SAYA hendak memulai diskusi kita pada pertanyaan yang sedikit puitik, namun relevan: masih adakah nafas kita untuk melakukan transformasi sosial hari-hari ini?
Ya, hari-hari ini. Diskusi kita tidak akan memiliki faedahnya apabila ia tidak dipancangkan pada situasi kekinian, pada kontemporalitas, pada yang ‘hari ini.’ Berbicara mengenai situasi politik hari-hari ini, kita tentu bisa menderetkan beberapa hal secara spontan: demokrasi yang tersabotase oligarki, birokratisme dan teknokratisme politik, korupsi partai politik berikut politisinya, politik transaksional nir-idiologi, mahasiswa pragmatis, NGO berorientasi proyek, korporasi membeli negara, mandulnya kritisisme kampus, kongkalingkong dengan korporasi asing, tunduknya kedaulatan di hadapan kapital dan negara besar, dst. Inilah yang kerap kita dengar, baca, saksikan, bahkan alami di kehidupan kita sehari-hari. Dimana-mana kita temukan kedangkalan, kepalsuan, dan kebohongan. Situasi demikian kemudian memroduksi subyek-subyek pragmatis, sinis dan egois, di satu sisi. Namun di sisi lain, mereka-mereka yang idealis dan menjunjung-tinggi kejujuran, garis idiologi/perjuangan, dan integritas, harus memungut puing-puing keyakinannya yang hancur berkeping-keping. Sinisme dan asketisme akhirnya menjadi subjektivitas mereka-mereka yang belakangan ini, jika bukan malah menjadi konformis dan menjadi pragmatis.
Saya kira, inilah masalah bagi topik utama kita pada kesempatan kali ini: aktivisme. Hal-hal yang terjadi di tingkatan nasional, bahkan global, perlahan-lahan tapi pasti semakin menghantarkan efek yang nyata di kehidupan kita sehari-hari. Semakin tinggi harga-harga kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah, biaya ini dan itu. Pekerjaan menjadi semakin langka, dan semakin tidak menentu – baik dari segi masa kerja, remunerasi dan kepastian kerja. Persaingan makin ketat dan individualis. Proyek-proyek penelitian, pemberdayaan, advokasi, dst., menjadi semakin seret untuk para aktivis NGO. Demikian pula kejujuran, keterus-terangan dan keberpihakan para jurnalis yang berkomitmen semakin menjadi hal yang di-daftar-hitamkan pimpinan-pimpinan media pada umumnya. Himpitan-himpitan kehidupan individu dari hari ke hari ini berefek pada panjang pendeknya nafas mereka-mereka yang berupaya untuk mewujudkan suatu perubahan sosial-politik yang berarti, mereka-mereka yang dikenal sebagai ‘aktivis’: kita.
Inilah pergumulan yang dihadapkan pada kita aktivis. Banyak kita lihat, dan bahkan rasakan sendiri, bagaimana memompa nafas untuk tetap teguh di jalur aktivisme adalah hal yang sukar. Sering pula kita lihat jatuh bangun gerakan, NGO, lembaga penelitian dan organisasi-organisasi perserikatan yang mempraktikkan aktivisme, karena masalah keuangan seperti keterbatasan donor dan pemasukan yang tidak menentu. Di rumah, para aktivis harus berhadapan dengan suami/istri, anak-anak, mertua, dan orang tua. ‘Asap dapur harus mengepul’, demikian yang kerap terucap. Ironisnya, di lain sisi, semakin idealis suatu riset dilakukan, semakin susah sang peneliti mendapat donor. Semakin suatu kegiatan pemberdayaan menyasar permasalahan mendasar seperti ketimpangan kesempatan berproduksi dan jejaring penguasa, semakin jauh suatu NGO dari donor atau program pemberdayaan pemerintah. Semakin suatu aktivitas sosial jauh dari indikator profitability, maka semakin program CSR korporasi susah diakses. Siapapun yang mau mempraktikkan aktivisme hari-hari ini, pasti akan berhadapan dengan tantangan seperti ini.
