Militerisme dan Kita, di Tahun-tahun Orba

Print Friendly, PDF & Email

(Sekedar Renungan Menjelang 50 Tahun Tragedi 65)

Aku seorang kapiten
mempunya pedang panjang
kalau berjalan prok prok prok
aku seorang kapiten!

 

LAGU ini sering didengungkan oleh anak-anak di awal tahun enampuluh-tujuh puluhan. Inilah kiranya narasi pertama tentang militerisme yang saya serap ketika kanak. Romantika perlawanan kaum gerilyawan empat-lima, yang kemudian menjadi cikal-bakal menguatnya peran penting Militer di Indonesia ini, masih begitu kental dipuja dan dikenang selama kurun waktu tahun enampuluh-tujuhpuluhan itu, dan tahun-tahun berikutnya selama kurun waktu pemerintahan Suharto. Adalah hal biasa bagi anak-anak lelaki di kampung-kampung untuk bermain perang-perangan, dan mengidentifikasi diri sebagai pahlawan yang menang perang dan musuh yang bergelimpangan!   Dua dekade setelah kemerdekaan, kekuatan Militer Indonesia kemudian menciptakan ‘cerita’ tersendiri atas perkembangan dan silang-tualang dunia perpolitikan di ujung pemerintahan Soekarno. Terutama karena persaingan panas antara Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia (PKI) waktu itu. Belum lagi para Soekarnois di antaranya.

Sampai kemudian, mereka yang kalau ‘berjalan prok prok prok’ itu mulai memasuki kota-kota dan kampung-kampung di seluruh negeri di akhir tahun enam-lima, dan di bulan-bulan kemudian dan bahkan di tahun-tahun berikutnya, ketika apa yang menurut versi Militer disebut ‘Gerakan 30 Serptember’ itu pecah dengan ditemukannya enam jenasah perwira tinggi dan seorang kolonel di Lubang Buaya . Inilah awal mimpi buruk bagi semua orang (termasuk anak-anak), dimana negeri kemudian terjebak dalam teror massal, dan pemberlakuan keadaan keadaan darurat selama berbulan-bulan. Bukan lagi pedang panjang yang dipegang oleh mereka yang ‘berjalan prok prok prok’ itu, melainkan bedil laras panjang dan penggerahan massa. Mereka seret dan tangkapi orang-orang yang terlibat sebagai anggota PKI beserta segenap afiliasinya. Dan tak jarang terjadi salah tangkap, tapi sekali masuk perangkap orang tak diberi kesempatan membela diri.

Sewaktu peristiwa tahun 1965 dan 1966 terjadi, kami hanyalah anak-anak, dimana masa-masa awal pertumbuhan sudah dibayangi cerita-cerita dan pengalaman-pengalaman mengerikan waktu itu. Gelap dan senyapnya kampung dan jalanan kota begitu jam malam berlaku; tembakan-tembakan di malam hari; pembakaran toko-toko Cina; tetangga-tetangga yang diseret dan dimasukkan ke bak truk oleh militer dan tak pernah lagi kembali; penjara-penjara dadakan yang tersebar di beberapa tempat di kota untuk menampung dan menyiksa mereka yang ditangkapi; cerita tentang mayat-mayat yang terbuang dan hanyut di sungai-sungai; dan tentang pembunuhan-pembunuhan massal yang mendirikan bulu kuduk dan mimpi buruk bagi kehidupan hari-hari itu.

Atas peristiwa berdarah kayak beginilah yang telah menghantarkan Militerisme Suharto dengan Orde Baru-nya ke tampuk kekuasaan yang hampir-hampir ‘absolut’ selama lebih dari tiga puluh tahun. Pada periode ini, anak-anak zaman itu tumbuh di bawah era yang didominasi oleh satu generasi Angkatan 66. Generasi ini adalah generasi terapan dari para militeris generasi 45, yang telah berhasil menyingkirkan PKI dan Soekarno. Kami tumbuh dalam bayangan dua generasi ini, 45 dan 66. Dan selama berpuluh tahun, apa boleh buat, kami hanya sempat menjadi generasi yang ‘diam’, atau lebih tepat ‘dibungkam’.

