KAWAN muda yang baik,
Bagaimana kabar negerimu? Kami dengar sedang ada beberapa bencana. Menurutku itu justru ada baiknya, karena kelihatannya kalian malah menjadi makin rekat. Di tempatku, yang hanya seujung jari luas negara kalian, manusianya malah dilanda kepasrahan. Ternyata, upaya kami selama ini untuk mereformasi sistem politik dan pemilihan umum justru masih bisa dipecah belah oleh polisi dan aparat negara. Bukannya didengar dan didukung, kami malah dicibir sebagai pembangkang, musuh negara nomor satu.
Aku tidak bisa membayangkan ini terjadi padamu. Yang kudengar, kalian dipandang sebagai generasi terpuji bersuara lantang. Seorang kawan yang sempat berkunjung ke Indonesia bercerita, kalian diberi tempat terhormat di Twitter maupun sosial media lainnya. Anak muda perkotaan mendengarkan, bahkan tersihir oleh pandangan-pandangan kalian yang begitu bunyi dan ramah perkembangan zaman. Bagaimana sih caranya supaya bisa diterima orang banyak?
Ada yang bilang, kita harus melihat anak muda sebagaimana korporasi memandang mereka sebagai target pasar. Maksudku, ketika kalian menyusun berbagai agenda perubahan sosial dengan dan untuk anak muda itu, apa iya dari awal kalian sudah membatasi diri pada anak muda dengan latar belakang tertentu? Intuisiku mengatakan hal yang berlawanan, tetapi mungkin ini menjelaskan mengapa kami gagal.
Yang aku bingung, kenapa di saat yang sama mahasiswa merasa keberadaan mereka begitu asing? Aku tidak paham bahasa Indonesia, tetapi tiap kali membaca tulisan soal mahasiswa Indonesia dengan bantuan Google Translate, yang kutemukan hanya debat pinggiran soal eksistensi dan jati diri gerakan mereka. Bukankah zaman reformasi kalian sudah lewat? Mereka bicara soal gerakan seperti apa? Di saat kalian gencarnya-gencarnya membawa nama Indonesia di forum internasional, kok mereka masih berkubang di lumpur yang sama? Kalian jarang ngobrol atau jangan-jangan memang bermusuhan?
Ah, mahasiswa dan sejuta mitosnya. Sejujurnya aku pun dirundung kebingungan yang sama. Bukan soal menjadi musuh negara dan diawasi aparat setiap saat. Bukan itu. Bukan pula soal jumlah follower atau avatar yang tampak kadaluarsa. Aku bingung dengan skripsiku yang tak kunjung rampung dan gundah tak mampu mencari nafkah. Kata iri mungkin berlebihan, tapi aku tak menolak jika mendapat beasiswa untuk sekolah dan kemudian bisa menjalani hidup yang terjamin sebagai karyawan perusahaan multinasional. Cita-citaku yang terpendam memang itu kok. Bukan menjadi perusuh sebagaimana diyakini kebanyakan orang. Bagaimana pun, tidak ada satu manusia di Hong Kong yang ingin dicap sebagai dalang kerusuhan. Nyali kami tidak sebesar (senior) kalian.
Tapi jika situasinya memaksa, aku rasa, apa yang aku dan kawan-kawan perbuat ini hanya sebuah konsekuensi logis. Bukan masalah sok-sokan. Kebetulan saja media membutuhkan satu tokoh yang bisa mereka jadikan gambar sampul. Tadinya mereka mencari cowok berewok dan sedikit gondrong (seperti Che, maksudku), tetapi di Hong Kong kami tidak terbiasa berpenampilan seperti itu. Karena postur dan pembawaanku sangat anti-hero, media Barat mendaulatku sebagai gacoan mereka. Kawanku di Kairo bilang, tampilan itu nomor kesekian di tengah tuntutan berjuang. Pikirku, mudah bicara seperti itu kalau dari kecil memang sudah ditakdirkan untuk berjenggot. Omong-omong, ketika masuk majalah Rolling Stone, apa kamu diminta untuk berpenampilan khusus?