Frustrasi
Kata ini saya kira paling cocok untuk mendeskripsikan gejala psikis yang ditampakkan[1] para aktivis kebanyakan hari ini. Di satu sisi mereka ingin memperjuangkan ide-ide besar transformasi, pergerakan, dan/atau perlawanan. Namun di sisi lain, semakin mereka mendalami dan serius terhadap itu semua, semakin pula kerentanan (sosial, ekonomi, politik) hidup meliputi mereka. Yang memfrustrasikan adalah bahwa para aktivis ini tahu betul bahwa kerentanan kehidupan yang menguras nafas hidup mereka adalah akibat dari sesuatu yang ingin mereka transformasikan dan/atau lawan. Seakan-akan sang lawan ini mencekik dari berbagai penjuru sehingga membuat sang aktivis sulit meneruskan nafas perjuangan mereka. Sayangnya lawan ini sangat jauh dari jangkauan kita, susah untuk kita tonjok. Seolah-olah mustahil untuk kita lawan. Frustrasi membuat subjek aktivis berada pada posisi terkulai pasrah, seolah tidak mampu berbuat apa-apa untuk meneruskan perjuangannya. Memangnya, seperti apakah lawan ini ?
Dalam suatu kesempatan, saya pernah terlibat dalam perbincangan awal pembentukan suatu serikat pekerja. Saat itu, rekan-rekan pekerja ini dibantu oleh beberapa orang ‘aktivis senior’ untuk pembentukan organisasi. Satu jam berlalu saat sang aktivis senior ini menceritakan pengalamannya saat mengorganisir demonstrasi pekerja besar-besaran di era 90-an, dan disaat-saat menuju reformasi. Seorang pekerja kemudian nyeletuk, ‘owalah mas, nek jamane sampeyan enak lha wong mungsune ketok. Saiki po’o mungsune sopo ae gak ngerti…’ [ya ampun mas, kalau zamannya kamu enak karena musuhnya keliatan. Kala sekarang, musuhnya siapa saja kita tidak tahu…]. Saya kira celetukan sang pekerja ini juga dirasakan kita semua hari ini. Jika dulu sang musuh memfrustrasikan kita dengan represi fisik nan konkret, namun sekarang sang musuh hanya bisa kita rasakan dari kesusahan kita sehari-hari. Saya kira ini, salah satunya, perbedaan konteks aktivisme hari ini dan dulu.
Mencoba menculaskan perbedaan ini, saya meminjam ilustrasi jenaka seorang filsuf tentang dua macam ayah: ayah totaliter dan ayah posmodern.[2] Suatu hari ayah totaliter menyuruh anaknya menjenguk nenek yang sedang sakit. Karena disertai suara menggelegar dan ancaman potong uang saku, maka sang anak dengan terpaksa pergi sekalipun di dalam hati ia mengumpat kesal. Beda halnya dengan ayah posmodern yang toleran dan demokratis, ia berkata pada anaknya, ‘nak, kamu tahu kan kalau nenek sangat menyayangi kamu. Nah sekarang nenek sakit, dia pasti senang kamu jenguk. Tapi, kalau kamu tidak mau menjenguk, ya tidak apa.’ Efeknya lebih parah dari ayah totaliter. Si anak bukan hanya tetap harus pergi menjenguk sang nenek, melainkan ia harus merasa ‘bebas’ untuk pergi dan berbahagia dalam menjalankan proses penjengukan nenek yang sebenarnya ia benci.
Bukankah ini suasana yang kita hadapi saat ini? Kita, para aktivis, dibuat seakan-akan percuma untuk melawan, dan sebaliknya kita dipaksa untuk merasa bahwa adalah suatu pilihan bebas untuk tunduk dan mengikuti koridor-koridor yang disediakan sistem saat himpitan ekonomi (lengkap ditambah omelan pasangan, rengekan anak, sindiran orang tua/mertua) semakin mencekik nafas kita. Lawan kita di era posmodern ini memerangi kita tidak hanya dengan polisi rahasia yang mengintai kita, namun dengan mengondisikan kefrustrasian kita dan menjadikan kita orang-orang sinis terhadap idealisme perjuangan. Siapa yang tidak tergiur dengan tawaran proyek pemberdayaan masyarakat dengan rate honor tinggi, sekalipun kita tahu pasti itu hanya merupakan ‘sogokan’ untuk membabat lahan guna menanam kelapa sawit yang merusak itu, misalnya, di kala lembaga kita mengalami paceklik pemasukan? Peneliti mana yang tidak tergiur menjadi pelegitimasi kebijakan dan konsultan pesanan di kala proposal-proposal riset seriusnya tidak digubris oleh kampus atau pendonor? Lawan kita hari ini memfrustrasikan kita dengan cara-cara subtil dan halus seperti ini. Seketika saja kita merasa seperti sekrup berkarat di hadapan arogannya sekawanan Megatron (antagonis dalam film Transformers).