Siapapun yang tumbuh selama tiga puluh satu tahun pemerintahan Suharto, menerima semacam ‘indoktrinasi’ bahwa PKI adalah pengkhianat bangsa, dan menjadi bahaya laten yang harus diwaspadai. Kekuasaan rezim ini, sejarah bersaksi, dicapai dengan tumbal ratusan ribu nyawa mereka para PKI itu. Dan selebihnya adalah menanamkan pada setiap jengkal di otak kita bahwa tak hanya komunis yang berbahaya, bahkan bersimpati terhadap sosialismepun layak untuk dicurigai. Sangat tidak mengherankan pada jaman itu bahwa perpustakaan-perpustakaan kampus, sebagai suatu lembaga pendidikan tinggi tak dibenarkan menyimpan buku-buku Marxisme dan semacamnya. Juga buku-buku tulisan orang yang dianggap kiri seperti Pramoedya Ananta Toer. Tuduhan subversif adalah senjata ampuh bagi mereka yang dituduh ‘tidak patuh pada penguasa.’

Aktivitas politik dilarang bagi pelajar dan mahasiswa, mata kuliah Kewiraan menjadi wajib, NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dicanangkan, dan Resimen Mahasiswa menjadi elemen penting dalam struktur kemahasiswaan yang sering disikapi secara sinis, dan diam-diam beberapa di antara kita suka menyindirnya sebagai ‘penghijauan kampus’ alias ‘militerisasi kampus’. Dan sudah menjadi rahasia umum, bahwa ada ‘mata dan telinga’ di kampus-kampus sebagai pengawasan. Pendek kata, apa yang Orba telah perlakukan pada kami tentang ‘bersih lingkungan’ itu jauh lebih efisien dari pada ‘McCarthyism’ di Amerika pada tahun 50-an!

Patriotisme generasi 45 mendapat tempatnya sebagai tonggak penting dalam sejarah nasional Indonesia. Dan Pancasila adalah simbol agung yang hampir-hampir tak tersentuh maknanya kala mengingat tentang bagaimana para tapol, yang semestinya harus diperlakukan sesuai dengan Sila kedua ‘Peri Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab’, tak sempat mendapatkan ‘jatah’nya. Oleh karena perlakuan yang tak semestinya itu, peristiwa tahun 1965 ini telah meninggalkan jejak trauma begitu rupa. Selama puluhan tahun kemudian pun orang masih enggan untuk memosisikan keberpihakannya atas peristiwa berdarah yang memakan lebih dari setengah juta korban dan kehancuran hidup berjuta keluarga.

Ketika pemerintahan Suharto telah mulai mapan dan keadaan negeri berhasil tunduk di bawah kontrolnya, pada pertengahan tahun tujuh-puluhan, persis sepuluh tahun sejak tragedi 65 itu, berpeleton-peleton militer dikirim ke belahan timur Pulau Timor. Belum hilang gundah gulana hati rakyat kebanyakan yang masih dibayangi peristiwa berdarah sepuluh tahun sebelumnya. Penjara-penjara yang tersebar di seluruh negeri masih juga disesaki oleh mereka yang dituduh komunis. Dan berkapal-kapal dari mereka diangkut ke sebuah pulau di timur Indonesia, bernama Buru, yang telah dijadikan pulau buangan bagi para tapol ‘kelas A dan B’ sejak akhir tahun enam-puluhan. Lalu di ujung tahun 75 itu, rupanya ada komunis di tempat lain yang bernama Timor Portugis yang juga harus digerus. Berdasar pada alasan bahwa beberapa partai di negeri kecil itu mengharap pertolongan, dan konon atas ‘restu’ negara besar seperti Amerika, maka pengganyangan komunisme sangatlah mendesak atas nama Perang Dingin. Faktanya, tak hanya ada komunisme di negeri kecil itu, tapi juga ada minyak, pohon-pohon cendana, perkebunan kopi yang luas dan berbukit batu marmer. Dan ‘komunisme’ sangatlah strategis untuk dijadikan kambing hitam bagi pemerintah demi mencegah segala kehendak untuk mengritisi rencana besar sang penguasa.

