KENYATAAN globalisasi yang dikatakan menembus batas ruang dan waktu menjadikan tema lokalitas hangat diperbincangkan. Sebuah upaya dalam kesadaran berbagsa dan bernegara dimana warganya sudah, saya rasa dan mungkin Anda rasakan, frustasi dengan penggerak roda pemerintahan pusat. Wacana yang digulirkan dari berbagai forum diskusi, seminar, ataupun kuliah hanya satu: Perlawanan. Paradigma yang dibangun juga selalu sama, daya saing sebuah negara bangsa dalam kancah dunia internasional. Industri massif untuk keperluan global kini mulai dipertanyakan. Muncullah kemudian slogan-slogan hingga gerakan legal dan non-legal berdiri atas nama menjunjung tinggi nilai lokalitas. Ranah teknisi praktis bukan dikolaborasikan, namun, justru dibenturkan dengan data-data sejarah. Sebuah niatan luhur.
Kebangkitan gerakan lokal selalu memiliki tiga senjata, yaitu tradisi, seni, dan makanan. Selain dari itu seringkali masih sulit untuk diterima. Gerakan tersebut mengambil hati masyarakat luas dengan sebuah harapan akan kesejahteraan, lagi-lagi menyentuh dimensi ekonomis. Terkhusus untuk orang-orang yang memiliki latar belakang Jawa, pengarsipan mengenai wilayah yang mereka tempati ini tersedia dengan sangat banyak. Alhasil, acuan yang mereka gunakan dengan mudah dicari dan tidak perlu sulit riset ataupun analisis yang memakan waktu lama. Majapahit menjadi tonggak terpenting sejarah kejayaan kelompok lokal atas pendudukan wilayah lain yang disebut Nusantara. Gerakan bernafaskan lokal ini selalu memilih jalan untuk kemudian ‘menduniakan’ unsur-unsur lokal mereka. Berbeda dengan industri skala besar, mereka tetap membangun pola yang terpusat. Ini merupakan sebuah strategi defensif secara spasial yang mencakup berbagai macam sumber daya yang ada didalamnya. Kemudian yang mereka junjung tinggi hanya berada pada satu kata, keaslian. Gerakan ini dibuat seolah menjadi kesadaran komunal. Namun saya katakan ini merupakan fiktif belaka.
Gerakan untuk membangkitkan unsur lokalitas tidak dibangun atas dasar kesadaran komunal untuk menjadi sebuah wilayah yang berdikari. Pendirian gerakan-gerakan yang bersifat lokal selalu rawan ditunggangi berbagai kepentingan privatisasi. Isu pemberdayaan masyarakat dengan mengembangkan tradisi, seni, dan makanan sebagai pemicu ekonomi kreatif, tidaklah kemudian menjadi sebuah perlawanan yang utuh. Pada saatnya, ketika senjata-senjata ini ampuh untuk memicu perekonomian masyarakat, saat itu pula hukum alam kapitalisme bermain. Hanya ada dua kemungkinan yang terjadi selanjutnya. Pertama, terjadinya pemiskinan secara komunal; dan kedua, terjadi jurang kesenjangan yang begitu besar. Dalam gerakan-gerakan bernafaskan kebangkitan unsur lokal, mereka menempatkan pasar sebagai salah satu tujuan utama selain penguatan identitas. Gerakan lokal yang pendiriannya dikatakan sebagai kesadaran komunal hanya mengantarkan kepada bentuk privatisasi lain.
Defensif lalu ofensif
Gerakan bernafaskan lokalitas, selalu memiliki sebuah strategi yang mereka sebut sebagai strategi budaya. Mereka menolak untuk menyamakannya sebagai strategi politik. Dasar dari argumen tersebut berasal dari satu kalimat. Kekecewaan dan keputusasaan terhadap negara. Dalih ini selalu muncul untuk ‘memurnikan’ setiap gerak-gerik mereka dan mengatasnamakan kesadaran komunal dari orang-orang yang peduli dengan budaya lokal. Legalitas mereka dapatkan dari gerakan sejenis yang ada di kancah nasional, seperti kementrian lalu turun ke dewan kesenian dan juga dinas pariwisata serta kebudayaan, provinsi lalu kaderisasi hingga tingkat desa. Paradigma yang dibangun tidak lagi diharuskan untuk bangga jika kemudian mereka ‘ditanggap’ oleh para pejabat. Mereka diberikan dikotomi untuk langsung menyasar tingkat global. Afiliasi yang paling dekat dengan gerakan ini adalah sebagai bagian dari promosi wisata. Celah mereka dapatkan dari wisata tidak kemudian menjadikan gerakan mereka hanya sebagai sebuah distributor barang siap pakai yang diambil dari etalase toko oleh pembeli.