Aku tidak pernah paham pola pikir orang Mesir. Mereka tampak begitu bersemangat berdemo, tetapi jika aku diberi ongkos untuk, katakanlah, memimpin gerakan #Occupy di sana, aku akan berpikir dua kali (Pertama aku akan ragu. Kedua kalinya semakin ragu). Sepertinya akan lebih mudah melakukannya dengan kalian di Jakarta. Anak muda di kotamu tampak begitu luwes, hidup tanpa beban tetapi masih mampu mengelola kegelisahan akut soal masa depan. Kalian fasih bicara soal perubahan iklim dan begitu lihai menyatukan kepedulian dengan gaya hidup. Sampai sekarang aku masih salut bagaimana ‘berlari’ bisa menjadi atraksi baru di kotamu sampai-sampai kami berpikir untuk memadukan demonstrasi dengan fun run. Ternyata ideku ditolak dan atas dasar kemalasan yang luar biasa, kami memilih untuk mogok gerak.
Kawan, atas dasar kegagalan itu lah kami – serangkaian mahasiswa musuh negara (tadinya Malala juga ingin ikut)– sebenarnya sedang berencana berkunjung ke negerimu. Ingin belajar, lebih tepatnya. Tadinya kami ingin ke Bali, tapi berhubung di sana sedang tidak ada forum internasional yang penting, kami pikir Jakarta juga menarik untuk disinggahi. Toh acara anak muda di ibukotamu juga banyak.
Ajak kami ke Kamisan, tunjukkan di mana persisnya letak monumen Reformasi Trisakti dan ceritakan kepada kami soal Parlemen Muda. Apa yang sebenarnya kalian lakukan lewat upaya tersebut? Sempat terlintas untuk melakukan hal yang serupa, tetapi sulit rasanya mencari penyandang dana yang mau mendukung program edukasi politik bagi kaum subversif seperti kami. Terakhir, kami ingin menabur bunga di makam Sondang. Aku pernah membaca esai soal kawanmu itu, dan aku sungguh penasaran, mungkinkah almarhum memasang poster Rage Against the Machine yang sama di kamar tidurnya (sebenarnya aku tidak punya posternya, hanya cetakan kertas A3 dari gambar yang aku temukan di Internet)? Aku memajangnya persis di langit-langit kamar menghadap kasur. Yang ada, aku malah sulit tidur.
Omong-omong, bagaimana tidurmu setelah tahu pembunuh pejuang HAM kalian itu sekarang bebas berkeliaran? Masihkah nyenyak? Mudah-mudahan dia tidak sedang menyusun plot baru terhadap generasi aktifis baru seperti kalian. Ah tapi mungkin kekhawatiranku berlebihan, karena rasanya tidak ada lagi pembunuhan misterius di negerimu. Kecuali di Papua—dan mungkin kalian terlalu jauh untuk bisa paham kondisi di sana. Bagaimana soal pemilihan kepala daerah? Bukankah itu akan menjadi tantangan baru generasi kalian? Semoga saja ia tidak malah menjadi batu sandungan, ya.
Nah, sebenarnya tegangan antara demokrasi dan representasi itu yang ingin kami pelajari dari kalian. Karena persoalan kita dalam hal ini sama, yaitu soal pemilihan pemimpin secara langsung. Kami pun sudah kehabisan akal – tetapi kelebihan energi—untuk mencari tahu mekanisme apa yang bisa digunakan untuk menghadapi masalah ini. Harusnya kalian lebih paham soal ini, toh sudah cukup sering dibahas. Setidaknya itu yang kudengar.
Oh iya, sebelum lupa. Kalian sudah beli majalah Time edisi ‘Person of the Year 2014?’ Ternyata aku terpilih menjadi salah satunya, menyaingi presiden terpilih kalian. Tapi pada akhirnya aku merasa diriku ini percuma. Diperbincangkan di seluruh dunia tetapi berakhir sia-sia. Seandainya bisa memilih… Ah tentu kamu tahu apa yang akan aku bilang. Aku heran, dengan segudang prestasi kalian, kok belum ada yang masuk nominasi?***
Tabik,
Joshua Wong
PS. Tadinya aku mau berkomentar soal serangan ke Charlie Hebdo, tetapi apa lagi yang mau kita bahas. Semoga peristiwa ini tidak memantik api baru, terutama di negerimu yang mayoritas memeluk Islam.