Pada awal tahun 80-an, kami yang dulu masih begitu belia ketika bencana 65 itu terjadi, telah beranjak besar. Suharto masih menjadi presiden kami, beserta kekuatan militernya yang tak tertandingi. Para tahanan politik (tapol) sedikit demi sedikit mulai dikeluarkan dari kurungan, tapi tak berarti mendapatkan kembali hak sipilnya. Mereka tetap diwajikan untuk lapor diri secara rutin di markas-markas militer setempat, dan tak lepas dari pengawasan. Ada tanda ET (Eks Tapol) pada Kartu Penduduk mereka. Pada tahun-tahun inilah, anak-anak muda yang sudah risih dengan penekanan-penekanan mulai bergerak secara sporadis. Tapi di lain pihak, militerisme terus menunjukkan keperkasaannya. Masalah penembakan misterius, yang konon untuk membuat jera para kriminal, tetap dinilai sebagai tindakan tidak manusiawi dan dianggap sebagai unjuk kekuatan di hadapan rakyat. Dan pada masa yang bersamaan, apa yang terjadi di Timor Timur (yang sudah diperhitungkan sebagai Propinsi ke 27 waktu itu, meski masih menjadi perdebatan dan tak mendapat pengakuan resmi di PBB), di awal tahun 80-an itu tak bedanya bagai neraka bagi para penduduknya yang terjebak perang antara TNI dan para Gerilyawan penentangnya. Daerah ini menjadi kawasan DOM (Daerah Operasi Militer) dan tertutup selama bertahun-tahun, sampai kemudian baru dibuka pada tahun 1989. Belum lagi Papua dan Aceh. Militer Indonesia pun begitu sibuknya harus menghadapi para ‘GPK’ di beberapa tempat dan daerah, dan harus juga siap mengawasi anak-anak muda yang mulai ‘bertingkah’ mempertanyakan kesewenang-wenangan pemerintah.

Pada awal tahun 80-an LSM mulai bermunculan, dan di tahun 90-an rupanya kemudian mulai menjamur, dan gerakan anak-anak muda yang pada tahun 80-an hanya bergerak secara sporadis, di tahun 90-an ini setapak demi setapak menjadi semakin solid dan membentuk satu jaringan luas. Pada puncaknya ketika gerakan Reformasi tak lagi bisa dibendung, dan kekuasaan yang direbut dengan pertumpahan darah hampir tiga puluh dua tahun sebelumnya harus runtuh juga dengan makan banyak korban. Sementara itu para eks tapol sudah mulai sepuh atau kalaupun sewaktu tahun 65 mereka masih remaja, pada masa ini kurang lebih sudah setengah abad usianya, dan selama ini mereka hanya bisa diam seribu bahasa.

Baru setelah Suharto dan Orde Baru benar-benar kolaps, bak bendungan jebol: para korban yang selama ini terbungkam, mulai berani muncul membuka suaranya. Buku-buku mengenai peristiwa berdarah ini mulai bermunculan dari segala perspektif terutama dari perspektif korban. Dan toko-toko buku tak lagi segan menjualnya. Setelah lebih dari tiga puluh tahun diam dalam kegelapan zaman, tiba-tiba kini mereka temukan bentuk ‘suara’nya melalui berbagai media. Tak bedanya dulu ketika Nazi kalah telak di Eropa, cerita-cerita seputar kejahatan kemanusiaan selama jaman kekuasaan Hitler mulai ditulis orang dan terkuak di hadapan dunia. Meski bukannya tanpa ‘interupsi’.

