebut jauh lebih terfragmentasi, dan sebagian segmen dari mereka cenderung mempromosikan bentuk-bentuk partisipasi publik yang cenderung terbatas dan teknokratis jikalau bukan seremonial sama sekali. Bahkan, dominasi ideologis dari neoliberalisme juga telah merangsek ke dalam praktek-praktek organisasi-organisasi gerakan masyarakat sipil. Mentalitas proyek misalnya, merupakan salah satu contoh penetrasi ideologis neoliberalisme tersebut (Aspinall, 2013a). Tak heran apabila James Petras (1999) dari jauh-jauh hari bahkan mengkritik sejumlah praktek organisasi masyarakat sipil sebagai perpanjangan tangan dari imperialisme karena kecenderungan borjuis kecil dan karirisnya. Sejauh mana masyarakat sipil atau gerakan sosial di Indonesia bisa memperjuangkan agenda-agenda politik rakyat pekerja bergantung kepada sejauh mana ia dapat meruqyah kecenderungan borjuis kecil dan kariris yang pelan-pelan merasuki dirinya.

Dalam semangat refleksi jugalah kita perlu melihat perkembangan gerakan mahasiswa akhir-akhir ini, terutama karena terdapat sejumlah gelombang protes yang diprakarsai oleh sejumlah elemen gerakan mahasiswa yang berbasis di kampus-kampus universitas di Indonesia. Menanggapi fenomena ini, saya cenderung mengambil posisi yang cenderung tidak konvensional dan kontrarian, karena terdapat ambivalensi yang inheren dari gerakan mahasiswa dimanapun, terutama karena basis sosial mahasiswa sebagai bagian dari kelas menengah. Ambivalensi yang inheren tersebut adalah wajah ganda dari gerakan mahasiswa: ia bisa berkarakter progresif tetapi bisa juga berkarakter reaksioner. Refleksi Arif Novianto atas perkembangan gerakan mahasiswa menunjukkan bagaimana ambivalensi tersebut secara historis merupakan bagian dari gerakan mahasiswa di tanah air. Terkadang, kita memiliki pandangan yang cenderung romantik dan ahistoris mengenai mobilisasi, terutama mobilisasi mahasiswa sebagai ‘agen perubahan’. Pada kenyataannya, kita tahu bahwa tidak semua mobilisasi bersifat progresif; ada juga mobilisasi yang cenderung reaksioner dan bahkan konservatif. Yang terjadi akhir-akhir ini di Venezuela merupakan salah satu contohnya. Contoh lain yang lebih dekat adalah gelombang demonstrasi yang terjadi di Thailand menjelang kudeta terhadap pemerintahan Yingluck Shinawatra. Seorang kawan saya yang tekun mengkaji politik Thailand berpendapat bahwa gelombang demonstrasi tersebut bisa saja hanya merupakan cerminan dari pertarungan internal di antara para oligark alih-alih gerakan sosial yang organik dan bergerak ‘dari bawah’ (Rhoden, 2013). Dalam artikelnya, dia bertanya, bagaimana bisa para demonstran biasa yang menuntut penggulingan pemerintahan Yingluck Shinawatra mendanai berbagai keperluan logistik untuk aksi-aksi demonstrasi yang begitu berwarna – lengkap dengan pamflet, kaos, sound system, hingga panggung yang biasanya dipakai untuk konser-konser musik?

Sebelum keburu dilempari sandal, saya hanya mengingatkan bahwa di sini saya tidak melakukan spekulasi yang aneh-aneh dan liar, melainkan hanya sekedar bertanya. Mungkin, pertanyaan saya – atau lebih tepatnya pertanyaan kita – bisa diparafrasekan sebagai pertanyaan yang sifatnya konterfaktual: apakah perkembangan politik kita akan menjadi seperti ini apabila tidak ada keberlanjutan dominasi oligarki pertarungan internal yang sengit di antara para oligark dan segenap elit lainnya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, lagi-lagi kita perlu menjauh dari perspektif yang sifatnya simplistis, moralis, dan romantik, melihat segala sesuatunya dari perspektif yang hitam-putih. Dari situ kita bisa merumuskan dan memiliki kerangka analisa yang tepat untuk melihat keadaan dan membedakan tendensi-tendensi dari berbagai jenis mobilisasi dan aksi politik yang ada, terutama mana yang memajukan agenda politik kelas dan mana yang tidak. Sebagai contoh, aksi rakyat Rembang menentang pembangunan pabrik semen merupakan ekspresi politik kelas, sedangkan kegumunan terhadap Ahok – terlepas dari fakta bahwa agenda anti korupsi serta transparansi dan akuntabilitas pemerintahan yang kebetulan dicanangkan Ahok perlu didukung – tanpa kritisisme terhadapnya bukan merupakan ekspresi politik kelas. Ini yang perlu kita sadari, dan menurut hemat saya kita memerlukan perspektif yang kritis tersebut untuk melihat kecenderungan berbagai gerakan mahasiswa serta aksi-aksinya akhir-akhir ini. Saya bisa paham bahwa banyak dari rekan-rekan mahasiswa yang ‘turun ke jalan’ mungkin melakukan aksi seperti ini karena niat baik dan ketulusan hati mereka. Tetapi dalam politik, niat baik saja tidak cukup. Kerap kali, niat yang baik dan hati yang tulus bisa jadi merupakan sebentuk kenaifan yang bisa menimbulkan dampak-dampak yang tidak terduga – sebagaimana para mahasiswa eksponen gerakan ’66 tidak menyadari bahwa upayanya untuk mendongkel pemerintahan Sukarno dan mengkritik dominasi PKI berujung kepada pembantaian 1965.

Akhirul kalam, demikianlah pembacaan saya mengenai perkembangan politik terkini di tanah air. Jikalau ada satu atau dua kesimpulan yang bisa disepakati oleh banyak pihak, maka itu adalah kebutuhan untuk menerjemahkan militansi dan kemampuan mobilisasi rakyat pekerja menjadi kemampuan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang bersifat programatik. Kemudian, kewaspadaan dan kejelian untuk membaca situasi politik terkini merupakan strategi lain yang bisa kita sepakati. Perjalanan kita masih panjang, tetapi kita setidaknya tahu bahwa perubahan sosial bukanlah semudah aksi atlet renang indah yang bisa loncat, berdansa di udara, koprol, dan kemudian menyelam dan berenang dalam satu kali tarikan nafas. Ada prasyarat-prasyarat teoretik yang terinspirasi dari segenap pengalaman di ranah praksis yang harus kita penuhi untuk mengantar kita ke arah sana. Perjuangan memang tidak mudah, tetapi itu memang merupakan bagian dari hukum gerak perjuangan rakyat: ‘berjuang, kalah, berjuang lagi, kalah lagi, hingga akhirnya menang.’***

 

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

 

Kepustakaan:

Aspinall, E., 2013. A Nation in Fragments: Patronage and Neoliberalism in Contemporary Indonesia. Critical Asian Studies, 45(1), pp.27-54.

Aspinall, E., 2013. Popular Agency and Interests in Indonesia’s Democratic Transition and Consolidation. Indonesia, 96, pp.101-21.

Petras, J., 1999. NGOs: In the Service of Imperialism. Journal of Contemporary Asia, 29(4), pp.429-40.

Rhoden, T.F., 2013. Thailand’s oligarchs are fighting. [Online] Tersedia di: http://asiapacific.anu.edu.au/newmandala/2013/12/11/thailands-oligarchs-are-fighting/ [Diakses 27 Maret 2015].

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.