Selamat Pagi, Sondang

Print Friendly, PDF & Email

Oase-IPSELAMAT pagi, Sondang, apa kabarmu?

Masih terngiang senja itu, Rabu, 7 Desember 2011, kau berlari menuju depan istana Negara, dengan sekujur tubuh terlalap api. Orang-orang terpana. Pertama dalam sejarah negeri ini, seorang tewas membakar diri depan istana.

Beragam komentar berhamburan. Sebagian besar ribut memperdebatkan cara kematianmu. Membakar diri, tindakanmu itu terlalu mengerikan. Itu tindakan pengecut dan sia-sia belaka. Tak akan mengubah apa-apa.

Tak sampai sebulan, perlahan namamu lenyap ditelan silih berganti peristiwa. Tubuhmu hangus terbakar. Terbakar juga kah nurani kita, nurani para pemimpin negeri kita? Ternyata tidak. Mereka masih utuh dan biasa-biasa saja. Roda negeri ini juga berderap seperti biasa saja.

Sondang, apa yang membuatmu rela mati? Apa terakhir kaupikirkan ketika mengguyurkan bensin ke tubuhmu dan mulai menyalakan korek api? Apakah wajah ibumu? Ataukah wajah pacarmu? Atau wajah-wajah marah dan luka para korban pelanggaran HAM yang kerap kaudampingi aksinya itu?

13 November 1970, ada seorang Chun Tae-il, buruh pabrik garmen di kota Seoul, yang membakar diri di depan aksi. ‘Stop eksploitasi buruh! Jangan biarkan kematianku sia-sia!’ teriaknya sesaat sebelum api menjilat tubuhnya. Amarah massa segera mengguncang Korea Selatan.

Di Irlandia, tercatat nama Bobby Sands, pejuang kemerdekaan Irlandia. Berulangkali masuk tahanan, ia tak pernah menyerah. Di ujung protesnya, ia nekat mogok makan. Di hari 65, tubuhnya terjungkal. Ia meninggal 5 Mei 1980, di usia 26.

Lebih memilukan, nyawa Rachel Corrie yang rebah di tengah padang Gaza pada 2003. Pernah kau dengar cerita ini, Sondang? Di tengah desingan peluru militer Israel, gadis pemberani yang datang jauh dari Amerika Serikat sebagai relawan itu berlari menyongsong tank yang hendak robohkan rumah-rumah warga. Ia berdiri tegak. Buldoser merangkak perlahan. Orang berteriak-teriak dan melambaikan tangan. Buldoser tetap merangkak, melindas tubuh Corrie. Berkali-kali, hingga luluh lantak. Ia mahasiswa sepertimu. Sebaya denganmu, Corrie 23 tahun, kau 22 tahun.

Tak putus-putus koran dan televisi memberitakan kematian mereka. Gelora amarah pun tumpah. Seluruh dunia menangisinya. Orang tahu menghargai pengorbanan. Orang pintar menangkap pesan-pesan.

Kau lakukan aksimu di depan istana, tentu kau hendak menampar para penguasa negeri ini bukan? Yang paling bertanggungjawab atas segala persoalan kemiskinan, pengangguran, korupsi dan sejumlah pelanggaran HAM! Sayang, pesan-pesanmu tak terlalu dianggap. Dampak kematianmu juga tak riuh-riuh amat. Tak anggap ini sebagai tragedi yang selayaknya menjadi tamparan keras.

Sabtu sore, 10 Desember 2011, ketika seluruh dunia merayakan hari Hak Asasi Manusia, kau hembuskan nafas terakhir. Luka bakar 90% yang melalap tubuhmu, hanya sanggup membuatmu bertahan 72 jam.

Sondang, seorang kawanku bercerita, ketika di RSCM ia melihat keriuhan itu, seseorang dengan luka bakar sekujur badan, diangkut dengan mobil Satpol PP masuk ke UGD. Kawanku mendengar teriakan yang keras, keras sekali. Seperti marah dan kesakitan. Ia urung mendekat, tak tega. Dua hari kemudian ia baca di koran, sosok itu adalah engkau, Sondang. Kawanku itu, seorang ibu yang teguh, aktivis yang melawan Soeharto di tahun 1980-an, pernah disekap di markas tentara dalam sebuah aksi petani, mendadak airmatanya menderas seperti hujan. Teriakanmu itu, bagai guntur yang terus menggedor-gedor hatinya.

Beberapa hari setelah jasatmu dikubur, dua pucuk surat ditemukan di tas yang kau titipkan ke pacarmu. Sebuah untuk ayah ibu dan pacarmu, sebuah untuk negerimu.

‘Terkutuklah buat ketidakadilan
Terkutuklah buat ketidakpedulian
Terkutuklah buat kemiskinan
Terkutuklah buat rasa sakit dan sedih
Terkutuklah buat para penguasa jahat
Terkutuklah buat para penjahat
Setelah aku tidak punya rasa lagi.
 