Satu hal yang ingin saya soroti yang menjadi salah satu akibat dari pemfrustrasian ini, yaitu korupsi. Saya tidak hanya berbicara mengenai korupsi dalam artian sempit (korupsi uang, jabatan, kekuasaan), yaitu dalam artian penyelewengan. Lebih dari itu. Korupsi bukan hanya menyangkut hal-hal yang sebenarnya juga non-material, melainkan bagaimana sistem yang memfrustrasikan ini seakan telah membuat korupsi sebagai suatu hal yang wajar dan normal.[3] Sedemikian rupa sehingga korupsi menjadi mekanisme normal berjalan mulusnya sistem yang ia ciptakan, sekaligus alat yang dilakukan lawan kita untuk mengaburkan kita dari idealisme-idealisme perjuangan kita.
Foto diambil dari https://nurachmanku.files.wordpress.com
Lebih dari hal-hal yang kasat mata seperti uang, kuasa dan jabatan, korupsi muncul saat kita mulai memberikan pembenaran-pembenaran untuk tindakan kita menyerah pada sistem dan keadaan, membungkusnya seolah terkesan kita adalah korban yang tak berdaya untuk terkorupsi (berkorupsi). Pula korupsi memberi justifikasi bagi kita untuk ‘pura-pura masuk dalam sistem dan melawannya dari dalam’ tanpa argumen jelas dan program terukur. Korupsi membuat kita bisa menyelamatkan muka dari rasa bersalah, dengan mengatakan ‘yah setidaknya kami melakukan sesuatu,’ di kala seolah semua yang kita lakukan sia-sia. Korupsi membuat kita lihai memanipulasi retorika-retorika perubahan sosial untuk menutupi mental transaksional kita. Korupsi menyabotase aktivisme sebagai panggung untuk semata meneguhkan identitas diri/organisasi dan ritual identitas aktivis, sementara menjauhkannya dari mengintervensi keadaan secara berarti. Korupsi membuat kita yang sudah banyak makan asam garam kehidupan aktivisme mencibir junior dan kawan kita yang lebih muda, saat mereka berapi-api terbakar idealismenya. Korupsi membuat kita penuh prasangka dan cemburu saat organisasi sebelah dapat proyek. Singkatnya, bak para Conquistador Spanyol membuat para Aztec menghancurkan seluruh produk capaian tinggi kebudayaan Imperium Aztec dengan tangannya sendiri, demikianlah korupsi menjadikan aktivis agen penghancur dari aktivisme itu sendiri. Bedanya, suku Aztec meratapi ini dengan mendalam, para aktivis justru menjadikan ini sebagai suatu dirty little (common) secret di antara mereka, suatu ‘omongan jorok’ yang ‘tahu sama tahu.’
Korupsi adalah salah satu kemungkinan luaran dari frustrasi. Merasa gagal memperjuangkan hasratnya untuk transformasi sosial yang ideal, subjek mencari-cari simbolisasi-simbolisasi untuk mengompensasikan hasratnya yang mula-mula.[4] Merasa lelah mencoba dari segala penjuru, sang subjek aktivis akhirnya terjebak pada rutinitas-rutinitas aktivisme yang selama ini dilakukannya sebagai aktivis. Absennya dinamika paradigma dan cara melihat permasalahan. Aktivisme yang makin terhirarkisasi, terpersonifikasi, terbirokratisasi dan terteknokratisasi. Inilah rupa-rupa gejala terkorupsi aktivisme itu sendiri oleh para aktivis. Yang terpenting adalah ‘aksi!’, ‘lakukan sesuatu’ dan imperatif-imperatif lainnya. Mungkin benar kata Zizek, kita harus membalik seruan NATO – no action talk only – menjadi: don’t just do something, talk! Aktivisme rawan jatuh pada seruan iklan Nike “Just do it!” – ya, pokoknya lakukan saja meski kita tidak benar-benar tahu apa yang kita lakukan, apakah berarti atau tidak.