 

 

65

 

Tak semua orang bisa mengungkapkan diri dengan mudah sekalipun Suharto dan pemerintahan Orba-nya telah hengkang dari kekuasaan. Ibu Sujinah misalnya, seorang tokoh Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) pusat di Jakarta. Penghancuran besar-besaran terhadap Gerwani rupanya meninggalkan trauma mengerikan bagi para anggotanya. Pada tahun 2001, saya mencoba mewawancarai ibu Sujinah yang selama dua belas tahun di penjara karena aktivitasnya sebagai tokoh di organisasi wanita tersebut. Dua puluh tahun sudah ia dibebaskan dari penjara ketika saya datang ke rumahnya untuk janji wawancara itu. Namun demikian, ibu Sujinah toh masih merasa enggan kalau hasil wawancara ini akan diterbitkan di Kompas, misalnya (saya memang tidak bermaksud untuk menerbitkannya di Kompas). Dengan alasan, para tetangganya di kampung banyak yang berlangganan Kompas, dan ia tak ingin akhirnya semua tahu atas keterlibatannya dengan Gerwani di masa lalu. Selama ini Ibu Sujinah seperti hidup secara ‘invisible’, tak mau diketahui siapa dia sebenarnya, dan hanya mau dikenal sebagai Ibu tua yang hidup sendirian saja oleh para tetangganya. Di dinding rumahnya yang sempit itu, diam-diam masih dipajangnya foto-foto teman-teman ‘seperjuangan’ sesama anggota Gerwani di awal tahun enam-puluhan dulu. Hasil wawancara itu kemudian saya terbitkan di majalah berbahasa Inggris Latitudes pada tahun 2001 itu juga dengan judul ‘Sujinah (and those others who were pushed aside)’. Saya yakin para tetangga Ibu Sujinah tak kan membacanya.

Salah seorang bekas tapol (selain Pramoedya Ananta Toer tentu saja dan beberapa lagi) yang kemudian berani menerbitkan novelnya secara terbuka di jaman Reformasi, adalah Putu Oka Sukanta. Dalam dokumentasi film ‘On The Record’ yang beberapa tahun lalu kami buat di Yayasan Lontar, Putu Oka bercerita panjang lebar bagaimana proses penulisan novel tersebut betul-betul ia kerjakan dalam suasana yang tak mudah selama dua puluh tahun sejak keluar dari penjara, dan yang copy-nya ia simpan secara klandestine di mana-mana. Bebas dari penjara tak berarti kebebasannya sebagai seorang penulis pulih. Baru ketika pemerintahan Suharto jatuh pada Mei 1998, keterbungkamannya selama ini seperti meledak mencari wadahnya. Setahun kemudian novelnya, Merajut Harkat, terbit secara terbuka. Sewaktu salah satu bagian dari cerita Merajut Harkat itu dimuat dalam buku Silenced Voices (University of Hawaii Press, 2000), suaranya yang terbungkam selama ini mulai didengar dunia. Ini sebuah cerita semi otobiografi atas pengalamannya sebagai tahanan politik yang hampir selama sepuluh tahun ngendon di Penjara Tangerang dan Salemba tanpa pernah diadili. Afiliasinya dengan Lekra-lah yang menghantarkannya menjadi orang kurungan. Ia baru 27 tahun ketika ditangkap. Proses pengucilan secara sosial dan pengecilan diri seseorang yang dituduh sebagai anggota maupun simpatisan PKI dimulai begitu ia menjadi ‘pesakitan politik.’ Dan ketika dibebaskan pada tahun 1976, dan sejak huruf ET tertera di KTP-nya, stigma ini sungguh tak ringan disandang dalam kehidupannya sehari-hari selama pemerintahan Orba. Dan Putu Oka hanyalah salah seorang dari berjuta mereka yang bernasib sama.