Ketakutan nyata dari gerakan ini adalah hilangnya bentuk-bentuk dari lokalitas itu sendiri. Nilai yang kemudian terkandung didalamnya hanyalah sebagai ‘tempelan’, agar setidaknya ada pelajaran hidup yang didapatkan selain nilai ekonomis semata. Tidak berarti saya melihat tidak ada niatan baik untuk kemudian mengubah paradigma pembagian wilayah adidaya di dunia. Ketika sebuah perlawanan dengan senjata-senjata ini dikeluarkan, saya rasa pasar bukanlah tujuan yang sebenarnya. Memang pada dasarnya gerakan bernafaskan lokalitas ini memiliki niatan untuk melestarikan budaya dan juga menolak bentuk-bentuk penyergaman atas globalisasi. Sayangnya, gerakan-gerakan semacam ini seringkali mengkerdilkan perbedaan-perbedaan. Pada satu kesempatan, dalam satu forum diskusi menghajar habis-habisan tayangan MAHABARATA yang akhir-akhirnya sangat digandrungi. Kemudian segala yang menjadi catatan sejarah mereka kuatkan dengan perbandingan yang seringkali sangat tidak berbanding. Dan masih banyak lagi.
Pertaruhan identitas
Pernah dalam sejarah Indonesia, nilai-nilai lokal sangat dipersempit ruang geraknya. Pemerintah meneriakkan nasionalisme dengan praktik-praktik penguasaan di berbagai wilayah. Semboyan Bhineka Tunggal Ika adalah mantra sakti bagi pemerintah saat itu. Sampai hari ini semboyan itu tetap menjadi mantra sakti, namun bertransfromasi. Identitas nasional bukan lagi dibentuk dan dibangun oleh pemerintah. Hari ini kesadaran berbangsa tumbuh dari pojok-pojok negeri ini.
Gerakan bernafaskan lokalitas degan gagah menyatakan identitas lokal mereka yang kemudian dibawah naungan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Semangat untuk meningkatkan kesejahteraan bukan hanya untuk masyarakat di wilayah tersebut, namun juga diharapkan sebagai pemicu bagi daerah-daerah lainnya untuk melakukan gerakan yang sama. Namun, kembali lagi, faktor kesejarahan yang kemudian mendominasi bangsa ini untuk saya menjadi sebuah kerisauan tersendiri. Bagaimana mungkin, ketika sebuah wilayah di NTT membuat gerakan yang sama dengan landasan sekuat di Jawa Timur. Ketimpangan terjadi. Ada yang menjadikan gerakan-gerakan ini tidak kemudian mengambil faktor sejarah atas dominasi, yaitu pasar. Ini menjadi sebuah ajang pertaruhan dari kebangkitan gerakan-gerakan lokal yang kemudian menyasar pada persaingan. Pada saat itulah kecerdikan dari aktor-aktor yang mengerti sekali bahwa manusia adalah homo economicus bermain.
Ketimpangan ini akan menjadikan masyarakat di sebuah wilayah tidak ingin dipersamakan dengan masyarakat di wilayah lainnya. Pertarungan wacana dari setiap gerakan lokal akan menjadikan identitas sebagai dalih pemersatu dan pada saatnya menjadi terbelah-belah. Bagi saya, ini merupakan cerminan bahwa negara ini sedang berada pada titik kegoyahan. Gerakan ini bukan hanya merujuk pada kerinduan warga negara untuk terlahir dengan identitas kultural. Lebih dari itu, gerakan ini merangsek masuk pada nalar masyarakat bahwa negara hanya sebagai boneka dan alat penindas bagi warganya.
Indonesia yang sekarang di bawah kepemimpinan presiden baru, menyerukan revolusi mental untuk kemudian kembali pada diri masing-masing. Namun, di sisi lain, warga negara yang merasa tidak pernah tersejahterakan atas adanya bentuk negara ini menggugat atas nama kesadaran komunal. Tujuan paling dasar dari gerakan ini sebenarnya adalah memicu pertumbuhan ekonomi melalui sektor kreatif dengan pasar sebagai sasaran utamanya. Ketika gerakan-gerakan ini berjalan, seperti yang saya percaya, kebanggaan sebagai Indonesia hanya ada pada mereka yang sering melakukan perjalanan dan kini disebut traveller. Kemudian yang paling penting bagi saya, ini bukanlah sebuah perlawanan utuh tapi hanya sebuah proses mengakali kapitalisme.***
Penulis adalah mahasiswa Antropologi Universitas Brawijaya, Malang. Bisa dihubungi di twitter @kambingmilitia