Jadi, masih adakah nafas kita untuk melakukan transformasi sosial hari-hari ini?
***
Menutup paparan ini, saya sendiri bahkan tidak cukup yakin untuk memberikan jawaban positif (‘masih ada’), dan sangat tidak rela untuk memberikan jawaban negatif (‘sudah tidak ada’). Ini hal yang harus kita diskusikan dan pecahkan tentunya. Sekalipun tidak berusaha memberikan saran yang bijak, setidaknya ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik sebagai turunan dari paparan saya barusan.
Pertama, adalah penting untuk memulai upaya-upaya pengorganisasi kemandirian ekonomi secara harian di kalangan aktivis. Semenjak urusan dapur mengepul adalah sangat signifikan bagi panjang pendeknya nafas aktivisme, maka kita harus mulai memikirkan upaya-upaya untuk mengamankannya. Kolektivitas dan solidaritas di antara aktivis adalah kapital yang sangat berharga untuk pengorganisasian ekonomi secara mandiri ini. Koperasi misalnya, adalah contoh yang bisa dilakukan. Tujuan koperasi yang paling utama adalah pemenuhan kebutuhan anggota melalui pengorganisasian ekonomi kolektif (dan bukan individualistik). Maka adalah baik bagi para aktivis untuk mulai mengupayakan satu per satu kebutuhannya dipenuh secara kolektif melalui koperasi. Diskusi lebih mendetil mengenai usulan ini tentu diperlukan, namun saya kira ini cukup untuk memberikan sense of importance dari pengorganisasian ekonomi secara kolektif sebagai basis aktivisme.
Kedua, dengan menormalnya dan mewajarnya korupsi, maka penting bagi kita untuk cukup tajam dan jeli dalam memisahkan, menseparasi, dan memilah-milah suatu hal dari aspek-aspek yang mengorupsinya. Dengan mentotalnya praktik korupsi di sistem hari ini, maka semua-nya rawan terkorupsi, dan bisa jadi memang telah terkorupsi. Hari ini, bahkan institusi seperti Bank Dunia pun menyerukan pembangunan desa, perhatian terhadap petani kecil, kesetaraan jender dan penyediaan akses kesehatan dan pendidikan. Isu-isu ini adalah isu yang tadinya dibawa oleh para aktivis sosial, namun kini sudah tersabotase kepentingan-kepentingan bisnis yang menunggangi Bank Dunia tersebut. Singkatnya, jika memperhatikan petani kecil adalah tindakan progresif, maka Starbucks adalah yang paling radikal. Begitu pula jika mengupayakan kesetaraan jender adalah radikal, maka Bill dan Melinda Gates adalah pasangan paling revolusioner abad ini. Maka adalah urjen untuk mampu mengidentifikasi dan membedakan agenda perjuangan rakyat dari agenda akumulasi profit/kuasa dari suatu ikhwal.
Ketiga, untuk melakukan hal pada pelajaran kedua di atas, perlu bagi aktivis untuk mengembangkan sayap intelektualnya lebih lagi. Pasalnya, semakin subtil dan tampak tak terbedakannya aspirasi penguasa dengan aspirasi kita para rakyat dalam suatu praktik-wacana seperti, misalnya ‘pembangunan’, ‘demokrasi’, ‘pemberdayaan’, dst., maka semakin mutakhir pula alat analisis yang diperlukan untuk membedah praktik-wacana tersebut. Riset, adalah hal yang mutlak bagi aktivisme. Riset merupakan upaya intelektual aktivis, bukan untuk menggurui aktivis lainnya(!!!), namun untuk menunjukkan posisi kita semua beserta penderitaan-penderitaan kita ke dalam suatu gambaran yang lebih besar dan abstrak. Riset membuat aktivis untuk tidak terjebak dalam miopia dan kacamata kuda dalam mencandra kejadian demi kejadian yang terjadi dan/atau menimpa kita di keseharian. Riset menyediakan peta objektif tentang sistem pertahanan lawan, menunjukkan celahnya, dan merekomendasikan strategi intervensi.