Kita ingat, pada tahun 1984, dengan disponsori oleh pemerintah Orde Baru, sebuah film berjudul ‘Pengkhianatan G30S PKI’ diluncurkan. Film ini menjadi satu elemen yang tak terhindarkan dalam membentuk image tentang ‘kebenaran sejarah’ menurut pemerintah waktu itu. Anak-anak sekolah digiring ke gedung-gedung bioskop untuk menyaksikannya. Dan setiap tgl 30 September selama tahun-tahun pemerintahan Suharto, film ini selalu diputar di TVRI, dan dilihat jutaan orang, demi semakin meneguhkan ‘iman’ mereka bahwa komunis adalah musuh, dan militer adalah penyelamatnya. Tapi kemudian pada tahun 1999, setahun setelah Suharto lengser, muncul film ‘Puisi Tak Terkuburkan’ garapan Garin Nugroho. Berbeda dengan film ‘Pengkhianatan G30S PKI’ yang merupakan pemujaan atas laku heroik para militer dalam menumpas para komunis demi ‘bela negara’   — film Garin tsb sebaliknya, memfokuskan pada orang kebanyakan yang terjebak dan dituduh telah berpihak pada komunisme. Kita melihat dalam film Garin ini tentang nasib petani, pedagang, dan ibu rumah tangga yang ditangkap dan dikebiri hak-haknya sebagai anggota masyarakat akibat ‘lingkungannya’ yang dianggap tak bersih secara politik. Cerita-cerita dari perspektif orang kecil seperti ini, selama jaman Orba, hanya sempat menjadi bisik-bisik, tak pernah terbuka secara publik, apalagi dibuat film. Maka kiranya, film Garin ini menjadi tantangan tersendiri terhadap film ‘Pengkhianatan G30S PKI’ yang selama bertahun-tahun menjadi satu-satunya film yang wajib dipercaya tentang peristiwa 65 tsb.

Lalu ‘Mass Grave’, yang dibuat pada tahun 2000. Film dokumentasi berdurasi 26 menit ini adalah tentang penggalian kuburan massal di tengah hutan di Wonosobo Jawa Tengah. Berawal dari permintaan seorang wanita yang ingin menemukan jasad tulang-belulang ayahnya yang telah ditangkap dan dieksekusi entah dimana pada tahun 1965. Berbekal petunjuk bahwa setelah ditangkap ayahnya dibawa ke suatu tempat di tengah hutan di bawah pohon kelapa dan ditembak di situ, wanita yang ketika tahun 65 itu tentulah masih kanak, kini beroleh kesempatan untuk merunut dan mencoba menemukan jasad tulang-belulang ayahnya agar bisa dikuburkan secara pantas. Penggalian itu akhirnya menemukan sebelas jasad. Bagi orang Jawa, kehilangan salah seorang anggota keluarga tanpa tahu dimana rimba kuburnya, adalah beban spiritual. Tradisi nyekar sangatlah penting sebagai sarana untuk tetap merawat hubungan batin dengan leluhur. Dan inilah yang diinginkan wanita tsb, untuk menguburkan ayahnya secara pantas. Faktanya, film ini tak hanya tentang menemukan mereka yang telah dihilangkan, tapi juga tentang masih tajamnya tanggapan dari mereka yang secara kukuh bersikap anti komunis, dengan mengandalkan agamanya sebagai pembenaran. Ada adegan dimana sekelompok orang di Temanggung, Jawa Tengah, yang menolak jasad tulang-belulang yang digali di tengah hutan di Wonosobo itu untuk dikuburkan secara pantas di desa mereka. Alasannya, bahwa ‘desa ini bukan tempatnya para komunis’! Mereka khawatir bahwa idealisme komunis akan kembali hidup gara-gara ada kuburan para tapol tersebut.

