MEMBACA artikel Hizkia ‘Yosie’ Polimpung ini, kita seketika akan tersadar bahwa inilah situasi aktual yang kita hadapi hari ini. Sekeras apapun usaha kita untuk mengupayakan transformasi sosial, seketika itu pula kita akan dihadang dengan pertanyaan: ‘Bagaimana teknisnya?’, ‘Bagaimana rincian kegiatannya?’, ‘Berapa dana yang dibutuhkan?’, ‘Siapa donaturnya?’ Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang serupa. Apabila jawaban yang kita berikan adalah jawaban berupa gagasan, dianggap tidak menguntungkan secara finansial atau tidak strategis secara politis, siap-siap saja mendapatkan jawaban negatif atau bahkan nihilnya respon dari lembaga-lembaga donor.
Yosie, dalam artikelnya, sudah menghantarkan kita, para aktivis, pada problem nyata yang kita hadapi dalam hidup sehari-hari. Bahwa mimpi panjang kita untuk transformasi sosial, sebuah dunia dimana tidak ada lagi kepemilikan pribadi atas alat produksi, dunia dimana tidak ada lagi relasi sosial yang timpang, akan selalu terbentur pada mahalnya harga barang kebutuhan pokok di pasar, istri/suami yang meminta uang belanja bulanan, mahalnya uang sekolah si kecil, bahkan keinginan kita untuk melanjutkan kuliah S-2 menjadi terhambat karena biaya kuliah menjadi setinggi langit. Maka bisa dikatakan bahwa dunia hari ini adalah dunia yang tidak menyisakan pilihan. Jadilah pekerja, patuhilah SOP perusahaan, bermuka manislah kepada bosmu, maka dapurmu akan tetap mengepul, istrimu/suamimu akan selalu tersenyum kepadamu, dan anakmu tidak akan putus sekolah. Demikianlah situasi yang kita hadapi hari ini.
Pertanyaan yang ingin saya ajukan dalam tulisan ini adalah, bagaimana situasi tersebut di atas bisa terjadi? Mengapa makin idealis, -atau ideologis- suatu gagasan, makin seret pula dukungan moril dan materiil terhadapnya? Mungkinkah ada alternatif jalan keluar dari situasi ini?
Aktivisme seringkali dituntut untuk memberikan solusi cepat untuk suatu permasalahan. Ketika harga BBM naik beberapa bulan yang lalu, tumbuh aksi massa dimana-mana, seolah dengan turun ke jalan dan berhadapan dengan pentungan kayu dan gas air mata polisi adalah solusi dari mahalnya harga BBM, dan dengan demikian maka harga BBM bisa turun. Berapa banyak dari gerakan-gerakan aksi massa tersebut yang memberanikan diri untuk bersabar mengurai permasalahan, mengumpulkan data lapangan mengenai dampak kenaikan harga BBM tersebut, menghimpun kawan gerakan, membentuk aliansi baru kemudian menyusun langkah strategis untuk merespon permasalahan tersebut? Logika gerakan kita hari ini adalah logika yang penting bergerak, tak peduli untuk siapa dan untuk apa. Maka tak heran, belakangan banyak sekali muncul tagar-tagar mengganggu di media sosial #SaveAnu #PrayforFulan #StandforHim dan lain-lain. Tak heran pula, muncul banyak sekali makelar-makelar massa aksi, sediakan sekian ratus orang, maka kamu kubayar sekian ratus ribu. Inilah ‘hidup normal’ kita hari ini. Bergerak, hasilkan sesuatu, dan kamu tidak akan kelaparan.