Dadaku bergetar hebat. Aku menangkap marahmu. Aku tahu kesakitanmu. Aku memahami gelisahmu. Aku pernah muda. Kemudaan memang selalu paralel dengan keingintahuan, kegelisahan sekaligus kemarahan menatap realitas zaman yang meleset jauh dari cerita indah di buku-buku.

Jikalau kita pernah bersua, akan kuceritakan banyak kisah indah perjuangan melawan kediktatoran di masa lampau. Dan perlawanan itu masih berderap hingga kini. Tahukah kau, di balik bilik-bilik tripleks pemukiman buruh nan lembab, di sana tersimpan berlaksa gelora. Di kampung petani, bunga-bunga perlawanan terus bersemi. Ibu-ibu di Medan, penuh luka dan marah membuka bajunya, perlihatkan payudaranya, berdiri menghadang traktor yang hendak menggusur rumah mereka. Itu benteng kemarahan terakhir yang mereka punya. Di Pulau Padang, Riau, 84 petani mogok makan dan menjahit mulut, setelah puluhan tahun mereka perjuangkan tanah miliknya yang dirampas perusahaan besar hasil kongkalikong dengan negara. Mereka berjuang hingga batas akhir mereka bisa. Mereka berlawan sekuatnya daya, Sondang. Sekuat daya!

Selalu terselip harapan dalam ceruk gelap sekalipun. Mari, guyurlah harapan-harapan itu dengan kerja keras dan tak lelah. Apa daya, kau sudah memilih jalanmu. Dan aku hanya mampu termangu dalam gelisah, seorang diri. Aku pandangi lagi rekaman video aksi di depan istana, 18 Agustus 2011. Kau berteriak lantang, ‘Kalau saya bermimpi menjadi anggota DPR, saya akan ajak anggota DPR, menteri, presiden untuk bisa melihat kondisi rakyat sekarang!’

Aku lihat lagi lembar demi lembar foto. Jejakmu ada di mana-mana. Di aksi bersama Sahabat Munir, di aksi penghilangan paksa, di aksi bersama kawan-kawanmu Himpunan Aksi Mahasiswa Marhaenis Untuk Rakyat Indonesia (Hammurabi). Kau muda dan cukup tampan. Kau tertoreh dalam banyak jejak, yang baru terkuak setelah kau tiada.

Aku lihat foto pacarmu. Cantik. Airmatanya terus berderai saat penguburanmu. Beberapa bulan kemudian kubaca di koran, ia menelan 20 pil kina, dekat pusaramu. Lantas tubuhnya kejang dan terkapar. Untunglah, dia selamat.

Aku lihat gurat kepedihan di wajah ayah ibumu, Victor dan Dame Hutagalung. Seharusnya, tahun ini mereka berdiri bangga di sisimu, mendampingimu wisuda sebagai sarjana hukum Universitas Bung Karno (UBK). Abangmu sudah belikanmu sepatu baru, pantovel warna hitam untuk wisudamu. Kaukenakan sepatu itu di hari tragis itu. Sepatu itu, satu-satunya benda yang masih utuh di tengah kobaran api yang melalap habis tubuhmu.

22 tahun umurmu. Aku membayangkan rekan sebayamu asyik twitteran, nongkrong di kafe atau nonton di bioskop sambil ngemil pop corn dan meneguk cola. Kau tentu juga ingin mengisi sebagian mudamu dengan keriaan itu, bukan? Kudengar, kau malah pernah pergunakan uang SPP dari orangtuamu untuk belikan nasi bungkus, lalu bersama-sama pacarmu kau bagi-bagikan ke para pemulung dan pengemis di pinggir jalan. Oh, lembut sungguh hatimu.

Setahun kau pergi, Sondang. Negerimu semakin senja, dengan rupa-rupa nestapa. Tak banyak yang ingat lagi namamu, kalah dengan nama-nama koruptor yang datang silih berganti. Cepat benar bangsa ini melupakan tragedi kematianmu. Aku meletakkan namamu di bilik hatiku, Sondang. Kucatat dengan tinta tebal, sebagai hikayat bagi anak cucuku kelak, bahwa pernah ada anak muda bernama Sondang Hutagalung, berikan nyawanya untuk negeri ini. Agar kami ingat, bahwa kami berhutang kepadamu.

Hujan rintik di pagi Desember, gigilku semakin menyiksa. Aku berdoa untukmu, Sondang. Berdoa sederas hujan. Bahagia kau di sana, ya. Salam untuk Cak Munir, juga untuk para pejuang, para tertindas dan terhina. Bersenandung riang lah kalian di surga. Tunduk hormatku, untuk kalian! ***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.