Film dokumentasi lain yang diproduksi secara independen, ‘Menyemai Terang dalam Kelam’, adalah film yang membuka luka lama dari mereka yang bernasib tak beruntung pada bencana politik tahun 65 itu. Masa lalu itu masih terasa begitu getirnya, ketika mereka harus menceritakannya kembali. Yang kadang harus diucapkan dengan bibir gemetar dan air mengambang di mata. Hal menarik dalam film dokumentasi ‘Menyemai Terang dalam Kelam’ produksi Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan yang disutradarai IGP.Wiranegara ini, adalah hadirnya Ilham Aidit, anak DN Aidit, tokoh PKI yang paling diinginkan oleh para Militer Indonesia waktu itu. Ilham baru berumur Sembilan tahun ketika peristiwa itu meletus, dan harus ikut pamannya di Bandung sejak ayahnya menghilang tak tentu rimba. Ia ceritakan bagaimana tiga orang militer datang untuk membunuh dia dan dua saudaranya yang lain, tapi ketiga tentara sama sekali tak mengira bahwa anak-anak Aidit ini ternyata masih kecil-kecil. Sekalipun pelatuk telah sempat dilekatkan pada kepalanya, tak tega juga rupanya mereka pada anak-anak, lalu pestol ditarik kembali masuk ke dalam sarungnya . Tapi bagi ketiga anak itu peristiwa ini telah meninggalkan trauma luar biasa. Ilham bilang selama bertahun-tahun dia benci sekali pada mereka yang suka menyandang senjata. Dan ketika mulai dewasa dia suka berjalan mendaki gunung, hanya karena di gunung dia bisa berteriak mengeluarkan segala sesak di dada dan tak kan ada orang mendengar atau mempedulikannya. Kegemarannya naik gunung membuatnya berminat untuk bergabung pada Wanadri yang kemudian mempertemukannya dengan jenderal Sarwo Edhi Wibowo. Pertemuan pertama, ketika dia dilantik menjadi anggota. Dan begitu tahu bahwa jenderal Sarwo Edhi-lah yang akan melantik, dia gugup tapi berniat untuk memberanikan diri menatap mata sang jendral. Mungkin dadanya berguncang waktu itu, bahwa akhirnya dia akan berhadapan dengan ‘perancang’ pembunuh ayahnya sendiri. Ilham tak tahu bahwa sebenarnya Sarwo Edhi sudah tahu juga siapa dia. Ketika sampai pada gilirannya, jenderal itu tak hanya menyalaminya tapi juga memeluknya. Dari tujuh puluh dua anggota cuma dia yang mendapatkan pelukan. Pada pertemuan kedua, Ilham sudah menjadi komandan di Wanadri dalam pelatihan pendakian gunung itu. Dan Sarwo Edhi meminta waktu padanya untuk bicara sebelum acara dimulai. Jendral itu mengatakan padanya bahwa apa yang telah dia lakukan pada ayahnya, DN. Aidit, adalah tugas negara. Dan katanya lagi, setelah ia renung-renungkan, bahwa perlakuan (terhadap ayahnya) itu bisa saja KELIRU. Lalu jendral itu memeluknya. Ini adalah peristiwa secuil saja yang sebenarnya telah mencerminkan ada semacam pengakuan bahwa bencana dahsyat itu adalah ‘KEKELIRUAN’, yang sedihnya secara resmi memang tak pernah diakui oleh pemerintah Orba dan pemerintahan saat ini.

Tahun ini, 2015, Peristiwa 65 akan genap berusia 50 tahun. Peristiwa yang menjadi tonggak sejarah kelam bangsa Indonesia. Setengah abad bukanlah masa singkat bagi mereka yang harus bergulat dengan luka sejarah hidupnya. Rekonsiliasi yang didengung-dengungkan selama ini seperti hanya berhenti pada formalitas semata. Pengingkaran terhadap fakta sejarah tragedi 65 itu, nyatanya masih disikapi secara defensif oleh beberapa pihak. Hanya doa saya, semoga mereka yang telah ‘dihilangkan secara paksa’ dan tak tertemukan jasadnya sampai kini, beristirahatlah dalam kedamaian. Saya yakin, sejarah tak selamanya bisa direkayasa.***

Penulis adalah penulis Novel “Candik Ala 1965”

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.