Pun demikian halnya dengan proyek-proyek charity, pemberdayaan petani dan nelayan, pembangunan desa, penyediaan akses pendidikan dan kesehatan, dan lain-lain. Aktivisme hanya dianggap berharga apabila ia telah ‘menghasilkan sesuatu’. Ia adalah mesias, juru selamat bagi petani, ia adalah pembawa janji surga kesejahteraan bagi para buruh, ia adalah cahaya terang benderang yang menerangi kegelapan desa-desa terpencil. Aktivisme hanya dianggap ‘ada’ bila ia hadir dengan ribuan massa aksi, bila ia bersuara terhadap kebijakan pemerintah yang dicetak di headline harian ibukota, ia hadir bila ia mampu menuntaskan rasa tanggung jawab sosial kelas menengah dengan menyisipkan tagar di media sosial. Tunda dulu berpikir, riset mendalam, dan merumuskan gagasan dalam kerangka ideologi. Rakyat butuh makan! Bro-bro dan sista-sista butuh selfie di gedung KPK!
Dari paparan di atas, maka saya dapat menyatakan bahwa alur berpikir aktivisme hari ini adalah tangkap permasalahan à susun solusi konkrit atas permasalahan à rakyat dan diri sendiri terselamatkan. Logika ini sama dan sebangun dengan ada sungai berarus deras à bangun jembatan à anak SD dapat menyeberang ke sekolah. Berdasarkan logika inilah, gerakan hari ini dibangun. Jadi, diskusi kita bukan lagi ‘siapa lawan kita?’ melainkan ‘apa yang bisa kita perbuat dalam waktu dekat?’ Gerakan hari ini terperangkap dalam logika teknokratis. Aktivis harus mampu menemukan solusi atas permasalahan, tak peduli apa basis ideologinya dan siapa lawannya. Siapa yang diuntungkan dengan kondisi ini? Saya menjawab dengan tegas: Liberalisme! Mengapa liberalisme?
Liberalisme diuntungkan karena dengan situasi ‘normal’ yang kita hadapi hari ini, gerakan kehilangan antagonismenya. Ia tak lagi mampu mengenali siapa yang sedang ia lawan di atas ring tinju sejarah. Ketika gerakan hanya sebatas tendensi mesianik terhadap suatu permasalahan, ia kehilangan kekuatannya. Ia gagap mengenali moda produksi yang spesifik dari suatu jaman, dan kehilangan respon atasnya. Maka gerakan cuci tangan dengan sabun akan dianggap setara dengan perjuangan buruh merebut alat produksi dan membangun mata rantai ekonomi yang otonom dari pemilik modal nan rakus. Saat kedua ‘gerakan’ itu dianggap setara, maka pabrik sabun akan makin laris, buruh-buruhnya akan selalu lembur, dan selisih antara nilai kerja, laba perusahaan dan upah buruh akan makin besar. Tak heran, Starbucks akan sangat radikal mengampanyekan ‘satu gelas kopi akan menyelamatkan satu orang anak di Suriah’. Profit makin terakumulasi, kelas menengah merasa nyaman karena merasa sudah menunaikan tanggung jawab sosialnya, dan para aktivis merasa sudah berbuat sesuatu.
Jadi, mengulang pertanyaan Yosie: masih adakah nafas kita untuk melakukan transformasi sosial akhir-akhir ini?
Pentingnya Pengorganisasian Diri Secara Otonom dan Riset Yang Berpihak
Yosie sudah memaparkan dengan cukup gamblang kondisi kebuntuan yang kita hadapi akhir-akhir ini. Saking frustasinya kita, para aktivis, hari ini nyaris tak bisa mengenali lagi siapa lawan kita dan apa yang sedang kita hadapi hari ini. Di tengah keputusasaan itu, kita seperti sedang bertinju melawan bayangan kita sendiri. Saat kita sedang mengupayakan pembentukan sebuah front atau aliansi untuk menghadapi isu bersama, dengan segera kecurigaan di antara kita muncul. Apa kepentingannya? Bagaimana posisimu secara politis diuntungkan, sementara kami tidak? Maka, kerja-kerja pembebasan turun pangkat menjadi politik praktis, kita gagal mengenali lawan, lalu pecah faksi dengan kawan seperjuangan. Lagi-lagi, jalan buntu yang kita hadapi. Yang berkeras pada jalan ideologis, menderita kesulitan ekonomi, sementara yang mau kompromi dan mendegradasikan nilai-nilai perjuangan duduk manis di dalam ruangan ber-AC dengan batu cincin berderet di jari-jari tangan kanan.