Keempat, sekaligus yang paling pelik, dengan mewabahnya (sampai taraf pandemik, bisa jadi) gejala frustrasi di kalangan aktivis, maka penting bagi kita untuk melakukan upaya-upaya penenangan (katarsis). Tentunya, jalan pintas fanatisme SARA bukanlah solusinya. Potensi afektif dari suatu kolektivitas dapat menjadi penenang yang produktif sekaligus penyemangat bagi para aktivis yang dirundung frustrasi. Saling menguatkan dengan menceritakan (dan bukan menyombongkan, sekalipun itu dibalut frase-frase merendah) pengalaman aktivisme, saling bertukar informasi, bacaan dan sesekali humor, saling bertukar analisis, dst.: inilah yang diperlukan para aktivis untuk, tidak hanya merapatkan barisan, melainkan juga tetap menjaga spirit aktivismenya. (Bahkan mungkin juga mendapatkan pasangan hidup yang sama-sama aktivisnya, yang konon bisa membuat hidup sebagai aktivis ‘jadi lebih mudah’!)
Untuk yang keempat ini, saya membayangkan suatu wadah terbuka yang berperan sebagai semacam impresario dalam suatu opera. Impresario berfungsi sebagai pengatur acara, pengatur dekorasi, mengundang dan menyeleksi artis dan pementas, mengundang penonton dan memastikan pertunjukan berjalan lancar. Impresario bertugas mengumpulkan, menghimpun, mengundang, dan memfasilitasi orang-orang berkumpul di bawah satu tema pertunjukkan. Demikian pula halnya ‘impresario aktivisme,’ ia adalah wadah terbuka non-partisan yang menjadi tempat berkumpulnya para aktivis dari berbagai elemen (mahasiswa, akademisi, NGO, jurnalis, seniman) untuk saling berdiskusi, memaparkan pandangan dan pengalamannya, menyosialisasikan hasil riset dan amatannya, tapi juga saling memperhatikan satu sama lain, bahu membahu memupuk solidaritas dan pengorganisasian ekonomi kolektif, … kesemuanya di bawah satu spanduk: transformasi sosial.
Saya sangat optimis Sekolah Idiologi dan Gerakan Sosial – In-Trans Institute yang baru dibentuk ini mampu menjalankan fungsi impesario aktivisme ini. Salam.***
Penulis adalah peneliti di Koperasi Riset Purusha dan Editor Jurnal IndoPROGRESS
Artikel ini sebelumnya adalah makalah yang disampaikan pada kuliah umum “Idiologi Aktivisme dan Perubahan Sosial,” dalam acara Pembukaan Sekolah Idiologi dan Gerakan Sosial, In-Trans Institute, Malang, 14 Februari 2015. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.
————–
[1] Dalam psikoanalisis Jacques Lacan, frustrasi adalah satu dari tiga bentuk “kehilangan obyek hasrat” – dua lainnya adalah privasi (privation) dan kastrasi (castration). Lih. Lacan, Seminar 4, La relation d’objet (1956-57). Frustrasi, oleh Lacan diartikan sebagai suatu kondisi saat permintaan subjek akan suatu objek pemuas hasrat yang mustahil dihalangi dan sang subjek tahu benar bahwa ia sedang dihalang-halangi (Lacan, S4, 101).
[2] Lelucon ini disampaikan oleh Slavoj Zizek di berbagai kesempatan diskusi publik. (Beberapa diunggahkan ke Youtube, misalnya, bisa dicari dengan kata kunci “Zizek Postmodern Father”)
[3] Konsep ‘korupsi’ yang dipakai di sini terinspirasi dari pembahasan Michael Hardt dan Antonio Negri, Empire (2000), subbab “Generation and Corruption.”
[4] Lih. Lacan, op.cit.