Menghadapi situasi ini, maka saya ingin beroptimis ria bahwa kita dapat memperpanjang nafas kita, mengupayakan otonomi produksi sembari terus mengikis secara perlahan-lahan mata rantai kebergantungan ekonomi dari raksasa liberalisme.
Pertama, sejalan dengan Yosie, kita harus mengupayakan pengorganisasian ekonomi secara mandiri di kalangan aktivis. Pengorganisasian ekonomi ini sebaiknya berlandaskan pada prinsip-prinsip kolektif, otonom dan solider. Yosie sudah mengajukan bahwa koperasi adalah instrumen yang tepat untuk melaksanakan eksperimen ekonomi ini. Koperasi yang dibentuk ini sebaiknya terdiri dari kawan-kawan yang memiliki visi aktivisme yang sama, kendati pendekatan terhadap urgensi permasalahan yang dihadapi bisa sangat beragam. Tidak ada penanam modal, semua orang bekerja, dan mendapatkan timbal balik dari apa yang ia kerjakan untuk kemajuan kolektif.
Kedua, segala bentuk tendensi gerakan harus mendasarkan dirinya pada riset, sebaliknya riset harus mengabdikan dirinya untuk keberlangsungan gerakan. Riset yang sekedar riset, mengukur pengaruh A terhadap B, dampak anu terhadap itu, hanya akan membuat gerakan jadi seperti manekin di sebuah etalase. Nampak wah, namun tak berkontribusi apapun terhadap gerakan. Begitu pula riset-riset yang hanya berupaya untuk menemukan sesuatu, inovasi ini, inovasi itu. Anak SMA bisa saja menemukan alat untuk mengubah air kencing menjadi emas, tapi apa artinya itu? Apa kontribusinya bagi keberlangsungan gerakan? Pendeknya, riset harus senantiasa bersifat ideologis, ia harus berpihak.
Ketiga, riset yang ideologis tak mungkin ada bila kita tak jeli dan sabar dalam melihat persoalan. Pun, para aktivis sebaiknya terus memperkaya diri dengan problem-problem aktual, mengikuti perkembangan diskusi dan perluasan cakrawala pengetahuan. Ini penting agar kita, para aktivis, tidak jatuh ke jurang keputusasaan dan terbata-bata dalam mengenali permasalahan yang tersaji di depan kita. Dengan mengenali permasalahan, mengurai dengan sabar problem yang dihadapi, dan dengan kekayaan data yang kita miliki, maka kita bisa berharap respon yang kita berikan terhadap satu permasalahan dapat dengan telak menghantam sasaran, bukannya malah membuat lawan kita makin kokoh dan berbalik menduplikasi nilai-nilai perjuangan kita.
Keempat, pentingnya berjejaring. Gerakan tidak mungkin dan tidak boleh berdiri sendirian. Ia harus punya kawan. Seperti dijelaskan Yosie, selain untuk merapatkan barisan, jaringan juga penting untuk saling memupuk solidaritas dan memberikan semangat antar kawan. Bertukar pengalaman mengenai pengorganisiran, membangun jaringan, bertukar isu dan alat analisis tentu akan jadi penyemangat yang cukup ampuh untuk memelihara spirit gerakan.
Bila Marx menyatakan, -dengan repetisi yang cukup sering kita dengar-, para filsuf hanya menafsirkan dunia, padahal yang terpenting adalah mengubahnya. Kalimat ini, sekali lagi, harus diletakkan dalam konteks pengujarannya, bukan sekedar jadi slogan yang dicetak di kaos-kaos. Bahwa menemukan moda produksi yang spesifik dari setiap jaman itu membutuhkan riset yang tekun, sabar, jeli dan yang paling penting: berpihak! Tentu jalan untuk itu tidak mudah dan banyak kerikil penghalang di depannya. Namun, kita masih bisa berharap. Kita belum kehabisan nafas. Salam.***
Penulis adalah pengelola Unit Gerakan dan Eksperimentasi Koperasi Riset Purusha